• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa transisi menuju masa dewasa merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia (Call, dkk., 2002). Pada masa dewasa individu memiliki tugas untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masa transisi menuju masa dewasa merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia (Call, dkk., 2002). Pada masa dewasa individu memiliki tugas untuk"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Masa transisi menuju masa dewasa merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia (Call, dkk., 2002). Pada masa dewasa individu memiliki tugas untuk mencapai kemandirian ekonomi dan pengambilan keputusan (Santrock, 2002). Oleh karena itu pada masa remaja akhir dan masa dewasa awal, individu perlu mempersiapkan diri untuk dapat memenuhi peran masa dewasa. Pada masa remaja akhir, individu memiliki tugas untuk membangun identitas, menjalin hubungan interpersonal, dan menentukan minat. Selanjutnya pada masa dewasa awal individu memiliki beberapa tugas perkembangan, yakni membangun kemandirian ekonomi, kemandirian dalam mengambil keputusan, dan memiliki pasangan (Santrock, 2002). Sebagian manusia mengalami masa transisi tersebut dengan sukses tetapi sebagian yang lain mengalami hambatan. Penyebab seseorang kesulitan memenuhi tugas perkembangan yakni masalah fisik, psikologis, dan perilaku. Masalah tersebut menghambat pemenuhan tugas perkembangan tahapan yang sedang dilalui maupun tugas perkembangan selanjutnya (Metzler, dkk., 2007).

Gangguan psikotik merupakan gangguan psikologis yang memiliki dampak besar pada kehidupan individu maupun keluarganya (Corcoran, 2007). Gangguan psikotik adalah kondisi mental abnormal yang membuat kognisi seseorang terganggu sehingga tidak mampu menerima realitas dalam perilaku yang wajar, memiliki halusinasi atau delusi dan disertai gangguan afek (Matsumoto, 2009). American Psychiatric Association (2013) mendefinisikan gangguan psikotik sebagai abnormalitas dalam satu atau lebih dari lima domain berikut, yakni delusi, halusinasi, pemikiran dan pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku yang sangat abnormal atau tidak terorganisasi, dan gejala negatif. Gejala negatif meliputi pendataran afek, avolisi, dan alogia (APA, 2013).

Gangguan psikotik sangat berpengaruh terhadap tugas perkembangan untuk mengembangkan minat dan keterampilan hidup (Puig, dkk., 2012; Lee & Schepp, 2009), serta kemandirian ekonomi (Lee & Schepp, 2009). Gangguan psikotik mempengaruhi fungsi kognitif remaja sehingga berdampak pada menurunnya prestasi akademik pada pelajar atau mahasiswa yang mengalami gangguan psikotik (Puig, dkk., 2012). Individu dengan gangguan psikotik juga mengalami hambatan

(2)

dalam kehidupan sosial, yakni mengalami kesulitan dalam interaksi sosial terutama untuk membangun hubungan yang intim (Lee & Schepp, 2009). Bagi keluarga, dampak yang dialami berupa berkurangnya waktu untuk melakukan aktivitas sosial, meningkatnya konflik dalam keluarga, depresi, munculnya rasa malu, dan kesulitan ekonomi (Awad & Voruganti, 2008).

Gejala gangguan psikotik pada umumnya mulai muncul pada usia remaja akhir hingga dewasa awal (Davey, 2008). Puncak ekspresi gen yang merupakan “window of vulnerability” gangguan psikotik terjadi pada usia 15 sampai 25 tahun (Harris, dkk., 2009). Hal tersebut sesuai dengan kondisi di Yogyakarta. Yogyakarta merupakan provinsi dengan prevalensi gangguan psikotik tertinggi di Indonesia yakni 2,7 per mil sementara prevalensi gangguan psikotik nasional adalah 1,7 per mil (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Good dan Subandi (2002 dalam Marchira, 2013) menemukan bahwa 66,4% gangguan psikotik fase awal di Yogyakarta dialami oleh orang berusia muda yakni antara 15-29 tahun. Padahal rentang usia tersebut merupakan periode kritis perkembangan manusia (Call, dkk., 2002).

Gejala gangguan psikotik berkembang melalui tiga urutan tahapan yang terdefinisi, yakni tahap prodromal, tahap aktif, dan tahap residual (Davey, 2008). Pada tiap tahapan perlu dilakukan intervensi dini pada gangguan psikotik yang meliputi tiga elemen yakni, deteksi dini, penanganan akut dan segera setelah krisis, dan perawatan lanjutan (Hughes, 2008). Intervensi yang dilakukan pada gangguan psikotik awal ditemukan memiliki beberapa dampak positif yakni dapat mereduksi gejala, menurunkan tingkat kekambuhan, meningkatkan kepatuhan medikasi dan fungsi sosial (Malla, Norman, & Joober, 2005; Marchira, 2012)

Tahap prodromal yakni tahapan ketika secara perlahan terjadi penarikan diri dari kehidupan normal dan interaksi sosial, serta mulai berkembangnya pemikiran delusional dan disfungsional (Davey, 2008). Intervensi pada tahap prodromal dimungkinkan apabila telah dilakukan deteksi dini. Deteksi dini tersebut dapat menjadi dasar untuk memberikan intervensi sebelum tahap psikotik aktif terjadi (Hughes, dkk., 2014). Instrumen untuk melakukan deteksi dini sudah dikembangkan,

(3)

yakni Comprehensive Assessment of At-Risk Mental States (CAARMS) (Yung, dkk., 2006).

Tahap aktif merupakan tahapan ketika individu mulai menunjukkan gejala psikotik yang tidak ambigu dan terjadi beberapa ledakan gejala. Mulai masa prodromal sampai tahap aktif terjadi perubahan yang dramatis pada individu. Perubahan yang terjadi pada episode ini membuat keluarga kebingungan (Corcoran, dkk., 2003). Keluarga kemudian mencari bantuan dari berbagai pihak seperti keluarga besar, tokoh agama, dan jaringan sosial yang lain. Berbagai pihak yang dimintai bantuan tersebut memberikan saran untuk mencari bantuan dari layanan kesehatan mental. Ketika gejala semakin parah, barulah keluarga memutuskan membawa individu dengan gangguan psikotik ke layanan kesehatan mental sebagai alternatif terakhir (Corcoran, dkk., 2007). Pada tahap ini perlu dilakukan perawatan akut dan segera setelah krisis yakni dengan medikasi (Hughes, dkk., 2014). Medikasi yang diutamakan adalah obat antipsikotik atipikal yang memiliki efikasi yang lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit (Edwards & McGorry, 2002).

Setelah melalui episode pertama psikotik aktif, individu masuk dalam tahapan residual. Tahapan ini ditandai dengan menghilangnya gejala positif tetapi kemungkinan masih terdapat gejala negatif (Davey, 2008). Intervensi yang dilakukan pada tahap residual yakni perawatan lanjutan. Perawatan lanjutan berfokus pada pemulihan disertai dengan intervensi multimodal untuk menjaga atau mengembalikan kehidupan sosial, akademik, maupun karir individu yang mengalami gangguan psikotik selama dua sampai lima tahun pertama setelah onsetnya gangguan psikotik (Hughes, dkk., 2014).

Proses pemulihan gangguan psikotik meliputi berbagai aspek, yakni pemulihan klinis, pemulihan sosial, dan pemulihan psikologis (May, 2004). Setelah mendapatkan medikasi, individu mengalami pemulihan klinis. Pemulihan klinis didefinisikan sebagai proses berkurang hingga hilangnya gejala (May, 2004). Pada pemulihan klinis, individu melalui tahapan residual, yakni tahapan yang ditandai dengan menghilangnya gejala positif tetapi kemungkinan masih terdapat gejala negatif (Davey, 2008). Pemulihan sosial yakni berkembangnya hubungan dan peran sosial, aktivitas vokasional, dan akses ke perumahan yang layak. Pemulihan

(4)

psikologis adalah proses pengembangan cara untuk mengatasi dan mengelola gejala gangguan psikotik, serta menumbuhkan kembali struktur kehidupan individu yang mengalaminya. Medikasi, terutama ketika di rawat di rumah sakit memiliki efek samping pada aspek psikologis seseorang. Laithwaite dan Gumley (2007) menemukan bahwa ketika seseorang dirawat di rumah sakit muncul perasaan negatif yakni perasaan diri yang memburuk, rendahnya rasa percaya diri, dan munculnya perasaan tidak berharga. Pada masa pemulihan, individu memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah psikologis seperti depresi, penurunan kualitas hidup (Law, dkk., 2005), serta meningkatnya risiko post traumatic stress disorders (Sin, dkk., 2010).

Proses pemulihan psikologis pada individu yang mengalami gangguan psikotik meliputi beberapa fase. Andresen, Oades, & Caputi (2011) menjelaskan terdapat lima fase pemulihan ganguan psikotik. Fase pertama yakni fase moratorium. Pada fase ini individu merasakan hilangnya harapan, tidak berdaya, kehilangan makna diri, dan kehilangan tujuan hidup. Jika individu terus berada dalam kondisi kehilangan harapan, maka tidak akan terjadi pemulihan psikologis. Fase kedua yakni kesadaran, fase ini merupakan titik balik dalam pemulihan, yang ditandai dengan munculnya harapan, kebutuhan untuk melakukan kontrol, memisahkan identitas diri dari gangguan, dan membutuhkan tujuan hidup. Munculnya harapan pada tahap tersebut merupakan kunci bagi proses pemulihan selanjutnya, yang meliputi fase persiapan, membangun kembali, dan pertumbuhan. Harapan memiliki peran penting sebagai katalis proses pemulihan. Jika individu terus menerus kehilangan harapan maka ia akan terus berada pada fase moratorium dan pemulihan psikologis menjadi sulit untuk dicapai. Harapan membuat individu berusaha melakukan pemulihan dan terus berusaha mengatasi hambatan selama proses pemulihan (Andresen, dkk., 2011).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berusaha meningkatkan kepedulian masyarakat mengenai pentingnya penanganan dini yang tepat bagi orang yang mengalami gangguan skizofrenia agar dapat kembali aktif dan produktif. Lighting the Hope for Schizophrenia merupakan tema yang diusung oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada peringatan hari kesehatan mental

(5)

pada 10 Oktober 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Harapan memiliki peran penting dalam pemulihan gangguan psikotik (Andresen, dkk., 2011; Cabeza, Ducajú, Chapela, & de Chávez, 2011; Perry, Taylor, & Shaw, 2007). Harapan tentang masa depan adalah kunci bagi suksesnya proses pemulihan serta merupakan alasan bagi individu dan keluarganya untuk berusaha melakukan upaya pemulihan pasca episode gangguan psikotik (Corcoran, dkk., 2003). Harapan merupakan alasan yang memicu dan mempertahankan proses pemulihan psikologis individu. Harapan membuat seseorang siap untuk berjuang selama proses pemulihan (Andresen, dkk., 2011). Usaha untuk melakukan pemulihan merupakan perilaku aktif untuk mencapai fungsi yang optimal (Andresen, dkk., 2011).

McClelland (1987) menjelaskan bahwa dorongan untuk melakukan suatu perilaku ditentukan oleh tiga faktor yakni motif, ekspektansi, dan nilai insentif. Motif merupakan tendensi seseorang untuk memenuhi kebutuhan, ekspektansi atau harapan merupakan persepsi mengenai peluang untuk mencapai keberhasilan, dan nilai insentif merupakan nilai dari dampak yang dialami seseorang jika melakukan suatu perilaku. Ketiga faktor tersebut berinteraksi mendorong seseorang untuk melakukan perilaku (McClelland, 1987). Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Riyono (2011) menemukan bahwa strategi meningkatkan dorongan berperilaku akan lebih efektif jika berfokus pada peningkatan harapan (Riyono, 2011).

Snyder (2000) menjelaskan harapan sebagai persepsi kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan mendorong seseorang untuk menggunakan suatu alur pikir untuk mencapai tujuan tersebut. Harapan memiliki dua unsur, yaitu alur pikir untuk mencapai tujuan dan pemikiran agen. Tujuan merupakan hal yang vital dalam membangkitkan harapan karena tujuan adalah sebuah titik akhir dari serangkaian proses mental. Alur pikir adalah rencana untuk mencapai tujuan, sedangkan pemikiran agen adalah kemampuan yang diyakini dalam menghasilkan alur yang masuk akal untuk mencapai tujuan (Snyder, 2000).

Harapan pada ranah psikiatri merupakan ekspektasi yang berorientasi masa depan dalam pencapaian suatu tujuan yang secara personal bernilai, yang dapat mengembalikan makna bagi pengalaman individu (Schrank, dkk., 2008 dalam Rudnick, 2012). Schrank, dkk. (2010) mendefinisikan harapan sebagai persepsi

(6)

subjektif mengenai kemungkinan tercapainya hasil atau tujuan yang diharapkan, baik dalam kondisi titik awal positif maupun negatif. Rudnick (2012) menjelaskan bahwa harapan mendukung pemulihan pada pasien dengan gangguan psikotik dengan membangun makna serta memunculkan dan menjaga motivasi. Tujuan dalam konsep harapan bukanlah tujuan yang mutlak. Seiring usaha untuk mencapai tujuan, tujuan dapat berubah sesuai dengan pencapaian individu. Harapan bersifat fleksibel karena melingkupi kemungkinan untuk mengalami kekecewaan (Rudnick, 2012).

Berbagai konsep mengenai harapan yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa harapan merupakan persepsi mengenai kemungkinan tercapainya suatu tujuan. Penelitian ini menggunakan konsep harapan dari Schrank, dkk. (2010) yang menyatakan harapan sebagai persepsi subjektif mengenai kemungkinan tercapainya hasil atau tujuan yang diharapkan. Aspek harapan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi orientasi terhadap masa depan, kepercayaan dan keyakinan diri dalam mencapai tujuan yang diinginkan, serta penilaian diri individu dalam relasi sosial (Schrank, dkk., 2010).

Beberapa penelitian mengungkapkan faktor yang mempengaruhi harapan pada individu dengan gangguan psikotik. Faktor tersebut yakni, cara memaknai pengalaman psikotik (Perry, dkk., 2007; Subandi, 2012) relasi sosial, aktivitas positif, serta peran petugas dalam memberikan informasi dan melakukan komunikasi terapiutik (Berry & Greenwood, 2015; Perry, dkk., 2007). Pemaknaan religius menimbulkan keyakinan bahwa Tuhan akan memberi petunjuk (Perry, dkk., 2007). Penelitian Subandi (2012) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa menggunakan pemaknaan religius ketika seseorang mengalami gangguan psikotik fase awal. Pemaknaan bahwa episode gangguan psikotik merupakan takdir yang harus dijalani menumbuhkan keyakinan bahwa usaha keluarga maupun individu akan berbuah kesembuhan. Relasi sosial menyediakan dukungan dari berbagai pihak seperti keluarga, teman, petugas, maupun relasi sosial lain bagi individu yang mengalami gangguan psikotik (Perry, dkk., 2007; Windell & Norman, 2012).

Individu dengan gangguan psikotik fase awal merasakan kebingungan dan kehilangan harapan (Perry, dkk., 2007). Hilangnya harapan terjadi ketika individu

(7)

dengan gangguan psikotik merasa tujuan hidupnya telah terenggut. Mereka mempersepsi bahwa gangguan dan konsekuensinya berada di luar kontrol dirinya, keyakinan dirinya hilang, dan tidak memiliki kepercayaan terhadap peluang keberhasilan dalam mengatasi gangguan yang dialami (Andresen, dkk., 2011). Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya harapan yaitu perasaan terpenjara dan sendirian, tidak dihargai, tidak memiliki kontrol, tidak mendapatkan informasi (Perry, dkk., 2007), kecemasan (Lysaker & Salyers, 2007), stigma, penyalahgunaan obat, dan efek samping medikasi (Windell & Norman, 2012). Stigma membuat usaha individu untuk pulih menurun. Penyalahgunaan obat dan efek samping medikasi sering kali bertentangan dengan aspek pemulihan yang lain terutama pemulihan sosial dan sense of self (Windell & Norman, 2012).

Penelitian yang dilakukan Sarwono dan Subandi (2013) menemukan bahwa stigma merupakan isu yang dominan pada gangguan psikotik fase awal di Jawa. Stigma berasal dari lingkungan dan adapula yang berasal dari diri individu. Pada sebagian individu stigma berpengaruh negatif. Akan tetapi sebagian individu mampu melakukan reframing terhadap stigma dari lingkungan sehingga mampu melakukan integrasi sosial dengan baik. Dominasi perasaan positif dan dukungan sosial juga menjadi kunci reintegrasi individu dengan gangguan psikotik fase awal dengan masyarakat. Subandi (2008) mengungkapkan bahwa sumber dukungan sosial pada masyarakat Jawa yang utama adalah keluarga inti, keluarga inti cenderung memberikan dukungan yang tinggi sementara dukungan dari keluarga besar dan masyarakat sekitar beragam.

Peneliti melakukan studi pendahuluan pada seorang remaja laki-laki yang mengalami episode pertama gangguan psikotik pada usia 17 tahun. Peneliti melakukan studi dokumentasi dengan menelusuri status facebook subjek selama tiga tahun, yakni sebelum episode gangguan psikotik terjadi dan dua tahun setelahnya. Studi ini menemukan bahwa pasca episode gangguan psikotik subjek memiliki banyak evaluasi negatif tentang dirinya. Subjek menilai dirinya sebagai sosok yang rapuh, gagal, tidak berguna, lemah, dan payah. Subjek memaknai episode gangguan psikotiknya sebagai hal bodoh yang mempermalukan keluarganya. Subjek juga menilai bahwa dirinya telah kehilangan harapan. Ketika

(8)

bersama teman sebayanya subjek merasakan kembali adanya harapan. Harapan membuat partisipan berusaha untuk bangkit dari pengalaman buruknya yakni harapan dirinya bisa berguna, bisa menjadi orang yang fleksibel, bergerak maju, dan mencoba hal baru. Paparan tersebut menggambarkan self stigma dan hilangnya harapan pada remaja yang mengalami gangguan psikotik. Harapan subjek muncul kembali ketika ada dukungan sosial yang membantu subjek memaknai pengalaman gangguan psikotik sebagai babak baru dalam kehidupannya.

Munculnya harapan dapat terjadi dari berbagai sumber. Sumber tersebut berasal dari dalam diri individu, penguatan dari orang terdekat terutama keluarga, dan inspirasi oleh teman sebaya atau seorang role model (Andresen, dkk., 2011). Pemaknaan terhadap pengalaman merupakan salah satu faktor penting dalam membangun keyakinan diri tentang harapan. Setelah mengalami gangguan psikotik, individu perlu membangun kembali pandangan mereka terhadap dunia dengan menggunakan perspektif baru (Perry, 2007). Penelitian Perry, dkk. (2007) menekankan perlunya dukungan bagi individu dengan gangguan psikotik dalam mengeksplorasi makna dari pengalaman gangguan psikotik mereka. Dukungan tersebut bisa berasal dari keluarga, teman sebaya, petugas, dan relasi sosial lainnya.

Petugas kesehatan mental memiliki peran strategis dalam membangkitkan harapan individu yakni menguatkan individu untuk mengenali dan menyadari potensinya (Perry, dkk., 2007). Berbagai intervensi dapat dilakukan untuk meningkatkan harapan individu dan keluarganya selama dalam masa pemulihan. Intervensi tersebut yakni, psikoedukasi untuk individu dan keluarganya (Windell & Norman, 2012; Perry, dkk., 2007), Terapi Kelompok (Cabezza, dkk., 2011; Tranulis, Park, Delano, & Good, 2009), dan Terapi Naratif (Vaskinn, Sele, Larskin, & Dal, 2011).

Terapi Seni digunakan pada individu yang mengalami gangguan psikotik karena memiliki karakteristik yang dapat mengakomodasi individu yang mengalami psikotik (Crawford, dkk., 2010; Gajić, 2013; Hanevik, dkk., 2013; Lee, Jang, Lee, & Hwang, 2015; Montag, dkk., 2014). Terapi Seni menyediakan sarana komunikasi nonverbal; memberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, dan

(9)

pandangan terhadap dunia; serta menyediakan kesempatan untuk mengeksplorasi masalah, kekuatan, dan kemungkinan untuk mengubahnya (Malchiodi, 2003). Terapi Seni pada gangguan psikotik bermanfaat untuk mengurangi gejala negatif, menurunkan skor depresi, kecemasan, dan kemarahan, serta meningkatkan kontrol kemarahan (Lee, dkk., 2015). Terapi Seni juga membantu mengeksplorasi pengalaman psikotik sehingga meningkatkan kemampuan menguasai gangguan (Hanevik, dkk., 2013). Gajić (2013) mengemukakan bahwa Terapi Seni dapat menstimulasi kemampuan kreatif, meningkatkan kepercayaan diri, dan mengurangi stigma pada individu yang mengalami gangguan psikotik. Terapi Seni memiliki kelebihan yakni dapat dilakukan meskipun pada individu yang resisten terhadap terapi yakni individu yang menolak berbicara mengenai diri dan masalahnya (Malchiodi, 2003).

Terapi Seni dapat digunakan dalam berbagai pendekatan yakni, Psikoanalisis, Humanistik, Kognitif Perilakuan, Pendekatan Berfokus Solusi, dan Pendekatan Naratif (Malchiodi, 2003; Rubin, 2005). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni Pendekatan Naratif, yang merupakan pendekatan kontemporer dalam psikoterapi. Ekspresi seni dalam Pendekatan Naratif digunakan sebagai cara untuk membantu klien melihat pandangan terhadap dunia dan menggunakan ekspresi kreatif untuk membayangkan perubahan positif melalui jumlah sesi yang terbatas. Ekspresi kreatif dilakukan melalui seni visual baik dengan gambar, tulisan, dan membuat bentuk (Malchiodi, 2003).

Pendekatan Naratif mendorong kombinasi narasi yang lebih kaya yang dikembangkan dari deskripsi pengalaman yang berbeda (Payne, 2006). Praktik terapi dengan Pendekatan Naratif memiliki tiga inti, yakni narasi seseorang, pengaruh yang membentuk narasi tersebut, dan hak untuk memaknai narasi tersebut dari perspektif yang berbeda (Madigan, 2011). May (2003) menyatakan bahwa penting bagi individu yang mengalami gangguan psikotik untuk melawan dominasi gangguan dalam identitas dirinya. Melawan pandangan diri sebagai gangguan mental dengan saturasi cerita hidup dapat membuka akses kepada cerita alternatif yang positif tentang identitasnya (May, 2003).

(10)

Terapi dengan Pendekatan Naratif dapat membantu seseorang membangun cerita hidup yang positif sehingga pembentukan identitas menjadi lebih positif (Vlaicu & Voicu, 2013). Penggunaan Pendekatan Naratif untuk intervensi pada individu dengan psikotik juga telah diteliti sebelumnya. Studi kasus yang dilakukan Vaskinn, Sele, Larsen, dan Dal (2011) meneliti penggunaan terapi dengan Pendekatan Naratif pada seorang pasien Rumah Sakit Jiwa yang sering melakukan perilaku kekerasan. Berdasarkan narasi pasien tersebut, diketahui bahwa perilaku kekerasan yang ia lakukan disebabkan oleh pergumulannya dengan gejala psikotik dan kekerasan ia gunakan untuk mengatasi emosi negatif yang dialami. Klien kemudian membuat narasi baru tentang kehidupannya, narasi yang dibuat yaitu ia memiliki kekuatan untuk meraih kesuksesan saat keluar dari rumah sakit, tidak akan memukul orang, dan dapat melakukan pekerjaan paruh waktu dengan baik. Narasi baru tersebut membuat klien merasa lebih bertanggung jawab terhadap dirinya. Klien merasa memiliki kontrol atas dirinya sehingga membangkitkan harapan. Tiga setengah bulan setelah terapi dimulai ia dapat keluar dari rumah sakit jiwa dan setelah 16 bulan ia mampu mengembangkan kemampuan untuk menjalani hidup di luar rumah sakit (Vaskinn, dkk., 2011).

Pengembangan Pendekatan Naratif untuk intervensi pada individu dengan psikotik telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Bargenquast & Robert, 2014; Prasko, dkk., 2013; Yanos, Roe, & Lysaker, 2011). Pengembangan terapi dengan Pendekatan Naratif dilakukan karena beberapa kondisi yang membuat individu dengan gangguan psikotik kesulitan untuk membuat suatu narasi yang utuh karena memori yang terputus-putus (Prasko, dkk., 2013). Ekspresi seni dapat membantu menghubungkan memori mengenai kejadian penuh tekanan dengan memfasilitasi pembuatan narasi yang dapat mengeksplorasi memori (Malchiodi, 2003). Malchiodi (2003) menjelaskan penggunaan ekspresi seni memiliki nilai teraputik tambahan, yakni membuat klien melihat secara nyata gambaran masalahnya dan memikirkan masalah sebagai suatu hal yang terpisah dari dirinya. Oleh karena itu Terapi Seni yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan Naratif. Sesi yang dilakukan berdasar pada tahapan terapi dengan Pendekatan Naratif yang disusun oleh White (2005).

(11)

Berdasarkan berbagai referensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa individu dengan gangguan psikotik mengalami distres dan hambatan dalam melakukan tugas perkembangan (Lee & Schepp, 2009; Puig, dkk., 2012). Pada masa krisis tersebut harapan merupakan faktor yang menjadi alasan utama untuk melakukan usaha pemulihan (Andresen, dkk., 2012; Cabeza, dkk., 2011; Perry, dkk., 2007). Pemaknaan terhadap pengalaman dan dukungan sosial merupakan faktor penting dalam menumbuhkan harapan (Perry, dkk., 2007; Subandi, 2012). Individu dengan psikotik membutuhkan dukungan untuk memaknai pengalamannya secara lebih positif sehingga dapat meningkatkan harapan yang ia miliki (Perry, dkk., 2007; Windell & Norman, 2007).

Terapi Seni dengan Pendekatan Naratif menyediakan sarana komunikasi nonverbal; memberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, dan pandangan terhadap dunia; serta menyediakan kesempatan untuk mengeksplorasi masalah, kekuatan, dan kemungkinan untuk mengubahnya (Malchiodi, 2003). Pendekatan Naratif mendorong narasi yang lebih kaya untuk membuat cerita alternatif yang lebih positif (Payne, 2006). Melalui cerita alternatif tersebut individu dapat memaknai pengalaman hidup secara lebih positif dan membentuk identitas diri yang lebih positif (Vlaicu & Voicu, 2013). Individu merasakan bahwa dirinya sendiri adalah orang yang bertanggung jawab atas kehidupannya dan berdasarkan pengalaman di masa lalunya ia memiliki peluang untuk mencapai kesuksesan (Snyder, 2000). Hal inilah yang menguatkan keyakinan bahwa individu dapat mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan di masa depan (Snyder, 2000).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Terapi Seni dengan Pendekatan Naratif dalam meningkatkan harapan pada individu dengan gangguan psikotik. Hipotesis penelitian ini yakni Terapi Seni dengan Pendekatan Naratif dapat meningkatkan harapan pada individu dengan gangguan psikotik. Kerangka konseptual dari penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

(12)

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan

 : dampak

 : mempengaruhi

: output

Terapi Seni dengan Pendekatan Naratif Membantu individu menyusun narasi baru mengenai pengalaman hidup Individu Gangguan psikotik Harapan rendah: Persepsi terhadap diri dan masa depan negatif

- Merasa tujuan hidup hilang - Kehilangan kontrol diri - Kecemasan

- Merasa sendiri - Stigma

- Efek samping medikasi

Harapan Meningkat

persepsi bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diharapkan

Cerita alternatif yang positif mengenai pengalaman hidup

Karakteristik: Memori terputus-putus

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

Kami berpendapat bahwa penyelidikan kualitatif mendalam tentang pendorong lain dari perubahan model bisnis seperti pengakuan peluang, kemampuan dinamis, logika pengambilan

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data meliputi: data primer yaitu data umum tentang karakteristik ibu hamil dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Petrobio memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap tinggi tanaman, berat 1.000 biji, berat pipilan per hektar, dan volume akar,

Untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, hanya sekitar 10% dari potensi perairan pesisir yang secara efektif dimanfaatkan

Karena itu knowledge management dibutuhkan sebagai solusi yang dapat mendukung proses dokumentasi yang baik, efektif, dapat digunakan, dan berdampak pada peningkatan kualitas

Didalam laporan ada no, id dari nasabah, nama nasabah, keterangan dari data nasabah yang diinput oleh adamin, keputusan nasabah tersebut layak atau tidak