VI.
ANALISIS
PERTUMBUHAN
DAN DETERMINAN
KEMISKINAN
6.1 Pertumbuhan Kemiskinan
Analisis pertumbuhan kerniskinan atau Poverv Gmwth Analysis adalah dat analisis untuk membandingkan pertumbuhan pendapatan (pengeluaran) kelompok masyarakat miskin relatif terhadap kelompok masyarakat kaya. Kurva pertumbdm kemiskinan dayat dengan mudah kita hitung jika kita mengetahui
desil atau kuantd penduduk dan rata-rata pendapatannya (pengeluarannya)
untuk
dua periode. Sumber data untuk Indonesia dapat diperoleh dari Survey Sosial danEkonomi Nasionkl (Susenas) Kor yang selalu dilakukan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Susenas Kor mengbimpun informasi dari unit amatan rumah
tangga dimana banyaknya unit amatan mencakup lebih dari 200 ribu rumah
tangga, survey dilakukan di seluruh Indonesia hingga tingkatan kabupaten.
Dalam studi ini data Susenas Kor yang digunakan adalah dari tahun 1994
sampai dengan tahun 2003. Data tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 untuk
menunjukkan kondisi sebelum desentralisasi fiskal sedangkau data tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 untuk menunjukkan kondisi sesudah desentralisasi fiskal. Data yang diperoleh merupakan data harga berlaku yang selanjutnya dilakukan penyesuaian menjadi harga dasar tahun 1993 menggunakan nilai dellator PDB pengeluaran konsurnsi rumah tangga. Hasil yang diperoleh adalah
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 9.
6.1.1 Pertumbuhan Kemiskinan Sebelum Desentralisasi Fiskal
Kondisi sebelum desentralisasi fiskal bisa dibagi menjadi tiga kondisi yaitu sebelum h s i s (1 994-1996), setelah krisis (1996- 1998), dan menjelang
desentralisasi fiskal (1998-2000). Grafik pertumbuhan kerniskinan untuk ketiga kondisi ini diperlihatkan dalam Gambar 5.
Pada periode tahun 1994-1 996 yang merupakan gambaran ekonomi
Indonesia sebelum krisis terllhat pertumbuhan pendapatan untuk kelompok bawah relatif lebih kecil dibandingkan kelompok atasnya. Pertumbuhan pendapatan 10% rumah tangga terbawah adalah sebesar 14.20 persen, sernentara itu untuk 20 persen rumah tangga terbawah meningkat menjadi 14.22 persen yang berarti ada peningkatan rata-rata pendapatan sebesar 0.02 persen. Pada kelompok 30 persen
rumah tangga berhtnya kembali meningkat menjadi 14.39 persen atau ada lagi peningkatan rata-rata pendapatan sebesar 0.17 persen. D d a n seterusnya setiap ditambahkan 10 persen kelompok nnnah tangga berikutnya terlihat ada peningkatan rata-rata pendapatan di atas 0 persen, sampai akhirnya untuk seluruh
rumah tangga (100 persen) pertumbuhan rata-rata pendapatan adalah 17.30
persen.
Dari gambaran ini terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat maka pertumbuhan rata-rata pendapatannya pun semakin meningkat. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa selama periode tahun 199419% kebijzkan ekonomi Indonesia tidak memihak orang miskin. Kelompok lebih kaya memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lebih miskin. Hal ini jika dibiarkan maka lambat atau cepat akan terjadi
kesenjangan ekonomi dimana orang kaya akan semakin kaya sementara itu orang
miskin relatif tidak banyak perubahan dalam ekonominya.
Selanjutnya pada periode tahun 1996-1998 kita ketahui merupakan periode krisis ekonomi. Meskipun gejala !crisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara
sudah dimulai tahun 1996 namun dampaknya pada perekonomian Indonesia mulai dtrasakan pada pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Grafik pertumbuhan
kerniskinan memperlihatkan adanya p e n m a n yang cukup besar pada
pendapatan masyarakat. Pada periode ini tidak banya!! ha1 yang bisa dilakukan pemerintah untuk menangkal dampak krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara ini. Seluruh kelompok pendapatan masyarakat mengalami penurunan
dimana secara rata-rata penurunan pendapatan ini sebesar 36.96 persen selama periode tahun 1996-1995.
Jika dilihat menurut kelompok pendapatan ternyata yang mengalami penurunan relatif paling besar adalah kelompok rumah tangga 10 persen terbawah
dan 10 persen teratas. Hal ini bisa dilihat dari nilai perubahan pertumbuhannya.
Jika dibandingkan kelompok 20 persen terbawah, kelompok 10 persen terbawah penurunannya lebih tinggi 1.03 persen. Pada kelompok 10 persen teratas penurunannya bisa dilihat dari perbedaan nilai pertumbuhan kelompok 90 persen dengan 100 persen dimana terlihat penurunannya 2.60 persen lebih tinggi. Krisis ekonomi ternyata memang menyebabkan penurunan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya terutama kelompok paling miskin, ini dikarenakan sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas dan kondisi perekonomian yang menurun sementara dilain pihak terjadi inflasi yang sangat tinggi. Pa& kelompok kaya yang terjadi adalah mereka mengalami kehilangan pekerjaan maupun penghasilan akibat banyaknya perusahaan-perusahaan yang gulung tikar.
Periode tahun 1998-2000 Indonesia mulai melakukan pembenahan dan
menggulirkan program-program bantuan kepada masyarakat terutama kelas bawah dan menengah. Program tersebut diantaranya bantuan pangan yang disebut
program R a s h (beras miskin), program padat karya, dan program JPS (Jaring
Pengamanan Sosial). Hasilnya memang cukup menggembirakan bisa membantu terpenuhinya kebutuhan meskipun terbatas. Setidaknya ini tercermin dalam grafik
perturnbuhan kerniskinan. Bentuk grafik yang menurun m e n c e a n kelompok rumah tangga pendapatan rendah memiliki pertumbuhan relatif lebih tinggi dibandingkan yang kaya.
6.12 Pertumbuhan Kerniskinan Sesudah Desentralisasi Fiskal
Periode tahun 2001-2003 merupakan periode sesudah desentralisasi fiskal. Pertumbuhan kemiskinan pada tahun awal diterapkan desentdisasi fiskal memperlihatkan kebijakan yang tidak memihak pada kemiskinan.
Dalam
Gambar 6 terliha: kurva pertumbuhan kemiskinan tahm 2001-2002 memiliki trenmeningkat seiring dengan meningkatnya rata-rata pendapatan. Jrka kita
mengamati apa yang terjadi selama tahun 2001 dan 2002 maka memang pada periode tersebut program-program bantuan yang diguhkan pemerintah pusat untuk membantu penduduk miskin dan menengah pasca krisis sudah mulai dihentikan. Danadana transfer dari pernerintah pusat mulai dialihkan pada pemerintah daerah melalui program desentralisasi fiskal, sernentara itu pemerintah
daerah belum siap dengan penggunaan danadana tersebut.
Perekonomian Indonesia pada periode ini sudah relatif stabil. Pelaku-pelaku ekonomi sudah rnulai banglut, perusahaan industri dan rumah tangga mulai berjalan dengan normal. Pekerja tetap sudah bisa meningkatkan pendapatan perkapitanya namun sementara itu pekerja-peke rja tidak tetap yang merupakan kelas pendapatan bawah tidak mengalami perbaikan dan bahkan menurun ahbat bantuan-bantuan yang sudah dikurangi.
Periode tahun selanjutnya yaitu tahun 2002-2003 sudah mulai menunjukkan adanya indikasi perubahan dimana kurva pertumbuhan kemiskinan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat. Narnun
demikian selama periode ini belum bisa dikatakan adanya keberpihakan pada
penduduk miskin karena jika & p e r h a w nilai pertumbuhan 10 persen dan 20
persen penduduk terbawah bukan merupakan nilai pertumbuhan tertinggi, padahal
kita ketahui bahwa 20 persen penduduk terbawah ini merupakan penduduk miskin
Indonesia.
Tabel 9. Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Indonesia, Tahun 1994
-
2003Sementara itu menarik untuk diperhatrkan perubahan kurva pertumbuhan kemiskinan pada persentase penduduk di atas 30 persen. Di sini terllhat pertumbuhan rata-rata pendapatan semakm menurun dengan meningkatnya kelompok pendapatan masyarakat. Dalam ha1 ini ada indikasi pertumbuhan pendapatan kelompok menengah lebih tinggi dari kelompok kaya. Untuk itu perlu
Persentil 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
dilakukan kajian lebih dalam untuk mengetahui penyebab terjadinya ha1 demikian. Surnber: Susenas Kor Tahun 1994 sld 2003, BPS.
Periode Tahun 02-03 4.56 4.93 5.14 5.08 4.93 4.65 4.21 3.57 2.52 -0.71 01-02 12.40 12.80 13.06 1 3.44 13.93 14.52 15.23 16.20 17.73 22.21 98-00 33.47 30.60 29.33 28.44 27.67 26.96 26.12 25.06 23.49 20.46 94-96 14.20 14.22 14.39 14.69 14.98 15.26 15 -43 15.57 15.85 17.30 96-98 -33.16 -32.19 -32.00 -32.05 -32.26 -32.56 -32.98 -33.55 -34.37 -36.97
Ga~nbar 5. Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi di Indonesia Sebelum d m Menjelang Desentralisasi Fiskal --- - 40
-
30. 20 10.-
5 o * s I G -10.- FL -20. -30 -40 -50-
I t - - , -*----+--,-=,
) - - - -- - A - - - - & - - - f- - -
- A - - - - & -- -
4 A A A A ;--+ --4---* v v v 7 --4--94-96 10 20 30 40 50 60 70 eo 90 - - - - - - - - - - - - -- - - m - - . - - - - m - - - . - - - . - - - m - - - m - - - m - - . - . . - m - - - w - . - m - - - . - . - - I Persentil - -Persentil
1
6.2 Anatisis Determinan Kerniskinan
Untuk menelaah kebijakan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan, perlu terlebih dahulu diperhatikan faktor-f&or yang mencenninkan kondisi kemiskinan. Kebijakan pemda yang berorientasi pada program pengentasan kemiskinan diharapkan dapat sesuai dengan faktor-faktor yang mencermhkan kondisi masyarakat miskin. Dalam stu& analisis d e t d a n kemiskinan atau faktor-faktor yang mempengaruhl kondisi kemiskinan terdiri dari analisis faktor-faktor yang mencerminkan kemiskinan m a h tangga.
Variabel bebas yang digunakan adalah status kemiskinan nunah tangga Indonesia menurut metode baku (pendekatan kebutuhan dasar). Variabel bebas ini
disusun dalam bentuk nilai diskrit, untuk rumah tangga miskin diberikan nilai 1 dan s e b d h y a , untuk rumah tangga tidak miskin diberi nilai 0. Data yang
digunakan
&ah
data SUSENAS tahun 1999dan
PODES tahun 2000 untuk menganalisis daterminan kemiskinan tahun 1999 (sebelum desentralisasi), serta data SUSENAS tahun 2002 clan P O D S tahun 2003 untuk menganalisisdeterminan kemiskinan tahun 2002 (sesudah desentralisasi).
Untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi masyarakat miskin dari sisi rumah tangga, secara umum variabel independen yang dianalisis
dikategorikan menjadi karakteristik rumah tangga, karakteristik individu, faktor
komunitas, dan karakteristik wilayah. Karakteristik rumah tangga dan individu mencakup modal non fisik seperti sumber daya manusia (SDM) dan pekerjaan, serta modal fisik produlaf yang dimiliki rumah tangga.
Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruh kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan
pendapatan. Dalam hal ini, variabel tersebut terdiri dari jumlah tahun bersekolah
anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kernunman keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Untuk menangkap ha1 ini dimasukkan variabel pendidikan kepala keluarga dan jumlah tahun bersekolah seluruh anggota rumah tangga. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, dimana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan nunah tangga.
Komponen terakhir dalam k d e r i s t i k rumah tangga dan individu adalah variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, nunah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan
sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama
untuk
menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisk terpaksa menerirna pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempuuyai alternatif untuk berusaha sendiri.Kategori selanjutnya yang tidak kurang penting adalah faktor komunitas.
Komponen dari faktor komunitas dian-ya yang paling utama adalah inf?astruktur untuk memperoleh akses ekonomi. Keadaau infiastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu rnemudahkan investor untuk melakukan investasi di
daerah yang bersangkutan. Bebaapa contoh infr-astruktur yang penting adalah
saluran irigasi, akses listrik, kondisi jalan utama transportasi, lembaga keuangan, dan industxi.
Kategori t e r m adalah karakteristik wilayah. Karakteristik masyarakat yang hidup di wilayah pantai tentu berbeda dengan masyarakat yang hidup di wilayah daratan. Perbedaan karakteristik inilah yang kemudian men& untuk dipelajari apakah juga memiliki perbedaan pada tingkat kesejahteraannya.
Daftar variabel independen dalam analisis ini adalah sebagai berikut: I. Kamkteristik rumah tangga dan Individu :
1. Jumlah tahun bersekolah dari seluruh anggota keluarga (YRSCH) 2. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (HDEDU)
3. Jumlah anggota rumah tangga (ART)
4. Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (JARTKRJ)
5. Kepala keluarga bekerja (EMPLOY)
6. Kepala rumah tangga adalah pekeja pertanian (KRJTANI)
7. Kepala rumah tangga adalah buruh pertanian pangan (BRHTANI) 8. Luas lantai perkapita (LANTAICP)
9. Sumber air, mata air terbuka (SBRAIR)
10. Luas lahan perranian (LHNTANI)
11. Variabel Faktor Komunitas :
1. List& tidak ada (NOELEC)
2. Transportasi utama melalui darat (JLNDRT) 3. Jalan dapat dilalui kendaraan bermotor (BMOTOR) 4. Terdapat lembaga keuangan (LBGKEU)
5. Terdapat industri (INDUST)
6. Terdapat Irigasi (IRIG)
7. Terdapat Galian C (GALIAN)
111. Variabel Karakterisktik Wilayah :
1. Tinggal
di
daerah pantai (PANTAI)2. Tinggal di daerah dataran (DATARAN) 3. Tinggal di daerah pegunungan
Analisis determinan kemiskinan dalam studi ini sebagaimana disebutkan di
atas dilakukan untuk tahm 1999 dan tahun 2002. Hal ini dilakukan untuk melihat
apakah ada perubahan karakteristjk variabel determinan kemiskinan periode sebelum kebijakan desentralisasi fiskal dan sesudah desentralisasi fiskal. Proses perhitungan menggunakan Program SAS dapat dihhat pada Lampiran 3, sedangkan hasil perhitungan keduanya dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12 atau Lampiran 4 dan 5. Data yang hgunakan untuk tahun 1999 adalah sebanyak 126.485 rumah tangga, sedangkan tahun 2002 adalah sebanyak 175.244 m a h tangga, keduanya bersumber dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS.
Hasil analisis dengan Model Logit setidaknya memperlihatkan beberapa hal, sebagaimana yang akan dijelaskan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu, faktor komunitas, dan karakteristik wilayah.
6.2.1 Karakteristik Rumah Tangga dan Individu
Karakteristrk rumah tangga dan individu seperti disebutkan di atas adalah
perkapita dan kepemdikan lahan. Modal non fisik mencakup keadaan sumber
daya manusia dan jenis peke j a m . Sumber daya manusia yang dimaksud adalah
seperti jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan keluarga.
Pada Tabel 11 dan Tabel 12 terlihat hahwa dari aspek ekonomi, tanda
estimasi parameter untuk tahun 1999 (sebelum desentralisasi) hampir seluruhnya sesuai dengan hipotesis, hanya satu variabel yang tidak sesuai hipotesis yaitu variabel JARTKRJ Cjumlah anggota keluarga yang bekerja). Sedangkan untuk
tahun 2002 (sesudah desentralisasi) seluruhnya telah sesuai dengan hipotesis. Dari sisi uji statist&, baik di tahun 1999 maupun 2002 seluruhnya nyata secara statistik. Variabel-variabel yang estimasi parameternya bertanda negatif di tahun
1999 dan tidak berubah di tahun 2002 adalah
YRSCH
(jumlah tahun bersekolah), HDEDU (pendidikan tertinggi kepala keluarga), EMPLOY (kepala keluarga bekerja), dan LANTAICP (luas lantai perkapita). Sedangkan yang bertanda positif adalah ART Cjumlah anggota rumah tangga), KRJTANI (kepala keluarga bekerja di Bidang Pertanian), BRHTANI (kepala keluarga sebagai buruh tani), dan SBRAIR (sumber mata air terbuka).Variabel cukup penting pada kategori karakteristik nunah tangga d m
individu adalah tingkat pendidikan karena ini akan menjadi modal sumber daya
manusia. Variabel yang mewakili tingkat pendidikan adalah YRSCH yaitu jumlah tahun bersekolah dari seluruh anggota keluarga dan HDEDU yaitu pendidikan tertinggi kepala rumah tangga. Nilai estimasi parameter kedua variabel ini seperti
disebutkan di atas sangat nyata dengan arah atau tanda yang negatif, artinya
pendidikan memegang peranan penting dalam keluarga agar bisa keluar dari kerniskinan. S e m h tinggi pendidikan kepala keluarga dan atau semakin tinggi
rata-rata pendidikan seluruh anggota rumah tangga semakin kecil peluang nunah
tangga tersebut untuk masuk menjadi kategori miskin.
Selain itu jenis pekerjaan kepala rumah tangga j u g secara nyata dapat
membedakan peluang tingkat kerniskinan rumah tangga. Terhht dalam tabel bahwa ada perbedaan antara rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja
sebagai pegawai atau karyawan umum dengan pegawai atau karyawan di bidang
pertanian. Bagi kepala keluarga dengan status pegawai atau karyawan umum
dapat mengurangi resiko kerniskinan, sementara itu jika kita lihat secara khusus terhadap pegawai atau karyawan di bidang pertanian secara umum temyata masih mermllki reslko masuk ke dalam kategori miskin. Demikian juga jika kita melihat
lebih khusus lagi terhadap kepala keluarp yang memiliki pekerjaan sebagai buruh
pertanian pangan. Bahkan jika dibandingkan nilai Odds Ratio nya pekerjaan sebagai buruh pertanian pangan lebih beresiko miskin. Nilai Odds Ratio pegawai bidang pertanian secara wnum di tahun 1999 adalah 1.24, sedangkan untuk buruh pertanian pangan adalah 1.72. Ini artinya peluang miskin pegawai bidang
pertanian 1.24 kali pegawai di luar bidang pertanian (lebih tinggi 24 persen), sementara itu buruh pertanian pangan memiliki peluang miskin 1.72 kali pegawai bukan buruh perkmian (lebih tkggi 72 persen). Dilihat dari nilai Marginal Eflect, terlihat Vitiabel BRHTANI lebih besar dari Variabel KRJTANI yaitu masing- masing 0.091 dan 0.036. Di tahun 2002 buruh pertanian pangan tetap memililu resiko miskin lebih tinggi dibandingkan pegawai pertanian.
Yang menarik untuk diperhatikan pada modal non fisik ini adalah Variabel JARTKRJ yaitu banyaknya jumlah anggota keluagra yang bekerja. Di tahun 1999
berubah menjadi positif di tahun 2002. Aninya
di
tahun 1999 dengan semalun bertambahnya nggota keluarga yang bekerja, dapat menambah peluang menjadi miskin. Namun di tahun 2002 justru sebaliknya, yaitu mengurangi peluang rumahtangga tersebut menjadi miskin. Hal ini Menurut analisis penulis, di tahun 1999 kondisinya lebih disebabkan faktor kirisis ekonomi dimana pada saat itu terjadi
banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan inflasi sangat tinggi s e h g g a upah ril menurun. Akibatnya baik pengan- maupun pekerja memiliki posisi yang sama yaitu kesejahteraan yang menurun seperti yang diperlihatkan oleh data
dalam Tabel 10.
Tabel 10. Laju Pertumbuhan Idlasi, Konsumsi Rii1,dan Upah Riil di Indonesia, Tahun 1997-2002
(%)
.
,Sumber: Bank Dunia, Gold Development Report.
Modal fisik mah tangga ternyata cukup menentukan status kerniskinan. Variabel LANTAICP (luas lantai perkapita) adalah alat identifikasi awal untuk menilai kepemilikan modal fisik rumah tangga. Terlihat luas lantai perkapita secara nyata menentukan suatu nunah tangga masuk kategori miskin atau tidak.
Semakin besar luas lantai perkapita, semalun kecil suatu rumah tangga masuk dalam kategori rniskm. Selain luas lantai perkapita, modal fisik yang lain adalah
Variabel LHNTANI (Kepemilikan Lahan Pertanim). Sebagaimana luas lantai
perkapita, kepemilikan lahan pertanian juga secara nyata menentukan suatu rumah
tangga masuk kategori miskin atau tidak. Rumah tangga yang memiliki lahan pertanian, peluangnya menjadi miskin akan berkurang dengan Marginal Eflect
sebesar -0.060 di tahun 1999 dan -0.01 1 di tahun 2002. Perlu diketahui bahwa rumah tangga yang memiliki lahan pertanian disini belum tentu memillki pekerjaan utama pertanian. Kenyataan di lapangan pada saat ini lahan-lahan
pertanian yang ada di pedesaan ternyata sudah ddcuasai atau diniliki orang-orang kaya yang tmggal diperkotaan. Petani-petani yang mengerjakan sawah atau ladang sesungguhnya mereka hanya buruh, sedangkan pemilik lahannya sendiri
berprofesi bukan sebagai petani. Modal fisik lainnya adalah sarana akses terhadap air bersih juga dapat menjadi penentu kerniskinan, seperti Variabel SBRAIR
(sumber air minum yang masih bersumber dari mata air tak terlindung). Dari hasil
estimasi terlihat rumah tangga yang menggunakan air dari sumber mata air terbuka, peluangnya menjadi miskin semakin besar.
Dilihat dari besaran Marginal Eflect, di tahun 1999 nilai Marginal EHect
terbesar diperlihatkan oleh Variable BRHTANI yang besarnya 0.091, artinya jika suatu kepala rumah tangga pekerjaannya adalah sebagai buruh tani maka akan
menambah peluang masuk kategori miskin sebesar 0.091 atau 9.1 persen. Nilai
Marginal Eflect tiga terbesar selanjutnya berturut-turut adalah variable ART
Cjumlah anggota rumah tangga), SBRAIR (sumber mata air terbuka), dan
KRJTANI (kepala keluarga bekerja dibidang pertanian). Marginal Eflect variabel
ART sebesar 0.091, artinya apabila ada tambahan satu anggota rumah tangga (variable lain diasumsikan tetap) maka peluang masuk kategori miskin bertambah
0.091 atau 9.1 persen. Marginal Efect SBRAIR sebesar 0.044 artinya apabila kepala keluarga menjadi buruh tani maka peluang masuk kategori miskin bertambah sebesar 0.044 atau 4.4 persen. Sedangkan Marginal
EHect
untuk Variabel KRJTANI adalah 0.036 atau 3.6 persen.Di tahun 2002 unrtan d a i Marginal
Eflect
dari yang terbesar relatif sama dengan urutan di tahun 1999, yang berbeda adalah urutan kedua di tahun 1999menjadi urutan pertama di tahun 2002. Secara berturut-turut variabel-variabel
tersebut dengan nilai Marginal
Efect
dari yang terbesar adalah ART (0.078),BRHTANI (0.052), SBRAIR (0.034), dan KRJTANI (0.028). Jika diperkhkan
Variable BRHTANI dan KRJTANI adalah variable-variabel yang berhubungan dengan Sektor Pertanian, Variabel ART adalah berhubungan dengan Sektor kesejahtaaan Keluarga, dan SBRAIR berhubungan dengan sanitasi atau Sektor Kesehatan
.
Variabel-variabel di atas adalah variabel yang memberikan nilai Marginal
Eflect
positif, artinya menambah peluang menjadi miskin. Disamping variabel-variabel tersebut, sesungguhnya ada variabel-variabel yang memberikan nilai
Marginal Efect negatif yaitu yang mengurangi peluang menjadi miskin. Tiga variabel terbesar baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 adalah EMPLOY, LHNTANI, dm YRSCH. Jika diperhatikan lebih seksama variable EMPLOY atau status kepala keluarga yang bekerja sesungguhnya memberikan nilai Marginal
Effect
yang relatif besar baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 yaitu masing-masing -0.025 dan -0.037, artinya peluang masuk ke dalam kategori miskin akan berkurang sebesar 2 sampai 4 persen jika kepala keluarga bekerja. Kita ketahui bahwa pekerjaan sangat berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia, dan
sumber daya manusia berkaitan erat dengan tingkat pendidkin. Oleh karena itu
Sektor Pendidikan juga harus menjadi perhatian pemerintah daerah jika ingin mengurangi tingkat kerniskinan.
Dari gambaran anahsis di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
. .
pembangunan daerah yang berorientasi pada pengentasan kemrslunan maka bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah hendaknya memperhatikan sektor- sektor dasar ymg bersentuhan dengan masyarakat ekonomi bawah atau
masyarakat miskin. Sektor-sektor tersebut adalah Sektor Pertanian, Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan Keluarga.
6.2.2 Faktor Komunitas
Kategori berikutnya adalah faktor komunitas dimana yang termasuk pada kategori ini adalah berbagai sarana h b s t n h u . Dari hasil estimasi diperlihatkan bahwa dari aspek uji statistik, ada satu variabel yang tidak nyata pada
mf
nyata 5 persen baik di tahun 1999 rnaupun tahun 2002. Di tahun 1959, variabel yang tidak nyata adalah LBGKEU (terdapatnya lembaga keuangan), sedangkan di tahun 2002 variabel yang tidak nyata adalah BMOTOR Cjalan dapat dilalui kendaraanbermotor). Dari aspek ekonomi, di tahun 1999 (sebelum desentralisasi), ada empat variabel dari tujuh variabel yang memiliki tanda estimasi parameter sudah sesuai dengan hipotesis, sedangkan di tahun 2002 (sesudah desentmlisasi) hanya satu
variabel dari tujuh variabel yang sudah sesuai dengan hipotesis. Di tahun 1999, variabel-variabel yang estimasi parameternya sudah sesuai hipotesis dan secara statist& terllhat nyata adalah NOELEC (rumah tangga tidak memiliki listrik), JLN-DRT (transportasi utama melalui darat), BMOTOR (Jalan dapat dilalui kendaraan bermotor), dan INDUST (terdapat industri). Di tahun 2002 variabel-
variabel yang sesuai hipotesis adalah NOELEC. Oleh karena itu jika diperbandingkan hasil estimasi antara tahun 1999 dan tahun 2002, terdapat beberapa ha1 yang menarik untuk diperhatikan. Pertama, adanya variabel yang sudah sesuai hipotesis d m nyata baik di tahun 1999 maupun tahun 2002; kedua, adanya variabel yang secara uji statistik mengalami perubahan signifikansi; ketiga, adanya variabel yang secara aspek ekonorni mengalami perubahan tanda
atau arah nilai estimasi parameter; keempat, adanya variabel yang mengalami
perubahan signifikansi dan sekaligus tanda atau arah nilai estimasi parameternya; dan kelima, adanya variabel yang tidak mengalami perubahan signifikami
ataupun tanda nilai estimasi pararnetemya, namun tidak sesuai dengan hpotesis. Variabel yang sudah sesuai hipotesis dan nyata baik di tahun 1999 maupun 2002 adalah Variabel NOELEC yaitu tidak memiliki hstrik. Akses terhadap listnk
ternyata dapat menentukan resiko kemiskinan, dari hasil estimasi ternyata rumah tangga yang tidak memiliki akses pada listrik dapat menambah resiko kemiskinan. Nilai Odds Ratio variabel NOELEC di tahun 1999 adalah 1.75, artinya peluang m i s h rumah tangga yang tidak memililu akses listrik 1.75 kali rumah tangga yang memiliki akses list&, sedangkan di tahun 2002 nilainya sedikit menurun
=enjadi 1.56 kalinya.
Variabel yang mengalami perubahan signifikansi adalah Variabel LBGKEU. Di tahun 1999, variabel ini tidak nyata namun di tahun 2002 menjadi
nyata. Adanya perubahan signifikansi secara statistik bisa dakibatkan adanya perbedaan jumlah rumah tangga (sample) yang dipakai dalam kedua model logit tersebut dimana untuk tahun 2002 jumlah sample yang digunakan lebih besar dibandingkan tahun 1999. Secara teori semakin besar sample suatu variabel akan
cendemg semakin kecil nilai variasinya sehingga akan cenderung semakin besar kemunglunan estimasi parameternya relatif jauh dari nilai no1 secara statistik. Selain itu penyebab lainnya bisa dikarenakan memmg ada perubahan kamkteristik pada variabel tersebut antara periode sebelum dan periode sesudah desentdsasi
fiskal. Estimasi parameter Variabel LBGKEU di tahun 1999 tidak nyata, namun di
tahun 2002 menjadi nyata. Ini artinya, di tahun 1999 lembaga keuangan tidak berpengaruh nyata pada status kemiskinac nunah tangga, namun di tahun 2002
menjadi nyata dimana lembaga keuangan tidak mengwangi peluang miskm tetapi justru memmbah peluang miskin. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa keberadaan lembaga keuangan diharapkan dapat mengurangi jumlah kemiskinan melalui fungsinya yang antara lain memberikan program kredit usaha. Dengan
program ini masyarakat dapat mengajukan permohonan kredit untuk usaha sehingga dapat menambah penclapatan dari usahanya tersebut. Kenyataan yang ada ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, masyarakat ekonomi bawah pada umumnya tidak memiliki asset yang dapat digunakan sebagai jaminan perninjaman yang dipersyaratkan bank atau lembaga keuangan lainnya. Program kredit tanpa agunan pun kerapkali tidak berhasil karena kekhawatiran tidak mampu melakukan pengembalian kredit plus bunga yang dtetapkan. Oleh karena itulah lembaga keuangan tidak secara signifikan menentukan status kemiskinan di
tahun 1999 dn bahkan di tahun 2002 lembaga keuangan ini terlihat dapat
menambah peluang menjadi miskin.
Dua variabel yang berbeda tanda estimasi parameter di tahun 1999 dan 2002
yaitu JLNDRT (transportasi utama melalui darat) clan INDUST (terdapat industri).
namun demikian te rjadi perubahan tanda atau arah dimana untuk tahun 1999 memiliki arah yang negatif dan nyata, namun tahun 2002 berubah arah menjadi positif dan nyata. Hal h i mengandung arti bahwa di tahun 1999 rumah tangga
yang tinggal di daerah yang transportasi utamanya melalui darat secara nyata dapat megurangi peluang keluarganya menjadi miskin, sedangkan di tahun 2002
rumah tangga yang tinggal di daerah yang transportasinya melalui darat secara
nyata dapat menambah peluang keluarga tersebut menjab miskm. Perubahan kondisi seperti ini bisa diakibaekan karena adanya perubahan infi-astruktur jalan
sebagai faktor utama transportasi di darat. Secara teoritis investasi dalam hfi-astruktur transportasi dapat mendorong peningkatan produktifitas dan kesejahteraan penduduk melalui perbaikan aksesibilitas pasar dan penurunan biaya transportasi. Hal ini dapat dicapai karena lebih mudahnya membuka hubungan antam produsen clan konsumen serta distribusinya ke pasar. Pada akhimya ha1 ini akan memberi sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin.
Temuan empiris yang d i l W a n oleh lembaga penelitian tiga perguruan
tinggi besar di Indonesia yaitu LPEM-FEUI, PSP-IPB, dm PSEKP-UGM menghasilkan temuan di 2000 sepanjang 140.000 km jalan (48 persen dari total panjang jalan) telah mengalami rusak berat, termasuk jalan utama ekonomi seperti Pantura di Jawa dan Lintas Timur di Sumatera. Sepanjang 8.798 km jalan
nasional dan provinsi dalam kondisi mengenaskan. Kerusakan jalan daerah
mencapai 134.443 h. Sementara biaya pemeliharaan relatif rendah, sehingga pekerjaan pemeliharaan menumpuk yang menyebabkan di tahun 2001, panjang kerusakan jalan nasional dan provinsi meningkat dua kali lipat dibanding tahun
2000 yaitu mencapai 16.740 lan, sementara jalan daerah mencapai sekitar 150.000
km. Terlepas Gari tidak cukupnya dana APBN, faktor penyebab kerusakan lain adalah tidak adanya kepedulian dalam memelihara aset publik. Diperburuk lagi
manajemen desentralisasi fiskal melalui DAU dalam bentuk ban- block grand kepada daerah dan dihilangkamya dana Inpres untuk jalan daerah dan
pemeliharaannya tidak jelas. Oleh karena itulah bertambahnya peluang kemiskinan di tahun 2002 salah satunya diakibatkan memburuknya inErastruktur
jalan di tahun 2002 dibandingkan tahun 1999 seperti temuan model logit di atas.
Jika dilihat berdasarkan jalw lalu lintas yang dapat dilalui kendaraan
bermotor (BMOTOR), terlihat bahwa variabel ini mengalami perubahan
perubahan tanda maupun signifikansi. Di tahun 1999 masyarakat yang tinggal di
daerah yang dapat llalui kendaraan bermotor dapat mengurangi resiko kemiskinan. Namun pada tahun 2002 jalan-jalan yang dapat dilalui kendaraan
bermotor tidak berpengaaruh pada perubahan status kerniskinan bawlcan cenderung memperburuk tingkat kerniskinan. Temuan ini semakin memperkuat
temuan empixis bahwa sesungguhnya keadaan infiastrukur jalan setelah periode desentralisasi fiskal tidak ada perbaikan yang dilakukan. Hal ini membuktikan
bahwa akses transportasi menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena akan memudahkan mobilitas barang maupun manusia dari dan ke daerah bersangkutan termasuk memudahkan masuknya investasi.
Yang cukup memprihatinkan adalah pada infias- irigasi (IRIG) dimana rumah tangga yang daerahnya dilalui irigasi justru penduduknya memiliki peluang masuk kategori miskin lebih besar. Variabel IRIG baik di tahun 1999 maupun tahun 2002 tidak sesuai dengan hipotesis. Nilai estimasi parameter
Variabel IRIG adala. positif. Hal ini mengindikasikan bahwa idhstruktur irigasi
belum mampu meningkatkan produktivitas pertanian sehingga tidak dapat meningkatkan taraf kesejahteraan penduduk sekitarnya.
6.23 Karakteristik Wilayah
Terakhir yang diperoleh dari hail studi ini adalah pentingnya
memperhatikan faktor wilayah. Variabel karakteristik wilayah yang dikaji adalah dari segi topografi yang dibedakan menjad daerah pantai, daerah dataran, dan
daerah pegunungan. Arah estimasi parameter c!ummy variable PANTAI dan DATARAN temyata negatif baik di tahun 1999 maupun tahun 2002. Dari signiaansinya daerah pantai sangat nyata, sedangkan daerah dataran di tahun 1999 tidak nyata tetapi di tahun 2002 sangat nyata pada taraf 5 persen. Daerah
pegunungan ternyata memiliki resiko kemiskinan yang lebih tinggi dibanhgkan
daerah pantai dan dataran. Hal
ini
dapat dilihat dari nilai Odds Ratio yang kurang dari satu yaitu masing-masing di tahun 1999 adalah 0.86 dan 0.98, sedangkan di tahun 2002 masing-masing adalah 0.73 dan C.92. Daerah pantai ternyata memiliki resiko kemiskinan relatif p a h g rendah dibandingkan daerah dataran, ini terlihat dari nilai Marginal Effect yang relatif lebih besar pengurangannya. Alokasi anggaran pengentasan kemiskinan yang mempertimbangkan letak geografis akan lebih memberikan kebijakan yang tepat sasaran.Tabel 1 1 . Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 (Variabel Respon: I , jika miskin; 0, jika tidak miskin)
Variabel
1
1999 (nEstimate Pr > ChiSq Karakteristik Rumah Tangga
dan Individu
Jml.Tahun Bersekolah (YRSCH) Pendidikan Tertinggi KK
(H-DEDU)
Jml. Anggota Keluarga (ART) Jm;. Art yang Bekerja (JARTKRJ)
'
KK Bekerja, 1 =ya, W d k1
(EMPLOY)'
KK kerja Bidang Pertanian, I-ya, KK sbg Buruh Tani, l=ya, O=tdk'
(BRflTANI)Luas Lantai per Kapita (LANTAICP)
Luas Lahan Pertanian (LHNTANI) Sumber air mata air terbuka, 1 =ya,
O=tdk (SBAIR) Faktor Komunitas
Tidak Merniliki Listrik, 1 7 % O=tdk (NOELEC)
Transportasi Utama Melalui Darat,
I =ya, O=tdk (JLNDRT)
, Jalan Dapat Dilalui Kend.Bermotor,
1
I=ya, O=tdk (BMOTOR)
1
Terdpt Lembg. Keuangan~
(LBGKEU)Terdapa! Industri, 1 =ya, O=tdk (INDUST)
Terdapat Irigari, I =ya, O=tdk ( W G )
Terdapat Galian C , 1 =ya, O=tdk (GALIAN)
Karakteristik Wilayah Wilayah Pantai, l=ya, 0-dk (PANT AI)
Wilayah Daratan, 1 =ya, O-tdk
(DATARAN)
Intercept
1
-2.33171
0.0001Tabel 12. Hasil Estimasi Model Detenninan Kerniskinan Indonesia Tahun 2002 (Variabel Respon: 1, jika miskin; 0. jika tidak iniskin)
KanlMeristik Rumah Tangga dan Individu
Jml.Tahun Bersekolah (YRSCH) Pendidikan Tertinggi KK (HDEDU)
Jml. Anggota Keluarga (ART) Jml . Art yang Bekerj a (JARTKRJ) KK Bekerja, l=ya, M d k
(EMPLOY)
KK kerja Bidang Pertanian, 1 7 % O=tdk (KRJTANI)
KK sbg Buruh Tani, l=ya, M d k (BRHTANI)
Luas Lantai per Kapita (LANTAICP)
Luas Lahan Pertanian (LHNTANI) Sumber air mata air terbuka, 1 =ya, O=tdk (SBAIR)
I
I . Variabel
i
Faktor Komunitas
Tidak Memiliki Listrik, 1 =ya,
M d k (NOELEC)
Transportasi Utama Melalui Darat,
I =ya, O=tdk (JLNDRT)
Jalan Dapat Dilalui Kend.Bermotor, 1 7 % O=tdk CBMOTOR)
Terdpt Lembg. Keuangan (LBGKEU)
Terdapat Industri, 1 =ya, O=tdk (INDUST)
Terdapat hgari, 1 ?a, wdk (ING)
Terdapat Galian C, 1 =ya, O=tdk
(GALIAN)
Karakteristik Wilayah Wilayah Pantai, 1 7 % O=tdk (PANTN)
Wilayah Daratan, 1 7 % O=tdk (DATARAN)
2002 (n
I
Intercept1
-3.74861
0.0001Sumber: diolah dari Susenas Kor dan Podes tahun 1999
Estimate Odds Ratio 0.958 0.966 1.891 0.916 0.736 1.253 1.527 0.987 0.91 1 1.326 1.561 1.773 1.032 1.242 1.087 1.326 1.185 0.733 0.923 Pr > ChiSa Marginal Effect