• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EMPATI DAN SELF-CONTROL TERHADAP AGRESIVITAS REMAJA SMA NEGERI 3 KOTA TANGERANG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH EMPATI DAN SELF-CONTROL TERHADAP AGRESIVITAS REMAJA SMA NEGERI 3 KOTA TANGERANG SELATAN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

LAILATUL BADRIYAH NIM : 109070000137

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Banyak permasalahan serta kasus yang terjadi di negara Indonesia yang sangat membutuhkan “jalan keluar”, bukan hanya wacana perbincangan semata. Mulai dari kasus kriminal, pelecehan seksual, kekerasan dan kenakalan remaja. Contohnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja yang sekarang marak dilakukan, tindakan agresi fisik maupun verbal bertujuan melukai orang lain.

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Sekolah ini termasuk sekolah unggulan dengan prestasi yang tinggi serta lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan prestasi yang tinggi tersebut peneliti melihat ada kecenderungan siswa-siswi untuk berperilaku agresi. Seperti kasus yang dilakukan siswa kelas X2 yang melakukan agresi verbal dengan mengolok-olok temannya yang mengalami obesitas. Kemudian kasus seorang siswi yang mengalami kecemasan dan impulsif yang selalu membuat kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa tidak nyaman dan melakukan tindakan bullying. Serta permasalahan siswa dengan gurunya yang sering terjadi, dimana gurunya sering menganggap (judge) siswanya dengan penilaian yang buruk, padahal belum tentu pada kenyataannya. (wawancara,13 Mei 2013). Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.

(3)

Di daerah lain khususnya kota Jakarta, perilaku agresi sering kali terjadi. Diantaranya kasus tawuran yang dilakukan oleh pelajar SMA 70 dan SMAN 6 Bulungan Jakarta yang terjadi pada tanggal 2 Oktober 2012 yang menewaskan 1 orang pelajar dan 2 pelajar lainnya luka-luka. Menurut informasi yang diperoleh bahwa data tawuran pelajar wilayah POLDA Metro Jaya dari tahun 2010 hingga 2012 mengalami kenaikan hingga 100%. Pada tahun 2010 terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar yang mengakibatkan banyak korban luka-luka, terjadi kenaikan yang sangat drastis pada tahun 2011 dimana terjadi 339 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar, dan tahun 2012 terjadi 139 kasus tawuran yang mengakibatkan 12 orang pelajar tewas. (Litbang tvOne, 2012)

Dilihat dari psikologi perkembangan, remaja mengalami pergantian moralitas dari konsep-konsep moral khusus kekonsep moral individual. (Hartati dkk, 2005). Selama berada dalam keadaan tersebut, remaja mengalami ambiguitas dalam pola pemikiran kognitif dan afektif sebagai pengarah kepada perilaku yang akan ditampilkan. Salah satu contoh ambiguitas yang dialami remaja adalah mencari identitas diri. Menurut teori Psikososial Erikson (Santrock 1995), remaja berada di tahap 5 yaitu identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas), menurut erikson jika remaja menerima dukungan sosial yang memadai, maka akan muncul eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri, dan kontrol diri. Begitu juga sebaliknya remaja yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya ditambah lagi kalau remaja sering kali mendapatkan penolakan dari

(4)

orang tua, maka dapat dipastikan remaja akan terus mengalami kebingungan. Kebingungan-kebingungan inilah yang berimbas pada ketidak stabilan emosi. Menurut Carr (Hartati dkk, 2005) emosi itu timbul jika organism dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan upaya dikerahkan untuk mengatasi rintangan tersebut dan merangsang organism tersebut untuk merugikan lawannya tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Ada beberapa hal lainnya yang menurut peneliti siswa lebih bertindak agresif diantaranya adalah peer group (teman sebaya). Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, masing-masing individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan dan tujuan. Di dalam kelompok sebaya ini, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Remaja yang sering mengalami penolakan seperti kurang perhatian dari orang terdekat, dan menginginkan penghargaan diri dari orang lain, mereka akan mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya, bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok, dengan demikian ia akan merasakan kebersamaan atau kekompakkan dalam kelompok teman sebayanya tersebut.

Kemudian satu lagi kenapa perilaku remaja sangat agresif, karena perilaku agresi itu merupakan suatu hal yang dipelajari. Menurut teori belajar Albert Bandura, tingkah laku manusia akibat reaksi yang timbul dari interaksi

(5)

lingkungan dengan skema kognitif individu atau kelompok itu sendiri. Sebagian besar apa yang dipelajari individu khususnya remaja adalah melalui proses peniruan (imitation) dan penyajian contoh (modeling), dan dalam hal ini seseorang belajar mengubah perilakunya sendiri melalui pengamatan terhadap cara orang lain merespon stimulus (Hartati dkk, 2005). Remaja yang salah meniru dan memodeling sesuatu akan bertentangan dengan norma masyarakat dan mereka akan mengalami kembali penolakan-penolakan dari masyarakat, sehingga mereka akan bertindak lebih agresif dari sebelumnya.

Beberapa penelitian yang membahas tentang agresivitas, setidaknya penelitian tersebut meneliti tentang berbagai faktor orang melakukan tindakan agresi, seperti penelitiannya Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Ada juga penelitian dari Bandura, Ross, & Ross, A. (1961) menyebutkan beberapa faktor orang bertindak agresif, karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi, dan yang paling terpenting adalah tindakan agresi itu dipelajari. Beberapa penelitian seperti Milles dan Carey (1997) yang meneliti faktor gen dan lingkungan terhadap agresi manusia. Jurnal Sex Differences in physical, verbal, and indirect aggression penelitian dari Bjorkqvist (1994) yang membahas tentang perbedaan jenis kelamin terhadap perilaku agresi fisik, verbal dan agresi secara tidak langsung.

Perilaku agresif sebenarnya bukan hanya masalah kekerasan seperti tawuran semata, tetapi banyak perilaku agresi yang dimulai dari agresi yang berupa perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasa menyakitkan

(6)

individu dan berakhir pada tindakan agresi fisik berupa pemukulan, penusukan, dan lain-lain yang berujung pada tindakan kriminalitas. Setidaknya perilaku agresi ini dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu, 1) fisik dan verbal, 2) aktif dan pasif, 3) langsung dan tidak langsung. Dari ketiga klasifikasi tersebut akhirnya ditarik delapan bentuk agresif yaitu, 1) Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain. 2) Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk orang lain. 3) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak memberi jalan kepada orang lain. 4) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu, menolak untuk mengerjakan perintah orang lain. 5) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki-maki orang. 6) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain. 7) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. 8) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan.

Terdapat juga bentuk-bentuk agresivitas menurut Buss dan Perry (1992), yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan (anger) dan kecurigaan (hostility). Agresi fisik dan verbal dapat dikontrol dengan kemampuan

(7)

mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol dirinya dengan baik dan mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya. Kemarahan dapat dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi peristiwa, mengantisipasi keadaan dengan pertimbangan secara objektif. Sedangkan kecurigaan dapat dikontrol dengan menafsirkan peristiwa, karena kemampuan ini menilai dan menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjetif.

Penelitian ini mengambil sudut pandang baru dimana menempatkan empati sebagai variabel independen untuk diteliti apakah mempengaruhi agresivitas remaja. Empati dapat dilihat dari beberapa indikasi, diantaranya adalah hubungan diri yang hangat dengan orang lain diterjemahkan dengan sikap cinta dan keamanan emosional yang diterjemahkan lagi dengan menerima diri sehingga dapat menempatkan untuk diterima orang lain.

Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang hubungan antara empati dan efikasi diri dengan perilaku agresi pada guru sekolah dasar negeri inklusi di kecamatan lowokwaru kota Malang, menyatakan bahwa guru diharapkan dapat lebih berempati terhadap siswa terutama terhadap siswa yang berkebutuhan khusus, serta tetap mempertahankan efikasi dirinya yang tinggi terhadap perannya sebagai seorang pendidik serta menghindari berperilaku agresi. Ama Hastik (2012)

Penelitian lainnya dari Sintha Meliyana (2009) mengenai Peran empati terhadap keterampilan sosial dan agresifitas pada anak sekolah dasar,

(8)

menunjukkan hasil nilai estimasi sebesar -0,711 dan nilai CR -4,038 (p= 0,000), yang berarti semakin tinggi kemampuan empati anak maka akan semakin rendah perilaku agresifnya. Kemudian jurnal penelitian dari Giancola (2003) mengenai The moderating effects of dispositional empathy on alcohol-related aggression in men and women, menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati yang rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan perempuan yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengungkap konsep empati yang sesuai untuk mengatasi perilaku agresifitas pada remaja. Sampai saat ini, peneliti belum menemukan hasil penelitian mengenai empati yang berhubungan langsung dengan agresivitas seseorang.

Konsep empati yang ditampilkan merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. Empati dapat berperan di kalangan remaja khususnya siswa, dengan sebuah tindakan positif baik dari dalam diri siswa maupun dari luar, misalnya dari dalam diri siswa tersebut dapat dibiasakan berinfaq ketika ada sumbangan amal untuk anak yatim piatu dan orang yang tidak mampu setiap jumat. Contoh lainnya yang beranjak dari luar diri siswa adalah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan Pusat Informasi Konselor-Remaja (PIK-R) yang dilaksanakan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan, dimana mereka

(9)

akan dididik untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan dengan bertindak sebagai konselor teman sebaya.

Selanjutnya, ada faktor yang peneliti anggap penting untuk diteliti, yaitu factor self-control. Secara teori, terjadinya tindakan agresif karena seseorang tidak bisa mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya, sikap agresif yang dipicu karena rasa marah dan dendam akan sangat mudah muncul. Hal ini didukung oleh penelitian Finkenauer,dkk (2005) yang menyatakan bahwa tinggi self-control sangat berhubungan dengan penurunan resiko masalah psikososial diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja. Dalam penelitian lainnya dari DeWall, dkk (2011) tentang Self-Control Inhibits Aggression menyatakan bahwa mekanisme neural otak dalam meregulasi emosi dan kontrol kognitif pada self-control dapat mengurangi agresi seseorang. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti menjadikan factor self-control menjadi independen variabel yang akan dicari tahu ada pengaruhkah terhadap agresivitas dan seberapa besar pengaruhnya terhadap mengatasi tindakan tersebut.

Selain itu perbedaan jenis kelamin akan di teliti untuk menjadi perbandingan, sehingga tampak lebih jelas tindakan agresi tersebut. Hal ini didukung dalam jurnal penelitian oleh Bushman dan Anderson (1998) yang menunjukkan bahwa laki-laki 11x lebih agresif dari pada perempuan dan lebih cenderung melakukan agresi fisik daripada agresi verbal.

(10)

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti berasumsi bahwa ada 2 hal yang diduga dapat mengurangi atau mengatasi agresivitas remaja yaitu empati dan self-control. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti memilih judul “ Pengaruh Empati dan Self-control Terhadap Agresivitas Remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, permasalahan yang akan dikaji terbatas pada hal-hal berikut:

1. Agresivitas dalam penelitian ini adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sadar baik fisik maupun verbal oleh individu kepada orang lain yang merugikan dan tidak menyenangkan, bertujuan untuk menyakiti orang tersebut. (Buss dan Perry, 1992)

2. Empati yang dimaksud adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. (Davis,1980)

3. Self-control yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi untuk membuat keputusan dalam mengekspresikan perasaan-perasaan atau tindakan dalam lingkungan sosial. (Averill,1973)

(11)

1.2.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diangkat adalah:

1. Apakah ada pengaruh empati terhadap agresivitas remaja? Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh aspek perspective taking terhadap agresivitas remaja?

b. Apakah ada pengaruh aspek fantacy terhadap agresivitas remaja? c. Apakah ada pengaruh aspek empathic concern terhadap

agresivitas remaja?

d. Apakah ada pengaruh aspek personal distress terhadap agresivitas remaja?

2. Apakah ada pengaruh self-control terhadap agresivitas remaja? Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh behavior control terhadap agresivitas remaja?

b. Apakah ada pengaruh aspek cognitive control terhadap agresivitas remaja?

c. Apakah ada pengaruh decisional control terhadap agresivitas remaja?

3. Apakah ada pengaruh empati dan self-control secara bersama-sama terhadap agresivitas remaja?

(12)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh empati yang meliputi perspective taking, fantacy, empathic concern, dan personal distress terhadap agresivitas remaja.

2. Untuk mengetahui pengaruh self-control yang meliputi behavior control, cognitive control, dan decisional control terhadap agresivitas remaja.

3. Untuk mengetahui pengaruh empati dan self-control secara bersama-sama terhadap agresivitas remaja.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Dari gambaran pendahuluan hingga tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara kolektif baik untuk keilmuan (teoritis) atau untuk peneliti dan subjek penelitian (praktis). Manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan untuk menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan bagi masyarakat umum serta pengembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya dibidang psikologi sosial dan perkembangan.

(13)

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu:

a. Memberikan pengertian pentingnya pengaruh sikap empati dan self-control dalam mengatasi sikap agresivitas remaja yang dapat dikonsumsi oleh peneliti, mahasiswa psikologi dan civitas akademisi (akademisi umum dan akademisi muslim) serta masyarakat Indonesia pada umumnya.

b. Memberikan wacana yang menguatkan mengenai konsep empati dan self-control dalam kajian psikologi sosial dan perkembangan pada tema mengenai agresivitas remaja.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 : Kajian teori berisi uraian pendapat para ahli mengenai agresivitas, empati dan self-control, disertai dengan kerangka berpikir dan hipotesis.

(14)

BAB 3 : Populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik analisis statistik, prosedur penelitian.

BAB 4 : Hasil penelitian, meliputi gambaran umum responden, pengkategorian skor masing-masing skala, persiapan penelitian, penyebaran skor hasil, instrumen penelitian, dan hasil analisis data penelitian.

(15)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Agresivitas

2.1.1 Pengertian agresivitas

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agresivitas berasal dari kata agresif yang berarti bersifat atau bernafsu menyerang, cenderung ingin menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengancam, menghalangi atau menghambat. Kemudian menambah akhiran itas,- yang bermakna sifat. Sehingga dapat didefinisikan menjadi suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau, menghalangi atau menghambat.

Menurut Baron (dalam Hoaken dan Stewart, 2003) ,

menyatakan bahwa “ Aggression is any form of behavior directed toward the goal of harming or injuring another living being who is motivated to avoid such treatment.” Menurut definisi tersebut menyatakan bahwa agresi adalah setiap bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan merugikan atau melukai makhluk hidup yang termotivasi untuk menghindari perlakuan tersebut."

Sigmund Freud (dikutip dari Taylor, 2009) mengemukakan bahwa perilaku agresi merupakan gambaran ekspresi sangat kuat dari

(16)

insting kematian (thanatos), karena dengan melakukan agresi maka secara mekanisme individu telah berhasil mengeluarkan energi destruktifnya dalam rangka menstabilkan keseimbangan mental antara insting mencintai (eros) dan insting kematian (thanatos). Meski demikian, walaupun agresi dapat dikontrol tetapi agresi tidak bisa dieliminasi, karena agresi adalah sifat alamiah manusia.

Myers (2009) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang disengaja maupun tidak disengaja namun memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan orang lain yang diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Dan secara spesifik, Gelles dkk (1991) mendefinisikan agresi verbal adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan psikologi kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kamus Psikologi Chaplin (Terjemahan Kartini Kartono, 2008) Agresi adalah suatu tindakan permusuhan ditujukan pada seseorang atau benda. Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim.

Buss (dalam Bushman, 1998) mendefinisikan agresi sebagai respon yang memberikan rangsangan berbahaya keorganisme lain.

(17)

Sedangkan menurut Geen (dalam Bushman, 1998) agresi didefinisikan kedalam dua klasifikasi yaitu agresor (penyerang) memberikan rangsangan berbahaya dengan maksud untuk menyakiti korban, dan penyerang mengharapkan rangsangan berbahaya itu memiliki efek sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bandura (1961) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial yang diperoleh melalui mekanisme belajar pengamatan dalam dunia sosial.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah kecenderungan yang dilakukan individu atau kelompok dengan niat/kesengajaan untuk menyakiti atau melukai orang lain atau merusak objek baik secara fisik maupun psikis.

2.1.2 Faktor-Faktor Agresivitas

Munculnya perilaku agresi berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam diri seseorang. Menurut Taylor (2009) rasa marah dapat muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut:

1. Adanya serangan dari orang lain. Bayangkan ketika tiba-tiba seseorang menyerang dan mengejek anda dengan perkataan yang menyakitkan. Hal ini dapat secara refleks menimbulkan sikap agresi terhadap lawan.

2. Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dalam

(18)

psikologi, orang yang mengalami frustrasi akan cenderung membangkitkan perasaan agresifnya.

3. Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Intinya jika seseorang yang marah mampu untuk melakukan balas dendam, maka rasa kemarahan itu akan semakin besar dan kemungkinan untuk melakukan agresi juga bertambah besar pula.

4. Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional, tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.

Menurut Myers (2009), faktor yang mempengaruhi agresi sebagai berikut:

1. Frustrasi

2. Pembelajaran agresi, dimana terdapat reward dan pembelajaran sosial.

3. Pengaruh lingkungan, maksudnya adalah situasi lingkungan saat itu misalnya insiden yang menyakitkan, suhu udara panas, serangan, kerumunan orang, dimana akan memicu tindakan agresi.

4. Sistem saraf otak.

(19)

6. Faktor kimia dalam darah (alkohol dan obat-obatan). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Bushman dan Cooper (1990) yang meneliti adanya pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang.

Menurut Davidoff (1991), agresi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Amarah. Marah merupakan emosi dasaar manusia yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah, kekecewaan, sakit fisik, penghinaan atau ancaman yang sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan, serta ancaman merupakan pemicu (anchor) yang jitu terhadap marah untuk mengarahkan pada perilaku agresi.

2. Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian Davidoff terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan lebih cepat marah dari pada hewan betina.

(20)

3. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Misalnya dengan merangsang sistem limbik (daerah kenikmatan pada manusia) sehingga muncul interaksi antara kenikamatan dan kekejaman.

4. Kimia darah khususnya hormon seks yang ditentukan oleh factor keturunan dapat mempengaruhi perilaku agresi.

5. Kesenjangan generasi, dapat dilihat dari hubungan komunikasi yang kurang antara anak dan orang tua yang mengakibatkan misunderstanding dan kegagalan komunikasi.

6. Kemiskinan. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami akan mengalami penguatan. Misalnya kerasnya hidup di ibukota akan melatih mental mereka untuk bagaimana bertahan hidup.

7. Anonimitas. Seseorang yang berusaha untuk cederung berusaha beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebih. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal secara baik. Bila seseorang merasa anonim, ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati dengan orang lain.

(21)

9. Peran belajar model kekerasan. Menurut Davidoff menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.

10. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustrasi.

11. Proses pendisiplinan yang keliru. Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh bagi remaja.

12. Kebudayaan. Lingkungan geografis seperti pantai/pesisir menunjukkan karakter lebih keras dari pada masyarakat yang hidup di pedalaman dan pegunungan. Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas satu kelompok.

2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas

Buss (dikutip oleh Nashori, 2010) mengklasifikasikan perilaku agresif secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau verbal, dan secara aktif atau pasif, serta langsung atau tidak langsung. Tiga klasifikasi ini masing-masing saling berinteraksi, sehingga akan menghasilkan 8 bentuk perilaku agresif, yaitu:

(22)

1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain.

2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk orang lain.

3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak member jalan kepada orang lain.

4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu, menolak untuk mengerjakan perintah orang lain.

5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki-maki orang.

6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menyebar gosip tentang orang lain.

7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang lain.

8. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan.

(23)

Myers (2009) membagi agresi kedalam 2 bentuk:

1. Agresif rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression).

Agresi ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri, jadi agresi sebagai agresi itu sendiri. Contohnya seseorang mencaci orang lain, karena sebelumnya orang tersebut telah dicaci maki sebelumnya dengan kata-kata kasar yang membuatnya sakit. 2. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental

aggression).

Agresi ini pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi, agresi ini bertujuan untuk mencapai tujuan. Contohnya, seseorang yang terobsesi untuk menjadi pemimpin dan merebut kekuasaan, menyingkirkan lawannnya dengan cara kekerasan dan tindakan yang tidak fair.

Kemudian menurut Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas kedalam 4 bentuk agresi, yaitu:

1. Agresi fisik

Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang secara fisik. Contohnya terjadinya perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.

(24)

Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain dengan menggunakan verbal/perkataan. Misalnya seperti mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gossip, dan lain-lain. Contohnya, beberapa siswa yang saling mengejek satu sama lainnya dengan ejekan yang menyakitkan.

3. Agresi marah

Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Contohnya, seseorang akan kesal kalau dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.

4. Sikap permusuhan

Meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Contohnya, seseorang sering merasa curiga terhadap orang lain, yang dikiranya menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak dendam terhadapnya.

2.1.4 Jenis-jenis agresi

Erich Fromm (terjemahan Imam Muttaqin, 2010) menggunakan istilah Agresi Lunak dalam menjelaskan jenis-jenis agresi, diantaranya sebagai berikut:

(25)

Agresi semu adalah tindakan-tindakan yang dapat dilakukan, tetapi tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Contohnya agresi mendadak.

2. Agresi aksidental

Agresi aksidental adalah tindakan agresif yang melukai orang lain, namun tidak sengaja dilakukan, contohnya peluru nyasar.

3. Agresi permainan

Agresi permainan bertujuan untuk mempraktikkan kemahiran. Ia tidak bertujuan untuk menghancurkan atau melukai, serta tidak menimbulkan kebencian. Contohnya permainan anggar, memanah, pertarungan pedang dan seni-seni lainnya.

4. Agresi penegasan diri

Agresi penegasan diri tidak terbatas pada perilaku seksual semata, ia merupakan sifat dasar yang diperlukan dalam banyak situasi kehidupan, contohnya pada perilaku ahli bedah, pendaki gunung, perilaku-perilaku dalam olahraga, serta sidat yang diperlukan bagi seorang pemburu. Namun harus dibedakan antara agresi yang bertujuan merusak dengan agresi penegasan diri yang hanya untuk membantu mencapai tujuan, baik dengan cara merusak secara langsung maupun dengan cara yang berpotensi menimbulkan kerusakan.

(26)

5. Agresi defensif

Agresi defensif sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan bahaya, hal ini dapat dilakukan dengan cara menyelamatkan diri, dan jika upaya penyelamatan diri itu tidak dapat dilakukan, maka dapat ditempuh dengan cara lain, yaitu dengan melawan atau memperlihatkan tampang paling menyeramkan. Tujuan agresi defensif bukanlah untuk menghancurkan, melainkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Bila tujuan telah tercapai, maka agresi tersebut beserta emosinya akan lenyap.

6. Agresi dan kebebasan

Asumsinya adalah bahwa kebebasan merupakan syarat untuk berkembangnya seseorang secara penuh, untuk kesehatan mental, dan kesejahteraan. Contohnya kelompok-kelompok masyarakat yang memerangi penindasan.

7. Agresi dan narsisme

Orang yang narsistik seringkali mendapatkan perasaan aman melalui keyakinan subjektifnya mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulan atas orang lain, dan sifat-sifat luar biasanya. Jika narsismenya terancam, dia akan merasakan ancaman terhadap kepentingan vitalnya. Jika orang lain melukai narsistiknya, dengan meremehkannya, mengkritik, meralat ucapannya yang salah, atau mengalahkannya dalam sebuah permainan, maka ia akan bereaksi dengan kemarahan yang sangat marah. Intensitas reaksi agresif

(27)

seringkali diperlihatkan dari sikap seseorang yang tidak mau memaafkan orang yang telah melukai perasaan narsisitiknya. Dia juga sering merasakan dendam yang jauh lebih intens dibanding dengan dendam yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain secara fisik.

8. Agresi dan perlawanan

Agresi sebagai reaksi terhadap segala upaya untuk memunculkan perlawanan dan cita-cita terpendam kedalam kesadaran. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang memendam keinginan tertentu disepanjang hidupnya, mungkin karena takut akan hukuman, tidak lagi dicintai, atau takut direndahkan apabila keinginan terpendam tersebut diketahui orang lain.

9. Agresi kompromis

Agresi kompromis dapat digolongkan sebagai agresi semu. Kepatuhan sebagai konsekuensi kebutuhan untuk mematuhi perintah. Dalam beberapa kasus dorongan agresi itu tidak akan terjadi jika perintah itu tidak dipatuhi. Akan tetapi ada pula yang mengancam diri pelaku, dan cara menghindari ancaman tersebut adalah dengan melakukan tindakan agresif sesuai yang diperintahkan. Contohnya ketika Nabi Ibrahim AS bersedia menyembelih putranya Nabi Ismail AS karena kepatuhan.

(28)

Agresi instrumental bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan, tetapi yang menjadi tujuan bukanlah penghancuran, karena penghancuran itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

Dari teori-teori diatas peneliti menggunakan teori Buss dan Perry (1992) yang mengklasifikasikan agresi kedalam 4 bentuk agresi, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah, dan sikap permusuhan, sebagai dasar untuk pengukuran agresivitas.

2.1.5 Pengukuran agresivitas

Banyak skala yang digunakan untuk mengukur agresivitas individu, diantaranya:

1. Skala pengukuran agresivitas dari Buss dan Perry dalam jurnal penelitian The Aggression Questionnaire yang menggunakan 4 faktor yaitu, agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan, dan terangkum ke dalam 29 item baku.

2. Penelitian Orpinas dan Frankowski dalam jurnal The Aggression Scale yang mengadopsi teori Buss dan Perry merumuskan 3 faktor yaitu, agresi fisik verbal, dan marah, yang terangkum dalam 11 item baku.

3. Peneliti akan menggunakan faktor skala Buss dan Perry, dengan mengadopsi item-item yang telah dibakukan, sebanyak 29 item baku.

(29)

2.2 Empati

2.2.1 Pengertian empati

Konsep empati berasal dari kata “einfϋhlung” yang popular pada abad ke-19. Istilah ini berasal dari filsafat estetika Jerman yang mengkaji tentang abstrak formal, hingga fokus pada isi, simbol dan emosi. Sehingga paa akhirnya salah satu ilmuwan pada masa itu Johan Friedrich Herbart (dalam Taufik, 2012), merekonstruksikan konsep einfϋhlung dalam makna yang mengantarkan kepada pemahaman konsep tentang empati.

Hoffman (2000) menyatakan bahwa“Empaty defined as an affective response more appropriate to another’s situation than one’s own.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa empati didefinisikan sebagai respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri.”

Menurut Decety dan Jackson (dikutip dari Andreasson, 2010) mendefinisikan empati sebagai:

Empathy accounts for the naturally occurring subjective experience of similarity between the feelings expressed by self and others without losing sight of whose feelings belong to whom. Empathy involves not only the affective experience of the other person’s actual or inferred emotional state but also some minimal recognition and understanding of another’s emotional state. “ Empati secara alami merupakan pengalaman subjektif yang memiliki kesamaan antara perasaan yang diekpresikan oleh diri sendiri dan orang lain tanpa mengabaikan perasaan yang lainnya. Empati tidak hanya

(30)

melibatkan pengalaman afektif keadaan emosi atau penafsiran orang lain, tetapi juga sedikit pemikiran dalam memahami kondisi emosional orang lain.”

Sedangkan menurut Chaplin (terjemahkan Kartini Kartono, 2008), empati adalah memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian, satu objek alami, atau satu karya estetis. Sebagai contoh, bagi para penumpang, sebuah mobil tampak seperti menjadi tegang ketika mobil tersebut mendaki bukit, dan mereka tampaknya seperti dapat “menolong” ( mengurangi ketegangan ) dengan mencondongkan tubuh kedepan. Realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan pribadi lain.

Menurut Stein (dikutip dari Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak seperti realisasi setelah kejadian. Tiga tahapan tesebut adalah simpati, perasaan belas kasih, identifikasi, perubahan diri.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif (emosional), kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan bahwa ada dua komponen yang diperlukan: empati menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku

(31)

prososial, yaitu berbagi dan memberikan bantuan. Dalam kata lain, adalah kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya menyiratkan perilaku prososial, kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gringart, 2005).

Cotton (dikutip dari Garton & Gringat , 2005) empati biasanya didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara lisan verbal dan atau nonverbal.

Dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain yang dilakukan secara sadar.

2.2.2 Aspek – Aspek Empati

Menurut Davis (1980) terdapat 4 aspek empati:

1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan perspective taking sebagai “putting oneself in the shoes of another” atau menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective

(32)

taking secara psikologis dan sosial penting bagi keharmonisan interaksi antar individu. Menurut Galinsky (dalam Taufik, 2012) bahwa perspective taking dapat menurunkan stereotype dan pandangan buruk terhadap kelompok lain secara lebih efektif dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype. Apabila konsep perspective taking ini dikaitkan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami dari perspektif mereka, dan dapat pula menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Karena berkaitan erat dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking terbagi dalam 2 bentuk:

 Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.

 Membayangkan bagaimana seseorang anggota kelompok lain berpikir dan merasakan.

2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajenatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari

(33)

karakter khayal dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau yang ditontonnya.

3. Empathic Concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.

4. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai empati negatif.

Selanjutnya sebagai tambahan, terdapat aspek yang penting untuk dilihat yang dikutip dari buku Taufik yaitu aspek komunikatif. Munculnya aspek komunikatif ini didasarkan pada asumsi bahwa masing-masing aspek akan tetap berpisah apabila tidak terjalinnya komunikasi. Bierhoff (dalam Taufik, 2012) juga mengatakan bahwa yang dimaksud komunikatif ialah perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan empatik. Wang et.al (dalam Taufik, 2012) ada 2 komponen lain dari aspek komunikatif:

Intellectual empathy ( ekspresi dari pikiran-pikiran empatik)

Empathic emotions ( perasaan-perasaan terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.)

(34)

2.2.3 Pengukuran Empati

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah skala pengukuran empati dari Mark H. Davis (1980) dengan melihat empati dari beberapa aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress. Davis merangkumnya kedalam 28 item baku. Model skala yang digunakan adalah skala likert.

2.3 Self Control (Pengendalian Diri) 2.3.1 Pengertian self-control

Self control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif (Chaplin, terjemahan Kartini Kartono, 2002).

Menurut Hurlock (1980) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena adanya perbedaaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya motivasi, dan kemampuan mengelola potensi dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya.

Menurut Rothbaum (dalam Tangney et.all, 2004) menyatakan bahwa “Self-control is widely regarded as a capacity to change and adapt the self so as to produce a better, more optimal fit between self and world.” Maksud dari pernyataan tersebut adalah kontrol diri secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk berubah dan beradaptasi dengan

(35)

diri sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri dan dunia.”

Menurut Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa “ Central to our concept of self control is the ability to override or change one’s inner responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies and refrain from acting on them.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pusat dari konsep pengendalian diri kita adalah kemampuan untuk mengesampingkan atau mengubah tanggapan batin seseorang, serta untuk menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri dari tindakan tersebut.”

Kontrol diri untuk situasi dimana orang terlibat dalam perilaku yang dirancang untuk melawan atau mengesampingkan respon yang melebihi (kecenderungan perilaku, emosi, atau motivasi), seperti seseorang yang marah menyerang mereka, beristirahat setelah seharian bekerja keras, atau membolos bukannya pergi ke sekolah. Kontrol diri demikian konsep yang lebih spesifik dari pada self regulation (Mccullough & Willoughby, 2009).

Kontrol diri mengacu pada sumber daya internal yang tersedia untuk menghambat, menimpa, atau mengubah tanggapan yang mungkin timbul sebagai akibat dari proses fisiologis, kebiasaan, pembelajaran, atau situasi. Schmeichel dan Baumeister (dikutip dari Mccullough dan Willoughby, 2009).

(36)

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan emosi sehingga dapat menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan.

2.3.2 Aspek-Aspek Self-Control

Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat 3 aspek dalam kemampuan mengontrol diri, yaitu:

1. Behavior Control (Mengontrol perilaku)

Merupakan suatu tindakan langsung terhadap lingkungan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen, yaitu: mengatur pelaksanaan (regulated administration), dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang mempunyai kemampuan mengontrol diri dengan baik akan mampu perilakunya sendiri, dan jika individu tersebut tidak mampu, maka akan menggunakan sumber eksternal dari luar dirinya. Kemampuan mengatur stimulus adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki datang (Nur, 2006).

(37)

2. Cognitive Control (Mengontrol Kognisi)

Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologi untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen, yaitu: memperoleh informasi ( information gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Informasi yang dimiliki individu atas suatu kejadian yang tidak menyenangkan dapat diantisipasi dengan berbagai pertimbangan, serta individu akan melakukan penilaian dan berusaha untuk menafsirkannya melalui segi-segi positif secara subjektif (Nur, 2006).

3. Decisional Control (Mengontrol Keputusan)

Kemampuan untuk memilih hasil yang diyakini individu, dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen juga, yaitu: mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, dimana individu dapat menahan dirinya (Nur, 2006).

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol diri.

(38)

2.3.3 Pengukuran self control

Ada beberapa pengukuran self control, diantaranya:

1. Skala pengukuran Self-Control Rating Scale (SCRS) yang ditulis oleh Dickerson, yang terangkum kedalam 33 item baku.

2. Self Control Behavior Inventory Fagen (dalam Tangney, 2004) pada dasarnya adalah sebuah checklist untuk peringkat pengamatan perilaku.

3. Self-Control Questionnaire oleh Brandon, dkk sebagai skala sifat kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item yang luas.

4. Self-Control Schedule oleh Rosenbaum, ditujukan khusus untuk sampel klinis dan berfokus pada penggunaan strategi seperti gangguan diri dan kognitif untuk memecahkan masalah perilaku tersebut.

5. Peneliti menggunakan skala pengukuran teori dari Averill (1973) yaitu, mengontrol perilaku, kognisi, keputusan, dan terangkum ke dalam 20 item yang valid.

2.4 Kerangka Berpikir

Agresivitas adalah suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau, menghalangi atau menghambat. Beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya agresi ialah frustrasi, marah, suhu, gen, lingkungan sosial, pengaruh alkohol, hal ini sejalan dengan penelitian dari

(39)

Bandura, dkk (1961) menyebutkan beberapa faktor orang bertindak agresif, karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi, dan yang paling terpenting adalah tindakan agresi itu dipelajari. Tidak hanya itu, beberapa jurnal penelitian melihat indikasi lain yang membuat seseorang bertindak agresif, seperti dalam jurnal penelitian dari Giancola (2003) yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati yang rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan perempuan yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya. Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif (emosional), kognitif, pengalaman, atau keduanya.

Penelitian ini juga menyajikan konsep tentang self-control yang berkaitan langsung dengan agresivitas, seperti yang terdapat dalam jurnal penelitian Finkenauer, dkk (2005) yang menyatakan bahwa tinggi self-control sangat berhubungan dengan penurunan resiko masalah psikososial diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja.

Agar kedua hal tersebut dapat dilihat lebih jelas lagi pengaruhnya, maka sesuai dengan pengertian masing-masing variabel di atas, peneliti pun mengembangkan kedua variabel itu menjadi masing-masing variabel, variabel empati dikembangkan menjadi empat aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress. Sedangkan self-control dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu behavior control, cognitive control,

(40)

dan decisional control. Jenis kelamin menjadi variabel lainnya yang akan diteliti bersama dengan empati dan self-control.

Berikut ini adalah skema dari kerangka berpikir:

KERANGKA BERPIKIR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Self-esteem 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Gambar 2.1. Kerangka berpikir

Agresivitas

EMPATI Perspektive Taking (PT) Fantasy (FS) SELF-CONTROL Behavior control Cognitive control Decisional control Empatic Concern (EC) Personal Distress (PD) Jenis Kelamin

(41)

2.5 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV yang diketahui terhadap DV. IV dalam penelitian ini adalah empati dengan aspek-aspeknya yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress. serta self-control dengan aspek-aspeknya yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control. Sedangkan DV nya adalah agresivitas remaja. Dalam hal ini, IV dari faktor demografis yang bersifat kategorik seperti jenis kelamin dan usia dianalisis secara terpisah dan hanya dimasukkan ke dalam hipotesis minor.

Hipotesis Alternatif Hipotesis Mayor

Ada pengaruh yang signifikan antara empati dan self-control terhadap agresivitas remaja.

Hipotesis Minor

Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara perspective taking terhadap agresivitas remaja.

Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara fantasy terhadap agresivitas remaja.

Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara empathic concern terhadap agresivitas remaja.

Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara personal distress terhadap agresivitas remaja.

Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara behavior control terhadap agresivitas remaja.

Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara cognitive control terhadap agresivitas remaja.

(42)

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara decisional control terhadap agresivitas remaja.

Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap agresivitas remaja.

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai metode penelitan, dan dalam hal ini akan dibatasi secara sistematis sebagai berikut: variabel penelitian, subjek penelitian, metode dan instrument pengumpulan data, prosedur penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisa data.

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.1.1 Variabel penelitian

Identifikasi Variabel

Dependent Variabel (DV) : Agresivitas pada remaja Independent Variabel (IV 1) : Empati

Independent Variabel (IV 2) : Self-Control 3.1.2 Definisi operasional

3.1.2.1 Definisi operasional agresivitas. Agresi adalah respon yang memberikan rangsangan berbahaya ke organisme lain, yang diukur melalui empat bentuk perilaku agresif yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik, agresi verbal, rasa marah, dan sikap permusuhan.

3.1.2.2 Definisi operasional empati. Empati adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain secara tulus, yang diukur melalui empat aspek empati yang dikembangkan oleh Mark H Davis (1980)

(44)

yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress.

3.1.2.3 Definisi operasional self-control. Self control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, yang diukur melalui tiga aspek self-control yang dikembangkan oleh Averill (1973) yaitu behavior control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif) dan decisional control (kontrol keputusan).

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Jumlah siswa kelas X sebanyak 228 siswa, dan kelas XI sebanyak 259 siswa,. Jumlah total dari populasi sebanyak 487 siswa.

3.2.2 Sampel

Sampel yang digunakan sebanyak 150 siswa/siswi SMAN 3 Tangerang Selatan, yang terdiri dari siswa/siswi kelas X dan XI. Kelas X terdiri dari 7 kelas, dan kelas XI terdiri dari 8 kelas. Jumlah seluruhnya 15 kelas. Teknik Pengambilan Sampel menggunakan probability sampling, teknik dimana peluang dipilihnya sampel diketahui.

(45)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala likert yaitu dengan menyebarkan angket. Untuk alat ukur agresivitas, peneliti menggunakan skala agresivitas Buss dan Perry (1992) sebanyak 27 item, skala pengukuran empati dengan mengadopsi Empathy Questionnaire dari Mark H. Davis (1980) sebanyak 28 item, dan skala pengukuran self-control menggunakan teori Averill (1973) sebanyak 20 item.

Untuk pemberian skor dari skala ini, jawaban antara pernyataan yang bersifat favorabel dengan yang bersifat unfavorabel berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.1.

Skoring Instrumen

Pilihan Jawaban Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Adapun alasan penulisan menggunakan empat alternatif jawaban adalah untuk melihat kecenderungan kearah setuju atau tidak setuju serta untuk menghindari adanya kecenderungan responden menjawab netral.

3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan skala. Skala yang dipergunakan untuk mengumpulkan

(46)

data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu skala agresivitas, empati, dan skala pengendalian diri (self-control).

1. Skala pengukuran pertama dalam penelitian ini adalah skala agresivitas remaja. Skala ini disusun berdasarkan teori Buss dan Perry dalam jurnal The Aggression Questionnaire (1992) yang menyatakan bahwa ada 4 bentuk agresi yaitu: agresi fisik, verbal, marah, sikap permusuhan. Menurut hasil penelitian, reliabilitas agresi fisik sebesar 0.80, agresi verbal 0.76, marah 0.72, dan sikap permusuhan 0.72. Adapun tabel blue print penyebaran skala agresivitas adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Blue Print Skala Agresivitas

Aspek Indikator

No. Item Jumlah

Item Favorabel Unfavorabel

Agresi Fisik  Menyerang

 Memukul

5 4 9

Agresi Verbal  Berdebat

 Menyebarkan gossip

 Bersikap Sarkastis

3 2 5

Agresi Marah  Kesal

 Mudah marah 4 3 7 Sikap permusuhan  Benci  Curiga  Iri hati 5 3 8 Jumlah pernyataan 17 12 29

(47)

2. Skala Empati yang digunakan mengacu pada aspek-aspek empati menurut Davis dalam jurnal A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy (1980) yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress dengan menggunakan skala model likert. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan empati individu yang dikategorikan menurut jenis kelamin. Hasil penelitiannya menunjukkan reliabilitas dilihat dari konsistensi internal perspective taking (0.75, 0.78), fantasy (0.78, 0.75), empathic concern (0.72, 0.70), personal distress (0.78, 0.78) Adapun tabel blue print penyebaran item skala empati adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Empati

Aspek Indikator

No. Item

Jumlah Item Favorabel Unfavorabel

Perspective Taking Berpikir dan Merasakan berdasarkan keadaan orang lain 5 2 7 Fantasy Mengimajinasikan diri dalam situasi fiktif

5 2 7

Empathic Concern Merasakan

pengalaman orang lain

4 3 7

Personal Distress Merasakan perasaaan cemas dari pengalaman negative

(48)

Jumlah Pernyataan 19 9 28

1. Skala pengendalian diri (self-control) yang digunakan mengacu pada aspek-aspek pengendalian diri (self-control) menurut Averil (1973) yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional control, dengan menggunakan model skala likert. Adapun tabel blue print penyebaran item skala pengendalian diri (self-control) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4

Blue Print Skala Self Control

Aspek Indikator

No. Item Jumlah Item Favorabel Unfavorabel Behavior control  Mengatur pelaksanaan  Memodifikasi stimulus 2, 17 11 13, 15 3 2 Cognitive control  Memperoleh informasi  Melakukan penilaian 16 10, 12, 20 1, 3, 18 1 6 Decisional control  Mengantisipasi peristiwa  Menafsirkan peristiwa 5, 8 14 4, 7, 19 6, 9 5 3 Jumlah Pernyataan 9 11 20

3.4 Uji Validitas Konstruk

Untuk menguji validitas konstruk setiap item, maka peneliti melakukan uji validitas dengan menggunakan Confirmatory Factor Analiysis (CFA) dengan

(49)

software LISREL 8.7 . Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Dilakukan uji CFA dengan model unidimensional (satu faktor) dan dilihat nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p>0.05) berarti semua item telah mengukur sesuai dengan yang diteorikan, yaitu hanya mengukut satu faktor saja. Jika ini terjadi maka analisis dilanjutkan pada tahap selanjutnya, yaitu melihat muatan faktor pada masing-masing item. Namun jika Chi-Square signifikan (p<0.05), maka diperlukan modifikasi terhadap model pengukuran tersebut.

2. Jika nilai Chi-Square signifikan, maka dilakukan modifikasi model pengukuran dengan cara mengestimasi korelasi antar kesalahan pengukuran pada beberapa item yang mungkin bersifat multidimensional. Ini berarti bahwa selain suatu item mengukur konstruk yang seharusnya diukur, juga dapat dilihat apakah item tersebut mengukur hal yang lain (mengukur lebih dari satu hal). Jika setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan diperoleh model fit, maka model terkahir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya.

3. Setelah diperoleh model fit (unidimensional) maka dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Melihat signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktornya dilihat dari nilai t bagi koefisien muatan faktor item. Perbandingannya adalah (t>1,96) maka item tersebut signifikan. Jika ada

(50)

yang tidak signifikan dimana (t<1,96) maka item tersebut harus didrop atau tidak diikutsertakan dalam analisis perhitungan faktor skor.

4. Dengan menggunakan SPSS dan model unidimensional (satu faktor) kemudian dihitung (destimasi) nilai skor faktor (true score) bagi setiap orang untuk variabel yang bersangkutan.

3.4.1 Validitas konstruk agresivitas remaja

Dalam subbab ini peneliti menguji apakah 29 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur agresivitas remaja. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square=1189,19 df=377 P-value=0,00000 RMSEA=0,120. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=322,83 df=289 P-value=0,08328 RMSEA=0,028.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu agresivitas remaja. Hanya saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji

(51)

adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.5 dibawah ini: Tabel 3.5

Muatan Faktor Item Agresivitas Remaja

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan

1 0,51 0,08 6,38 V 2 -0,08 0,09 -0,88 X 3 0,54 0,08 7,01 V 4 -0,01 0,09 -0,11 X 5 0,60 0,08 7,31 V 6 -0,13 0,09 -1,45 X 7 0,59 0,08 7,58 V 8 -0,32 0,09 -3,81 X 9 -0,35 0,08 -4,37 X 10 0,30 0,08 3,68 V 11 0,75 0,08 9,98 V 12 -0,14 0,08 -1,66 X 13 -0,35 0,08 -4,23 X 14 0,36 0,08 4,37 V 15 0,50 0,08 5,95 V 16 0,53 0,08 6,63 V 17 0,25 0,08 3,06 V 18 0,53 0,08 6,70 V 19 0,43 0,08 5,36 V 20 0,30 0,08 3,68 V 21 0,24 0,08 2,85 V 22 0,53 0,08 6,28 V 23 0,30 0,08 3,61 V 24 0,69 0,08 9,15 V 25 0,20 0,08 2,35 V 26 0,47 0,08 5,57 V 27 0,34 0,08 4,01 V 28 0,55 0,08 7,01 V 29 0,43 0,08 5,18 V

(52)

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa 7 item tidak signifikan karena (t<1,96) dan koefisien bermuatan negatif. Artinya, item tersebut akan didrop dan tidak akan diikutsertakan dalam analisis uji hipotesis. Namun demikian, walaupun item-item tersebut saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel agresivitas remaja yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.

3.4.2 Validitas konstruk perspective taking

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional dalam mengukur perspective taking. Dari hasil CFA yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square=40,24 df=14 P-value=0,00023 RMSEA=0,112. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=17,16 df=12 P-value=0,14360 RMSEA=0,054.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item terbukti mengukur satu hal saja, yaitu perspective taking. Hanya

(53)

saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.6 dibawah ini:

Tabel 3.6

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item perspective taking.

1 2 3 4 5 6 7 1 1 2 1 3 1 V 4 1 5 1 V 6 1 7 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi ada empat yaitu item 3, 5, 6 dan 7 yang bersifat multidimensional. Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2 dan 4 dapat dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

(54)

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.7 dibawah ini:

Tabel 3.7 :

Muatan faktor item untuk perspective taking

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan

1 0,60 0,08 7,32 V 2 0,08 0,09 0,89 X 3 0,49 0,09 5,38 V 4 0,80 0,08 9,79 V 5 0,14 0,09 1,56 X 6 0,68 0,09 7,88 V 7 0,14 0,09 1,57 X

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tiga item tidak signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Walaupun terdapat empat item yang saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun, terdapat tiga item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2, 5 dan 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel perspective taking yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka berpikir
Tabel 4.3   R square
Tabel 4.4   Analisis Regresi
Tabel 4.5   Koefisien regresi  Coefficients a Model  Unstandardized  Coefficients  Standardized Coefficients  T  Sig
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

This linguistic study is done in order to gain comprehensive insight into English pragmatics, specifically into the realm of maxim flouting, where what is said deliberately

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kebijakan Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah sangat mendukung pemanfaatan TIK untuk pendidikan; (2) infrastruktur TIK di SMP Negeri

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen murni (True Experimental Design). Hasil dari penelitian ini adalah 1) kemampuan

Hadirnya online shop yang kian marak pada saat ini tidak bisa dipungkiri berakibat pada perubahan gaya hidup seseorang, terutama pada remaja wanita desa Pancur

udara daripada rumah yang beratap rendah dan suhu bisa dipertahankan lebih baik di. dalam rumah yang

Dan diperoleh hasil bahwa dengan identifikasi pola data serta penggunaan data demand yang sesungguhnya dapat meningkatkan akurasi peramalan, dengan metode yang

Begitu pula dengan perilaku hiperaktif yang dimiliki subjek, nampaknya setelah diberikan play therapy subjek mampu melakukan aktivitasnya dengan sedikit lebih tenang meskipun