KARYA TULIS
RESPON TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merril)
PADA TANAH MASAM
OLEH :
DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadlirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Karya tulis ini berjudul : PENGEMBANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH MASAM
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Kritik dan saran untuk penyempurnaan karya tulis ini sangat penulis harapkan.
Medan, Juli 2007
DAFTAR ISI Kata Pengantar... ... i Daftar Isi ... ... ii Pendahuluan ... ... 1 Botani Tanaman... ... 2 Syarat Tumbuh... ... 3
Usaha Pengembangan Kedelai di Tanah Masam ... ... 4
Pengaruh Tanah Masam Terhadap Tanaman ... ... 5
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Aluminium... ... 7
Strategi Pemuliaan Tanaman Toleran Alumenium... ... 10
Pengaruh Konsentrasi AlCl3 terhadap Toleransi Embrio Kedelai.. ... 12
Pengaruh Varietas Kedelai terhadap Toleransi Embrio Kedelai.... ... 14
Kesimpulan ... ... 15 Daftar Pustaka
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan berkembangnya pabrik ternak. Komoditas per kapita kedelai saat ini ± 8 kg/kapita/tahun. Diperkirakan setiap tahunnya kebutuhan akan biji kedelai adalah ± 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sebesar ± 1,1 juta ton (Deptan, 2006).
Permintaan pasar dalam negeri untuk komoditi kedelai yang akan digunakan sebagai bahan konsumsi atau bahan baku industri sampai saat ini belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Usaha pemenuhan kedelai ini menghadapi kendala berupa semakin sempitnya lahan subur yang terdapat di Pulau Jawa akibat penggunaan lahan tersebut menjadi lahan non-pertanian. Disamping itu juga kebiasaan petani di Jawa yang lebih memprioritaskan menanam padi, sedangkan penanaman kedelai hanya dilakukan setelah padi tidak lagi dapat ditanam karena keterbatasan penyediaan air. Oleh karena itu pemenuhan ini dilaksanakan dengan penanaman kedelai di luar Pulau Jawa yang pada dasarnya merupakan lahan marjinal. Kendala yang dihadapi lahan marjinal ini salah satunya adalah kemasaman tanah yang terjadi pada jenis tanah Ultisol,
Hydrandepth, atau Histosol (Brawijaya, 2004).
Usaha untuk meningkatkan produksi kedelai pada tanah masam dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: (1) pengapuran untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah sehingga sesuai untuk pertanaman kedelai, atau (2) melalui penggunaan genotip yang memiliki toleransi tinggi terhadap cekaman Al (Muhidin, 2002).
Pada tahun 2001 Badan Litbang Pertanian telah melepas tiga kedelai unggul toleran kemasaman tanah. Ketiga varietas tersebut adalah
Tanggamus, Nanti dan Sibayak dengan daya hasil berkisar antara 1,2-1,4 ton/ha dan umur 88-91 hari (Warta Litbang Pertanian, 2004).
BOTANI TANAMAN
Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu
Glycine soja, atau Soja max. Namun demikian, pada tahun 1984 telah
disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah yaitu Glycine max (L.) Merril. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merril
(Adisarwanto, 2005).
Sistem perakaran kedelai terdiri dari 2 macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu, kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Adisarwanto, 2005).
Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan coklat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi,
tergantung varietas. Di Indonesia besar biji bervariasi dari 6 gram – 30 gram (Suprapto, 2001).
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).
SYARAT TUMBUH
Tanaman ini pada umumnya dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah dan menyukai tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, dan berdraenase baik. Tanaman ini peka terhadap kondisi salin (Rubatzky
dan Yamaguchi, 1998).
Kedelai tumbuh baik pada tanah yang bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6 - 6,8. pada pH 5,5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6 – 6,8. pada pH < 5,5
pertumbuhannya sangat terlambat karena keracunan aluminium (Najiyati dan Danarti, 1999).
Kedelai dapat tumbuh di tanah yang agak masam akan tetapi pada pH yang terlalu rendah bisa menimbulkan keracunan Al. Nilai pH tanah yang cocok berkisar antara 5,8 – 7,0. Pada pH dibawah 5,0 pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001).
USAHA PENGEMBANGAN KEDELAI DI TANAH MASAM
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang terus meningkat, pemerintah telah melaksanakan beberapa program pengembangan agribisnis kedelai. Pada periode tahun 1984-1988 pemerintah menggalakkan pengembangan kedelai antara lain melalui program menuju swasembada kedelai, program pengembangan kedelai di lahan masam, penerapan anjuran teknologi, penggunaan pupuk biohayati, dan lain-lain. Tingginya perhatian pemerintah saat itu membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal tersebut terlihat dengan berkembangnya luas areal pertanaman kedelai di sebagian daerah (Deptan, 2006).
Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, yaitu sekitar 33,43 juta ha atau hampir 20% dari luas daratan Kepulauan Nusantara (197,944 juta ha). Kawasan rawa ini terbagi dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut meliputi luas sekitar 20,15 juta ha, terdiri dari tiga tipologi lahan utama yaitu lahan gambut (seluas 10,90 juta ha), lahan sulfat masam (6,70 juta ha) dan lahan alluvial lainnya yang merupakan endapan sungai (fluviatil), non-sulfat masam (2,07 juta ha) serta sisanya beberapa lahan salin (0,48 juta ha) (Noor, 2004).
Lahan sulfat masam menjadi perbincangan setelah Pemerintah Indonesia mengadakan program perluasan areal ke kawasan rawa di Kalimantan dan Sumatera yang dimulai pada periode Pelita I (1965-1974). Selama kurun waktu 25 tahun masa PJP I (1969-1994) telah dibuka sekitar satu juta hektar lahan rawa oleh pemerintah untuk mendukung program transmigrasi (Noor, 2004).
Sejarah mencatat Indonesia termasuk negara importir pangan utama di dunia. Indonesia pada tahun 1977 sudah menjadi importir beras
terbesar (sekitar 2 juta ton) atau hampir 20% dari pangsa yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 12 juta ton. Impor beras tertinggi Indonesia yakni 5,86 juta ton terjadi pada tahun 1998. Angka ini merupakan angka terbesar sepanjang sejarah perberasan Indonesia, pada tahun 2003 menurun pada angka 3,7 juta ton (Noor, 2004). Sama halnya dengan kedelai cukup memprihatinkan dimana untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai pemerintah harus mengimpor ± 60 % dari luar negeri. Diperkirakan devisa negara yang hilang dari impor kedelai tersebut mencapai ± Rp 3 triliun per tahun. Sedangkan kita pernah berjaya menanam kedelai sampai 1,9 juta ha, kita mempunyai teknologi, lahan dan tenaga kerja, tinggal bagaimana kita dalam melaksanakan Program Pembangunan Bangkit Kedelai Nasional (Deptan, 2006).
Pilihan rawa sebagai sumber pertumbuhan baru produksi pertanian, khususnya pangan disebabkan karena lahan rawa mempunyai beberapa keuntungan antara lain: (1) ketersediaan air yang melimpah, (2) topografi nisbi datar, (3) letak yang tidak jauh dari sungai sehingga memudahkan pencapaian dengan menggunakan alur sungai, dan (4) pemilihan lahan yang luas atau ideal bagi pengembangan usaha tani secara mekanis (2,0 ha per kk) dapat tersedia (Noor, 2004).
PENGARUH TANAH MASAM TERHADAP TANAMAN
Pertumbuhan tanaman yang kerdil pada tanah masam telah ditandai oleh adanya sejumlah faktor. Faktor-faktor mendasar yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan yang kerdil adalah keracunan aluminium, kekurangan magnesium, dan kekurangan molibdenum (Koswara dan Leiwakabessy, 1972).
Suatu studi yang dilakukan oleh Vlamis (1953) menunjukkan keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat
pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972).
Konsentrasi aluminium yang cukup tinggi pada tanah asam (yang pHnya dibawah 4,7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tapi tampaknya juga karena penghambatan penyerapan besi dan karena efek beracun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury dan Ross b), 1995).
Clarkson (1965) berhasil menunjukkan bahwa keracunan Al menghambat pembelahan sel. Dari pengamatannya pada larutan P ditambahkan Al, ternyata pembelahan sel terhambat (Hakim, dkk, 1986).
Pada shorgum, gejala keracunan Al pada bagian daunnya mirip dengan kekurangan Fe. Pada tanaman yang lain keracunan Al ditunjukkan lebih mirip dengan gejala kekurangan P. Pada akar yang keracunan Al
mengalami pemendekan akar, lebih tebal, lebih gelap dan sangat gemuk (Christiansen and Lewis, 1982).
Keracunan aluminium disebutkan merupakan salah satu faktor
kemungkinan yang menyebabkan gagalnya panen gandum di Maryland (Foth and Turk, 1972). Selanjutnya dilaporkan bahwa di Washington
panen gandum dapat mencapai 8151 kg per are yang diperoleh, sedangkan di Maryland hanya dihasilkan 763 kg per are.
Russel and Russel (1986) menyebutkan bahwa aluminium akan
terakumulasi pada akar dan dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan Posphat dari tanah ke pembuluh vaskular.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan target utama keracunan Al adalah jaringan akar tanaman, terutama ujung akar (Khatiwada, et al., 1996). Akar tanaman jagung dan kedelai dapat berkembang dengan baik pada larutan Al yang diberi kapur dibandingkan yang tanpa pengapuran. Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al adalah sistem perakaran
yang tidak berkembang (pendek dan tebal) sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel. Selain itu pengaruh buruk yang lain yaitu terjadi gangguan penyerapan hara mineral, penggabungan Al dengan dinding sel dan penghambatan pembelahan sel (Prasetiyono dan Tasliah, 2003).
Ternyata keracunan Al tidak hanya mengurangi serapan Posphat, Lee (1971) menemukan bahwa keracunan Al mengurangi serapan P, Ca,
K, Mn, Fe, Cu, dan Zn. Serapannya cenderung meningkat pada 1 hingga 2 ppm Al, kecuali aluminiumnya sendiri terus meningkat dengan bertambahnya kepekaan Al dalam larutan (Hakim, dkk, 1986).
Hakim, dkk (1986) menyimpulkan bahwa keracunan Al
menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar.
MEKANISME TOLERANSI TANAMAN TERHADAP ALUMINIUM Beberapa jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung tingkat ion toksik yang dapat mematikan untuk spesies lain. Terdapat empat mekanisme utama hingga hal tersebut terjadi:
1. Penghindaran (escape) fenologis, apabila stress yang terjadi pada tanaman bersifat musiman, tanaman dapat menyesuaikan siklus hidupnya, sehingga tumbuh dalam musim yang sangat cocok saja. 2. Ekslusi, tanaman dapat mengenal ion yang toksik dan mencegah
agar tidak terambil sehingga tidak mengalami toksisitas.
3. Penanggulangan (ameliorasi), tanaman barangkali mengasorbsi ion tersebut, tetapi bertindak demikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan kelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi, tanaman dapat mengembangkan sistem metabolis yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik yang potensial, mungkin dengan molekul enzim.
Spesies-spesies itu yang sangat mampu bertahan terhadap ion-ion toksik ditemukan mengalami mekanisme yang lebih dari satu, tetapi adopsi salah satu atau kombinasinya, menimbulkan kendala fisiologis dan ekologis yang penting (Fitter dan Hay, 1991).
Tanaman yang toleran terhadap keracunan Al memiliki kemampuan untuk menekan pengaruh buruk keracunan Al tersebut. Kriteria tanaman yang toleran antara lain : (a) akar sanggup tumbuh terus dan ujung akar tidak rusak, (b) mengurangi absorpsi Al, (c) memiliki berbagai cara untuk menetralkan pengaruh toksik Al setelah diserap tanaman, (d) sanggup menciptakan keadaan yang kurang asam di daerah perakaran, (e) translokasi ion Al ke bagian atas tanaman sedikit, karena sebagian besar ditoleran di akar, dan (f) karena suatu mekanisme tertentu maka ion aluminium tidak sanggup menghambat serapan Ca, Mg dan K (Prasetiyono dan Tasliah, 2003).
Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran, atau tidak toleran, terhadap unsur tak-esensial: timbel, kadmium, perak, aluminium, raksa, timah, dan sebagainya, dalam jumlah yang meracuni (Woolhouse, 1983).
Pada beberapa spesies, Al diserap hanya dalam jumlah yang terbatas, sehingga lebih merupakan penghindaran daripada toleransi (Taylor, 1987). Pada spesies lain, Al tertimbun di akar, dan dipindahkan sedikit saja ke tajuknya. Pada spesies lainnya lagi, akar dan tajuknya mengandung Al dalam jumlah yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat ditahan oleh spesies lain. Inilah toleransi sejati (Salisbury dan Ross a), 1995).
Baru-baru ini ditemukan mekanisme toleransi yang penting dan secara filogenetis tersebar luas. Logam diawaracunkan dengan cara dikelat dengan fitokelatin, yakni peptida kecil yang kaya akan asam amino sistein yang mengandung belerang. Peptida ini biasanya mempunyai 2
sampai 8 asam amino sistein di pusat molekulnya, serta sebuah asam glutamat dan sebuah glisin pada ujung-ujung yang berlawanan. Atom belerang dalam sistein hampir dipastikan penting untuk mengikat logam tersebut, tapi atom nitrogen atau oksigen diduga berperan pula.
Fitokelatin dihasilkan oleh banyak spesies, tapi sejauh ini diketahui bahwa fitokelatin hanya dijumpai bila terdapat logam dalam jumlah yang
meracuni. Fitokelatin dihasilkan pula oleh spesies yang kelebihan seng dan tembaga sehingga dapat mengawaracunkan berbagai logam esensial juga. Oleh karena itu, pembentukannya benar-benar merupakan respon
tumbuhan untuk beradaptasi terhadap keadaan lingkungan yang rawan (Salisbury dan Ross a), 1995).
Asam organik berperanan dalam penolakan Al melalui pelepasannya dari akar dan detoksifikasi Al dalam simplas, dimana asam organik seperti asam sitrat dapat mengkelat Al dan mereduksi atau mencegah pengaruh racunnya pada tingkat seluler (Pellet, et al., 1995). Beberapa senyawa organik yang dihasilkan tanaman dan dapat mengkelat Al antara lain adalah asam malat, asam sitrat, asam oksalat, asam fulfat, asam humat dan fenolat (Prasetiyono dan Tasliah, 2003).
Bahan kelat tertentu (misalnya, di dinding sel akar) membentuk kompleks kuat dengan ion logam itu dan mencegah reaksinya dengan bahan protoplasma yang peka seperti misalnya enzim. Sekresi logam itu ke dalam vakuola juga akan menurunkan efek beracunnya (Salisbury dan Ross b), 1995).
Ketahanan Al dapat disebabkan karena kemampuan untuk mencegah berpindahnya Al3+ masuk ke ruang bebas pada meristem, hingga melindungi pembelahan sel. Hemming (dikumpulkan oleh Foy, et
al., 1978) menemukan bahwa varietas gandum yang resisten dapat
bertahan dalam melawan seratus kali lipat bertambahnya konsentrasi Al eksternal sebelum Al masuk ke meristem akar, bila dibandingkan dengan
suatu varietas yang sensitif. Hal ini sekali lagi memperlihatkan adanya mekanisme pengikatan pada dinding sel (Fitter dan Hay, 1991).
Menurut Wood (1995) mekanisme toleransi Rhizobium terhadap Al mungkin disebabkan oleh strain yang toleran mampu membatasi jumlah Al yang berikatan dengan muatan negatif fosfat dari DNA, sehingga tidak mengganggu atau menghambat pembelahan sel atau strain yang toleran mampu untuk melepaskan Al yang berikatan dengan DNA lebih efektif daripada strain yang sensitif (Elfiati, 2005).
Perbedaan pH tanah di sekitar daerah perakaran tanaman jagung mempengaruhi perbedaan konsentrasi Al dan P. Jagung yang toleran mampu memperbaiki kedaan tanah di bagian terluar dari daerah perakaran. Kondisi yang lebih baik ini memperbaiki keragaan dari ketahanan strain jagung (Purnomo, et al., 2000).
STRATEGI PEMULIAAN TANAMAN TOLERAN ALUMINIUM Pemuliaan tanaman untuk mencari sumber-sumber ketahanan baru terus dilakukan. Saat ini para ahli mulai mengembangkan strategi dengan pendekatan biologi molekuler dengan mempelajari gen-gen yang mengatur toleransi Al berdasarkan mekanisme toleransi yang telah disebutkan di atas, kemudian dilakukan kloning, dan mulai merakit tanaman transgenik yang toleran Al (Prasetiyono dan Tasliah, 2003).
Suryowinoto (1996) menyatakan bahwa dalam upaya memperoleh varietas baru yang memiliki ketahanan dapat dilakukan pengujian beberapa varietas melalui metode kultur in vitro yaitu suatu metode pengujian beberapa varietas tekanan seleksi mulai tingkat sel sampai dihasilkan tanaman baru dan dilakukan dalam tabung serta kondisi lingkungan yang aseptik dan terkendali.
Gunawan (1992), mengatakan salah satu tujuan teknik in vitro adalah membantu dalam seleksi dan pemuliaan tanaman dalam
pengembangan varietas-varietas baru yang toleran terhadap stres lingkungan. Metode kultur jaringan yang pada mulanya hanya suatu penelitian fisiologis, dewasa ini menduduki posisi yang penting dalam perkembangan pertanian. Melalui metode ini, tanaman yang kompleks dapat dipecahkan menjadi komponen individu dasarnya. Dengan mengintegrasikan biokimia, biologi (sel dan molekul) serta fisiologis komponen seperti protoplas, sel somatik dan generatif, organ dapat diisolasi, dimanipulasi, dan kemudian dikembalikan lagi ke tanaman lengkap dalam suatu lingkungan kultur yang aseptik. Berbagai faktor seperti bagian tanaman, nutrien, hormon, dan lingkungan fisik saling berinteraksi menentukan arah pertumbuhan dan perkembangannya. Tujuan praktis metode perbanyakan tanaman yang bebas penyakit, membantu dalam seleksi dan pemuliaan tanaman, koleksi dan konservasi tanaman serta kemungkinan produksi bahan untuk penemuan obat dan untuk keperluan industri.
Menciptakan tanaman baru yang toleran terhadap Al pernah dilakukan oleh Ojima dan Ohira (Suryowinoto, 1996) yaitu terhadap tanaman tomat. Pada penelitian ini menggunakan Al-EDTA sehingga didapatkan kultivar tomat yang toleran terhadap Al. Temuan ini sangat membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi pada tanah-tanah daerah transmigrasi yaitu kandungan Al yang tinggi karena kendala tersebut telah diatasi dengan diciptakannya varietas baru yang tahan terhadap kandungan Al yang tinggi (Hendaryono dan Wijayani, 2006).
Seleksi terhadap sel-sel yang dikulturkan dapat menghasilkan mutan dalam jumlah yang amat banyak. Mutan-mutan yang dihasilkan umumnya diseleksi untuk melihat tingkat resistensinya. Sel-sel resisten dalam jumlah banyak dapat diseleksi dengan melihat kemampuannya untuk tumbuh pada media yang mengandung inhibitor, sel-sel sensitif
tentunya tidak akan tumbuh. Metode ini sangat berguna karena jutaan sel dapat diseleksi dengan mudah (Suliansyah, 2004).
PENGARUH KONSENTRASI ALCL3 TERHADAP TOLERANSI EMBRIO
KEDELAI
Ekawaty (2007) menyatakan bahwa pemberian tingkat konsentrasi AlCl3 diketahui nyata menghambat saat munculnya akar, dimana akar paling cepat muncul pada perlakuan kontrol (4,75 hari) dan pemunculan akar terus lambat sampai tingkat konsentrasi AlCl3 tertinggi (1,5 gr/l) yaitu 10,7 hari. Hal ini diduga terjadi akibat rusaknya sel-sel yang sedang tumbuh karena kehadiran aluminium, seperti yang dinyatakan oleh Hakim, dkk (1986) bahwa kehadiran Al menghambat pembelahan sel, disamping itu Salisbury dan Rossb) (1995) menambahkan bahwa Al memberikan efek beracun terhadap metabolisme tumbuhan.
Pemberian tingkat konsentrasi AlCl3 juga diketahui nyata menghambat saat munculnya tunas, dimana terlihat tunas paling cepat muncul pada perlakuan tanpa pemberian AlCl3 yaitu 4,50 hari, dan pemunculan tunas terus lambat hingga tingkat konsentrasi AlCl3 yang tertinggi (1,5 gr/l) yaitu 11,58 hari. Diduga akibat kehadiran Al menghalangi translokasi hara esensial dari media ke akar. Russel and Russel (1986) mengatakan bahwa aluminium akan terakumulasi pada akar dan dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan Posphat ke pembuluh vaskular. Dan ternyata kehadiran Al tidak hanya mengurangi serapan Phospat saja, Lee (1971) dalam Hakim, dkk (1986) menemukan bahwa keracunan Al menggurangi serapan P, Ca, K, Mn, Fe, Cu,dan Zn.
Perlakuan konsentrasi AlCl3 juga diketahui nyata menghambat pertambahan akar, diketahui dengan jelas bahwa jumlah akar terbanyak
diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu 7,75 buah dan terendah pada tingkat konsentrasi AlCl3 tertinggi (1,5 gr/l) yaitu 1,58 buah. Diduga bahwa Al menyusup ke jaringan tanaman mengakibatkan proses pembelahan sel terhambat, sehingga pertumbuhan akar primer serta pembentukan akar lateral juga terhambat (Hakim, dkk, 1986).
Pemberian tingkat konsentrasi AlCl3 diketahui nyata menghambat pembentukan daun. Jumlah daun terbanyak diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian konsentrasi AlCl3 yaitu 5,17 helai dan terendah pada tingkat konsentrasi AlCl3 tertinggi (1,5 gr/l) yaitu 0,58 helai. Diduga bahwa serapan unsur-unsur yang dibutuhkan dalam pembentukan daun seperti Mg, Na, dan Fe (Dwidjoseputro, 1994) terhalang oleh kehadiran Al, hal ini disebabkan Al yang terdapat dalam media terakumulasi di akar (Russel and Russel, 1986) sehingga menghalangi masuknya unsur-unsur tersebut ke dalam akar.
Pemberian tingkat konsentrasi AlCl3 juga diketahui nyata menghambat perpanjangan akar. Akar terpanjang diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian konsentrasi AlCl3 yaitu 19,63 cm dan terendah pada tingkat konsentrasi AlCl3 tertinggi (1,5 gr/l) yaitu 2,89 cm. Hal ini diduga akibat penggabungan Al pada dinding sel di daerah perakaran sehingga terjadi gangguan dalam penyerapan hara mineral yang mengakibatkan penghambatan perpanjangan sel sehingga sistem
perakaran tidak berkembang, akar menjadi pendek dan tebal (Prasetiyono dan Tasliah, 2003). Dugaan ini diperkuat oleh Clarkson
(1965) dalam Hakim dkk, (1986) yang menemukan bahwa kehadiran Al pada jaringan tanaman menghambat pembelahan sel.
PENGARUH VARIETAS KEDELAI TERHADAP TOLERANSI EMBRIO KEDELAI
Ekawaty (2007) menyatakan bahwa perlakuan varietas Kedelai berbeda nyata terhadap peubah saat munculnya akar, diperoleh bahwa saat munculnya akar yang paling cepat terjadi pada varietas Sibayak (V1) yaitu: 5,50 hari, disusul varietas Sinabung (V2) yaitu 7 hari, menempati urutan ketiga yaitu varietas Kaba (V3) 7,34 hari, sedangkan akar yang paling lambat muncul adalah varietas Mahameru (V4) yaitu: 8,92 hari. Hal ini diduga adanya perbedaan kemampuan masing-masing varietas untuk meresponi kehadiran Al. Woolhouse (1983) mengatakan bahwa spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran, atau tidak toleran, terhadap unsur tak-esensial seperti aluminium dalam jumlah yang meracuni. Diduga pada saat pembentukan akar terjadi mekanisme ekslusi, dimana tanaman dapat mengenal ion yang toksik dan mencegah agar tidak terambil sehingga tidak mengalami toksisitas (Fitter
dan Hay, 1991).
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan varietas Kedelai menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah akar. Diketahui bahwa jumlah akar terbanyak terdapat pada varietas Sibayak (V1) yaitu: 6,67 buah, diurutan kedua adalah varietas Kaba (V3) yaitu: 3,59 buah, disusul varietas Sinabung (V2) yaitu: 3,5 buah, dan jumlah akar yang paling sedikit adalah varietas Mahameru (V4) yaitu : 3,17 buah. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan kemampuan ketahanan Al yang berbeda pada masing-masing varietas. Diduga varietas Sibayak memiliki kemampuan untuk mencegah berpindahnya Al3+ masuk ke ruang bebas pada meristem yang lebih baik dibandingkan varietas yang lainnya, hingga melindungi pembelahan sel. Hal ini memperlihatkan adanya
mekanisme pengikatan pada dinding sel (Fitter dan Hay, 1991). Akibatnya perkembangan akar dapat terjadi dengan sedikit hambatan.
Christiansen and Lewis (1982), keracunan Al ditunjukkan lebih mirip dengan gejala kekurangan P. Pada akar yang keracunan Al mengalami pemendekan akar, lebih tebal, lebih gelap dan sangat gemuk. Pada semua varietas kedelai yang diuji cenderung mengalami pemendekan akar setiap peningkatan konsentrasi AlCl3. Terhambatnya perpanjangan akar pada media AlCl3 diduga juga akibat daya racun Al, ketidakseimbangan unsur di dalam tanaman serta adanya akumulasi Al disekitar akar seperti yang dikemukakan oleh Russel and Russel (1986). Kemungkinan terjadi penggabungan Al dengan dinding sel sehingga menghambat pembelahan sel maka terjadi penghambatan dalam perpanjangan sel akibatnya pada pemberian konsentrasi AlCl3 yang lebih tinggi sistem perakaran menjadi tidak berkembang (pendek dan tebal), seperti yang dikemukakan oleh Prasetiyono dan Tasliah (2003).
KESIMPULAN
1. Pemberian tingkat konsentrasi AlCl3 diketahui nyata menghambat saat munculnya akar.
2. Perlakuan varietas Kedelai menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah akar
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T., 2005. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Brawijaya, P., 2004. Keragaman Genetik Toleransi Kedelai terhadap Tanah Masam. Http://www.prasetyabrawijaya.ac.id/Apr04htm
Christiansen, M.N. and C.F. Lewis, 1982. Breeding Plants for Less favorable Environments. John Wiley and Sons, Inc., New York.
Departemen Pertanian, 2006. Usaha Pengembangan Kedelai.
Http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/tan/tp_2006/LPKedelai2.htm
Dwidjoseputro, D., 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ekawaty, D. 2007. Studi Toleransi Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merril) pada Kandungan AlCl3 secara in Vitro. Skripsi Fakultas Pertanian Sumatera Utara. Medan.
Elfiati, D., 2005. Seleksi Rhizobium Asal Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) terhadap Kemasaman dan
Aluminium. Jurnal Agrisol Vol. 4 No.1 Juni 2005: 22-26.
Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay, 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Penerjemah Sri Andani dan Purbayanti. UGM-Press, Yogyakarta.
Foth, H.D. and L.M. Turk, 1972. Fundamental of Soil Science. John Wiley and Sons, Inc., New York.
George, E.F. and P.D. Sherrington, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Eastern Press, London.
Gomez, K.A. dan A.A. Gomez, 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian, Edisi Kedua. Terjemahan Endang Sjamsuddin dan Justika S. Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Gunawan, L.W., 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. IPB-Press, Bogor.
Hakim, N., M. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, A. Diha, G.B. Fong, dan H.H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. IPB-Press, Bogor.
Hardjowigeno, S., 1985. Klasifikasi Tanah dan Lahan. Dalam Muhidin, 2004. Uji Cepat Toleransi Tanaman Kedelai terhadap Cekaman Aluminium. Mimbar Akademik, Jurnal Ilmiah Universitas Haluoleo, Edisi Maret Vol. 26: 18-24.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Geneve, 2002. Plant Propagation, Principles and Pratices, sixth edition.
Prentice-Hall, New Delhi.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani, 2006. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Kanisius, Yogyakarta.
Koswara, O. dan F. Leiwakabessy, 1972. Bahan Batjaan Kesuburan Tanah. IPB, Bogor.
Muhidin, 2002. Evaluasi Toleransi Beberapa Galur Varietas Kedelai terhadap Cekaman Aluminium. Mimbar Akademik, Jurnal Ilmiah Universitas Haluoleo, edisi Mei 2002 Vol-XXIII No. 13.
Najiyati, S. dan Danarti, 1999. Palawija Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nasir, M., 2002. Bioteknologi Molekuler Teknik Rekayasa Genetik Tanaman. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Noor, M., 2004. Lahan Rawa Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sifat Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nugroho, A. dan H. Sugito, 2004. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prihadi, D.P., K.D. Richards, and R.C. Gardner, 1991. Screening Selected Soybean Genotype for Aluminium Tolerance. Dalam Muhidin, 2004. Uji Cepat Toleransi Tanaman Kedelai terhadap Cekaman Aluminium. Mimbar Akademik, Jurnal Ilmiah Universitas Haluoleo, Edisi Maret Vol. 26: 18-24.
Prasetiyono, J. dan Tasliah, 2003. Strategi Pendekatan Bioteknologi untuk Pemuliaan Tanaman Toleran Keracunan Aluminium. Jurnal Ilmu Pertanian Vol.10 No.1: 64-67.
Purnomo, E., H. Syaifuddin, A. Fahmi, F. Kasim, and M.H.G. Yasin, 2000. The Variation of Soil pH, Aluminum, and Phosphorus within the Root Zone of Maize Strains Differing in Their Tolerance to Aluminum Toxicity. Jurnal Tanah Tropika No.10: 171-178.
Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi, 1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi dan Gizi, jilid kedua. Terjemahan Catur Herison. ITB-Press, Bandung. Russel, W. and E.J. Russel, 1986. Soil Conditions and Plant Growth.
Longmans, London.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross a), 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1,
Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB-Press, Bandung.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross b), 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3: Sel, Air, Larutan dan Permukaan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB-Press, Bandung.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suliansyah, 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Suprapto, H.S., 2001. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suryowinoto, 1996. Pemuliaan Tanaman secara in Vitro. Kanisius, Yogyakarta.
Warta Litbang Pertanian, 2004. Kedelai Unggul Baru untuk Lahan Masam. Warta Litbang Pertanian Vol. 26 No. 6: 6.
Wetter, L.R. dan F. Constabel, 1991. Metode Kultur Jaringan, edisi Kedua. Terjemahan Mathilda B. Widianto. ITB-Press, Bandung.
Woolhouse, H.M., 1983. Toxicity and Tolerance in the Responses of Plants to Metals. Dalam F.B. Salisbury dan C.W. Ross. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. ITB-Press, Bandung.
Yahya, S., B.A. Sirait, dan K. Idris, 2001. Kesesuaian Galur Kedelai Toleran Aluminium Generasi Awal in Vitro pada Tanah Mineral Masam di Rumah Kaca. Ilmu Pertanian Kultura Vol 36. 2 September 2001: 15-21
Yeoman, M.M., 1990. Plant Cell Culture Technology. Blackwell Scientific Publications, London.
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan, Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta.