• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh :

Asri Dwi Utami NIM. E 0008117

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

(2)

commit to user

ii

(3)

commit to user

iii

(4)

commit to user

iv

(5)

commit to user

v

MOTTO

“dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam

kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuz)”. (QS. Al An’am: 59) Aku adalah apa yang hambaku sangkakan, dan Aku akan selalu bersamanya

selama ia mengingat-Ku (Muttafaq’alaih)

“The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we

fall”. (Nelson Mandela)

Kebahagian sejati adalah setiap hal yang ada di kehidupan kita.. be Happy ^^ (Lee Teuk-ssi)

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada : Orang Tua

Bangsa dan Tanah Air ku Indonesia. I LOVE INDONESIA ! Almamater, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Orang-orang yang mempunyai mimpi dan senantiasa berusaha meraihnya

(7)

commit to user

vii ABSTRAK

Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan hukum internasional mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas dengan menganalisa kasus Kapal Sinar Kudus MV. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode analisis bahan hukum menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum.

Hasil penelitian mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas adalah bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional yang dapat dijadikan sebagai landasan. Aturan-aturan tersebut yaitu Convention on the

High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the Sea

1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful Acts

Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988) dan ketentuan yang

diatur oleh organisasi internasional serta hukum yang berlaku di kawasan tertentu. Berdasarkan aturan hukum internasional tersebut seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus MV dapat dilakukan dengan cara lain (tidak dengan pembayaran uang tebusan). Penyelesaian yang sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yurisdiksi Indonesia, yurisdiksi Somalia maupun yurisdiksi universal

(8)

commit to user

viii

ABSTRACT

Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALYSIS OF PIRACY JURISDICTION ON THE HIGH SEAS BY INTERNATIONAL LAW (CASE STUDY ON THE SINAR KUDUS MV SHIP PIRACY). Faculty of Law Sebelas Maret University Surakarta.

This research aims to determine the international law rules concerning piracy on the high seas by analyzing the application of jurisdiction case on Sinar Kudus MV ship case. This research is a normative legal research with prescriptive characteristic. The approach researches are statute approach and cases approach. The law materials used by this research are primary, secondary and tertiary materials. For the analysis, it uses a deductive method.

The results of the research show that there has been international law rules which can be used as the basis for all states to apply their jurisdiction to the piracy cases. These rules are the Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), and the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988). Instead of these international rules, some codes and guidances concerning combating piracy are also concluded by international organizations. Based on these international rules, the Indonesian government has some alternatives to prosecute pirates, instead of ransom money payment. These alternatives are either employing Indonesian or Somalia jurisdiction; regional jurisdiction; and universal jurisdiction.

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, penulisan hukum (skripsi) dengan

judul “ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT

LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS

PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)” dapat penulis selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas mengenai

Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya penulisan hukum ini. Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Ibu Sri Lestari, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan perhatian kepada penulis.

4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi demi kemajuan Penulis.

5. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II

Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, obrolan-obrolan bermanfaat dan motivasi demi kemajuan Penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

(10)

commit to user

x

dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan.

7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta terima kasih atas bantuannya.

8. Kementrian Luar Negeri khususnya Dinas 3 Polkamwil yang telah

memberikan Penulis banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.

9. Orang tua penulis, terimakasih atas cinta, doa dan pengorbanannya selama ini hingga sampai detik ini penulis hanya dapat membalas dengan doa dan hanya mampu berucap terimakasih lagi terimakasih.

10.Arum Setyowati dan Heri Kurnianto, terimakasih sudah memberikan

motivasi, doa dan bimbingan selama ini tanpa support dari kalian tidak akan pernah penulis menjadi seperti ini.

11.Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah

membantu dam mengisi hari-hari penulis dalam penyusunan skripsi ini. Surakarta,

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..………. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... HALAMAN PERNYATAAN……….. MOTTO……… HALAMAN PERSEMBAHAN………... ABSTRAK……… KATA PENGANTAR………... DAFTAR ISI………. DAFTAR TABEL….……… DAFTAR GAMBAR……… BAB I. PENDAHULUAN……… A. Latar Belakang………..……….. B. Rumusan masalah………... C. Tujuan Penelitian……… D. Manfaat Penelitian……….. E. Metode Penelitian………...

F. Sistematika Penulisan Hukum………

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………..

A. Kerangka Teori………..……….

1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan

United Nations Convention on Law of the Sea 1982………... 2. Tinjauan tentang yurisdiksi ………...

3. Tinjauan tentang jenis kapal laut………

4. Tinjauan tentang status kapal di laut lepas………

5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut………

i ii iii iv v vi vii ix xi xiii xiv 1 1 4 4 5 6 10 12 12 12 20 23 25 26

(12)

commit to user

xii 30 32 32 32 34 42 49 49 90 101 102 109 B. Kerangka Pemikiran………..………

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. A. Hasil Penelitian………...

1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara

Somalia………..

2. Gambaran tentang perompakan Somalia………..

3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV………... B. Pembahasan………...

1. Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum

internasional………...

2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal

Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum internasional……….. BAB IV. PENUTUP……….

A. Simpulan……….

B. Saran………

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

39 83 Tabel 1: Kapal yang dirompak di afrika tahun

2010-2011………... Tabel 2: Resume aturan hukum internasional mengenai

(14)

commit to user

xiv DAFTAR GAMBAR 12 30 34 36 39 42 Gambar 1: Gambar pembagian wilayah laut……….

Gambar2: Skema Kerangka Pemikiran ………... Gambar3: Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia………... Gambar4: Gambar perluasan wilayah perompakan………... Gambar5: Gambar total perompakan di beberapa negara………... Gambar6: Gambar jalur perompakan………...

(15)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut sebagai cabang dari hukum internasional telah mengalami banyak perubahan. Hukum laut mengalami suatu revolusi yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hukum laut merupakan salah satu pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam konferensi internasional, hukum laut diberikan ruang yang luas dalam pembahasan di perjanjian multilateral (D.J Harris, 1998: 368). Pada abad ketujuhbelas Portugis menyatakan laut lepas sebagai bagian dari laut teritorial Portugis, namun klaim ini ditanggapi oleh Grotius yang mengelaborasikan nilai doktrin laut lepas sebagai res communis yang berarti laut lepas merupakan milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil/dimiliki oleh masing-masing negara (Malcolm N Shaw, 2008: 553).

Konferensi internasional yang mengatur mengenai hukum laut telah di mulai sejak tahun 1930 dengan adanya kodifikasi hukum internasional yang salah satunya mengatur mengenai laut teritorial. Pada tahun 1958 diadakan lagi konferensi internasional dan mengatur khusus mengenai hukum laut yang menghasilkan 4 konvensi tentang hukum laut, yakni Konvensi atas Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Teritorial Sea and Contiquous Zone), Konvensi atas Laut Bebas (TheConvention on The High Seas), Konvensi atas Landasan Kontinental

(The Convention on The Continental Shelf), dan Konvensi atas Penangkapan Ikan

dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Bebas (The Convention on Fishing and

Conservation of Living Resources of The High Seas) (Rebecca

M.M.Wallace,1993: 141).

Sejalan dengan adanya perkembangan jaman dan banyaknya bahaya di laut maka diadakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke III atas hukum laut. Pada tanggal 30 April 1982 konferensi tersebut telah ditandatangani oleh 119 negara, dan menghasilkan Konvensi Hukum Laut yang baru yaitu United Nations

Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Pembahasan mengenai

(16)

commit to user

hukum laut dilakukan karena dilatarbelakangi oleh fungsi laut yang merupakan jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala macam kegiatan (Boer Mauna, 2005: 304). Karena fungsi tersebut, kejahatan sering terjadi di laut, hal ini disebabkan karena laut dijadikan sebagai jalur transportasi yang sering digunakan untuk menghubungkan antar negara.

Kejahatan yang sering terjadi di laut salah satunya adalah perompakan. Perompakan sudah ada sejak zaman Illyrians tahun 233 SM. Pada saat itu, kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang Italia dan Yunani dari kejahatan perompakan ketika berlayar di laut. Namun perompakan tetap tidak berkurang, para perompak terus bertahan dan menyebar ke berbagai lokasi di seluruh dunia (Sergei Oudman, http://www.e-ir.info/2010/02/24/piracy-jure-gentium-international-law/).

Tindakan perompakan mengancam keamanan pelayaran, membahayakan awak buah kapal dan keamanan dalam perdagangan. Tindakan kejahatan perompakan ini dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan fisik kapal atau penyanderaan awak buah kapal, gangguan untuk perdagangan dan navigasi, kerugian keuangan untuk pemilik kapal, peningkatan premi asuransi dan biaya keamanan, meningkatkan biaya bagi konsumen dan produsen, dan kerusakan pada lingkungan laut. Serangan perompakan juga dapat memiliki konsekuensi yang luas, termasuk mencegah bantuan kemanusiaan dan meningkatkan biaya pengiriman masa depan ke daerah-daerah (division for ocean affairs and the law

of the sea, http://www.un.org/Depts/los/piracy/piracy.htm).

UNCLOS 1982 memberikan kerangka untuk menekan perompakan di bawah hukum internasional, khususnya dalam Pasal 100-107. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menegaskan bahwa hukum internasional, sebagaimana tercermin dalam UNCLOS 1982, menetapkan kerangka hukum yang berlaku untuk memerangi perompakan dan perampokan bersenjata di laut (Resolusi Dewan Keamanan 1897 (2009), diadopsi pada tanggal

30 November 2009) (division for ocean affairs and the law of the sea,

(17)

commit to user

suatu tindak pidana yang berada diyurisdiksi semua negara di manapun tindakan itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan

masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai kejahatan

pelanggaran atas prinsip jus cogens (J.G. Starke, 2009: 304).

Secara umum istilah perompakan atau perampokan bersenjata di laut tidak dibedakan secara pasti dan jelas. Namun dalam pengertian yang ada di dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 perompakan di laut diartikan secara sederhana yang terdiri dari salah satu di antara tindakan yang merupakan tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara dan atau terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Serta, setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta bahwa kapal atau pesawat udara tersebut digunakan untuk merompak.

Setiap tahun kasus perompakan mengalami peningkatan, menurut laporan tahunan International Maritime Organitation (IMO), perompakan yang terjadi di laut lepas di dunia pada tahun 2009 terdapat 406 kasus dan semakin meningkat hingga 20,4%, terdapat 489 kasus pada tahun 2010 (IMO, MSC.4/Circ.169 http://www.imo.org/KnowledgeCentre/ShipsAndShippingFactsAndFigures/Statist icalresources/Piracy/Pages/Piracy-reports-(annual)-1996-2010.aspx).

Kasus yang terjadi pada tahun 2011 yakni perompakan Kapal Sinar Kudus MV yang dirompak oleh perompak dari Somalia di 320 mil laut sebelah timur laut Pulau Socotra sebanyak 20 awak kapal yang berwarganegara Indonesia dijadikan disandera oleh perompak Somalia. (Deni Doris, http://www.dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id

=344%3Aperompakan-kapal-mv-sinar-kudus&Itemid=137). Upaya yang telah dikerahkan dari pihak Indonesia untuk menyelesaikan kasus tersebut yakni dengan melakukan negosiasi dengan pembayaran uang tebusan kepada para perompak Somalia.

(18)

commit to user

Pembayaran uang tebusan dan negosiasi yang diterapkan untuk menyelesaikan kasus perompakan Sinar Kudus MV sesungguhnya bukan menjadi solusi satu-satunya yang dapat diterapkan, melainkan ada alternatif solusi lain yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat dalam kasus tersebut. Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai yurisdiksi yang melekat pada perompakan kapal laut di laut lepas menurut hukum internasional dengan studi kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV tersebut dengan judul “ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan di laut lepas?

2. Bagaimana penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum internasional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan subjektif dan tujuan objektif. Dalam penelitian hukum ini mempunyai tujuan objektif dan tujuan subjektif adalah:

1. Tujuan objektif

Tujuan objektif merupakan tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian hukum ini tujuan objektifnya sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan aturan-aturan hukum internasional dalam mengatur perompakan di laut lepas;

b. Untuk mengkaji penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV yang ditinjau dari aspek hukum internasional.

(19)

commit to user

2. Tujuan subjektif

Tujuan subjektif yaitu merupakan tujuan pribadi penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian hukum. Dalam penelitian ini tujuan subjektifnya sebagai berikut:

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu

hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum Internasional, khususnya hukum laut di bidang perompakan;

b. Menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar kajian tentang yurisdiksi perompakan di laut lepas ini memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang bernilai positif karena berdasarkan alasan tersebutlah penulis melakukan penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini, bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya, dan hukum Internasional pada khususnya;

b. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang aturan hukum perompakan kapal laut menurut hukum internasional;

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini berkaitan dengan pemecahan suatu masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut :

(20)

commit to user

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan

membentuk pola pikir sekaligus mengetahui kemampuan peniliti dalam penerapan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada semua

pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum laut internasional.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

Sesuai urgensi penelitian hukum untuk menghasilkan suatu argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah, maka diperlukan metode penelitian sebagai rangkaian langkah untuk mencapai preskripsi penelitian hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan kajian penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Penelitian yang dikaji penulis seiring dengan definisi dari penelitian hukum normatif, diteliti dan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahan pustaka, baik bahan hukum primer seperti, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan masalah yang diteliti. Telaah terhadap unsur hukum yang dimaksud dalam

(21)

commit to user

penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui unsur yurisdiksi yang terdapat dalam kasus perompakan kapal di perairan laut lepas secara normatif.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian hukum adalah sejalan dengan sifat hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22).

Sifat preskriptif yang peneliti analisis adalah aturan hukum internasional yang seharusnya diterapkan dalam kasus perompakan Sinar Kudus MV yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat terhadap kasus tersebut.

3. Pendekatan penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Penelitian hukum ini akan menggunakan pendekatan undang-undang

(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan

undang-undang (statue approach) digunakan dengan menelaah isu hukum yang diangkat dikaitkan dengan aturan-aturan yang terdapat pada UNCLOS 1982, Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation

(22)

commit to user

Selain hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach) melalui penelaahan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan

kapal Sinar Kudus MV yang terjadi pada tahun 2011.

4. Jenis bahan hukum

Penelitian hukum memerlukan sumber penelitian untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai yang seyogyanya. Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan-bahan-bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer seperti :

1) Convention on the High Seas 1958

2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;

3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of

Maritime Navigation 1988 (SUA 1988)

4) Resolusi Dewan Keamanan PBB

5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

(23)

commit to user

Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung untuk menelaah segala isu hukum dalam penelitian ini diantaranya adalah

dokumen publik dan catatan resmi (public documents and officials

records) yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan

perompakan di laut lepas dalam ranah hukum. Selain itu penulis memperoleh bahan hukum dari buku-buku teks, jurnal-jurnal, artikel, penelitian terdahulu, media elektronik serta media massa yang mengulas mengenai perompakan di laut lepas yang dimaksud serta sumber lain yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

Bahan hukum sekunder yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan teks yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang dipakai penulis dalam hal ini antara lain :

1) Jurnal-jurnal, antara lain:

a) Lucas Bento.2011. “Toward An International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables Piracy to Flourish”. Berkeley Journal of International Law. Vol. 29 No. 2

b) Tri Setyawan R. 2005. “Pengaturan Hukum Penanggulangan

Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan Indonesia”. Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No

ISSN 1411-3759.

2) Buku teks mengenai hukum Internasional:

a) D.J Harris tahun 1998 dengan judul Cases and Materials on

International Law diterbitkan oleh Sweet and Maxwell Limited,

London

b) J.G Starke. Tahun 2009 dengan judul Pengantar Hukum

Internasional diterbitkan oleh Sinar Grafika, Jakarta.

c. Bahan Hukum Tersier yakni bahan hukum yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian, peneiliti menggunakan bahan hukum tersier berupa Blacks Law Dictionary.

(24)

commit to user

5. Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas dipaparkan, di sistemisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johny Ibrahim, 2006: 296).

6. Teknik analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum ini menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor dan kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47). Analisis yang digunakan penulis melalui metode deduksi ini berupa penyajian premis mayor terkait konsep menurut peraturan dalam aturan hukum internasional tentang perompakan di laut lepas kemudian premis minor ditunjukkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV di laut lepas. Kesimpulan yang diperoleh dari kedua premis yakni tidak digunakannya penerapan yurisdiksi yang diatur dalam hukum internasional terhadap kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Metode penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, sumber penelitian hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

(25)

commit to user

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini yakni: Tinjauan terhadap pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982, tinjauan tentang yurisdiksi, tinjauan tentang jenis-jenis kapal laut, tinjauan tentang status kapal laut di laut lepas, tinjauan tentang perompakan kapal laut.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang aturan-aturan hukum dalam penyelesaian terhadap perompakan di laut lepas yang dikaitkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV.

BAB IV : PENUTUP

Berisi simpulan yang merujuk dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran yang diajukan penulis terkait simpulan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

(26)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Sebuah tinjauan pustaka berguna sebagai dasar teori dalam penulisan hukum, maka penulis dalam Bab ini akan menguraikan beberapa teori yang menjadi dasar teori dalam penulisan hukum ini seperti pembagian laut menurut UNCLOS 1982, yurisdiksi, jenis-jenis kapal, status kapal dan perompakan. Selain hal tersebut, dalam Bab ini penulis mencantumkan sebuah kerangka pemikiran untuk mengetahui alur berfikir dalam penulisan hukum ini.

1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan United Nations

Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)

Gambar 1

Gambar pembagian wilayah laut

(Sumber : http://tugino230171.wordpress.com/2011/05/01/perkembangan-wilayah-laut-indonesia/)

Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut laut dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut:

a. Perairan pedalaman

Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di wilayah perairan dalam ini, negara memiliki kedaulatan penuh atasnya. Tidak ada kapal asing yang diperbolehkan masuk ke dalam wilayah ini kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 186).

(27)

commit to user

b. Laut teritorial

Pasal 3 UNCLOS 1982 mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 ini. UNCLOS 1982 memberikan keleluasan bagi setiap negara untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 juga (Albert W Koers, 1991: 7).

Negara mempunyai kewenangan dalam laut teritorial yakni negara berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non-hayati dalam air tersebut. Namun, negara berkewajiban menyediakan jalur khusus bagi pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut. Jalur tersebut sering disebut sebagai innocent passage atau jalur lintas damai. Aturan mengenai jalur lintas damai ini diatur dalam pasal 19 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa lintas damai adalah lintas yang dilakukan kapal sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan hukum internasional lainnya.

Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-kapal dagang/ pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan orang/ lembaga dari negara pantai dengan syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan negara pantai. Kewajiban negara terhadap lintas damai diatur dalam Pasal 24 UNCLOS 1982, yakni negara tidak dipekenankan menghalangi lintas damai kapal asing yang melalui laut teritorialnya.

Negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur lintas damai. Pasal 27 UNCLOS 1982 mengatur hal tersebut, yakni

(28)

commit to user

yurisdiksi kriminal negara tidak dapat diterapkan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial, kecuali dalam hal kejahatan yang terjadi di atas kapal asing tersebut dirasakan oleh negara teritorial dan mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah, telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal, wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera, tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropica. Hak negara dapat digunakkan untuk mengambil langkah apapun berdasarkan undang-undangnya untuk tujuan penangkapan atau penyidikan di atas kapal asing yang melintasi laut teritorialnya setelah meninggalkan perairan pedalaman.

c. Zona tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan merupakan suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 33 UNCLOS 1982, bahwa negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapkan hukumnya (Albert W Koers, 1991: 7).

Zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan sebagai berikut:

1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai,

fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya;

2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di

atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya d. Zona ekonomi ekseklusif (ZEE)

Pengertian zona ekonomi eksklusif dirumuskan dalam Pasal 55 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus. Ditegaskan pula di dalam Pasal 57 bahwa lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.

(29)

commit to user

Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai beberapa hak yang dapat dinikmati :

1) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;

2) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan

dengan UNCLOS 1982 ini berkenaan dengan:

(a) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (b)Riset ilmiah kelautan;

(c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

3) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam UNCLOS

1982.

ZEE memiliki perbedaan dengan laut teritorial. ZEE tidak tunduk pada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-hak berdaulat dan bukan kedaulatan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 58 UNCLOS 1982 bahwa di zona ekonomi eksklusif di semua negara dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan UNCLOS 1982, mengamati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam UNCLOS 1982 ( Albert W. Koers, 1991: 8).

e. Laut lepas

Sudah menjadi suatu ketentuan umum yang berasal dari hukum kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas. Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam

(30)

commit to user

perairan internal suatu negara, definisi ini kemudian sudah mendapatkan modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982 (Rebecca M.Wallace, 1993: 155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi atas pengertian laut lepas yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di zona ekonomi eksklusif. Sedangkan, Pasal 86 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi ekseklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Dengan menilik hal tersebut maka yang disebut laut lepas adalah perairan yang terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar zona ekonomi ekseklusif.

Menurut Black’s Law Dictonary, Laut Lepas adalah the Seas or oceans beyond the jurisdiction of any country. Under traditional international law, the high sea began 3 miles from the coast, today the distance is generally accepted to be 12 miles. Under the UNCLOS 1982

coastal shores now have 200 miles exclusive economic zone. Laut lepas

sebagai laut atau samudera di luar yurisdiksi setiap negara. Dahulu dalam hukum internasional laut lepas di mulai 3 mil dari tepi pantai, akan tetapi sejalan dengan perkembangan jarak yang disepakati secara umum menjadi 12 mil. Setelah adanya UNCLOS 1982 laut lepas dihitung setelah 200mil dari garis pangkal. (Bryan A Ganner, 1999: 1466):

Laut lepas terbuka untuk semua negara baik itu negara pantai maupun negara bukan pantai. Prinsip yang digunakan dalam konsep laut lepas menggunakan prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 189).

Menurut Pasal 2 CHS tahun 1958 mengatakan bahwa laut lepas harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh

(31)

commit to user

mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Hal ini diperjelas kembali dalam Pasal 82 UNCLOS 1982, laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam UNCLOS 1982 dan ketentuan lain di hukum internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi laut lepas baik untuk negara pantai atau negara tidak berpantai:

1) Kebebasan berlayar; 2) Kebebasan penerbangan;

3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;

4) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;

5) Kebebasan menangkap ikan;

6) Kebebasan riset ilmiah.

Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS 1982 yang berhubungan dengan kegiatan di kawasan di laut lepas. Kebebasan yang dimaksud juga untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara dapat menegakkan yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Hal ini diakomodir di dalam Pasal 89 UNCLOS 1982, pasal ini menjelaskan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari laut lepas pada kedaulatannya

Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara, mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas. Dengan begitu, harus adanya suatu keterkaitan yang jelas antara kapal dengan bendera negaranya, ditegaskan pula dalam Pasal 92 bahwa status kapal di laut lepas sebagai berikut :

(32)

commit to user

1) Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas.

2) Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu

dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.

3) Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan.

Begitu juga ketika terjadi pelanggaran atau tindak kejahatan di laut lepas di atas kapal, maka yurisdiksi negara bendera yang berkibar di kapal tersebutlah yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari negara pantai memiliki alasan yang cukup untuk mengira bahwa suatu kapal telah melanggar peraturan perundang-undangan negaranya. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing berada pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pantai dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika ini diakomodir dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai aturan-aturan dalam proses pengejaran seketika tersebut.

Hak pengejaran seketika berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan, di sekitar instalasi-instalasi di landas kontinen. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Hak pengejaran seketika ini hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat

(33)

commit to user

udara militer atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara pemerintah dan berwenang melakukan tugas itu. Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya tindakan pengejaran seketika, dan kapal tersebut menderita kerugian, maka kapal asing itu harus mendapat ganti kerugian sebesar kerugian yang dideritanya.

f. Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional

Semua kapal dan pesawat terbang (termasuk kapal perang dan pesawat terbang militer) dari semua negara untuk tujuan ‘continuous and

expeditious transit’ dari satu laut lepas (high sea) atau zona ekonomi

ekseklusif (exclusive economic zone) menuju laut bebas atau zona ekonomi eksklusif lainnya yang lain, berhak atas lintas transit (transit

passage) di selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional

(Sahono Soebroto, 1983: 10). Pasal 44 UNCLOS 1982, mengatur tentang kewajiban negara yang berbatasan dengan selat dirumuskan bahwa negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang diketahuinya.

g. Landas kontinen

Batas landas kontinen adalah kelanjutan garis batas dari daratan suatu benua yang terendam sampai kedalaman 200m di bawah

permukaan air laut. Menurut Pasal 77 UNCLOS 1982, hak negara di

landas kontinen ini mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi. Perlu dicatat bahwa pada bagian landas kontinen yang berada dalam batas 200 mil zona ekonomi ekslusif, hak tersebut bersamaan dengan hak-hak yang dinikmati berdasarkan Pasal 56 konvensi mengenai zona ekonomi ekslusif (Heru Prijanto, 2007 : 15).

(34)

commit to user

2. Tinjauan tentang yurisdiksi

a. Pengertian yurisdiksi

Yurisdiksi diartikan oleh Malcolm N Shaw sebagai hal yang menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum internasional untuk pengaturan atau mengatur dampak terhadap orang, barang, dan keadaan serta mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara, kesetaraan negara, non-interfensi di dalam urusan dalam negerinya. Yurisdiksi menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal itu merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah, membuat atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw, 2008: 645).

Menurut Encyclopedia Americana diuraikan tentang arti kata

jurisdiction (yurisdiksi), “jurisdiction , in law, a term for power or

authority. It is usually applied to courts and quacy judicial bodies, describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation,

the term means the authority to declare and enforce the law”. Dalam

hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah kekuasaan atau wewenang. Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan peradilan, yang menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak. Penerapan disebuah negara atau bangsa, berarti wewenang untuk menyatakan dan menegakkan hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292).

Menilik pada tiga pengertian tersebut, bahwa yurisdiksi berkaitan dengan permasalahan hukum. Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya (pidana dan perdata). Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang) untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang (Rebbeca M.Wallace, 1993:191). b. Prinsip-prinsip yurisdiksi negara :

1) Asas teritorial (territorial principle)

Hukum Internasional memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk mengatur permasalahan negaranya sendiri. Yurisdiksi

(35)

commit to user

teritorial yaitu kewenangan suatu negara untuk mengatur, menerapkan, dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang ada atau terjadi (bisa berupa benda, orang, peristiwa) di dalam batas-batas wilayahnya (I Wayan Parthiana, 1990:317).

Sebuah negara bebas untuk mengatur dan menegakkan undang-undang yang ada dalam wilayahnya untuk setiap orang dalam wilayahnya, termasuk warga negara asing, kecuali ketika kebebasan itu dibatasi oleh perjanjian. Negara juga dapat menerapkan hukum-hukumnya untuk kapal yang mengibarkan benderanya atau pesawat udara yang terdaftar dan orang berada dalam kapal tersebut (Anthony Aust, 2005:44).

Menurut Lord Mac Milan dalam buku J.G Starke, jurisdiksi adalah :

suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang beradaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini (J.G Starke, 2009: 270-271)

Suatu kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara satu dapat dimungkinkan diselesaikan di negara lain. Dalam hal ini, ada dua asas teritorial yang saling berhubungan, yaitu asas teritorial subjektif dan asas teritorial objektif. Asas teritorial subjektif mengijinkan pelaksanaan yurisdiksi di negara di mana kejahatan itu di mulai sedangkan asas teritorial objektif memberikan yurisdiksi kepada negara di mana kejahatan diselesaikan, dan mempunyai efek dari korban (Rebbeca M.Wallace, 1993: 120-121). Asas territorial dapat diterapkan ketika misalnya seseorang melakukan kejahatan di suatu negara dapat diadili di negara tersebut meskipun bukan warga negara tersebut, penerapan ini didasarkan atas tempat terjadinya suatu kejahatan sehingga yurisdiksi tempat kejadian kejahatan tersebut dapat diterapkan.

(36)

commit to user

2) Asas personal

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di manapun juga. Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

a) Prinsip nasionalitas aktif

Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negaranya. Prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana di luar negeri (Malcolm N Shaw, 2008: 664).

Prinsip nasional aktif dapat diterapkan untuk warga negara yang melakukan sebuah kejahatan di negara lain, misalnya seorang warga negara Indonesia melakukan kejahatan di negara Australia, hukum Indonesia tetap melekat pada warga negara Indonesia tersebut sehingga warga negara Indonesia tersebut dapat diadili dengan hukum Indonesia.

b)Prinsip nasionalitas pasif

Berdasarkan prinsip ini, negara dapat mengklaim yurisdiksi untuk mencoba individu untuk pelanggaran dilakukan di luar negeri yang telah mempengaruhi atau akan mempengaruhi warga negara (Malcolm N Shaw, 2008: 664)

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).

(37)

commit to user

3) Asas universal (universality principle)

Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelanggaran. Dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai kompetensi negara untuk menuntut yang diduga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum internasional (Malcolm N Shaw, 2008: 668).

Dasar pertimbangan untuk menempatkan suatu peristiwa hukum tertentu di bawah yurisdiksi universal, yakni peristiwa hukum tertentu yang tidak tercakup oleh jenis yurisdiksi lain, tetapi membahayakan bagi umat manusia dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan umat manusia. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya peristiwa hukum di manapun dan kapan pun terjadinya serta siapapun yang menjadi pelaku maupun korbannya. (I Wayan Parthiana, 1990: 325)

Asas universal ini berlaku terhadap beberapa kejahatan seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan terorisme dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Asas perlindungan (protective/security principle)

Atas dasar ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang walaupun terjadi di luar negeri dan bukan oleh warga negaranya, akan tetapi dianggap sebagai membahayakan keamanan negara (Rebbeca M.Wallace, 1993: 122). 3. Jenis kapal laut

Perbedaan antara kapal publik dan kapal swasta saat ini didasarkan atas bentuk penggunaannya dan bukan atas kualitas pemilik kapal-kapal tersebut.

(38)

commit to user

Kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan tujuan swasta (Boer Mauna, 2005: 320).

a) Kapal perang

Pasal 29 UNCLOS 1982, memberikan definisi mengenai kapal perang. Kapal perang diartikan sebagai kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.

Sesuai dengan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal-kapal perang bukan saja kapal-kapal-kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan angkatan laut, seperti kapal ranjau laut, kapal penarik, kapal-kapal transport militer, dan lain sebagainya (Boer Mauna, 2005: 321). b) Kapal-kapal publik non-militer

Kapal-kapal publik yang dimaksud di sini yaitu, kapal-kapal pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal logistik pemerintah, kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal pengawasan pantai, atau kapal swasta yang disewamerintah untuk tujuan non-komersil maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik (Boer Mauna, 2005: 321).

c) Kapal organisasi-organisasi internasional

Kapal organisasi internasional yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional. Misalnya PBB, badan-badan khusus PBB dapat memakai kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-masing benderanya sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS 1982. Pasal 93 ini tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan dalam dinas resmi PBB, badan-badan khususnya atau badan tenaga atom

(39)

commit to user

internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan bendera organisasi tersebut (Boer Mauna, 2005: 321-322).

d) Kapal-kapal dagang

Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta.

4. Status kapal di laut lepas

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran.

Aturan mengenai kebangsaan kapal diatur dalam Pasal 91 UNCLOS. Pasal 91 menyatakan bahwa suatu kapal dapat memperoleh kebangsaanya dengan beberapa aturan sebagai berikut:

a. Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian

kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu.

b. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu.

Status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Di laut lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera.

Pasal 92 menjelaskan bahwa kapal harus berlayar di bawah satu bendera negara saja kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merubah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di

(40)

commit to user

suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. Serta sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan.

Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera yang dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer Mauna, 2005: 322).

5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut

Perompakan telah ditetapkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Sudah sejak abad ke-18, masyarakat bangsa-bangsa mengenal dan mengakui kejahatan perompak di laut sebagai kejahatan internasional yang dikenal sebagai piracy de jure cogens. Kejahatan tersebut dianggap sangat merugikan kesejahteraan bangsa-bangsa pada saat itu dan dianggap sebagai musuh bangsa-bangsa. Piracy de jure cogens kemudian ditetapkan sebagai kejahatan internasional karena merupakan satu-satunya tindak kriminal murni ( Eddy O.S. Hiariej,2009: 49). Perompakan adalah setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan yang dilakukan di laut lepas untuk tujuan pribadi dengan sebuah kapalnya terhadap kapal lain (Anthony Aust, 2002: 269).

Menurut Black’s Law Dictonary perompakan diartikan sebagai Piracy is

Robbery, kidnapping or other criminal violence commited at Sea (Bryan A

Garner, 1999: 1186).

Menurut pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 101 UNCLOS 1982 memberi pengertian bahwa, Perompakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan berikut :

(41)

commit to user

a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan :

i. Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian;

ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun;

b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang diatur di atas.

Brierly dalam Tri Setyawanta R memberikan definisi perompak kapal laut sebagai berikut

there is no authoritative definition of international piracy , but it is of

the essence of a piratical act to be an act violence , committed at sea or at any rate closely connected with the sea , by person not acting under proper authirity. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state, or even of an insurgent community whose belligerency has been recognized.”

Perompakan tidak didefinisikan secara otoratif tetapi esensi dari tindakan perompakan adalah tindakan kekerasan, yang dilakukan di laut atau di sekitar laut, oleh orang yang tidak bertindak di bawah ketetapan yang telah ada, jadi, tindakan yang tidak dapat dikatakan perompakan jika dilakukan oleh otoritas negara, atau bahkan dari komunitas yang melakukan pemberontak yang telah diakui (Tri Setyawanta R, 2005:2).

Menurut, S.V Molodtsov, telah memberikan perumusan mengenai batasan pengertian perompakan di laut sebagai berikut:

(42)

commit to user

Both acts of violence by vessels and their crews at sea also attack from

the sea on littoral points carried out with the aim of securing plunder , the seizure and sinking of vessels and persons or other criminal purposes are considered as piracy (sea banditry). In the epoch of imperialism piracy has aquired special characteristics. It is one of the provocative methods to which imperialist States resort for agressive purposes”

Perompakan di laut yakni suatu tindakan kekerasan terhadap kapal dan awak kapal di laut juga penyerangan di lepas pantai yang dilakukan dengan tujuan penjarahan, perampasan barang-barang dan untuk menyandera awak kapal serta tujuan kriminal lainnya dianggap sebagai perompakan (Tri Setyawanta R, 2005: 2).

Organisasi Maritim Internasional (International Maritime

Organization) memberikan definisi perompakan sebagai “unlawful acts as

defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of

the Sea (Tindakan ilegal sebagaimana yang diatur dalam Pasal UNCLOS

1982). Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dari International Maritime Organization

Maritime Security Commite (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft

Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed

Robbery Against Ships (pedoman praktek investigasi terhadap kejahatan

perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery

against ship (Perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut

“Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offenses.”

Menurut IMO perampokan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan ataupun pembunuhan terhadap tawanan, individu, kejahatan terhadap harta kekayaan maupun pengrusakan kapal, yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of

(43)

commit to user

International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi perompakan

yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101, IMB memberi perluasan definisi perompakan yakni IMB tidak membedakan definisi perompakan berdasarkan tempat kejadiannya. Dalam laporan IMB dikatakan act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance

thereof, perompakan diartikan sebagai tindakan dengan menaiki kapal apapun

dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain (http://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centre).

Istilah perompakan dan perampokan bersenjata (piracy and armed

robbery) terkadang membuat kerancuan, akan tetapi sebenarnya ada hal yang

membedakan keduanya. Pasal 101 UNCLOS 1982 jelas memberikan batasan bahwa dikategorikan piracy jika kejadian tersebut terjadi dilaut bebas, atau diluar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut territorial suatu negara. Sedangkan armed roberry lebih diartikan sebagai kejahatan perompakan yang terjadi di laut teritorial sebuah negara seperti yang diartikan oleh IMO.

(44)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran Keterangan :

Permasalahan perompakan kapal laut terjadi sejak jaman dahulu. Perompakan kapal laut sering dilakukan di laut lepas. Beberapa aturan hukum telah dibuat untuk mengatur mengenai perompakan di laut lepas seperti CHS

1958, UNCLOS 1982, SUA Convention,aturan hukum IMO, aturan hukum IMB,

serta sistem hukum di beberapa negara yang memiliki aturan-aturan dalam penanggulangan maupun penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perompakan. Ketentuan ini diharapkan akan mampu untuk menanggulangi pertambahan angka perompakan di laut lepas.

Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2011 adalah kasus perompakan kapal laut Sinar Kudus MV di laut lepas. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal dengan bendera Indonesia yang artinya di dalam kapal tersebut terdapat yurisdiksi dari negara Indonesia. Perompakan tersebut dilakukan oleh warga negara Somalia sehinga yurisdiksi Somalia pun dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini. Mengingat perompakan juga merupakan pelanggaran prinsip jus cogens yang

Hukum Internasional Perompakan kapal laut Di

Laut Lepas (High Seas)

Yurisdiksi Perompakan kapal Sinar Kudus MV Yurisdiksi Universal Yurisdiksi Regional Yurisdiksi Indonesia Yurisdiksi Somalia

(45)

commit to user

berarti merupakan kejahatan internasional yang penanggulangannya harus dilakukan secara bersama-sama di dunia maka yurisdiksi universal dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Hal tersebut telah diakomodir oleh aturan hukum internasional sehingga beberapa yurisdiksi tersebut sudah dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus kapal Sinar Kudus MV.

(46)

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara Somalia a. Geografis

Somalia merupakan negara yang berada di titik paling timur Afrika, dibatasi di sebelah timur dan tenggara dengan Samudra Hindia, di sebelah utara dan timur laut oleh Teluk Aden dan Republik Djibouti, bagian selatan dan barat daya dibatasi dengan Kenya, dan di sebelah barat oleh Ethiopia. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 3.200 kilometer, membentang dari Loyadde di Teluk Aden ke Ras Kiyambone pada Samudera Hindia. Republik Somalia pertama memiliki luas sebesar

626.541 kilometer persegi. Negara ini merupakan dataran, kecuali

Magnyafulka "Scraping seas" tebing yang curam di selatan dengan ketinggian mencapai 1,800-2,100 meter (Mohamed Haji Mukhtar,2003: 225).

b. Situasi politik dan keamanan

Situasi politik di Somalia sangat lemah sejak tahun 1990, pemerintah resmi Somalia yang hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia, termasuk sebagian ibu kota Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di Indonesia mewakili pemerintah ini. Somaliland, wilayah yang secara de

facto sudah memisahkan diri dari Somalia, melingkupi wilayah Utara

Somalia yang merupakan bekas jajahan Inggris. Somaliland tidak diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa negara tetangga seperti Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di Hergaisa. Sisanya merupakan wilayah tanpa pemerintah, yang dikuasai berbagai kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab, kelompok Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al Qaeda. Wilayah ini meliputi Somalia bekas jajahan Italia (Teguh Widodo,2011).

(47)

commit to user

Beberapa alternatif telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di Somalia, salah satunya adalah pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan di Djibouti disepakati untuk membentuk sebuah pemerintahan transisi

(Transitional National Government (TNG)) dibentuk dengan dipimpin

oleh Presiden Abdulkassim Salat Hassan. Namun hingga tahun 2003 mandat pemerintahan berakhir dengan menghasilkan sedikit kemajuan untuk menghentikan perseturuan antarklan dan kepastian hukum. Setelah itu dilakukan sejumlah perundingan dan upaya damai, melalui fasilitasi oleh PBB, berhasil diadakan Pemilu Somalia pada tanggal 10 Oktober 2004, yang menghasilkan terpilihnya Presiden, pemerintah baru

(Transitional Federal Government (TFG) yang menggantikan TNG), dan

terbentuknya parlemen transitional baru (Transitional Ferderal Parliament

(TFP)). Selama kurang lebih satu tahun TFG dan TFP berkedudukan di Nairobi, baru kemudian TFG dipindahkan ke Baidoa (250 km dari Mogadishu) setelah dinilai situasi di Somalia memungkinkan. dibentuknya

Transitional Federal Government (Embassy of the Rep. of Indonesia,

Addis Ababa, http://www.indonesia-addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_016.htm).

c. Situasi ekonomi

Pada awalnya, Somalia menganut sistem ekonomi sosialis. Namun Somalia mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta dan investor asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Hasil pertanian seperti ternak, ikan, pisang merupakan tulang punggung perekonomian, memgang sekitar 40% GDP dan 65% pendapatan ekspor. Namun larangan ekspor ternak oleh Pemerintah Arab Saudi saat ini menyebabkan sektor ternak mengalami penurunan. Perindustrian Somalia sebagian besar berskala kecil dan bergerak di bidang pemprosesan hasil pertanian. Kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang belum stabil menyebabkan iklim investasi Somalia masih belum kondusif. Meskipun demikian, sektor jasa, terutama di bidang telekomunikasi tanpa kabel mengalami perkembangan cukup signifikan (Embassy of the Rep. of

(48)

commit to user

Indonesia, Addis Ababa, 2011:

http://www.indonesia-addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_015.htm). d. Lepas pantai Somalia

Lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran yang dilewati kapal-kapal saat berlayar. Mengingat, lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran utama yang menghubungkan antara Asia dengan Eropa.

Gambar 3

Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia (http://bukaniput.wordpress.com/2008/11/28/somali-pirates/)

Dalam rute pelayaran tersebut terlihat Somalia berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Asia dengan Terusan Suez. Garis pantai Somalia cukup dekat dengan jalur pelayaran tersebut sehingga secara tidak langsung memberikan akses yang mudah bagi para perompak untuk beraksi.

2. Gambaran tentang perompakan Somalia a. Latar belakang perompak Somalia

Perompak laut pertama di Somalia adalah nelayan di sepanjang pesisir. Alasan mereka merompak karena seringnya terjadi penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal-kapal asing yang memanfaatkan situasi Somalia yang kacau dan tidak terpatroli dengan baik (Teguh Widodo,2011).

Gambar

Tabel 2: Resume aturan hukum internasional mengenai  perompakan…………………………………….......................
Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran  Keterangan :
Gambar total perompakan di beberapa negara
Tabel kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun 2010-2011  (sumber: EU NAVFOR, pirated vessels)
+2

Referensi

Dokumen terkait

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014. PARTAI

Pendidikan Nasional abad XXI ber tujuan untuk mewujudkan cita- cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI

dengan adanya surat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada BSNP yang meminta untuk menyusun standar tersebut, maka Badan yang dimaksud adalah BSNP.. Menurut Illah

The Majlis Taklim and Women: Communializing Private Issue Through Religious Public Space | 19 resulted in limiting the effectiveness of women‟s sessions in majelis ta‟lim

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2012) menyebutkan bahwa keluarga dengan pekerjaan yang tidak stabil memiliki tekanan keluarga (meliputi ekonomi,

Dari hasil yang didapat jika merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, maka diketahui dapat mendukung hasil bahwa brand image dan brand trust berpengaruh terhadap loyalitas

Pada peneltian yang telah dilakukan di Unit Dahlia (ICU/ICCU) Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, diketahui bahwa terdapat perawat pada shift malam ( Shift I) yang