• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB I"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang hidup di dunia ini selalu

mendambakan keadaan yang damai, bukan saja bagi diri atau kelompoknya tetapi seluruh

penduduk atau lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan perdamaian sebagai bagian

dari cita-cita hidupnya diperlukan adanya sumber nilai dan pedoman norma dalam

tindakan sosial. Konsep damai membawa konotasi yang positif, hampir tidak ada orang

yang menentang perdamaian. Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai

dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan

mengakhiri sebuah perang, ketiadaan perang atau ke sebuah periode dimana sebuah

angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan

tenang seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau

meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya

damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.

Dalam bahasa Indonesia dan Inggris menampilkan definisi kata Damai yang

walaupun memiliki banyak persamaan namun juga beda pemahaman. Bahasa Indonesia,

memaknai damai sebagai keadaan tanpa permusuhan yang antara lain adalah keadaan

tanpa perang (arti pertama dan kedua), hubungan antara pihak-pihak yang pernah

bermusuhan menjadi baik kembali (arti ketiga) dan suasana tenteram dan aman dalam

suatu masyarakat ( arti keempat).1 Definisi leksikal Bahasa Indonesia dengan demikian

menekankan makna damai dalam hubungannya dengan kehidupan komunal

(2)

kemasyarakatan baik dari segi internal pada dirinya sendiri maupun relasi antara

komunitas-komunitas ke masyarakat. Salah satu kamus Bahasa Inggris yang dipakai

secara luas terutama di Australia, yakni The Macquarie Dictionary, mendefinisikan kata

Damai (Peace) dengan menitik beratkan pada pengertian “fredom” bebas dari perang,

permusuhan, ketidaktertiban, dan ganguan mental), dan “state” (keadaan nyaman, tenang

dan sentosa).2 Pengertian kata damai dalam Bahasa Inggris, dengan demikian, tidak

hanya menyangkut kehidupan komunal kemasyarakatan, melainkan juga menghubungkan

pengertian damai dengan keadaan personal secara psikologis.3

Perdamaian adalah milik semua umat manusia dari segala penjuru dunia. Harapan

untuk menciptakan perdamaian dunia adalah cita-cita mulia dari hampir semua negara

dunia. Perdamaian memiliki definisi yang cukup bervariasi dari berbagai macam orang

dan kelompok sosial. Perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala jenis

kekerasan.4 Perdamaian bisa dikatakan sebagai kondisi absennya konflik dalam

kehidupan dengan ditandai harmonisasi segala ruang sosial. Perdamaian kadang kala

dirasakan sebagai kualitas manusia dalam kehidupan sosial dalam mengelola konflik

dengan jalan tanpa menghadirkan kekerasan. Karena pada prinsipnya setiap orang

memiliki kemampuan untuk menjadi pembawa strategi perdamaian.5 Perdamaian bisa

dilakukan dengan menjalankan komunikasi intersubjektif antar kebudayaan,

menghadirkan pula toleransi antar identitas. Perdamaian dapat dijelaskan dengan berbagai

cara, namun yang harus dipahami adalah perdamaian tetaplah sama-sama berangkat dari

sebuah niat untuk menciptakan kondisi dan situasi dunia yang tanpa kekerasan. Untuk

mencapai Perdamaian, Johan Galtung dalam salah satu karyanya "Three Approaches To

Peace: Peacekeeping, Peacemaking, And Peacebuilding" menulis :

2 The Macquarie Dictionary (Dee Why: Macquarie, 1985), 1254. 3

Tony Tampake, dkk., Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga: Griya Media, 2011), 29. 4Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), 21.

(3)

Peace has a structure different from, perhaps over and above, peacekeeping and ad hoc peacemaking... The mechanisms that peace is based on should be built into the structure and be present as a reservoir for the system itself to draw up... More specifically, structures must be found that remove causes of wars and offer alternatives to war in situations where wars might occur .6 Pada dasarnya salah satu harapan bangsa Indonesia adalah menciptakan

perdamaian bagi seluruh penduduknya namun, dalam tataran praktis kerinduan bangsa

Indonesia agar semua masyarakatnya bisa hidup damai dan harmonis tidak berjalan

dengan mulus. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa besar secara geografis dan

kependudukan. Secara geografis Indonesia terbentang dari ujung barat ke ujung timur dari

Sabang hingga ke Merauke dengan masing-masing wilayah memiliki variasi suku, agama,

etnis, bahasa serta budaya. Masing-masing varian tersebut membentuk

kelompok-kelompok, misalnya kelompok suku, kelompok etnis yang kesemuanya itu merupakan

detail-detail dari kelompok sosial. Adanya kelompok sosial tersebut merupakan suatu hal

yang lumrah yang berangkat dari atau yang dihasilkan oleh pola interaksi sosial sehingga

Indonesia yang sangat heterogen dan plural itu menjadi sangat rentan terhadap munculnya

konflik baik itu konflik vertikal maupun horisontal.

Faktor munculnya konflik pun beragam dari waktu ke waktu dari satu wilayah ke

wilayah lainnya. Konflik merupakan bagian dari kehidupan sebagai komunitas maupun

bernegara sehingga diperlukan kemampuan dalam mengelolahnya sebagai sebuah realitas

sosial dalam masyarakat. Menurut Lewis. A. Coser, konflik dapat bersifat fungsional

secara positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut

mempertahankan atau membentuk kembali sistem integrasi dan kemampuan

menyerasikan diri pada kondisi-kondisi yang berubah sedangkan bersifat negatif apabila

6

(4)

konflik mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem sosial.7 Konflik menimbulkan

ancaman terhadap perdamaian dan terganggunya perdamaian menimbulkan

ketidaknyamanan dan kerentanan sosial.

Salah satu wilayah di Indonesia yang telah mengalami konflik adalah daerah Poso.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari

keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk selain terdapat suku

asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso seperti

dari daerah Sulawesi Utara, Gorontalo, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, Bali, dan lain-lain.

Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai konflik

yang terjadi di Poso baik itu konflik yang berlatar belakang sosial–budaya ataupun

konflik yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun

1998, tahun 2000 dan kerusuhan tahun 2001 yang kemudian melunturkan nilai kearifan

lokal yang telah lama menjadi pedoman hidup dalam kebersamaan di tanah Poso.

Pada hakekatnya, konflik merupakan sebuah peristiwa wajar dalam kehidupan

masyarakat majemuk karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di

antara berbagai kelompok masyarakat adalah faktor pemicunya. Sebuah konflik dapat

menjadi semakin parah bila perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan

sebagainya) dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan ekonomi dan kekuasaan).

Konflik komunal di Poso dibagi dalam tahapan-tahapan yang diistilahkan dengan

“Jilid” sesuai dengan tahun terjadinya konflik. Jilid I terjadi 24 – 30 Desember 1998,

dipicu oleh penyerangan terhadap Ahmad Ridwan (Islam) yang sedang tidur-tiduran di

Masjid oleh beberapa pemuda Kristen yang sedang mabuk. Warga Muslim yang

mendengar berita tersebut marah. Peristiwa itu menimbulkan sentimen agama yang kental

(5)

karena terjadi saat umat Muslim sedang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan,

yang kemudian mengarah pada perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan

sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Peristiwa

tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo (Kristen) ke

sejumlah rumah milik warga Muslim dan peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya

Herman Primo dan diadili pada awal Januari 1999. 8

Jilid II terjadi 15-21 April 2000. Konflik ini dipicu dari pertikaian pemuda Kristen

dan Islam yang saling mengancam menggunakan senjata tajam yang kemudian disusul

dengan penyerangan massa Islam ke penduduk Kristen, sehingga membuat massa Kristen

terpancing untuk melakukan pembalasan. Pada kerusuhan ini tercatat 37 orang meninggal

dunia, 34 luka-luka, sekitar 267 rumah milik warga Kristen dibakar, perusakan dan

pembakaran gereja serta bangunan-bangunan yang berbau Kristen. Ribuan jiwa

kehilangan tempat tinggal dan mengungsi ke daerah-daerah sekitar yang masih aman.9

Jilid III 16 Mei 2000 - 20 Desember 2001. Peristiwa ini di awali dengan

terbunuhnya warga Muslim di desa Taripa, sekitar 100 Km dari kota Poso dan

penyerangan kelompok Kristen yang terdiri dari 12 orang dan mengatas namakan

“Pasukan Kelelawar” yang kemudian disusul dengan pembalasan oleh massa Islam. Pada

Jilid ke III ini adalah konflik terbesar dalam sejarah Poso di mana adanya pembakaran

dan perusakan rumah warga, saling serang antar komunitas, pengeboman, penembakan,

dan pembunuhan. Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya

menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah

mempergunakan senjata api, serta beberapa kekerasan sporadis (Pasca Konflik).

Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang

8

M. Tito karnavian. Dkk, Indonesia top secret : Membongkar Konflik Poso ( Jakarta: PT Gramedia utama Anggota IKAPI), 52-56.

(6)

lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan harus dicermati dalam konteks jilid satu sampai

ketiga. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari

realitas pembunuhan terhadap siapa pun termasuk perempuan dan anak-anak yang

dianggap sebagai bagian lawan.10

Suatu analisa untuk menjelaskan konflik Poso dikemukakan oleh Dr. Thamrin

Amal Tamogola. Ia melihat faktor-faktor penyebab konflik Poso sebagai sebuah piramida

bertingkat tiga. Pada tingkat dasar terdapat dua transformasi utama yang telah mengubah

wilayah Poso secara fundamental. Pada lapisan tengah, beroperasi sejumlah faktor

kesukuan dan keagamaan yang berkaitan dengan faktor-faktor politik. Kemudian pada

puncak piramida ditemukan faktor-faktor penyulut konflik atau provokator secara

stereotip-stereotip labelling psikolog sosial dan dendam yang semakin menguat seiring

dengan berkepanjangannya kekerasan. Di lapisan puncak piramida terdapat faktor-faktor

pemicu. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah pihak merupakan pemicu yang

meletup ketegangan dan potensi konflik yang sudah mengendap. Apalagi ditambah

dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen.

Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat lempengan-lempengan

gunung api mulai bergoyang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban

mulai berjatuhan, roda gila spiral kekerasan pun menjadi lepas kendali. Dendam semakin

menumpuk. Hal-hal ini kemudian berulang kali di sulut oleh para provokator akibatnya,

kekerasan menjadi bengis dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid. 11

Konflik Poso secara umum telah selesai. Persoalannya kemudian, masyarakat

Poso dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah

10 Ibid., 60-69. 11

(7)

pengalaman trauma psikologis yang sulit diukur. Tidak sedikit di antara penduduk di

daerah konflik yang mendapat pengalaman traumatik ketika terpaksa menyaksikan

pembunuhan, pembantaian, penyiksaan dan penghacuran secara langsung. Konflik yang

disebabkan oleh permusuhan antar agama telah merusak persepsi persaudaraan dan

melahirkan kecurigaan, prasangka yang buruk terhadap orang yang berbeda agama.

Konflik sosial dan kerusuhan yang terjadi di Poso merupakan peristiwa kehidupan yang

berpengaruh terhadap perkembangan mental dan psikososial bagi individu yang

mengalaminya.

Dalam jangka panjang masalah trauma dengan peristiwa masa lalu yang dihadapi

akan mempersulit penyesuaian diri dan mengganggu perkembangan sosialnya.

Sehubungan dengan hal itu, kesulitan dan penderitaan yang dihadapi membutuhkan

penanganan langsung untuk pemulihan ke arah kehidupan yang normal, serta perlu

dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk terjadinya hambatan psikologis karena faktor

psikososial. Permasalahan ini telah membuat kehidupan mereka berada pada situasi

“kehilangan” dan “keterasingan manusia” baik individu secara khusus maupun

masyarakat secara umum. Situasi seperti ini disebut sebagai “krisis” yang terfokus pada

tiga aspek, yakni: ego, benda, dan orang. Krisis mempengaruhi perasaan, pikiran maupun

tingkah laku seseorang. Berbagai hal yang mereka hidupi pasca konflik hingga saat ini

telah menjadi sebuah sumber “kekecewaan” akan “pengalaman pahit” yang pernah

mereka rasakan. Sebuah kepahitan dimasa lalu dapat mempengaruhi realitas kehidupan

dimasa kini dan membangkitkan kekuatiran untuk menatap hari esok, sehingga akan

merusak perdamaian yang mulai tercipta di Poso.

Melihat bahwa Trauma yang berkepajangan ini dapat memicu kembali terjadinya

(8)

dampak konflik tersebut, penulis teringat akan kearifan lokal yang berada di Poso yaitu

Sintuwu maroso. Sintuwu maroso berasal dari dua suku kata yaitu Sintuwu dan Maroso.

Istilah Sintuwu berasal dari kata dasar Tuwu yang berarti hidup. Kata Sintuwu berarti

hidup bersama atas dasar kesamaan hidup. Hal ini disadari oleh suatu pola kehidupan

bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama,

memperlihatkan diri dengan seperasaan dan sepenanggungan. Sifat Sintuwu ini

menampakan wujudnya dalam bentuk kesepakatan untuk mengerjakan sesuatu. Istilah ini

kemudian dipakai sebagai Motto daerah kabupaten Poso, yaitu Sintuwu Maroso yang

berarti di dalam kebersamaan terletak kekuatan.12 Nilai – nilai yang lahir dari sintuwu

maroso telah menjadi jaminan hidup sebagai komunitas dan menjadi warisan

turun-temurun yang mengandung makna optimistik untuk menjadi perekat terbangunnya hidup

bersama dalam perdamaian.

Makna filosofi yang terkandung dalam sintuwu maroso (dalam bahasa Pamona

sintuwu maroso secara sederhana berarti : kehidupan yang kuat) mencerminkan adanya

keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa

solidaritas dan kekeluargaan, rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu juga

terkandung makna kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu

-membahu. Dalam wujud organisasi kemasyarakatan di Poso, sintuwu maroso adalah

mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Sintuwu maroso

tidak hanya menjadi semboyan daerah, akan tetapi budaya sintuwu maroso ini merupakan

salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan

individu-individu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial.

(9)

Kearifan lokal memiliki akar budaya dalam membangun integrasi sosial melalui

penghayatan dan pemahaman yang tinggi akan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan.

Nilai-nilai itu sangat inklusif karena mengajarkan dan memberi tauladan mengenai

bagaimana cara mengatasi konflik, emosi, dan nafsu kepentingan dengan jalan mengubur

kekerasan dan api dendam. Atas dasar latar belakang inilah penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik Di Poso

dalam menciptakan perdamaian

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam Penelitian ini adalah:

1. Nilai-nilai apa yang terkandung dalam Sintuwu maroso yang dapat mempersatukan

kembali masyarakat Poso yang telah terpecah belah?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan nilai-nilai Sintuwu maroso untuk mempersatukan masyarakat Poso

yang telah terpecah belah.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat bersifat teoritis dan praktis.

1. Manfaat teoritis

Yakni dapat memberikan sumbangan teoritik untuk dapat menganalisa peran kearifan

lokal dalam rekonsiliasi sosial.

(10)

Yakni : (1) untuk memantapkan dan mempererat nilai persatuan antar komunitas yang

bertikai demi tercapainya kedamaian dan harmonisasi antar pemeluk agama di Negara

Kesatuan Republik Indonesia secara khusus di Poso. (2) untuk mengembalikan rasa

percaya diri dari trauma yang diderita oleh individu yang mengalami konflik Poso

sehingga menjadi individu yang kreatif dalam mengupayakan kedamaian yang

seutuhnya di Poso.

E. Metode Penelitian

a. Jenis penelitian yang digunakan ialah menggunakan penelitian deskriktif–kualitatif.

Pendekatan Kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati serta

eksplorasi lapangan.13Metode penelitian deskriktif bertujuan untuk membuat

deskripsi, yaitu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai

fenomena atau hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriktif berusaha

menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dan

memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu.14

b. Teknik Pengumpulan data dan sumber data

 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (intervieweer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

13Robert C Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An. Introduction to Theory and Methods (Boston: Allyn and Bacon, Inc.1982), 5.

(11)

itu.15Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Yang menjadi sumber data di sini adalah

pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat.

 Focused Group Discussion (FGD)

Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif tulisan Lexy J. Moleong, FGD di sebut

dengan Wawancara kelompok fokus. Wawancara kelompok fokus sebagai sesuatu

yang membatasi pada situasi di mana kelompok yang di bangun cukup kecil untuk

membangun diskusi antar sesama anggotanya. Unsur kunci dalam hal ini adalah

keterlibatan orang-orang di mana pandangannya didorong pada lingkungan yang

dibangun. Hal ini dilakukan dengan jalan memperoleh kecenderungan sikap dan

persepsi dikembangkan dengan jalan interaksi dengan orang lainnya. Selama diskusi

kelompok, individu bisa berubah karena pengaruh tanggapan orang lain. Wawancara

fokus dengan sekelompok orang yang mengarah pada Perolehan jawaban yang

bervariasi dan menghasilkan landasan yang luas. Anggota kelompok terdiri atas 6-9

orang.16 Yang menjadi sumber data FGD di sini adalah warga yang mengalami

konflik Poso secara langsung.

 Observasi

Merupakan observasi yang di dalamnya peneliti langsung turun kelapangan untuk

mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu dislokasi penelitian. Dalam

pengamatan ini peneliti merekam/mencatat, baik dengan cara terstruktur maupun semi

struktur misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang memang ingin

15

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988 ; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 186.

(12)

diketahui oleh peneliti.17 Yang di observasi dalam penelitian ini adalah dampak setelah terjadinya konflik, individu dan lingkungannya dalam hubungannya, dan

penggunaan sintuwu maroso dalam menciptakan perdamaian.

 Dokumen – Dokumen

Selama proses penelitian peneliti juga mengumpulkan dokumen–dokumen.

Dokumen-dokumen ini bisa berupa Dokumen-dokumen publik (seperti koran, makalah laporan kantor) atau

pun dokumen-dokumen privat (seperti buku harian, diary, surat, e-mail).18

 Teknik analisis Data

Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dilapangan, selanjutnya

akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi, dengan menggunakan landasan

teori sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari

hasil penelitian ini.19

F. Telaah Kepustakaan

Dalam bagian ini, penulis hendak memaparkan tiga penelitian terdahulu mengenai

keadaan masyarakat Poso pasca konflik yang memiliki tema keterkaitan dengan tema

penelitian ini.

Lian Gogali dalam bukunya “ KONFLIK POSO, Suara Perempuan dan Ingatan

Menuju Rekonsiliasi Ingatan” menulusuri mengenai aspek tragis dari konflik Poso lewat

ingatan-ingatan dan kisah-kisah yang ada dalam kelompok perempuan dan anak-anak.

Ingatan-ingatan dan kisah-kisah ini bisa disebut tragis karena dua alasan. Pertama,

17John W.Creswell, Research Desing : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Mixed (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 267.

18 Ibid

(13)

berbagai ingatan dan kisah lahir dari peristiwa-peristiwa yang tidak bisa dibayangkan

kembali. Kekerasan di sekitar pelecehan seksual dan perjuangan hidup selama pelarian di

hutan, misalnya, berada di luar para korban untuk menanggungnya. Kedua, pengalaman

itu telah membekas dalam ingatan dan selalu muncul kembali sampai sekarang. Karena

dua alasan tersebut, penderitaan yang oleh para korban konflik Poso secara khusus

perempuan dan anak-anak tidak berhenti saat berbagai pihak tidak lagi terlibat dalam

konflik terbuka. melalui ingatan-ingatan dan kisah-kisah yang ada dalam kelompok

perempuan dan anak-anak, Gogali membongkar tiga hal: pertama, menempatkan

perempuan sebagai pelaku, aktor dalam konflik Poso, sebagai kepala keluarga hingga

menjadi mediator rekonsiliasi sehingga mereka bukan sekedar pecundang. Kedua,

mendobrak historiografi para pemenang yang mengabaikan peran, perasaan dan pikiran

para korban. Ketiga, mendobrak penggambaran sejarah konflik Poso dengan mengangkat

wacana tertindas dari perempuan dan anak.

Pengalaman taraumatis dalam hidup perempuan dan anak yang digambarkan oleh

Gogali adalah upaya untuk mendengarkan kesunyian batin korban konflik Poso sehingga

para korban konflik secara khusus perempuan dan anak-anak menemukan kembali

landasan untuk hidup bersama atau untuk mendengarkan nafas para korban perempuan

dan anak-anak yang merindukan perdamaian, bukan perdamaian untuk keamanan

melainkan demi kehidupan.20

Buku ini adalah sebuah proses perjalanan mengenai pemaknaan konflik yang di

alami oleh perempuan dan anak-anak pasca konflik, Sayangnya buku ini tidak

menampilkan satu bangunan teori yang mapan untuk sampai pada kesimpulan bagaimana

membangun Poso yang damai. Meskipun demikian, sesungguhnya penelitian ini sangat

(14)

informatif terutama mengenai perasaan-perasaan yang dialami oleh perempuan dan

anak-anak yang selama ini sebenarnya lebih tertindas pasca konflik Poso. Apresiasi tertinggi

diberikan penulis kepada Gogali atas penelitiannya ini, karena Gogali kembali

menyadarkan bahwa dalam membangun kata sepakat mengenai perdamaian tidak bisa

mengabaikan lingkaran rumit ingatan terutama ingatan yang penuh amarah, kebencian,

prasangka dan dendam dalam menata kehidupan masa lalu, masa kini dan harapan damai

di masa depan.

Tony Tampake dalam bukunya yang berjudul “ Redefinisi Tindakan Sosial dan

Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat

Eli Salom Kele’I di Poso”, membahas mengenai gerakan keagamaan secara khusus

Jemaat Eli Salom Kele’i pasca konflik di Poso. Dalam penelitian tersebut Tampake

menguraikan mengenai kegelisahan sosial di tengah masyarakat desa Kele’i sejak konflik

Poso 1998-2003 telah menyebabkan ketidakpastian nilai-nilai dan norma-norma

kehidupan dalam masyarakat di satu pihak konflik mendesak masyarakat untuk

melakukan mekanisme pertahanan diri dengan membekali dan melindungi diri melalui

ilmu-ilmu hitam. Dengan ilmu tersebut mereka melakukan perlawanan secara fisik dan

sosial terhadap kekuatan lain yang mengancam eksistensi mereka. Memori historis dan

tradisi yang telah membentuk karakter mereka telah mendukung perilaku perlawanan

terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan sosial yang dipandang sebagai ancaman

terhadap kolektifitas mereka. Ketika konflik berakhir, emosi-emosi negatif,

sentimen-sentimen sosial, dan pengalaman-pengalaman traumatis mengendap dalam diri mereka

dan ketika tidak dapat tertampung lagi maka semua itu terekspresi dalam bentuk prilaku

yang tidak terkendali. Kehidupan sosial menjadi terganggu dan stabilitas keamanan

(15)

nilai-nilai, dan norma-norma yang menjadi komponen-komponen dasar tindakan sosial

dan prilaku kolektif mereka.21

Menurut Tampake, Fakta-fakta dan analisa ini melahirkan satu kesimpulan umum

yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i adalah sebuah hasil dari konstruksi

sosial dan konstruksi budaya ditengah kegelisahan sosial akibat konflik Poso. Fakta ini

menunjukan dua hal, pertama ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama

dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan memunculkan faktor pencetus dan

basis mobilisasi prilaku kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele,i, faktor pencetus

dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik keagamaan seorang anak bernama

Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik keagamaan tidak selalu menarik dan

memisahkan orang dari dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme

tidak hanya mempunyai sigi-segi persoalan batiniah. Dalam konteks Jemaat Eli Salom

Kele’i, pengalaman mistik dan anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat

dalam kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta norma-norma kehidupan

kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi dan perdamaian.22

Andriani Tobondo dalam bukunya “Tentena Ceritamu Kini: Studi Hubungan

Masyarakat Kristen dan Masyarakat Islam di Tentena Pasca Konflik Poso” membahas

mengenai hubungan masyarakat Islam dan Kristen di Tentena kemudian meletakannya

sebagai unit terpenting dalam studi pembangunan untuk memahami pentingnya

harmonisasi sosial. Usaha ini di tempuh pada usaha-usaha mengabarkan hubungan

masyarakat Islam dan masyarakat Kristen pasca konflik Poso dan bagaimana masyarakat

Tentena dapat kembali memiliki relasi sosial yang saling membantu baik dalam bidang

21 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekontruksi identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Elim Salon Kele’I di Poso. (Salatiga: Satya Wacana University Prees, 2014), 212-213.

(16)

sosial dan ekonomi.23 Tobondo menggambarkan bahwa pengalaman-pengalaman setiap kelompok yang diperoleh pada masa konflik Poso, antara lain penderitaan yang timbul

akibat konflik misalnya ketidakberdayaan ekonomi ialah salah satu pengalaman hidup

masyarakat, dan pengalaman hidup tersebut akan membuat atau mendorong masyarakat

untuk menjaga keharmonisan antarsesama. Pengalaman tersebut merupakan salah satu

bagian yang menyadarkan masyarakat, atau mengantar pemahaman bagi setiap kelompok

bahwa mereka bagian kesatuan sosial yang utuh dalam pengertian memiliki keterikatan

serta tujuan yang sama yaitu memperbaiki, serta meningkatkan kualitas hidup baik secara

sosial maupun secara ekonomi.24

Ketidakberdayaan ekonomi masyarakat sebagai implikasi dari konflik Poso yang

berpengaruh besar dalam hubungan masyarakat Kristen dan masyarakat Islam di Tentena

adalah aktivitas ekonomi masyarakat tidak berjalan baik. Pengaruh konflik yang

sedemikian besar itu dapat memutuskan hubungan produksi yang berlangsung dalam

masyarakat ekonomi, sehingga masing-masing kelompok menjadi tidak berdaya.

Sebaliknya, justeru karena ketidakberdayaan ekonomi tersebut, menyadarkan setiap

kelompok bahwa memelihara hubungan harmonis akan lebih menguntungkan untuk masa

depan ekonomi masing-masing individu atau masa depan ekonomi keluarga dari setiap

individu serta masa depan ekonomi masyarakat Tentena. Kebutuhan mengenai ekonomi

ini yang akhirnya membuat terbukanya kembali pintu kepada pihak Muslim untuk datang

kembali ke Tentena sehingga hubungan silahturahmi yang bersifat personal maupun

secara kolektif kembali tercipta.

23 Adrian Garly Adoniram Tobondo, Tentena Ceritamu Kini: Studi Hubungan Masyarakat Kristen dan Masyarakat Islam di Tentena Pasca Konflik Poso (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 13.

(17)

Ringkasan mengenai kedua buku di atas memiliki nafas yang sama, meneropong

pembangunan perdamaian yang sesungguhnya di tanah Poso. Bedanya tulisan pertama

dibangun melalui pendekatan agama dan buku kedua mengenai kebutuhan ekonomi.

Hemat penulis, jika dilihat secara makro barangkali dua tulisan itulah yang kurang lebih

memiliki spirit yang mendekati kajian yang akan di lakukan dalam penelitian ini. Yang

membedakan mungkin ada pada sandaran teoritik, pendekatan serta lingkungan yang

digunakan. Sayangnya, kedua buku diatas dalam penelitiannya hanya mengambil satu

wilayah di Poso, sehingga keduanya tidak memberikan solusi yang tepat mengenai

perdamaian di tanah Poso, dikarenakan hampir secara keseluruhan wilayah yang ada di

kabupaten Poso terkena dampak konflik dan wilayah-wilayah tersebut memiliki keadaan

serta situasi lingkungan yang berbeda dengan wilayah yang lainnya dan kedua buku

tersebut dalan pembahasannya masih kurang banyak dalam hal mengangkat hubungan

Islam dan Kristen.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Tesis ini sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan.

Dalam Bab ini akan dipaparkan Latar belakang masalah, Rumusan masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Telaah kepustakaan

dan Sistematika penulisan.

Bab II : Teori Konflik dan Perdamaian.

Landasan teori dalam penelitian ini akan berisi teori yang berhubungan dengan

penelitian yakni, Teori Konflik menurut Lewis. A. Coser dan Teori

(18)

dengan baik, maka akan digunakan keterkaitan antar konsep atau kerangka

teoritik.

Bab III : Keadaan Masyarakat Pasca Konflik Poso dan Nilai-nilai mengenai Sintuwu

Maroso.

Pada Bab ini akan dipaparkan hasil penelitian. Hasil penelitian berupa data

empiris yang ada dilapangan. Dengan menggunakan metode penelitian yang

ada, maka data akan dikumpulkan, diolah dengan cara disaring kemudian

disajikan.

Bab IV : Persatuan Masyarakat Poso Berdasarkan Nilai-nilai Sintuwu Maroso.

Bab IV akan berisi analisa hasil penelitian. Analisa hasil penelitian yang

dimaksud adalah proses untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan

penelitian. Oleh karena itu, pada bagian ini penelitian harus difokuskan.

Proses analisa akan mengikut sertakan teori pada Bab II dan data pada Bab III.

Bab V : Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengkaji konteks sosial masyarakat Poso, maka penulis memulainya dengan mempelajari serta mencari tahu gambaran karakter sosial masyarakat Poso dimulai dari

Dengan mengaitkan kelima aspek indikator terjadinya konflik peran maka dapat dilihat bahwa konflik peran pasca kematian ayah khususnya pada anak laki-laki sulung

Setiap daerah di Indonesia memiliki suatu falsafah yang turun-temurun dijadikan pedoman hidup oleh masyarakatnya, namun, perkembangan zaman saat ini membuat falsafah hidup itu

pada masyarakat agama (Kristen) Poso di Kecamatan Pamona Puselemba.

konflik di Ambon dari perspektif yang berbeda dengan menggunakan analisis teori identitas,.. karena menurut penulis teori identitas sangat potensial dalam menjelaskan

Konflik Suku Agama Ras dan Aliran yang terjadi di Kabupaten Poso adalah sebuah konflik yang cukup kompleks ditinjau dari akar permasalahannya. Berakar dari masalah ekonomi

Di tengah-tengah kenyataan segregasi masyarakat yang tercipta karena konflik, muncul sebuah lifestyle baru yang dapat dijadikan sebagai model dalam upaya menciptakan

Studi ini menunjukkan tantangan pembangunan perdamaian di Indonesia pada masa pasca-konflik didasarkan kepada tiga hal utama yaitu sejarah masa lalu terutama di