• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik di Poso dalam Menciptakan Perdamaian T2 752012005 BAB II"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TEORI KONFLIK DAN PERDAMAIAN

Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah Teori Konflik menurut Lewis. A. Coser dan Teori Perdamaian menurut Johan Galtung. Untuk lebih jelasnya, teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

A. Teori Konflik Menurut Lewis. A. Coser

Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural Lewis A. Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Coser berpendapat bahwa konflik tidak selamanya harus dimaknai sebagai hal yang negatif. Konflik tidak selalu mengarah kepada permusuhan tindakan bermusuhan merupakan kondisi rentan untuk terlibat dalam konflik. Namun, tidak semua bentuk permusuhan akan menjadi konflik. Hal ini sangat tergantung pada kondisi apakah distribusi yang tidak seimbang (unequal distribution) dinyatakan benar atau tidak. Meskipun permusuhan ada, tetapi jika tidak ada pengabsahan, maka konlik tidak akan terjadi.1 Pemahaman mengenai konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat pembaharuan di dalam masyarakat yang mana nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai suatu alat yang sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan atas sruktur sosial yang ada. Selain itu juga konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas dua atau beberapa kelompok yang akhirnya dengan adanya konflik ini pun akan membuat kelompok yang lain untuk memperkuat kembali indentitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur kedalam dunia sosial di sekililingnya.2 Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan

1

Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para peletak sosiologi modern (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 228-229.

(2)

penyesuaian dapat memberi peran positif dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu hubungan sosial tertentu, konflik yang disembunyikan tidak akan memberi efek positif.

Terhadap asal muasal konflik sosial, Coser berpendapat sama seperti George Simmel bahwa ada keagresifan atau permusuhan dalam diri orang (hostile feeling) dan dia memerhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Coser mempunyai pendapat yang sama dengan Simmel dalam melihat unsur dasar konflik, yaitu hostile feeling. Walaupun demikian, Coser tidak seperti Simmel yang terhenti hanya kepada unsur hostile feeling. Bagi Coser hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka (overt conflict), sehingga Coser menambahkan unsur perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku permusuhan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.3

Selanjutnya Lewis Coser menjelaskan bahwa faktor lain yang bisa menyebabkan konflik dalam masyarakat adalah pertama, anggota bawah dalam sistem yang tidak setara lebih mungkin untuk memulai konflik sebagai pertanyaan terhadap distribusi legitimasi terhadap sumber daya yang langka dan pada gilirannya, disebabkan oleh: beberapa saluran untuk memperbaiki keluhan dan rendahnya tingkat mobilitas pada posisi yang lebih istimewa. Kedua, bawahan lebih mungkin untuk memulai konflik dengan superordinat sebagai rasa kekurangan yang relatif dan karenanya ketidakadilan meningkat yang pada gilirannya berhubungan dengan memperpanjang pengalaman sosialisasi untuk bawahan yang tidak menghasilkan kendala ego internal serta kegagalan superordinat untuk menerapkan batasan eksternal pada bawahan.4

3

Novri Susan, Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta : kencana, 2009), 54.

4 Jonathan H, Turner, The Structure of Sociology Theory. 6 ed (Balmont, CA: Wadsworth Pub.

(3)

Dalam karyanya, Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Ia

menyatakan ”..konflik membuat batasan-batasan di antara kedua kelompok dalam system

sosial dengan memperkuat kesadaran dan kembali atas atas keterpisahan, sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem”. Selanjutnya, konflik eksternal akan menjadi proses refleksi kelompok-kelompok identitas mengenai kelompok di luar mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian kelompok. Kelompok identitas diluar, mereka ini merupakan negative refrence group. Selain konflik eksternal, konflik internal memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. Selain itu konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu kelompok.5

B. Pokok Teori Yang Di Sampaikan Oleh Coser

1. Fungsi-Fungsi Konflik Sosial

a. Katup Penyelamat

Ketika konflik terjadi, Coser memberikan solusi yaitu konsep katup penyelamat (safety valve). Margaret Poloma menyatakan bahwa katup penyelamat (safety valve) merupakan mekanisme khusus yang digunakan kelompok untuk mencegah konflik sosial terutama konflik yang lebih besar yang berpotensi merusak struktur keseluruhan.6 Coser melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan

5 Novri Susan, Sosiologi Konflik…, 55-56.

(4)

akan semakin tajam.7 Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Ia ikut membersihkan suasana yang sedang kacau. Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.8

b. Konflik Realistis & Non-Realistis

Dalam membahas situasi konflik Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu Konflik Realistis dan Konflik Non-Realistis.

 Konflik Yang Realistis

Konflik realistik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

- Konflik muncul dari rasa frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan dan dari perkiraan keuntungan anggota dan yang diarahkan pada objek frustasi. Disamping itu, konflik merupakan keinginan untuk mendapatkan sesuatu (expectations of gains).

- Konflik merupakan alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu. Langkah-langkah untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan mereka. Dengan kata lain, konflik realistis sebenarnya mengejar: power, status yang langka, resources (sumber daya), dan nilai-nilai.

(5)

- Konflik akan terhenti jika aktor menemukan pengganti yang sejajar dan memuaskan untuk mendapat hasil akhir.

- Pada konflik realistis terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pilihan–pilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas kemujaraban yang selalu tersedia itu. 9

Konflik yang realistis sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Perubahan seperti itu dapat menguntungkan sistem dengan memberikannya kebebasan untuk dengan lebih efektif perubahan-perubahan dalam lingkungannya atau perubahan dapat menghasilkan suatu kepekaan terhadap kebutuhan pribadi anggota sistem: dalam hal ini komitmen terhadap sistem itu cenderung naik. Konflik realistis memiliki sumber yang konkret atau bersifat material seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber rebutan itu dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera di atasi dengan baik.10

 Konflik Yang Nonrealistis

Konflik yang Nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik Nonrealistis adalah konflik yang terjadi tidak berhubungan dengan isu substansi penyebab konflik. Konflik ini dipicu atau prasangka terhadap lawan konflik yang mendorong melakukan angresi untuk mengalahkan atau menghancurkan lawan konfliknya. Penyelesaian perbedaan pendapat mengenai isu penyebab konflik tidak penting hal yang penting adalah bagaimana mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, metode manajemen konflik yang agresi, mengunakan kekuasaan, kekuatan, dan

(6)

paksaan.11 Konflik Nonrealistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik-konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik nonrealistis merupakan satu cara menurunkan ketegangan atau mempertegas identitas satu kelompok dan cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekejian yang sesungguhnya turun dari sumber-sumber lain.12

Dibandingkan dengan konflik Realistik, konflik Nonrealistik kurang stabil atau memiliki tingkatan stabilitas tingkatan yang lebih rendah. Konflik Nonrealistis cenderung sulit untuk menemukan resolusi konflik, konsensus, dan perdamian tidak akan mudah diperoleh.

2. Permusuhan Dari Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim

Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Coser menyatakan semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengugkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Yang bersifat paradoks ialah semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan tetapi semakin lama perasaan demikian ditekan maka semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu

(7)

hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat maka konflik itu ketika benar-benar meledak mungkin sekali akan sangat keras.

Walau berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan yang intim itu. Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.13

3. Isu Fungsionalitas Konflik

Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Peningkatan konflik dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Coser juga menyatakan bahwa yang menentukan suatu konflik fungsional adalah tipe isu yang merupakan subyek konflik itu.

Konflik fungsional positif bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga menambahkan bahwa masyarakat yang berstruktur longgar terbuka dan demokratis membangun perlindungan suatu nilai inti dengan cara dengan membiarkan konflik itu berkembang disekitar masalah-masalah yang tidak mendasar Amerika sebagai contohnya dari masyarakat berstruktur longgar dan terbuka dimana pada negara tersebut terdapat

(8)

suatu konflik mengenai berbagai masalah, mulai dari abortus, nuklir dan masalah perpajakan oleh karena masalah-masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti maka konflik yang seperti ini tak membahayakan struktur sosial. Ini malah dapat meningkatkan solidaritas struktural di mana berbagai kelompok bisa memiliki pandangan yang berbeda tetapi dengan masalah yang berbeda pula. 14

4. Kondisi Konflik Antara Kelompok Dalam (In-Group) Dengan Kelompok Luar (Out Group)

Coser menunjukan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya bahwa konflik dengan kelompok luar juga akan mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser juga menyatakan bahwa:

Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum dan mengakibatkan suatu kelompok itu teracam pada perpecahan. Penelitian tentang dampak depresi terhadap keluarga, misalnya, telah menunjukan bahwa keluarga-keluarga yang sebelum masa depresi memiliki solidaritas internal yang rendah memberikan tanggapan apatis dan akhirnya hancur, sedangkan keluarga dengan solidaritas tinggi ternyata semakin kuat.”15

Pada dasarnya penekanan dan penggambaran atas pendekatan konflik yang diajukan oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik yang tanpa melepaskan konsep-konsep serta asumsi–asumsi fungsionalisme strukturalnya dengan menambahkan konflik yang dinamis, perspektif intergrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus, integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan suatu

14 Ibid, 114-116.

(9)

proses yang fundamental walaupun porsi setiap bagian memiliki muatan yang berbeda merupakan bagian kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi. 16

C. Teori Perdamaian Menurut Johan Galtung

Johan Galtung lahir tanggal 24 Oktober 1930 di Oslo, Norwegia. Ia mendapat gelar doktor matematika (1956) dan gelar doktor sosiologi (1957) dari Universitas Oslo. Dia juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu sosial penelitian perdamaian dari berbagai Universitas. Galtung telah mengembangkan beberapa teori yang berpengaruh, seperti perbedaan perdamaian negatif dan positif, kekerasan struktural, teori tentang konflik dan resolusi konflik, konsep perdamaian dan teori struktural imperealisme, dan teori mengenai Amerika secara simultan adalah Republik dan kekuasaan.17

Johan Galtung dalam bukunya Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik, Development And Civilization menjelaskan tentang apa itu perdamaian. Menurut Galtung perdamaian mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Perdamaian adalah tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan

2. Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non-kekerasan. 18

Untuk kedua definisi tersebut hal-hal berikut ini berlaku:

1. Kerja perdamaian adalah kerja yang mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai

2. Studi perdamaian adalah studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian.

16 Ibid, 116-121. 17

https://www.transcend.org/tpu/#staff_4. Di unduh pada Selasa 26 November 2013.

18 Johan Galtung, Peace By Peacefull Means, Peace Dan Conflik, Development And Civilization

(10)

Dari pengertian perdamaian yang pertama dapat dipahami bahwa perdamaian memberikan penjelasan dengan orintasi kekerasan dan perdamaian sebagai negasinya. Sehingga untuk memahami perdamaian harus terlebih dahulu memahami mengenai kekerasan. Pada pengertian yang kedua berorintasi kepada konflik. Perdamaian adalah dimana konteks konflik terungkap tanpa kekerasan untuk mengetahui mengenai perdamaian maka harus tahu pula mengenai konflik dan bagaimana konflik dapat diubah tanpa kekerasan secara kreatif. Kedua definisi ini berfokus kepada manusia dan lingkungan sosial. Hal ini membuat perdamaian mempelajari ilmu sosial dan terlebih khusus ilmu-ilmu terapan.

Dalam studi perdamaian Johan Galtung membaginya melalui tiga titik tolak yang berbeda, yaitu:

1. Studi perdamaian empiris, yang didasarkan pada empirisme: perbandingan sistematis antara teori dan realitas empiris (data) dengan merevisi teori jika teori tersebut tidak sesuai dengan data-data lebih kuat dari teori.

2. Studi perdamaian kritis, yang didasarkan pada kritisisme: perbandingan sistematis antara realitas empiris (data) dengan nilai-nilai, dengan berusaha, dalam kata-kata dan atau dalam tindakan, untuk mengubah realitas, jika realitas tidak sesuai dengan nilai-nilai yang lebih kuat dari data.

3. Studi perdamaian konstruktif, yang didasarkan pada konstruktivisme: perbandingan sistematis antara teori dengan nilai-nilai dengan berusaha untuk menyesuaikan teori dengan nilai sehingga menghasilkan visi tentang realitas baru dan nilai lebih kuat dari teori.19

(11)

Perdamaian adalah suatu nilai yang diharapkan mampu menjadi solusi dalam sebuah studi perdamaian, sehingga makna perdamaian ini harus didefinisikan. Satu hal yang harus dilakukan dalam studi perdamaian adalah dengan mengklarifikasi kekerasan, atau penderitaan, apa penyebab kekerasan, dan apa pula akibat kekerasan. Selanjutnya dijelaskan pula apa penyebab perdamaian dan apa akibat perdamaianya. Apapun yang dijelaskan dalam studi perdamaian memerlukan suatu tipologi yang cukup luas bagi jawabannya. Tipologi suatu masyarakat setidaknya dijelaskan melalui beberapa aspek, meliputi: alam, manusia, sosial, dunia, kebudayaan, dan waktu.

Perdamaian, oleh Galtung dilihat dalam 2 kategori. Yaitu perdamaian negatif (negative peace) dan perdamaian positif (positive peace).

1. Perdamaian Positif

Konsep perdamaian positif (positive peace) berdasarkan pada pemahaman dasar dari kondisi-kondisi sosial cara menghapus kekerasan sruktural melampaui tiadanya kekerasan langsung. Pengertian perdamaian ini memberikan dampak terhadap strategi perdamaian yang aktif, yaitu dengan mengadakan usaha perubahan diskriminasi struktural. Barash dan Webel menekankan perdamaian positif adalah kondisi yang dipenuhi oleh keadilan sosial (sosial justice). Keadilan sosial sendiri mungkin didefinisikan secara berbeda oleh tiap konteks masyarakat. Pada masyarakat kapitalis-liberalis menganggap keadilan sosial harus dimaniestasikan melalui kebebasan berekonomi, berpolitik, dan gaya hidup. Sedangkan dalam masyarakat sosial keadilan sosial menunjuk pada keamanan sosial ekonomi melalui distribusi kesejahteraan pada tiap masyarakat. 20

20 Barrash & Webel. “peace and conflict studies” dalam buku Sosiologi Konflik Dan Isu-Isu

(12)

Johan Galtung mengemukakan konsep perdamaian positif adalah situasi tiadanya segenap masalah struktural yang dapat menebar benih ketidakpuasan sehingga menyulut konflik. Perdamaianyang positif diartikan adanya keadilan sosial atau tidak adanya kekerasan struktural.21 Menurut Galtung perdamaian di bagi atas beberapa tipologi:

 Perdamaian positif langsung, terdiri atas kebaikan verbal dan fisik, baik bagi tubuh,

pikiran, dan jiwa diri dan orang lain, ditujukan untuk semua kebutuhan dasar, kelangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas

 Perdamaian positif struktural, yaitu perdamaian yang timbul karena mengganti segala

bentuk penindasan dengan kebebasan dan eksploitasi dengan persamaan, dan kemudian memperkuat hal ini dengan dialog, solidaritas, dan partisipasi.

 Perdamaian positif kultural, yaitu perdamaian yang akan tercapai dengan cara

menggantikan legitimasi kekerasan dengan legitimasi perdamaian, dalam agama, hukum, dan ideologi. Hal ini terdapat dalam ruang lingkup bahasa, seni, ilmu pengetahuan, dan media. Perdamaian positif secara kultural terdapat dalam ruang batin diri, yang berarti perdamaian terbuka bagi beberapa kecenderungan dan kemampuan manusia untuk tidak melakukan penindasan. 22

Perdamaian positif melibatkan pembangunan dan pengembangan masyarakat terhidar dari kekerasan langsung dan kekerasan struktural atau ketidakadilan sosial. Dalam hal ini berarti suatu kualitas kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan harkat, martabat, dan hak-hak asasi manusia sehingga memungkinkan mereka

21 Galtung mendefinisikan “kekerasan struktural sebagai jarak antara yang aktual dan yang potensial.” Struktur kekerasan adalah diam, tidak menunjukkan. Hal ini secara luas misalnya kasus ketidakadilan dalam institusi, hukum, atau peraturan yang dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa, dirasakan oleh mereka yang menderita, tetapi tidak dianggap sebagai kekerasan oleh mereka yang mendapatkan keuntungan dari situasi tersebut. Hal ini ditemukan di lembaga-lembaga hukum, struktur politik, pola pemerintahan dan pola budaya yang mengatur sistem sosial. Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research” Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, (1969).

(13)

untuk berinteraksi dengan adil, setara, dan rukun. Terminologi positive peace dapat dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya.

2. Perdamaian Negatif

Perdamaian Negatif (negative peace), menggambarkan damai semata-mata sebagai ketiadaan konflik kekerasasn (The Absence of Violent Conflict). Perspektif seperti ini memandang bahwa perdamaian ditemukan kapanpun ketika tidak ada perang atau bentuk-bentuk kekerasan langsung yang teroganisir. Konsep perdamaian negatif ini melahirkan pembangunan perdamian negatif seperti diplomasi, negosiasi, dan resolusi konflik. Walaupun pada beberapa kalangan perdamaian negatif perlu diupayakan, dalam kasus-kasus tertentu dengan mengunakan kekuatan militer. Seperti peace making dan peace keeping adalah bagian dari menciptakan perdamaian negatif. 23

Perdamaian Positif dan Negatif pada dasarnya adalah sebuah proses yang berurutan. Perdamaian positif adalah hasil dari perdamaian negatif begitu pula sebaliknya. Upaya melakukan penggabungan konsep perdamian positif dan negatif ini akan menghasilkan perdamaian menyeluruh. Perdamaian menyeluruh adalah kehadiran dari setiap unsur tindakan dan sistem perdamaian secara keseluruhan.24

D. Konsep Kekerasan Menurut Johan Galtung

Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural dan lansung. Kekerasan langsung seringkali didasar atas pengunaan kekuasaan sumber (resource power). Kekuasaan sumber bisa di bagi menjadi kekuasaan punitive, yaitu kekuasaan yang menghancurkan kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan

(14)

renumeratif. Kekuasaan ideologis dan renumeteratif cenderung menciptakan kekerasan kultural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, seperti seseorang yang memiliki wewenang menciptakan kebijakan publik. Kekuasaan sumber dan kekuasaan struktural saling berkait saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural, kultural dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial. 25

1. Kekerasan struktural

Kekerasan struktural menurut Galtung ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan konsep kekerasan struktural seperti ini ditunjukkan dalam bentuk perasaaan tidak aman terhadap lembaga-lembaga represif yang dilindungi dan dilegalkan oleh kebijakan politis seperti negara.26 Kekerasan struktural dapat menyebabkan tertindasnya manusia dan kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan untuk hidup.

Dalam kekerasan struktural sangat sulit untuk menemukan pelaku konkret. Dalam kekerasan struktural, berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Johan Galtung menjelaskan dalam kekerasan struktural ini di dalamnya

mencuat “situasi-situasi negatif” seperti ketimpangan yang merajalela, sumber daya,

pendapatan, pendidikan, wewenang untuk mengambil keputusan mengenai sumber daya pun tidak merata. Lebih tegas lagi Galtung mengatakan di dalamnya lebih bersifat

(15)

menindas, menekan, mengeksploitasi menjajah dan mengasingkan. Dalam kasus yang ekstrim kekerasan struktural dapat menjadi begitu represif sehingga menyebabkan kematian psikologis orang-orang yang ditindasnya atau begitu eksploitatif sehingga menyebabkan kematian visi misalnya dengan meniadakan pemenuhan material dasarnya, yaitu menyangkut sosio-ekonomis atau material dan menyangkut kebebasan, martabatnya sebagai manusia. Semuanya itu dapat menyengsarakan umat manusia sehingga ketentraman hidup menjadi hilang.

2. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung merupakan bentuk kekerasan dilakukan secara fisik dan sengaja untuk ditujuan kepada pihak yang dianggap bertanggungjawab atas apa yang menyebabkan tidak seimbangnya koridor pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam kekerasan langsung terdapat hubungan subjek-tindakan-objek seperti pada aksi seseorang yang melukai orang lain dengan aksi kekerasan. 27

3. Kekerasan budaya

Kekerasan budaya disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang ia maksud bukanlah hendak menyebut kebudayaan secara keseluruhan sistemnya namun aspek-aspek dari kebudayaan itu.28

Jadi kekerasan didefinisikan Johan Galtung adalah sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan

(16)

dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh segelintir orang saja maka ada kekerasan dalam sistem itu. Karena keadaan itu menyebabkan tingkat aktualisasi massa rakyat berada dibawah tingkat potensialnya ada kekerasan langsung contohnya membunuh atau perang. Disini tampak bahwa dengan melukai atau membunuh berarti

menempatkan “realisasi jasmani aktualnya” dibawah “realisasi potensialnya”. Dengan

demikian “realisasi mentalnya” juga tidak dimungkinkan karena kita tahu bahwa tanpa

Referensi

Dokumen terkait

M enurut Tom Schuller dalam suatu analisisnya tentang human capital dan kapital sosial (social capital) yang saling melengkapi, Ia merujuk pada definisi konsep yang

Tetapi tidak dengan pedagang di pasar Akediri, baik Pak Adnan maupun Pak Ismail keduanya menegaskan hal yang sama, bahwa pemerintah daerah tidak akan mengeluarkan ijin

disadari atau tidak yang cukup berpengaruh terhadap usaha dagang yaitu transaction cost. Biaya transaksi ini berpengaruh terhadap penerimaan dari

Pendapat Marx tentang konflik kelas ini telah diperluas oleh Teori Kritis, karena menurut Teori Kritis bahwa pertentangan itu dapat terjadi dimana-mana dalam

gereja, maka dengan demikian upaya gereja dalam menanggulangi konflik Porto-Haria.. selama ini bukan dengan kekerasan ( violence ) melainkan tanpa kekerasan (

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, mengkaji dan mengembangkan hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong sebelum dan pada saat konflik

Pemahaman masyarakat adat Kei Besar mengenai ain ni ain serta langkah rekonsiliasi penyelesaian konflik dalam konseling perdamaian ain ni ain dapat. menjadi

konflik di Ambon dari perspektif yang berbeda dengan menggunakan analisis teori identitas,.. karena menurut penulis teori identitas sangat potensial dalam menjelaskan