• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Teori Keagenan (Agency Theory)

Menurut (Halim, 2014), konsep keagenan adalah hubungan atau kontak antara prinsipal dengan agen. Prinsipal memperkerjakan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, tetapi prinsipal dan agen memiliki selera dan tujuan yang berbeda.

Dalam organisasi sektor publik, atasan bertindak sebagai principal dan bawahan bertindak sebagai agent.

Menurut pengertian teori keagenan di atas, teori agen adalah hubungan antara dua pihak, prinsipal dan agen, yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, serta hak dan kewajiban. Untuk mendamaikan hubungan keagenan, biasanya perlu adanya kontrak, karena hubungan keagenan dapat menyebabkan masalah antara prinsipal dan agen. Teori keagenan juga digunakan oleh organisasi sektor publik. Indonesia yang berdemokrasi memiliki hubungan keagenan antara legislative dan eksekutif, eksekutif adalah agen sedangkan legislative adalah principal. Legislator adalah pihak yang mendelegasikan wewenang kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislative untuk membuat kebijakan baru. Agen disini membuat usulan kebijakan dan nantinya usulan agen kemudian disetujui atau ditolak.

Di Indonesia, Undang–Undang secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik. Bentuk dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik yaitu anggaran daerah, atau juga bisa disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (Zelmiyanti, 2016) mengungkapkan :

Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004) melibatkan dua pihak yaitu eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan KUA dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif .

(2)

Selain itu, menurut (Halim, 2006) yaitu :

Adanya hubungan keagenan antara Legislatif dan masyarakat. Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik adalah prinsipal. Lupia & McCubbins (2000) menyatakan:

citizens are principals who elect representatives to serve as their agents in parliament, sementara Andvig et al. menyatakan the voters are the principal of the parliament.

DPRD sebagai legislatif diharapkan mewakili kepentingan publik.

Legislatif di sisi lain adalah partai politik besar, tetapi dapat bertindak sebagai perantara hubungan dengan rakyat. Oleh karena itu, legislatif telah menunjukkan posisinya sebagai partai politik yang menerima misi dari rakyat dan mendelegasikan anggaran kepada eksekutif.

Belanja Modal

Belanja modal dalam Laporan Realisasi Anggaran adalah salah satu komponen belanja yang krusial & sebagai perhatian publik. Hal tadi ditimbulkan lantaran warga menjadi pemberi dana publik (publik fund) melalui iuran pajak yang mereka bayarkan berkepentingan buat mengetahui apakah dana tersebut sudah digunakan secara efektif, efisien & berorientasi dalam kepentingan warga.

PSAP No. 02 ayat 37 Laporan Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kas menyatakan:

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud.

Berdasarkan Permendagri Tahun 2019 Nomor 33 tentang Pedoman Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, “Belanja modal digunakan untuk menganggarkan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap dan aset lainnya.”. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 64, belanja modal digunakan untuk menganggarkan biaya pengadaan aset tetap dan aset lainnya. Pengadaan aset tetap memenuhi kriteria sebagai berikut.

1) Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan;

2) Digunakan dalam kegiatan pemerintahan daerah; dan

(3)

3) Batas minimal kapitalisasi aset.

Selain kriteria juga memuat kriteria lainnya yaitu:

a. Berwujud;

b. Biaya perolehan aset tetap dapat diukur secara andal;

c. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas; dan d. Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.

Menurut (Kawatu, 2019) belanja modal meliputi:

1. Belanja Tanah

2. Belanja Peralatan dan Mesin 3. Belanja Gedung fan Bangunan 4. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 5. Belanja Aset Tetap Lainnya 6. Belanja Aset lainnya.

Belanja modal yang disebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pasal 65 Pengelolaan Keuangan Daerah meliputi:

a. Belanja tanah, digunakan untuk menganggarkan tanah yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;

b. Belanja peralatan dan mesin, digunakan untuk menganggarkan peralatan dan mesin mencakup mesin dan kendaraan bermotor, alat elektronik, inventaris kantor, dan peralatan lainnya yang nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan dalam kondisi siap pakai;

c. Belanja bangunan dan gedung, digunakan untuk menganggarkan gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;

d. Belanja jalan, irigasi, dan jaringan, digunakan untuk menganggarkan jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan, irigasi, dan jaringan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan dalam kondisi siap dipakai;

e. Belanja aset tetap lainnya, digunakan untuk menganggarkan aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok aset tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, yang diperoleh dan dimanfaatkan untuk kegiatan operasional Pemerintah Daerah dan da_lam kondisi siap dipakai; dan

f. Belanja aset lainnya, digunakan untuk menganggarkan aset tetap yang tidak digunakan untuk keperluan operasional Pemerintah Daerah, tidak memenuhi definisi aset tetap, dan harus disajikan di pos aset lainnya sesuai dengan nilai tercatatnya.

(4)

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Publik, yang dimasukkan ke dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007, menyatakan dalam Pasal 53 bahwa “Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan”. Dasar alokasi belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah, baik dari segi sarana maupun prasarana. Belanja modal adalah untuk pembelian aset berwujud Pemerintah berupa peralatan, bangunan, infrastruktur, dan aset berwujud lainnya. Menurut (Sularso, 2011) :

Belanja modal diklasifikasikan dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat langsung dinikmati masyarakat, misalnya : pembangunan jembatan, pembelian mobil ambulan untuk umum dan lain-lain. Kelompok kedua adalah belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dinikmati langsung oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur, misalnya : pembangunan gedung dewan, pembelian mobil dinas dan lain-lain.

Hampir semua anggaran belanja modal mengandung komitmen adanya pengeluaran dalam jangka yang cukup panjang.

Menurut (Kawatu, 2019) rasio belanja modal ini dirumuskan sebagai berikut :

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan “Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan /program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur”. (Zelmiyanti, 2016) menunjukkan bahwa kinerja adalah pencapaian dari apa yang direncanakan baik oleh individu maupun organisasi. Menurut (Hidayat dan Maski, 2013), “ Kinerja seseorang atau organisasi dikatakan baik apabila hasil yang dicapai sesuai dengan target yang direncanakan. Apabila pencapaian melebihi target, maka kinerja dikatakan sangat baik, sedangkan apabila lebih rendah dari target maka dapat dikatakan bahwa kinerjanya buruk. Dalam Kinerja Pemerintah Daerah, kinerja

Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja = 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

(5)

merupakan sejauh mana pencapaian yang dilakukan pemerintah yang pada akhirnya untuk kesejahteraan rakyat”.

Ditetapkan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 bahwa “Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”. Kinerja keuangan pemerintah daerah perlu menjadi perhatian khusus, karena nantinya akan menjadi masukan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan sebagai bentuk pelaksaanaan otonomi daerah. Menurut (Andriani, 2020) kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Untuk melihat kinerja keuangan pemerintah daerah diperlukannya analisis. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan dilanjutkan. (Mahmudi, 2019) mengungkapkan “Penilaian kinerja keuangan secara lebih rinci dengan cara analisis laporan keuangan”.

Menurut (Mahmudi, 2017) terdapat tujuan dalam penilaian kinerja di sektor publik, diantaranya yaitu :

a. Mengetahui tingkat keberhasilan tujuan organisasi b. Menyediakan fasilitas pembelajaran pegawai c. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya

d. Memberikan saran yang sistematik dalam pembuatan keputusan e. Memotivasi pegawai

f. Mewujudkan akuntabilitas publik

Sedangkan manfaat disusunnya pengukuran kinerja bagi organisasi pemerintah adalah (Mardiasmo, 2009):

a) Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen

b) Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan c) Untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan

membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja

d) Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (Reward and punishment) sebagai objektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati

(6)

e) Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi

f) Membantu mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi

g) Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah dan

h) Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.

Dalam PSAP No. 01 SAP Berbasis Kas Menuju Akrual pada paragraf 20 mengungkapkan “Di samping menyajikan laporan keuangan pokok, suatu entitas pelaporan diperkenankan menyajikan Laporan Kinerja Keuangan berbasis akrual dan Laporan Perubahan Ekuitas”. (Yanto and Astuti, 2020) memberi uraian yaitu analisis rasio keuangan dalam laporan keuangan pemerintah daerah digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hasil analisis keuangan dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk evaluasi.

Kinerja keuangan merupakan salah satu cakupan oleh pemerintah daerah dalam mengukur kinerja pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan tujuan pemerintah daerah. Berikut indikator kinerja keuangan daerah yaitu:

1. Indikator Masukan (Input)

Indikator masukan merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.

Diantaranya :

a. Jumlah dana yang dibutuhkan b. Jumlah pegawai yang dibutuhkan c. Jumlah infrastruktur yang ada d. Jumlah waktu yang digunakan 2. Indikator Proses (Process)

Indikator proses adalah perumusan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, keteparan maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Diantaranya :

a. Ketaatan pada peraturan perundangan

b. Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan layanan jasa.

(7)

3. Indikator Keluaran (Output)

Indikator keluaran adalah suatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupak fisik atau nonfisik. Misal :

a. Jumlah produk atau jasa yang dihasilkan b. Ketetapan dalam meproduksi barang atau jasa 4. Indikator Hasil (Outcome)

Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Hasil :

a. Tingkat kualitas dan jasa yang dihasilkan b. Produktivitas para karyawan atau pegawai 5. Indikator Manfaat (Benefit)

Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelakssanaan kegiatan. Diantaranya :

a. Tingkat kepuasan masyarakat b. Tingkat partisipasi masyarakat 6. Indikator dampak (Impact)

Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Diataranya :

a. Peningkatan Kesejahteraan masyarakat b. Peningkatan pendapatan masyarakat

2.1.3.1 Analisis Laporan Keuangan

Analisis laporan keuangan memerlukan langkah-langkah untuk melakukan analisis secara efisien dan efektif. Tahap analisis laporan keuangan meliputi analisis kinerja makro, analisis kinerja program/kegiatan, dan analisis kinerja keuangan atau pelaporan keuangan. Kinerja keuangan tercermin dalam laporan keuangan neraca, laporan operasional, laporan realisasi anggaran, dan laporan arus kas. Untuk mendapatkan gambaran kinerja keuangan, perlu menganalisis laporan keuangan.

Analisis laporan keuangan adalah kegiatan menafsirkan angka-angka laporan keuangan untuk menilai kinerja keuangan, dan hasilnya digunakan sebagai dasar pemngambilan keputusan ekonomi, sosial, atau politik.

(8)

Pembaca laporan keuangan perlu memahami transfer dana yang efektif agar dapat menganalisis dan mengevaluasi kinerja pemerintah daerah secara akurat dan komprehensif. Adapun langkah-langkah (Mahmudi, 2019) dalam menganalisis laporan keuangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

1. Menilai Kinerja Makro

2. Menilai Kinerja Program/Kegiatan 3. Menilai Kinerja Keuangan

Untuk menganalisis laporan keuangan menggunakan rasio-rasio keuangan.

Menurut (Mahmudi, 2011), kegunaan rasio keuangan digunakan sebagai tolak ukur yaitu:

1. Menilai kemandirian dan Ketergantungan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. Hasil atas analisis rasio keuangan daerah akan diketahui tingkat kemandirian dan ketergantungan keuangan daerah.

2. Mengukur efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah. Hasil atas analisis rasio keuangan daerah akan diketahui tingkat efektifitas keuangan daerah.

3. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu. Berdasarkan hasil dari analisis rasio keuangan daerah dapat diketahui apakah daerah mengalami pertumbuhan dalam perolehan pendapatan atau tidak. Selain itu, juga dapat diketahui apakah daerah mengalami pertumbuhan dalam hal pengeluaran keuangan daerah. Hasilnya akan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan dan evaluasi oleh pemerintah daerah untuk yang akan datang.

2.1.3.2 Analisis Pendapatan

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) mendefinisikan pendapatan sebagai semua pemerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Menurut (Mahmudi, 2019) pendapatan daerah terdiri dari :

a) Pendapatan Asli Daerah b) Dana Perimbangan (Transfer) c) Lain-lain pendapatan

(9)

Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah berkewajiban untuk mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Namun tidak berarti jika ketergantungan keuangan daerah rendah sudah tidak perlu lagi mendapatkan dana perimbangan. Dana perimbangan masih tetap diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah maka daerah dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas, melakukan investasi pembangunan jangka panjang dan sebagainya.

Instansi pemerintah memiliki beberapa indikator kinerja utama untuk mengukur kinerja keuangan yaitu, tingkat kemandirian, tingkat efektivitas, rasio keserasian, rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio ketergantungan keuangan, rasio Debt Service Coverage, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio pertumbuhan (Yanto dan Astuti, 2020). Melalui laporan realisasi anggaran dapat menganalisis pendapatan daerah, antara lain (Kawatu, 2019):

1. Analisis varians (selisih) anggaran pendapatan

2. Menghitung pertumbuhan pendapatan daerah, meliputi : - Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah

- Pertumbuhan Pajak Daerah - Pertumbuhan Retribusi Daerah - Pertumbuhan Pendapatan Tranfer 3. Menghitung rasio keuangan, meliputi :

- Rasio Kemandirian Daerah - Rasio Ketergantungan Daerah - Derajat Desentralisasi

- Rasio Efektifitas PAD - Rasio Efisiensi PAD

- Rasio Efektivitas Pajak Daerah - Rasio Efisiensi Pajak Daerah - Rasio Efisiensi Pajak Daerah - Derajat Kontribusi BUMD

- Rasio Kemampuan Mengembalikan Pinjaman (Debt Service Coverage Ratio)

- Rasio Utang Terhadap Pendapatan

4. Menilai potensi Penerimaan daerah yang masih dapat dioptimalkan, meliputi:

- Potensi pajak daerah - Potensi retribusi daerah

(10)

2.1.3.2.1 Pertumbuhan Keuangan Daerah

Menurut (Mahmudi, 2019) “Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama beberapa periode anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan pendapatan secara positif ataukah negatif”. Tingkat pertumbuhan mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Mengetahui pertumbuhan setiap elemen pendapatan dan belanja dapat digunakan untuk menilai kemungkinan mana yang memerlukan perhatian lokal.

Hubungan ini dirumuskan sebagai berikut:

2.1.3.2.2 Derajat Desentralisasi

Menurut (Mahmudi, 2019) derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan pendapatan asli daerah dengan total pendapatan daerah. Rasio ini menunjukkan kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi pula kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan desentralisasi. Hubungan ini dirumuskan sebagai berikut :

Menurut (Mahmudi, 2019) derajat desentralisasi dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 2.1

Kriteria penilaian Derajat Desentralisasi Persentase PAD terhadap

Total Penerimaan Daerah

Tingkat Derajat Desentralisasi

00 - 10 Sangat Kurang

10 - 20 Kurang

20 - 30 Cukup

30 - 40 Sedang

40 - 50 Baik

> 50 Sangat Baik

Pertumbuhan Keuangan Daerah = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇ℎ 𝑡 − 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇ℎ (𝑡−1)

𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇ℎ (𝑡−1) x 100%

Derajat Desentralisasi = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑒𝑟𝑎ℎ

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ x 100%

(11)

Tabel 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pemerintah dapat dianggap sangat baik dalam penyelenggaraan desentralisasi apabila memiliki persentase kinerja keuangan > 50 % b. Pemerintah dapat dianggap baik dalam penyelenggaraan desentralisasi

apabila memiliki persentase kinerja keuangan 40 % - 50 %

c. Pemerintah dapat dianggap sedang dalam penyelenggaraan desentralisasi apabila memiliki persentase kinerja keuangan 30 % - 40 %

d. Pemerintah dapat dianggap cukup dalam penyelenggaraan desentralisasi apabila memiliki persentase kinerja keuangan 20 % - 30 %

e. Pemerintah dapat dianggap kurang dalam penyelenggaraan desentralisasi apabila memiliki persentase kinerja keuangan 10 % - 20 %

f. Pemerintah dapat dianggap sangat kurang dalam penyelenggaraan desentralisasi apabila memiliki persentase kinerja keuangan 0 % - 10 %.

2.1.3.2.3 Efisiensi Keuangan Daerah

Efisiensi diukur dengan rasio output terhadap input. Semakin tinggi output dibandingkan input, semakin efisien organisasi (Halim, 2014). Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan realisasi pendapatan (penerimaan) yang diterima. Dengan demikian maka formula yang digunakan untuk menghitung besarnya rasio efisiensi keuangan daerah adalah sebagai berikut (Setiawan, 2019).

Rasio Efisiensi Keuangan Daerah= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ x100%

(12)

Menurut (Setiawan, 2019) derajat desentralisasi dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 2.2

Kriteria penilaian Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Persentase Efisiensi

Keuangan

Tingkat Efisiensi

> 100 Tidak Efisien

90-100 Kurang Efisien

80-90 Cukup Efisien

60-80 Efisien

<60 Sangat Efisien

Tabel 2.2 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD sangat efisian apabila memiliki persentase kinerja keuangan < 60 %

b. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD efisian apabila memiliki persentase kinerja keuangan 60 % - 80 %

c. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD cukup efisian apabila memiliki persentase kinerja keuangan 80 % - 90 %

d. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD kurang efisian apabila memiliki persentase kinerja keuangan 90 % - 100 %

e. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD tidak efisian apabila memiliki persentase kinerja keuangan > 100 %

2.1.3.2.4 Efektivitas PAD

Efektivitas PAD dihitung sebagai perbandingan antara realisasi penerimaan PAD dengan perbandingan target penerimaan (anggaran) PAD.

Tingkat efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi pendapatan PAD sesuai dengan tujuan. Hubungan ini dirumuskan sebagai (Kawatu, 2019) :

Rasio Efektivitas PAD = 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝐴𝐷 x100%

(13)

Menurut (Kawatu, 2019) nilai efektivitas PAD dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 2.3

Kriteria penilaian Rasio Efektivitas PAD Persentase PAD terhadap

Total Penerimaan Daerah

Tingkat Efektivitas

< 75 Tidak Efektif

75 – 89 Kurang Efektif

90 - 99 Cukup Efektif

100 Efektif

> 100 Sangat Efektif

Tabel 2.3 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD sangat efektif apabila memiliki persentase kinerja keuangan > 100 %

b. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD efektif apabila memiliki persentase kinerja keuangan 100%

c. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD cukup efektif apabila memiliki persentase kinerja keuangan 90 % - 99 %

d. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD kurang efektif apabila memiliki persentase kinerja keuangan 75 % - 89 %

e. Pemerintah dapat dianggap merealisasikan APBD tidak efektif apabila memiliki persentase kinerja keuangan < 75 %

2.1.3.2.5 Ketergantungan Keuangan Daerah

Ketergantungan keuangan suatu daerah dihitung dengan menggunakan perbandingan jumlah pendapatan transfer yang diterima dari pendapatan daerah terhadap total pendapatan daerah. Semakin tinggi rasio ini, semakin tergantung pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan/atau daerah. Rasio ini rumuskan sebagai berikut (Kawatu, 2019) :

Rasio Ketergantungan keuangan Daerah = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ x 100%

(14)

Menurut (Mahmudi, 2019) derajat desentralisasi dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 2.4

Kriteria penilaian Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Persentase PAD terhadap

Total Penerimaan Daerah

Tingkat Ketergantungan

00 - 10 Sangat Rendah

10 - 20 Rendah

20 - 30 Sedang

30 - 40 Cukup

40 - 50 Tinggi

> 50 Sangat Tinggi

Tabel 2.4 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pemerintah dianggap sangat tinggi tingkat ketergantungan keuangan daerahnya apabila memiliki persentase kinerja keuangan > 50 %

b. Pemerintah dianggap tinggi tingkat ketergantungan keuangan daerahnya apabila memiliki persentase kinerja keuangan 40 % - 50 %

c. Pemerintah dianggap cukup tingkat ketergantungan keuangan daerahnya apabila memiliki persentase kinerja keuangan 30 % - 40 %

d. Pemerintah dianggap rendah tingkat ketergantungan keuangan daerahnya apabila memiliki persentase kinerja keuangan 20 % - 30 %

e. Pemerintah dianggap sangat rendah ketergantungan keuangan daerahnya apabila memiliki persentase kinerja keuangan 10 % - 20 %

Penelitian Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian, penulis telah menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pertumbuhan Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Efisiensi Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Ketergantungan Keuangan Daerah, dan Belanja Modal Pemerintah Daerah yang dijadikan penulis sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan penelitian.

Beberapa penelitian yang sejenis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

(15)

Tabel 2.5

Hasil Penelitian Terdahulu No. Nama dan

Tahun Penelitian

Judul Penelitian

Variabel Penelitian

Hasil Penelitian

1. Kornelis Kopong Bolen (2019)

The Effect of Financial Performance and Balanced Funds on Capital

Expenditure of Local

Government in District/City in Indonesia

X1 : Local financial autonomy X2 : Local financial effectiveness X3 : Local financial Efficiency X4 :

Independence X5 :General allocation fund X6 : Special allocation fund Y : capital expenditures

1. Local financial autonomy (KKD) had a negative but

significant effect on Capital expenditure 2. Local financial

effectiveness (EFKT) had apositive and significant effect on Capital expenditure

3.

Local financial Efficiency (LFE) did not significantly affect Capital expenditure

4.

Revenue sharing funds (DBH) had a positive and

significant effect on Capital expenditure

5.

General allocation fund (DAU) had a negative but significant Capital expenditure

6. Special allocation fund (DAK) had a positive and significant Capital expenditure 2. Yusri

Alawiyah Oktavianti (2020)

Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Pada

Kabupaten

X1: Rasio Efisiensi X2 : Rasio Efektivitas PAD

X3:Pertumbuh an PAD X4: Rasio Desentralisasi Fiskal

1. Efisiensi

berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio belanja modal.

2. Efektivitas

berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio belanja modal

(16)

/Kota di Provinsi Jawa Timur

Y : Rasio Belanja Modal

3. Pertumbuhan PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio belanja modal 3. Rasio Desentralisasi

Fiskal berpengaruh positif dan

signifikan.

3. Irma Novita, Nunung Nurhasanah (2019)

Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/

Kota Se-Jawa Barat Periode Tahun

Anggaran 2012-2017)

X1: Rasio Ketergantunga n

X2 : Rasio Efektivitas PAD X3:Rasio Efisiensi X4: Rasio Ruang Fiskal X5: Rasio tingkat pembiayaan silpa

X6: Rasio kontribusi BUMD Y : Rasio Belanja Modal

1. Rasio

Ketergantungan berpengaruh negatif signifikan terhadap rasio belanja modal 2. Rasio efektivitas

berpengaruh negatif signifikan terhadap rasio belanja modal.

3. Rasio Efisiensi berpengaruh negatif signifikan terhadap rasio belanja modal 4. Rasio Tingkat

Pembiayaan Silpa berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio belanja

5. Rasio kontribusi BUMD

berpengaruh negatif namun tidak

signifikan terhadap rasio belanja modal 6. Kinerja Keuangan

Daerah secara simultan berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal 4. Ni Made

Deni Indiyanti, Henny Rahyuda (2018)

Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Alokasi

X1: Rasio Derajat

Desentralisasi X2 : Rasio Kemandirian

1. Rasio derajat

desentralisasi fiskal, kemandirian

keuangan daerah, tingkat pembiayaan SiLPA, dan derajat

(17)

Belanja Modal di Provinsi Bali

X3:Efektivitas PAD

X4: Efeiensi Keuangan Daerah X5: Tingkat Pembiayaan SiLPA X6: Derajat Kontribusi BUMD Y: Belanja Modal

kontribusi BUMD berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.

2. Rasio efektivitas pendapatan asli daerah (PAD), dan efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif tidak

signifikan terhadap alokasi belanja modal.

5. Feri Prastyo Setiawan (2019)

Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah Tertinggal di Indonesia

X1 : Rasio Efektivitas X2: Rasio Efisiensi X3: Rasio Kemandirian X4: Rasio Perumbuhan Y: Belanja Modal

1. Tingkat Efektivitas berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal

2. Tingkat efisiensi berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal 3. Tingkat kemandirian

berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja modal 4. Tingkat rasio

pertumbuhan berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap belanja modal.

6. Faradilla Dewi Rishanti (2017)

Pengaruh Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Belanja Modal di Jawa Tengah Pada Tahun 2013 – 2015

X1 : Rasio pertumbuhan keuangan daerah X2: Rasio kemandirian keuangan daerah X3: Rasio efektivitas (PAD) X4: Derajat desentralisasi

1. Rasio pertumbuhan keuangan daerah

rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas pendapatan asli daerah (PAD), dan rasio derajat desentralisasi keuangan daerah berpengaruh secara parsial dan simultan

(18)

keuangan daerah Y : Belanja Modal

terhadap belanja modal daerah.

7. Ary

Ramadhani (2017)

Pengaruh Rasio Kemandirian, Ketergantungan dan Efektivitas Terhadap Belanja Modal Kabupaten/Kot a di Provinsi Sumatera Selatan

X1 : Rasio Kemandirian, X2 : Rasio Ketergantunga n

X3 : Rasio Efektivitas Y: Belanja Modal

1. Rasio kemandirian berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal 2. Rasio

ketergantungan berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal 3. Rasio efektivitas

PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal.

Kerangka Pemikiran

Penelitian terhadap dua variabel atau lebih biasanya dirumuskan dalam bentuk hipotesis berupa perbandingan atau hubungan. Oleh karena itu, untuk merumuskan hipotesis penelitian dalam bentuk hubungan dan perbandingan, perlu disajikan kerangka (Sugiyono, 2018). Mengembangkan beberapa hipotesis membutuhkan paradigma penelitian yang menunjukkan dampak kinerja keuangan daerah terhadap belanja modal. Paradigma tersebut dijelaskan sebagai berikut

(19)

Keterangan :

: Pengaruh secara parsial : Pengaruh secara simultan Y : Variabel Dependen

H1 : Hipotesis 1 H2 : Hipotesis 2 H3 : Hipotesis 3 H4 : Hipotesis 4 H5 : Hipotesis 5 H6 : Hipotesis 6

Hipotesis Penelitian

Menurut (Sugiyono, 2018) “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, diaman rumusan masalah penelitian telah dintarakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Jawaban yang diberikan dikatakan sementara karena hanya didasarkan pada teori yang sesuai dan belum berdasarkan

Pertumbuhan Keuangan Daerah (X1)

Derajat Desentralisasi (X2)

Efisiensi Keuangan Daerah (X3)

Efektivitas PAD (X4)

(X3)

Belanja Modal (Y) H1

H2

H3

Ketergantungan Keuangan daerah (X5)

(X3)

H5

H4

H6

(20)

fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Oleh karena itu, hipotesis dapat dirumuskan sebagai jawaban teoritis atas rumusan masalah penelitian, belum sebagai jawaban empiris.

Pengaruh Pertumbuhan Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal

Menurut (Mahmudi, 2019), Analisis Pertumbuhan Pendapatan membantu untuk menentukan apakah kinerja anggaran pemerintah daerah menunjukkan pertumbuhan pendapatan positif atau negatif selama tahun anggaran berjalan atau beberapa periode akuntansi. Jika positif menunjukkan bahwa kinerja keuangan membaik dan diperkirakan akan mempengaruhi penanaman modal, yaitu belanja modal pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik. (Setiawan, 2019) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan keuangan suatu daerah maka semakin tinggi kualitas belanja modalnya.

H₁ : Diduga Pertumbuhan Keuangan Daerah secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

Pengaruh Derajat Desentralisasi terhadap Belanja Modal

Derajat desentralisasi yaitu gambaran kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), seperti pajak daerah, retribusi daerah, dan sumber-sumber lainnya. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio desentralisasi fiskal membandingkan besaran PAD terhadap total pendapatan daerah. Melalui derajat desentralisasi menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan. Menurut (Oktavianti, 2020) angka rasio desentralisasi meningkat maka akan semakin tinggi pembiayaan belanja modal untuk publik dalam penyelenggaraan desentralisasi.

H₂ : Diduga Derajat Desentralisasi secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

(21)

Pengaruh Efisiensi Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan realisasi pendapatan (penerimaan) yang diterima. Menurut (Setiawan, 2019), penggunaan keuangan daerah yang efisien dengan angka rasio yang rendah dapat disebabkan karena jumlah realisasi pengeluaran lebih kecil daripada jumlah penerimaan itu sendiri, sehingga terjadi efisiensi. Dalam penelitian membuktikan adanya pengaruh efisiensi keuangan daerah terhadap belanja modal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Oktavianti, 2020) yang membuktikan semakin tinggi tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah, maka semakin meningkat belanja modal. Tingkat efisiensi yang tinggi memiliki dampak yang lebih besar pada tingkat belanja modal semakin besar.

H₃ : Diduga Efisiensi Keuangan Daerah secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

Pengaruh Efektivitas PAD terhadap Belanja Modal

Tingkat efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi pendapatan PAD sesuai dengan tujuan. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan pengakuan penerimaan PAD dengan target penerimaan PAD (anggaran). Jika pemerintah daerah dapat melaksanakan PAD dengan tujuan tertentu, maka akan berdampak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa jika PAD efektif di suatu daerah, maka dapat diasumsikan bahwa daerah tersebut akan mencapai anggaran belanja modal yang cukup tinggi.

Sebuah penelitian (Setiawan, 2019) menunjukkan bahwa efektivitas PAD mempengaruhi belanja modal.

H₄ : Diduga Efektivitas PAD secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

(22)

Pengaruh Ketergantungan Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal

Rasio ketergantungan keuangan daerah untuk mengukur tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan eksternal. Nilai yang lebih tinggi untuk rasio ini menunjukkan kurangnya kemandirian daerah karena masih mengandalkan dana dari pemerintah pusat untuk mendanai program dan kegiatan pemerintah daerah. Ketergantungan keuangan suatu daerah dihitung dengan membandingkan jumlah pendapatan transfer yang dihasilkan oleh pendapatan daerah terhadap total pendapatan daerah. Semakin rendah rasio ini, semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan/atau daerah lain. Kurang ketergantungan, yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat menggali potensi daerah. Pernyataan ini mengarah pada asumsi bahwa daerah dapat meningkatkan belanja modal. (Irma dkk, 2020) menunjukkan bahwa ketergantungan keuangan daerah mempengaruhi belanja modal.

H₅ : Diduga Ketergantungan Keuangan Daerah secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

Pengaruh Pertumbuhan Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Efisiensi Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Ketergantungan Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal

Penelitian ini juga ingin menguji apakah Pertumbuhan Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Efisiensi Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Ketergantungan Keuangan Daerah bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Jadi hipotesis yang akan diuji adalah :

H6 : Diduga Pertumbuhan Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Efisiensi Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Ketergantungan Keuangan Daerah secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Selatan.

Referensi

Dokumen terkait

sebagainya. Kita tak perlu keluar rumah untuk jalan-jalan keliling dunia untuk mengetahui sesuatu hal di belahan bumi lain. Mungkin TENAH juga perlu membuka

Hambatan lainnya adalah pemanfaatan media yang digunakan guru pada kegiatan pembelajaran kurang bervariasi karena guru masih menggunakan model pembelajaran

Dalam Kraus (1977) dijelaskan bahwa pada tahun 1960 White House Conference on Children and Youth mendefinisikan anak berkebutuhan khusus (disabled/handicapped

Sebagai salah satu negara yang sangat berkembang di dunia, Indonesia masih memerlukan berbagai fasilitas infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi dan untuk

Limitasi saya terapkan dengan melakukan penyederhanaan bentuk untuk menawarkan kesan ramai baik dari penggunaan warna yang beragam maupun variasi bentuk. Pada lukisan

Observasi dilakukan untuk memperoleh data kemampuan motorik halus pada anak tunagrahita sedang sebelum dan sesudah diberikan perlakuan, sedangkan data yang diperoleh dari

lokasi, ruang (spasial), kependudukan dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi berikut data-data atribut terkait yang menyertainya. 3) SIG menggunakan baik data

 Proses difusi inovasi berkaitan dengan proses komunikasi yang dikenal dengan model S-M-C-R-E (source /sumber, message /pesan, channel /saluran, receiver /penerima, effect /pengaruh