• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK GORENG BERULANG TERHADAP KADAR Pb DAN Zn PADA TAHU WALIK SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK GORENG BERULANG TERHADAP KADAR Pb DAN Zn PADA TAHU WALIK SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK GORENG BERULANG TERHADAP KADAR Pb DAN Zn PADA TAHU WALIK

SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

OLEH:

RENATA GRACIELA MANURUNG NIM 171501163

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK GORENG BERULANG TERHADAP KADAR Pb DAN Zn PADA TAHU WALIK

SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH

RENATA GRACELA MANURUNG NIM 171501163

PROGRAM SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahankan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Pemakaian Minyak Goreng Berulang terhadap Kadar Pb Dan Zn pada Tahu Walik Secara Spektrofotometri Serapan Atom”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt dan Wakil Dekan I, Dr. Poppy Anjelisa Zaitun Hasibuan, M.Si., Apt., yang telah memberikan fasilitas selama masapendidikan dan penelitian.

Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing I saya yang membimbing penulis dengan kesabaran, ketulusan, dan motivasi yang luar biasa selama masa penelitian, juga kepada Bapak Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt.

dan Ibu Yade Metri Permata, S.Farm., M.Si., Apt., selaku penguji yang telah meluangkan waktuuntuk memberikan kritik, saran, dan nasihat yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, dan penulis juga ingi menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. selaku penasihat akademik yang telah membimbing saya selama masa perkuliahan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan sebesar- besarnya khususnya kepada orang tua saya Bapak Drs. Bosman Manurung dan Ibu Dra. Esti Mathilda Nainggolan, kakak-kakak saya Ruth Tivany Manurung,

(5)

Maria Regatha Manurung, Regina Isabella Manurung dan adik saya Rosalia Kristanty Manurung serta seluruh keluarga saya yang senantiasa memberi semangat danmemberikan dukungan penuh, doa, serta materil selama perkuliahan hinggapenyelesaian skripsi ini.

Pada kesempatan kali ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Grup Asisten Biofarmasetika dan Farmakokinetika yang telah membantu dan memberikan dukungan serta semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hari, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini pada waktu mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi tambahan bagi kita semua khususnya bidang analisis farmasi.

Medan, 6 Mei 2021 Penulis,

Renata Graciela Manurung 171501163

(6)

SURAT PERNYATAAN ORISINILITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Renata Graciela Manurung

Nomor Induk Mahasiswa : 171501163 Program Studi : Sarjana Farmasi

Judul Skripsi : Pengaruh Pemakaian Minyak Goreng Berulang Terhadap Kadar Pb dan Zn pada Tahu Walik

Secara Spektrofotometri Serapan Atom

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah asli karya sendiri dan bukan plagiat. Apabila kemudian hari diketahui skripsi saya tersebut terbukti plagiat karena kesalahan sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 6 Mei 2021

Renata Graciela Manurung NIM 171501163

(7)

PENGARUH PEMAKAIAN MINYAK GORENG BERULANG TERHADAP KADAR Pb DAN Zn PADA TAHU WALIK SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM ABSTRAK

Latar Belakang: Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk pertumbuhan, pemeliharaan, peningkatan kesehatan. Makanan yang aman adalah terbebas dari cemaran biologi, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia seperti kontaminasi logam berat timbal dan seng. Penggunaan minyak goreng berulang kali bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa yang merugikan bagi tubuh dan terjadi selama proses penggorengan.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik dan peningkatan kadar timbal dan seng pada penggunaan minyak goreng berulang melebihi batas maksimal cemaran logam berat pada tahu walik atau tidak.

Metode: Sampel tahu walik yang digoreng dengan minyak goreng dipakai berulang sebanyak satu kali, lima kali, dansepuluh kali yang digunakan pedagang.

Kemudian dilakukan proses destruksi kering unruk analisis dilakukan secara kuantitatif. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom dengan nyala udara-asetilen. Analisis kuantitatif timbal dan seng dilakukan pada panjang gelombang berturut-turut 217 nm dan 213,9 nm.

Hasil: Kadar timbal pada tahu sebelum penggorengan sebesar 0,4416 ± 0,0323 mg/kg; satu kali penggorengan sebesar 0,4982 ± 0,0323 mg/kg; lima kali penggorengan sebesar 1,0980 ± 0,0211 mg/kg dan sepuluh kali penggorengan sebesar 1,2141 ± 0,2745 mg/kg dan kadar seng pada tahu sebelum penggorengan sebesar 0,0732 ± 0,0104 mg/kg; satu kali penggorengan sebesar 0,0787 ± 0,0035 mg/kg; lima kali penggorengan sebesar 0,4201 ± 0,0035 mg/kg dan sepuluh kali penggorengan sebesar 1,0184 ± 0,0055 mg/kg.

Kesimpulan: Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik. Batas maksimal kadar timbal dan seng dalam tahu menurut SNI 01-3142- 1998 adalah sebesar 2,0 mg/kg dan 40,0 mg/kg, sehingga kadar timbal dan seng pada seluruh sampel tahu walik tidak melewati batas maksimal kadar timbal dan seng.

Kata kunci: tahu, minyak pemakaian berulang, timbal, seng, dan spektrofotometri serapan atom.

(8)

THE EFFECT OF REPEATING OF FRIED OIL ON LEVELS OF Pb AND Zn IN TAHU WALIK BY ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETRY ABSTRACT

Background: Food is a basic need for human growth, maintenance, and health improvement. Safe food is free from biology, chemistry impurities, and other substances that are harmful for human health such as heavy metal containing of lead and zinc. The use of cooking oil that has been used repeatedly when viewed from its chemical composition, used cooking oil contains compounds that are harmful to the body and occur during the frying process.

Objective: The purpose of this study was to determine the effect of repeated use of cooking oil on lead and zinc levels in tahu walik and the increasing levels of lead and zinc on repeated use of cooking oil exceeding the maximum limit of heavy metal contamination in tahu walik.

Method: The samples fried in cooking oil that used repeatedly once, five times, and ten times by traders. Then the dry digestion process is carried out for quantitative analysis. The assay was carried out using atomic absorption spetrophotometry with air-acetylene flame. The quantitative analysis of lead and zinc was carried out at the wavelengths of 217 nm and 213.9 nm.

Result: The level of lead in raw tahu walik was 0,4416 ± 0,0323 mg/kg, in one time frying was 0,4982 ± 0,0323 mg/kg, in five times frying was 1,0980 ± 0,0211 mg/kg, in ten times frying was 1,2141 ± 0,2745 mg/kg. The level of zinc in raw tahu walik was 0,0731 ± 0,0104 mg/kg, in one time frying was 0,0787 ± 0,0035 mg/kg, in five times frying was 0,4201 ± 0,0035 mg/kg, in ten times frying was 1,0184 ± 0,0055 mg/kg.

Conclusion: It can be concluded that there is an effect of repeated use of cooking oil on lead and zinc levels in tahu walik. The maximum limit for lead and zinc content in tofu according to SNI 01-3142-1998 is 2,0 mg/kg and 40,0 mg/kg. The lead and zinc levels in all samples of tahu walik did not exceed the maximum levels of lead and zinc.

Keywords: tofu, repeated use oil, plumbum, zinc, and atomic absorption spectrophotometry.

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Makanan Gorengan ... 8

2.2 Mekanisme Penggorengan ... 9

2.3 Minyak Goreng ... 9

2.3.1 Minyak Jelantah ... 10

2.3.2 Dampak Penggunaan Minyak Goreng Berulang... 11

2.4 Logam Berat ... 12

2.4.1 Karakteristik Logam Timbal ... 12

2.4.2 Efek Toksik Logam Timbal ... 13

2.4.3 Karakteristik Logam Seng... 15

2.4.4 Efek Toksik Logam Seng ... 15

2.5 Destruksi ... 16

2.6 Spektrofotometri Serapan Atom ... 17

2.6.1 Prinsip Spektrofotometri Serapan Atom ... 17

2.6.2 Sistem Atomisasi pada Spektrofotometer Serapan Atom ... 17

2.6.3 Proses Atomisasi pada Spektrofotometer Serapan Atom... 18

2.7 Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom ... 19

2.7.1 Sumber Sinar ... 19

2.7.2 Alat Atomisasi (atomizer unit) ... 20

2.7.3 Monokromator... 21

2.7.4 Detektor ... 21

2.7.5 Readout ... 21

2.8 Gangguan pada Spektrofotometer Serapan Atom ... 21

2.9 Validasi Metode Analisis ... 22

BAB III METODE PENELITIAN... 25

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2 Alat - Alat ... 25

3.3 Bahan - Bahan ... 25

3.3.1 Sampel ... 25

(10)

3.3.2 Pereaksi ... 25

3.4 Pembuatan Pereaksi ... 26

3.4.1 Larutan HNO3 0,5 M ... 26

3.4.2 Larutan Dithizon 0,05% ... 26

3.4.3 Larutan NH4OH 1 N... 26

3.4.4 Larutan NaOH 1 N ... 26

3.5 Prosedur Penelitian ... 26

3.5.1 Pengambilan Sampel ... 26

3.5.2 Proses Destruksi Kering ... 27

3.6 Analisis Kualitatif ... 28

3.6.1 Uji Kualitatif Timbal ... 28

3.6.2 Uji Kualitatif Seng ... 28

3.7 Analisis Kuantitatif ... 29

3.7.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Timbal dan Seng ... 29

3.8 Penetapan Kadar Logam dalam Sampel ... 30

3.8.1 Penetapan Kadar Timbal dalam Sampel ... 30

3.8.2 Penetapan Kadar Seng dalam Sampel ... 30

3.9 Analisis Data Secara Statistik ... 31

3.9.1 Penolakan Hasil Pengamatan ... 31

3.10 Validasi Metode Analisis ... 32

3.10.1 Uji Ketepatan ... 32

3.10.2 Uji Ketelitian ... 33

3.10.3 Uji Linearitas ... 33

3.10.4 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil ... 35

4.1.1 Analisis Kualitatif ... 35

4.1.2 Analisis Kuantitatif ... 36

4.1.2.1 Kurva Kalibrasi Timbal ... 36

4.1.2.2 Kurva Kalibrasi Seng ... 36

4.1.3 Kadar Timbal dan Seng pada Sampel ... 37

4.1.4 Persentasi Peningkatan Kadar Logam ... 38

4.1.5 Hasil pengujian Akurasi ... 39

4.1.6 Hasil Pengujian Presisi ... 40

4.1.7 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 40

4.2 Pembahasan ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN ... 48

(11)

DAFTAR TABEL

4.1 Hasil Analisis Logam Timbal pada Sampel Tahu Walik ... 35

4.2 Hasil Analisis Logam Seng pada Sampel Tahu Walik ... 35

4.3 Hasil Analisis Kadar Timbal dan Seng pada Sampel Tahu Walik ... 38

4.4 Persentasi Peningkatan Kadar Timbal ... 39

4.5 Persentasi Peningkatan Kadar Seng ... 39

4.6 Recovery Timbal dan Seng pada Sampel ... 39

4.7 Simpangan Baku (SB) dan Simpangan Baku Relatif (SBR) Timbal dan Seng pada Sampel... 40

4.8 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Timbal dan Seng. ... 40

(12)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 7

2.1 Spektrofotometer Serapan Atom ... 19

4.1 Kurva Kalibrasi Timbal... 36

4.2 Kurva Kalibrasi Seng. ... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Alat – alat penelitian ... 48

2. Sampel Tahu ... 49

3. Pereaksi pada Penelitian ... 50

4. Bagan Kerja Penelitian ... 51

5. Hasil Uji Kualitatif Timbal dan Seng... 53

6. Pembuatan Kurva Standart Timbal ... 54

7. Pembuatan Kurva Standart Seng ... 58

8. Data Kalibrasi Timbal dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (R) ... 61

9. Data Kalibrasi Seng dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (R) ... 63

10. Hasil Analisis Kadar Timbal dan Seng pada Sampel Tahu Walik... 65

11. Perhitungan Kadar Timbal pada Sampel Tahu Walik... 66

12. Perhitungan Kadar Seng pada Sampel Tahu Walik ... 72

13. Perhitungan Statistik Kadar Timbal pada Sampel Tahu Walik ... 78

14. Perhitungan Statistik Kadar Seng pada Sampel Tahu Walik ... 82

15. Tabel Distribusi T ... 86

16. Persentase Peningkatan Kadar Timbal pada Sampel Tahu Walik ... 87

17. Persentase Peningkatan Kadar Seng pada Sampel Tahu Walik ... 88

18. Recovery Timbal dan Seng Tahu Walik Sebelum Penggorengan ... 89

19. Perhitungan Recovery Timbal dan Seng pada Sampel Tahu Walik Sebelum Penggorengan ... 90

20. Perhitungan Simpangan Baku (SB) dan Simpangan Baku Relatif (SBR) Timbal dan Seng pada Sampel Tahu Walik Sebelum Penggorengan ... 93

21. Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Timbal dan Seng ... 95

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan badan, memelihara jaringan tubuh yang rusak, proses metabolisme di dalam tubuh, dan menghasilkan energi untuk dapat melakukan aktifitas. Keamanan dalam bahan pangan sangat perlu diperhatikan. Penyakit yang dikarenakan makanan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pengolahan, pengemasan dan penyajian makanan yang kurang bersih dan tidak memenuhi persyaratan sanitasi (Nuryani, dkk., 2017).

Salah satu masalah yang terjadi saat ini adalah sebagian besar masyarakat Indonesia sangat menyukai makanan yang diolah dengan cara digoreng atau yang disebut dengan gorengan. Gorengan ini lebih disukai oleh masyarakat karena rasanya yang gurih dan renyah, serta cara penyajiannya yang cepat dan mudah.

Terdapat masyarakat yang menggunakan minyak sekali pakai, namun ada juga yang sering menggunakan minyak goreng secara berulang. Terutama pada pedagang pinggir jalan yang sering menggunakan minyak goreng berulang untuk meminimalkan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan minyak goreng berulang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cemaran logam pada minyak goreng sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat ditambah pada minyak goreng di pedagang pinggir jalan yang mungkin mengalami kontaminasi dari asap kendaraan (Ruchiyat, 2016).

Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Adanya

(15)

proses oksidasi pada logam yang menyebabkan perkaratan merupakan tanda-tanda adanya pencemaran. Timbal merupakan salah satu unsur logam berat yang terdapat di polusi udara yang dihasilkan bersamaan dengan asap kendaraan bermotor. Timbal dapat mengkontaminasi makanan karena makanan tersebut dijual dalam keadaan terbuka di tepi jalan. Sedangkan seng dibutuhkan oleh tubuh, seng dapat menjadi toksik bila termakan berlebih. Seng ditemukan pada alat masak, air, dan udara. Makanan yang dijual di pinggir jalan beresiko terkena cemaran logam berat timbal dan seng salah satunya makanan gorengan yang banyak diminati masyarakat (Agustina, 2014).

Pedagang gorengan menggunakan minyak goreng secara berulang-ulang karena banyak alasan yang mendasarinya seperti penghematan, ketakutan akan merugi dan kurangnya pengetahuan akan bahaya dari penggunaan minyak goreng berulang. Salah satu aspek yang dapat menyebabkan gorengan kurang aman bagi kesehatan jika dikonsumsi adalah kadar cemaran di dalamnya seperti pencemaran mikrobiologis, kimia dan fisik. Pola penggunaan minyak secara berulang sangat tidak dianjurkan karena minyak akan cepat mengalami kerusakan terutama kerusakan oksidatif. Kerusakan oksidatif ini dapat menyebabkan gejala karsinogenik dan berbagai penyakit (Budijanto dan Sitanggang, 2010). Minyak goreng yang berulang kali digunakan dapat menyebabkan penurunan mutu pada minyak goreng tersebut bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

Bukan hanya menurunkan mutu minyaknya tetapi juga dapat menurunkan mutu bahan pangan yang digoreng. Penurunan mutu yang ditimbulkan dapat berupa perubahan fisik pada bahan pangan serta menurunkan kandungan nilai gizi dalam bahan pangan (Zahra, dkk., 2013)

Penggunaan minyak goreng bekas akan menyebabkan terjadinya proses

(16)

oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang menghasilkan senyawa – senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Hal ini bisa terjadi karena selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi 170°C – 180°C dalam waktu yang cukup lama (Ketaren, 1986). Setiap peningkatan suhu 10oC laju kecepatan oksidasi meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Kecepatan peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100 – 115oC dua kali lebih besar dibanding pada suhu 10oC (Aminah, 2010).

Pencemaran timbal dapat berasal dari polusi udara, dan dari komponen penyusunnya seperti tepung atau minyak. Kedua komponen ini yang memiliki potensi besar sebagai jendela masuknya cemaran timbal terhadap produk.

Peningkatan tersebut juga dapat dipengaruhi faktor lingkungan sekitar kawasan, dimana udara disekitar kawasan sudah tercemar timbal yang berasal dari emisi gas buang kendaraan. Kontaminasi timbal pada makanan juga dapat disebabkan saat meletakkan sampel pada tempat yang tidak tertutup rapat (Ismail dan Sari, 2016).

Berdasarkan penelitian Marbun (2010) diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh lama waktu pajanan terhadap timbal pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Kota Medan. Dimana baru sesaat saja gorengan diangkat dari kuali ternyata sudah mengandung timbal.

Berdasarkan penelitian Ruchiyat (2016), hasil pengukuran kadar timbal pada gorengan bakwan dan minyak menunjukkan hasil bahwa kadar timbal lebih tinggi terdapat di dalam bakwan dibandingkan dengan kadar timbal dalam sampel minyak. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tepung terigu yang digunakan. Tepung terigu yang digunakan diduga telah mengandung timbal, sehingga terakumulasi

(17)

pada saat digoreng dan timbal yang terdapat di dalam minyak terserap oleh bakwan. Bakwan teridentifikasi mengandung timbal tertinggi pada 15 kali penggorengan.

Berdasarkan penelitian Hasibuan, dkk., (2012) tentang analisis kandungan timbal pada minyak sebelum dan sesudah penggorengan yang digunakan pedagang gorengan sekitar kawasan Traffic Light kota Medan diperoleh bahwa salah satu yang mempengaruhi faktor tingginya kadar timbal adalah karena minyak yang digunakan pada awal penggorengan merupakan minyak bekas yang telah digunakan 2 hari sebelumnya dimana minyak goreng yang digunakan yang seharusnya hanya digunakan 3 kali penggorengan namun oleh pedagang digunakan lebih dari 3 kali. Pedagang mengaku menambahkan minyak goreng bekas dengan minyak goreng baru untuk digunakan dimana minyak yang sebelumnya terlebih dahulu terpapar oleh timbal (Hasibuan, dkk., 2012).

Berdasarkan penelitian Ismail dan Sari (2016) tentang pengaruh penyuluhan pada penjual gorengan terhadap keamanan pangan terhadap kandungan logam berat timbal dan seng di sepanjang jalan Kaliurang Yogyakarta diperoleh bahwa kadar seng saat penggorengan bersumber dari peralatan penggorengan yang memiliki campuran logam seng yang menimbulkan cemaran logam, dan kondisi yang kurang baik sehingga mengkontaminasi makanan yang dimasak, seperti seperti wajan sothil dan serok dari kawat yang berkarat dan hitam, keadaan wajan yang berkarat, meja yang dilapisi campuran seng, serta kondisi minyak yang keruh saat penggorengan juga beresiko mengkontaminasi logam berat pada makanan.

Berdasarkan penelitian Sundari, dkk., (2015) tentang pengaruh proses pemasakan terhadap komposisi zat gizi bahan pangan sumber protein diperoleh

(18)

bahwa adanya logam berat pada makanan seperti logam seng dikarenakan penggunaan panas dalam proses pemasakan bahan pangan. Secara khusus, memaparkan bahan makanan kepada panas yang tinggi, cahaya, dan atau oksigen akan menyebabkan kontaminasi logam pada pangan.

Berdasarkan penelitian Astiana, dkk., (2015) tentang pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi asam amino, asam lemak, kolesterol dan mineral diperoleh bahwa cara pengolahan bahan makanan dapat berperan dalam penentuan nilai gizi suatu makanan. Teknik pengolahan yang biasanya dilakukan pada belut adalah penggorengan. Makanan yang digoreng memiliki sifat sensorik yang unik yang membuatnya menarik bagi konsumen, namun penggunaan minyak yang berulang akan berdampak pada nilai mineral salah satunya adalah logam seng. Selama proses penggorengan, uap air dan beberapa zat volatil dilepaskan dari makanan dan sisanya tetap berada dalam minyak melalui reaksi kimia yang kemudian diserap dalam makanan yang digoreng.

Batas maksimal kadar timbal dan seng dalam tahu menurut SNI 01-3142- 1998 adalah sebesar 2,0 mg/kg dan 40,0 mg/kg. Penentuan kadar logam berat timbal dapat menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA).

Spektrofotometri serapan atom merupakan suatu metode analisis kuantitatif unsur- unsur logam dalam jumlah sedikit dan sangat sedikit. Cara ini cocok untuk analisis logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi yaitu batas deteksi kurang dari 1 ppm, pelaksanaannya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007). Menurut Watson dan David (2005), spektrofotometri serapan atom merupakan suatu metode analisis yang spesifik dan sensitif.

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

a. Apakah terdapat pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik?

b. Apakah peningkatan kadar timbal dan seng pada penggunaan minyak goreng berulang memenuhi batas maksimal cemaran logam berat pada tahu walik?

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Terdapat pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik

b. Peningkatan kadar timbal dan seng pada penggunaan minyak goreng berulang melebihi batas maksimal cemaran logam berat pada tahu walik

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik

b. Untuk mengetahui peningkatan kadar timbal dan seng pada penggunaan minyak goreng berulang melebihi batas maksimal cemaran logam berat pada tahu walik atau tidak

(20)

1.5 Manfaat Penelitian

a. Agar dapat mengetahui pengaruh pemakaian minyak goreng berulang terhadap kadar timbal dan seng pada tahu walik

b. Agar dapat mengetahui peningkatan kadar timbal dan seng masih memenuhi batas maksimal cemaran logam berat pada tahu atau tidak

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah tahu walik. Kerangka dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu tahu sebelum penggorengan, tahu satu kali penggorengan, tahu lima kali penggorengan, dan tahu sepuluh kali penggorengan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah mineral timbal dan seng yang terkandung yang diukur secara spektrofotometri serapan atom. Secara skematis kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1.

Varibel bebas Variabel terikat

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian tahu sebelum

penggorengan, tahu satu kali penggorengan, tahu lima kali penggorengan, dan tahu sepuluh kali penggorengan

Jumlah mineral timbal dan seng yang terkandung secara spektrofotometri serapan atom

Analisis kadar mineral : - akurasi (uji recovery) - presisi (simpangan baku dan simpangan baku relatif)

- Linearitas - LOD dan LOQ

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makanan Gorengan

Dewasa ini masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan siap saji.

Gaya hidup yang semakin menuntut efisiensi waktu menjadikan masyarakat lebih senang mengonsumsi makanan yang tidak memerlukan waktu lama untuk diolah dan disajikan. Salah satu makanan jajanan (street food) pinggir jalan yang banyak diminati adalah gorengan. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2016 diketahui bahwa hampir sebagian orang Indonesia (49%) memilih makanan gorengan. Penjual gorengan dapat dengan mudah ditemukan, di kantin, warung pinggir jalan hingga di restoran hampir semuanya menjual gorengan. Makanan ini sudah melekat di masyarakat Indonesia, karena harganya yang relatif murah (Nurdiansyah, 2019).

Industri tahu merupakan industri yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk menjadi industri andalan, karena tahu merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Salah satu produk dengan bahan dasar tahu yang masuk dalam kategori industri tahu saat ini yang terbaru adalah tahu walik. Dengan namanya yang mengandung kata unik yaitu "Walik", yang berarti terbalik.

Makanan khas dari banyuwangi, jawa Timur ini bisa di santap dengan nasi atau buat camilan saja. Cara membuatnya juga cukup mudah, tahu putih digoreng.

Setelah setengah matang diangkat lalu disayat bagian tengahnya dan bagian dalam tahu yang basah dibalik dan diisi dengan adonan bakso kemudian digoreng sampai kering. Makanan yang digoreng biasanya lebih lezat dan gurih, tanpa membutuhkan tambahan bumbu bermacam-macam. Jadi, menggoreng adalah cara

(22)

2.2 Mekanisme Penggorengan

Gorengan atau goreng tepung adalah berbagai jenis makanan yang dicelup adonan tepung dan kemudian digoreng rendam dalam minyak goreng panas yang banyak. Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan dan sebagian minyak ikut masuk ke bagian kerak dan bagian luar (outer zone) bahan pangan. Sehingga jika seseorang mengkonsumsi bahan pangan digoreng, maka dia juga mengkonsumsi sejumlah lemak dan minyak yang terbawa dari kuali penggorengan. Proses pemasakan ini dapat merubah atau tidak merubah karakter bahan pangan, tergantung dari bahan pangan yang digoreng (Ruchiyat, 2016). Permukaan lapisan luar akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan (Ketaren, 2005).

2.3 Minyak Goreng

Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dibuat secara sintetik dengan cara dimurnikan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan. Lemak dan minyak adalah trigliserida, atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak dan minyak, pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan inyak bersifat cair. Sebagian besar gliserida pada hewan adalah berupa lemak, sedangkan gliserida dalam tumbuhan cenderung berupa minyak, karena itu biasanya terdengar ungkapan lemak hewani dan minyak nabati. Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak dan minyak, yang disebut asam lemak

(23)

mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang. Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai karbonnya, mempunyai rantai zig zag yang dapat cocok satu sama lain sehingga gaya tarik vanderwaals tinggi dan biasanya berwujud padat. Sedangkan asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Asam lemak dengan lebih dari satu ikatan atau dua tidak lazim, terutama terdapat pada minyak nabati, minyak ini disebut poliunsaturate (trigliserida tidak jenuh ganda) cenderung berbentuk minyak (Aloysius dan Surdin, 2010).

2.3.1 Minyak Jelantah

Minyak jelantah ialah sebutan untuk minyak goreng yang sudah digunakan lebih dari 3-4 kali penggorengan. Minyak jelantah adalah minyak yang dihasilkan dari sisa penggorengan, baik dari minyak kelapa maupun minyak sawit. Minyak jelantah dapat menyebabkan minyak berasap atau berbusa pada saat penggorengan, meninggalkan warna cokelat, serta flavor yang tidak disukai dari makanan yang digoreng (Hambali, dkk., 2007). Tidak jarang pedagang kaki lima menggunakan kembali minyak jelantah untuk menggoreng. Ketika minyak jelantah kembali dipakai untuk menggoreng, minyak jelantah akan diserap secara berlebihan (dapat mencapai 50% dari berat makanan) ke dalam makanan yang digoreng. Selain berminyak, pada makanan juga terdapat kerak-kerak hitam yang menempel di permukaannya. Di situlah terdapat radikal bebas yang paling banyak (Danbrot, 2007).

Kandungan minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru. Minyak jelantah mengeluarkan kandungan polimer yang dapat terserap dalam makanan berupa asam lemak trans. Dalam minyak jelantah juga terdapat zat radikal bebas,

(24)

seperti peroksida dan epioksida yang mutagen dan karsinogen (berpotensi menyebabkan kanker) sehingga berisiko terhadap kesehatan manusia. Misalnya, gangguan peroksida pada minyak jelantah mengakibatkan pemanasan suhu tinggi hingga mengganggu kesehatan, terutama yang berhubungan dengan metabolisme kolesterol (Mianoki, dkk., 2014).

2.3.2 Dampak Penggunaan Minyak Goreng Berulang

Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah bila ditinjau dari komposisi kimianya,minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan mengakibatkan rusaknya asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak seperti asam oleat dan linoleat. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan kekentalan, peningkatan kandungan asam lemak bebas dan kenaikan bilangan peroksida (Febriansyah, 2007). Selain itu dapat pula dilihat terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan kandungan asam lemak tak jenuh (Stacey, 2009).

Minyak goreng tidak digunakan lebih dari 2 kali. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kandungan asam lemak trans yang mulai mengalami peningkatan pada saat penggunaan yang kedua. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying) karena selama proses menggoreng minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar sehingga memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Ketaren, 2005).

Menurut Ketaren (2005), tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa gatal

(25)

pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein.

2.4 Logam Berat

Di Indonesia, pencemaran logam berat cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya proses industrialisasi. Pencemaran logam berat dalam lingkungan bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan, baik pada manusia, hewan, tanaman maupun lingkungan. Terdapat 80 jenis logam berat dari 109 unsur kimia di muka bumi ini. Logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

1. Logam berat esensial; yakni logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam tersebut bisa menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya (Widowati, 2008).

2. Logam berat tidak esensial; yakni logam yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain (Widowati, 2008).

Logam secara alami terdapat di alam. Jumlahnya semakin meningkat dan dengan semakin meningkatnya proses industrialisasi (Widowati, 2008)

2.4.1 Karakteristik Logam Timbal

Timbal pada awalnya adalah logam berat yang secara alami terdapat di dalam kerak bumi. Namun, timbal juga bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan timbal alami (Widowati, 2008).

Timbal memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia

(26)

yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Apabila dicampur dengan logam lain akan terbentuk logam campuran yang lebih bagus daripada logam murninya. Timbal meleleh pada suhu 328º C ; titik didih 1740º C ; dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20 (Widowati, 2008).

2.4.2 Efek Toksik Logam Timbal

Timbal adalah logam yang bersifat toksik terhadap manusia, yang bisa berasal dari tindakan mengonsumsi makanan, minuman, atau melalui inhalasi udara, debu yang tercemar timbal, kontak lewat kulit, kontak lewat mata, dan lewat parenteral. Logam timbal tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia sehingga bila makanan dan minuman tercemar timbal dikonsumsi, maka tubuh akan mengeluarkannya. Orang dewasa mengabsorbsi timbal sebesar 5-15% dari keseluruhan timbal yang dicerna, sedangkan anak-anak mengabsorpsi timbal lebih besar, yaitu 41,5% (Widowati, 2008).

Di dalam tubuh manusia, timbal bisa menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil timbal diekskresikan lewat urin atau feses karena sebagian terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut. Waktu paruh timbal dalam eritrosit adalah selama 35 hari, dalam jaringan ginjal dan hati selama 40 hari. Tingkat ekskresi timbal melalui sistem urinaria adalah sebesar 76%, gastrointestinal 16%, dan rambut, kuku, serta keringat sebesar 8% (Klassen, dkk., 1986).

Timbal bersifat kumulatif. Menurut Widowati (2008), mekanisme toksisitas timbal berdasarkan organ yang dipengaruhinya adalah:

1. Sistem haemopoietik; di mana timbal menghambat sistem pembentukan

(27)

2. Sistem saraf; di mana timbal bisa menimbulkan kerusakan otak dengan gejala epilepsi, halusinasi, kerusakan otak besar, dan delirium.

3. Sistem urinaria; di mana timbal bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, loop of Henle, serta menyebabkan aminosiduria.

4. Sistem gastro-intestinal; di mana timbal menyebabkan kolik dan konstipasi.

5. Sistem kardiovaskuler; di mana timbal bisa menyebabkan peningkatan permiabilitas pembuluh darah.

6. Sistem reproduksi berpengaruh terutama terhadap gametotoksisitas atau janin belum lahir menjadi peka terhadap timbal. Ibu hamil yang terkontaminasi timbal bisa mengalami keguguran, tidak berkembangnya sel otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan teratospermia pada pria.

7. Sistem endokrin; dimana timbal mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal.

8. Bersifat karsinogenik dalam dosis tinggi

Kandungan timbal dalam darah berkolerasi dengan tingkat kecerdasan manusia. Semakin tinggi kadar timbal dalam darah, semakin rendah poin IQ.

Apabila dalam darah ditemukan kadar timbal sebanyak tiga kali batas normal (intake normal sekitar 0,3 mg/hari), maka akan terjadi penurunan kecerdasan intelektual (IQ) di bawah 80. Kelainan fungsi otak terjadi karena timbal secara kompetitif menggantikan peranan Zn, Cu, dan Fe dalam mengatur fungsi sistem syaraf pusat. Timbal merupakan neurotoksin yang bersifat akumulatif. Setiap kenaikan kadar timbal dalam darah sebesar 10 µg/dL menyebabkan penurunan IQ sebanyak 2,5 poin. Sementara itu, setiap paparan 1 µg/dL timbal di udara mampu menyumbang 2,5-5,3 µg/dL timbal dalam darah (Widowati,2008).

(28)

2.4.3 Karakteristik Logam Seng

Seng merupakan logam yang berwarna putih kebiruan, memiliki titik lebur 410:C dan mendidih pada 906:C, sangat mudah larut dalam asam klorida encer dan asam sulfat encer. Seng dapat diidentifikasi dengan beberapa reaksi yaitu dengan menggunakan uji ditizon akan membentuk senyawa kompleks berwarna merah yang dapat di ekstraksi dengan tetraklorida (Vogel, 1985).

Seng dialam tidak berada dalam keadaan bebas, namun dalam bentuk terikat dengan unsur lainnya berupa mineral seperti ZnCO3, Zn2SiO4 dan ZnO. Seperti halnya unsur tembaga, seng memasuki tatanan lingkungan secara alamiah melalui proses erosi dan secara tidak alamiah terjadi oleh faktor limbah industri (Widowati, 2008).

2.4.4 Efek Toksik Logam Seng

Kejadian keracunan logam paling sering disebabkan pengaruh pencemaran lingkungan dari logam berat, seperti penggunaan logam untuk pembasmi hama (pestisida), pemupukan ataulimbah buangan pabrik yang menggunakan logam.

Logam tembaga dan seng termasuk logam esensial yang dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada hewan, namun bila kadar logam ini melebihi jumlah dosis tertentu akan menyebabkan keracunan (Darmono, 1995).

Sumber keracunan logam juga dapat terjadi akibat dari penggunaan bahanbahan rumah tangga, seperti penggunaan alat masak atau wadah tempat penyimpanan makanan atau minuman dapat melarutkan logam, umumnya karena makanan tersebut bersifat asam, seperti logam kadnium, tembaga dan seng.

Makanan yang bersifat basa juga dapat melarutkan logam, antara lain aluminium atau seng (Sartono, 2002).

Senyawa garam seng yang larut dalam air, biasanya digunakan pada

(29)

generator asap dan pengelasan, keracunan biasanya terjadi karena menghirup uap seng tersebut, selain itu keracunan juga terjadi dari pemotongan logam, dan melelehkan logam campuran seng. Akibat keracunan logam seng terutama iritasi saluran pernafasan yang dapat menyebabkan edema paru dan kerusakan saluran nafas. Batas paparan uap seng adalah 5 gr/cm3, dan batasan paparan uap seng klorida 1 mg/meter3 (Sartono, 2002). Namun logam seng juga merupakan logam esensial, karena seng merupakan logam yang terbanyak yang berkaitan dengan enzim dimana sekitar 200 jenis enzim mengandung seng (Darmono, 1995).

2.5 Destruksi

Destruksi merupakan proses perusakan oksidatif dari bahan organik sebelum penetapan suatu analit anorganik atau untuk memecah ikatan dengan logam.

Metode tersebut digunakan untuk menghilangkan efek matriks pada sampel.

Dalam pendestruksian hendaknya memilih zat pengoksidasi yang cocok baik untuk logam maupun jenis makanan yang akan dianalisis (Dewi dan Diana, 2012).

Destruksi Basah dilakukan dengan cara menguraikan bahan organik dalam larutan oleh asam pengoksidasi pekat dan panas seperti H2SO4, HNO3, H2O2 dan HClO4 dengan pemanasan sampai jernih. Mineral berada dalam bentuk kation logam dan ikatan kimia dengan senyawa organik telah terurai. Larutan selanjutnya disaring dan siap dianalisis dengan SSA. Destruksi kering dilakukan dengan cara sampel yang akan dianalisis dipanaskan pada temperatur lebih dari 500ºC.

Keuntungan yang akan diperoleh selain sederhana, juga dapat terhindar dari pengotor (Dewi dan Diana, 2012).

(30)

2.6 Spektrofotometri Serapan Atom

2.6.1 Prinsip Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom (SSA) adalah suatu metode analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sedikit dan sangat sedikit. Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip dasar dari SSA adalah penyerapan cahaya oleh atom bebas dari suatu unsur pada tingkat energi terendah (groundstate). Keadaan groundstate dari sebuah atom adalah keadaan dimana semua elektron yang dimiliki unsur tersebut memiliki konfigurasi yang stabil. Saat cahaya diserap oleh atom, maka satu atau lebih elektron tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Penyerapan energi cahaya ini berlangsung pada panjang gelombang yang spesifik untuk setiap logam. Pada teknik AAS, diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses absorpsinya. Sumber radiasi tersebut dikenal sebagai lampu hollow cathode (Khopkar, 1990)

2.6.2 Sistem Atomisasi pada Spektrofotometer Serapan Atom

Sistem atomisasi yang digunakan pada spektrofotometer serapan atom dapat berupa nyala atau elektrotermal. Spektrofotometer serapan atom yang memiliki sistem atomisasi berupa nyala disebut Flame Atomic Absorption Spectrometry (FAAS), sedangkan spektrofotometri serapan atom yang memiliki sistem atomisasi berupa elektrotermal disebut Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometry (GFAAS). Sistem atomisasi nyala dapat digunakan pada

(31)

banyak unsur yang berbeda. Pada sistem atomisasi nyala, larutan sampel yang mengandung logam dalam bentuk garam akan diubah menjadi aerosol dengan dilewatkan pada nebulizer, kemudian dengan adanya penguapan pelarut, butiran aerosol akan menjadi padatan. Setelah itu, terjadi perubahan bentuk dari padatan menjadi gas dan senyawa yang terdapat di dalam sampel akan berdisosiasi menjadi bentuk atom-atomnya. Beberapa atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal atom netral pada tingkat energi terendah (ground state). Atom-atom yang berada pada tingkat energi terendah ini, kemudian menyerap cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya (Cantle, 1982).

2.6.3 Proses Atomisasi pada Spektrofotometer Serapan Atom

Temperatur nyala dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi gas oksidan dan bahan bakar. Nyala yang paling umum digunakan yaitu nyala udara- asetilen dan N2O-asetilen. Nyala udara-asetilen memiliki temperatur 2100°C–

2300°C, sedangkan nyala N2O-asetilen memiliki temperatur 2600°C-2800°C.

Temperatur pada nyala udara-asetilen ini cukup untuk mendapatkan atomisasi unsur yang akan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom.

Nyala N2O-asetilen digunakan untuk penetapan kadar unsur yang membentuk oksida dan sulit terurai. Unsur-unsur tersebut adalah Al, B, Mo, Si, So, Ti, V, dan W (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam analisis digunakan dua macam gas pembakar yaitu gas pembakar yang bersifat oksidasi dan bahan bakar. Gas pengabsorbsi misalnya: udara, udara + O2, atau campuran O2 + N2O. Sedangkan contoh bahan bakar adalah gas alam, asetilen, butana, propana, dan H2. Spektrofotometer banyak digunakan dalam analisis kuantitatif logam alkali dan alkali tanah. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis ini yaitu larutan sampel harus seencer mungkin, kadar

(32)

senyawa yang dianalisis tidak lebih dari 5% dalam pelarut yang sesuai, larutan yang dianalisis sebaiknya diasamkan terlebih dahulu, atau jika dilebur dengan alkali tanah, terakhir harus diasamkan lagi. Pelarut yang digunakan sebaiknya bukan senyawa aromatik atau halogenida. Pelarut organik yang biasa digunakan adalah keton, ester, dan etil asetat (Mulja dan Suharman, 1995).

2.7 Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom

Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut ini:

Gambar 2.1 Sistem Peralatan Spektrofotometri Serapan Atom (Sumber: Gandjar dan Rohman, 2007)

2.7.1 Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca bertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. HCL terdiri dari katoda yang terbuat dari unsur yang akan dianalisis, sedangkan anoda terbuat dari tungsten, nikel, atau zirconium.

Bagian luar dari HCL terbuat dari kaca pyrex atau quartz. Lampu ini diisi dengan neon atau argon dengan tekanan 100-200 Pa. HCL digunakan dengan mengalirkan listrik yang besarnya bergantung pada unsur yang akan dianalisis. Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah.

Salah satu kelemahan penggunaan lampu katoda berongga adalah satu lampu

(33)

digunakan untuk satu unsur, akan tetapi saat ini telah banyak dijumpai suatu lampu katoda berongga kombinasi yakni satu lampu dilapisi dengan beberapa (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.7.2 Alat atomisasi (atomizer unit)

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan bebas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu: dengan nyala (flame) dan dengan tanpa nyala (flameless) (Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Nyala (flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri emisi atom, nyala ini berfungsi untuk mengeksitasikan atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.

b. Tanpa nyala (flameless)

Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurang peka, oleh karena itu muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Sistem pemanasan dengan tanpa nyala ini dapat melalui 3 tahap yaitu: pengeringan (drying) yang membutuhkan suhu yang relatif rendah; pengabuan (ashing) yang membutuhkan suhu yang lebih tinggi karena menghilangkan matriks kimia dengan mekanisme volatilasi atau pirolisis; dan pengatoman (atomizing). Pada umumnya waktu dan suhu pemanasan tanpa nyala dilakukan dengan cara terprogram (Gandjar dan Rohman, 2007).

(34)

2.7.3 Monokromator

Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator berfungsi untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan untuk analisis. Di dalam monokromator, terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan panjang gelombang yang disebut dengan chopper (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.7.4 Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Detektor pada spektrofotometer serapan atom berfungsi mengubah intensitas radiasi menjadi arus listrik. Biasanya detektor yang digunakan adalah tabung penggandaan foton (photomultiplier tube) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.7.5 Readout

Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau kurva dari suatu alat perekam yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8 Gangguan pada Spektrofotometer Serapan Atom a. Gangguan Spektra

Gangguan spektra terjadi bila panjang gelombang dari unsur yang diperiksa berhimpit dengan panjang gelombang dari atom atau molekul lain yang terdapat dalam larutan yang sedang diperiksa. Jarak antara spektrum yang satu dengan yang lain kurang dari 0,01 nm. Gangguan ini jarang dijumpai pada spektrofotometer serapan atom karena penggunaan sumber cahaya yang spesifik untuk unsur yang bersangkutan (Roth dan Blasvhke, 1988).

(35)

b. Gangguan Fisika

Gangguan fisika dapat terjadi karena perubahan viskositas larutan yang mempengaruhi kecepatan sampel menuju detector dan konsentrasi sampel. Oleh karena itu, sifat-sifat fisika zat yang diperiksa dan larutan pembanding harus sama (Roth dan Blasvhke, 1988).

c. Gangguan Kimia

Gangguan kimia dibagi menjadi dua yaitu, gangguan kimia dalam bentuk uap dan bentuk padat. Gangguan kimia ini biasanya memperkecil jumlah atom pada level energi terendah (ground state). Dengan menggunakan nyala yang sesuai, gangguan ini dapat dikurangi. Gangguan bentuk padat disebabkan karena terbentuknya senyawa yang sukar menguap atau sukar terdisosiasi dalam nyala.

Hal ini terjadi pada saat pelarut menguap meninggalkan partikel-partikel padat waktu melewati nyala. Gangguan padat dapat diatasi dengan mengubah kondisi nyala, misalnya dengan penambahan aliran bahan bakar atau menggunakan nyala dengan suhu yang lebih tinggi, misalnya N2O-asetilen sehingga dapat memperkecil pembentukan oksida yang stabil (Ebdon, dkk., 1998).

2.9 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah proses dimana suatu metode ditetapkan melalui beberapa uji laboratorium untuk mengetahui bahwa parameter metode yang diuji memenuhi persyaratan untuk penerapan metode yang dimaksud. Tujuan utama validasi adalah untuk menjamin metode analisis yang digunakan mampu memberikan hasil yang cermat, handal, dan dapat dipercaya. Parameter metode analisis adalah kecermatan (akurasi), keseksamaan (presisi), selektivitas, linearitas, rentang, batas kuantitasi (LOQ) dan deteksi (LOD) (Harmita, 2004).

(36)

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

a. Kecermatan

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan kedalam sampel dapat ditemukan kembali (Harmita, 2004).

b. Keseksamaan (presisi)

Keseksamaan atau presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual yang diukur melalui penyebaran hasil individu dari hasil rata-rata jika prosedur ditetapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Ganjar dan Rohman, 2007).

Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif dan dinyatakan sebagai keterulangan. Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama, pada kondisi yang sama, dan

(37)

dalam interval waktu yang pendek. Kriteria seksama jika metode memberikan simpangan baku relatif sebesar 2% atau kurang (Ganjar dan Rohman, 2007).

c. Linearitas

Linearitas adalah kemampuan metode analisis untuk memberikan respon secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematika yang baik dan proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Selain itu, merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan respons (y) dengan konsentrasi (x). Linearitas dapat diperoleh dengan mengukur konsentrasi standar yang berbeda, minimal lima konsentrasi. Data yang diperoleh kemudian diproses menggunakan regresi linier, sehingga diperoleh nilai slope, intersep, dan koefisien korelasi (Anderson dan Chapman, 1987).

d. Batas Deteksi (Limit of Detection, LOD) dan Batas Kuantitasi (Limit of Quantitation, LOQ)

Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Batas deteksi adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang signifikan bila dibandingkan dengan blanko (Khopkar, 1990).

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Provinsi Sumatera Utara Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat-1 No. 4 Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2020.

3.2 Alat – alat

Spektrofotometri Serapan Atom (Varian) lengkap dengan lampu katoda timbal dan seng, nyala udara-asetilen, alat tanur, blender, lemari asam, cawan porselin, neraca analitik, alat-alat gelas (Pyrex dan Oberoi), hotplate (Maspion), dan Kertas Saring Whatman No. 42. Peralatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3 Bahan – bahan 3.3.1 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahu walik yang diambil di sekitar Universitas Sumatera Utara Jln. Dr. Mansyur, Padang Bulan, Kec. Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara. Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3.2 Pereaksi

Semua bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisis keluaran Merck larutan baku timbal (1000 mg/L timbal), larutan baku seng (1000 mg/L seng), asam nitrat 65% b/v, Ammonium hidroksida, Natrium Hidroksida,

(39)

Kloroform, Kalium Sianida, Akua Demineralisata (Laboratorium Kimia Air Kesehatan Daerah). Gambar pereaksi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.4 Pembuatan Pereaksi 3.4.1 Larutan HNO3 0,5 M

Sebanyak 17,4 mL larutan HNO3 65% b/v diencerkan dengan 500 mL akuabides (Ditjen POM, 1979).

3.4.2 Larutan Dithizon 0,05%

Dithizone sebanyak 0,05 gram dithizone dalam 100 mL kloroform (Ditjen POM, 1979)

3.4.3 Larutan NH4OH 1 N

Diencerkan NH4OH 15% b/b sebanyak 7,4 ml dengan akuades 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.4. Larutan NaOH 1 N

Dilarutkan 4,0 gram natrium hidroksida dalam air hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahu walik yang diambil dengan teknik sampling yaitu purposive sampling. Metode pengambilan sampel ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa sampel yang tidak terambil mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel yang diteliti. Berdasarkan Sabri dan Hastono (2010), pemilihan sampel dilakukan oleh orang yang mengenal

(40)

populasi yang akan diteliti. Sehingga sampel tersebut representatif terhadap populasi yang diteliti.

Sampel yang digunakan berupa tahu walik digoreng dengan minyak goreng B dipakai berulang sebanyak satu kali, lima kali, dan sepuluh kali yang digunakan oleh pedagang. Setelah sampel lengkap maka dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan kadar timbal dan seng pada tahu tersebut secara kualitatif dan kuantitatif.

3.5.2 Proses Destruksi Kering

Sampel yang telah dikumpulkan dihaluskan menggunakan blender.

Dikeringkan dalam oven 60oC selama 3 hari guna mengurangi kadar air dalam sampel. Ditimbang sampel sebanyak 25 gram dengan kurs porselen. Dipanaskan diatas penangas listrik atau hotplate secara bertahap. Dimasukkan sampel ke dalam tanur pada suhu 100oC dan perlahan-lahan dinaikkan sampai 550oC dengan interval 25°C setiap 5 menit. Pengabuan dilakukan selama ± 8 jam dan dibiarkan hingga dingin pada desikator. Sampel hasil destruksi dibasahi dan dilarutkan dengan 10 ml HNO3 0,5 M. Kemudian dipanaskan sampai volume tinggal 5 ml.

Dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan dicukupkan volume nya dengan akua demineralisata hingga garis tanda. Disaring sampel kedalam botol dengan menggunakan corong dan kertas whatman no. 42. Sebanyak 5 mL filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring kemudian filtrat selanjutnya ke dalam botol. Kemudian dianalisis sampel ke dalam alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) (Darmono, 1995). Bagan prosedur destruksi dapat dilihat pada Lampiran 4.

(41)

3.6 Analisis Kualitatif 3.6.1 Uji Kualitatif Timbal

Pengujian I : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diatur PH-nya 8,5 dengan penambahan ammonium hidroksida 1N, dimasukkan kalium sianida, kemudian ditambahkan 5 ml dithizon 0,05% b/v dikocok selama 30 detik, warna hijau pada larutan akan berubah menjadi merah tua (Svehla,1990).

Pengujian II : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan larutan KI akan terbentuk endapan kuning (Svehla,1990).

Pengujian III : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan NaOH 1N akan terbentuk endapan putih (Svehla,1990).

3.6.2 Uji Kualitatif Seng

Pengujian I : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diatur PH-nya 7 (PH netral) dengan penambahan natrium hidroksida 1N, dimasukkan kalium sianida, kemudian ditambahkan 5 ml dithizon 0,05% b/v dikocok selama 30 detik, warna hijau pada larutan akan berubah menjadi merah (Svehla,1990).

Pengujian II : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan NaOH 1N akan terbentuk endapan putih (Svehla,1990).

Pengujian III : Sebanyak 5 ml sampel hasil destruksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan amonia akan terbentuk endapan putih (Svehla,1990).

Gambar hasil pengujian kualitatif timbal dan seng dapat dilihat pada Lampiran 5.

(42)

3.7 Analisis Kuantitatif

3.7.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Timbal dan Seng

Dari larutan baku (konsentrasi 1000 mg/L) dipipet sebanyak 10 ml lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan akua demineralisata sampai garis tanda (konsentrasi 100 mg/L)

Dari larutan baku (konsentrasi 100 mg/L) dipipet sebanyak 10 ml lalu dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan akua demineralisata sampai garis tanda (konsentrasi 10 mg/L)

Pada pembuatan kurva kalibrasi timbal, dari larutan baku (konsentrasi 10 mg/L) dipipet masing-masing 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 2,5 mL; 5 mL; dan 10 mL ke dalam labu tentukur 50 mL. Lalu ditambahkan akua demineralisata sampai batas tanda sehingga diperoleh konsentrasi 0,1 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L; 0,5 mg/L; 1 mg/L; dan 2 mg/L. Nilai absorbansinya diukur dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom pada panjang gelombang 217 nm dengan nyala udara-asetilen. Data pembuatan kurva kalibrasi timbal dan seng dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.

Pada pembuatan kurva kalibrasi seng, dari larutan baku (konsentrasi 10 mg/L) dipipet masing-masing 0,25 mL; 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; dan 3 mL ke dalam labu tenukur 50 mL. Lalu ditambahkan akua demineralisata sampai batas tanda sehingga diperoleh konsentrasi 0,05 mg/L; 0,1 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L dan 0,6 mg/L. Nilai absorbansinya diukur dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 213,9 nm dengan nyala udara-asetilen. Data kalibrasi timbal dan seng dan perhitungan persamaan garis regresi dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9.

(43)

3.8 Penetapan Kadar Logam dalam Sampel

Sebelum dilakukan penetapan kadar timbal dan seng dalam sampel, terlebih dahulu alat spektrofotometer serapan atom dikondisikan dan diatur lampu katodanya sesuai dengan logam yang akan diperiksa. Hasil analisis kadar timbal dan seng pada sampel tahu walik dapat dilihat pada Lampiran 10, 11, dan 12.

3.8.1 Penetapan Kadar Timbal dalam Sampel

Larutan sampel hasil destruksi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 217 nm menggunakan alat spektrofotometer serapan atom yang telah disesuaikan kondisinya dengan nyala udara asetilen. Nilai absorbansi yang diperoleh harus berada dalam rentang kurva kalibrasi larutan baku timbal.

Konsentrasi timbal dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

3.8.2 Penetapan Kadar Seng dalam Sampel

Larutan sampel hasil destruksi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 213,9 nm menggunakan alat spektrofotometer serapan atom yang telah disesuaikan kondisinya dengan nyala udara asetilen. Nilai absorbansi yang diperoleh harus berada dalam rentang kurva kalibrasi larutan baku seng.

Konsentrasi seng dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Menurut Harmita (2004), kadar logam timbal dan seng dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

Kadar logam (mg/kg) = onsentrasi mg x olume m x aktor pengen eran erat Sampel g

(44)

3.9 Analisis Data secara Statistik 3.9.1 Penolakan Hasil Pengamatan

Menurut (Sudjana, 2002) kadar logam timbal dan seng, yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing larutan sampel dianalisis dengan metode standar deviasi menggunakan rumus sebagai berikut:

S √∑ i ̅ n Keterangan :

Xi = Kadar sampel

̅ adar rata rata sampel

n = Jumlah pengulangan pengukuran

Untuk mencari t hitung digunakan rumus : t itung | i ̅|

S

√n

untuk menentukan kadar mineral dalam sampel dengan interval kepercayaan 95%, α 0,05, dk = n-1, dapat digunakan rumus :

̅̅̅ t (α

,dk) S

√n Keterangan :

̅ adar rata rata sampel mg α = Taraf kepercayaan

dk = Derajat kebebasan SD = Standar deviasi

n = Jumlah pengulangan pengukuran

(45)

Data perhitungan statistik kadar timbal dan seng pada sampel tahu walik dapat dilihat pada Lampiran 13, 14, 15, 16 dan 17.

3.10. Validasi Metode Analisis 3.10.1 Uji Ketepatan

Uji perolehan kembali ditetapkan pada larutan tertentu yang sesuai (larutan blanko atau larutan matriks) dimana analit yang ditambahkan telah diketahui jumlahnya (konsentrasi pertengahan rentang validasi. Dalam metode ini, kadar logam dalam sampel ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penentuan kadar logam dalam sampel setelah penambahan larutan standar dengan konsentrasi tertentu (Ermer dan Miller, 2005). Data uji perolehan kembali (recovery) timbal dan seng dapat dilihat pada Lampiran 18 dan 19.

Tahu yang telah dihaluskan ditimbang secara seksama sebanyak 10 g, lalu ditambahkan 3,5 mL dengan menggunakan labu ukur dan larutan baku timbal dan 7,5 mL larutan baku seng kemudian dilanjutkan dengan prosedur destruksi kering seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Menurut Harmita (2004), persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:

erole an kem ali

00 Keterangan :

CF : Kadar setelah penambahan larutan baku

CA : Kadar sampel sebelum penambahan larutan penambahan baku C*A : Kadar larutan baku yang ditambahkan

(46)

3.10.2 Uji Ketelitian

Menurut Harmita (2004), presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan diekspresikan sebagai simpangan baku relatif yang dapat ditentukan dengan rumus berikut :

S S

̅ 00 Keterangan :

SBR : Simpangan baku relatif SB : Simpangan baku

̅ : adar rata-rata sampel

Data perhitungan simpangan baku (SB) dan simpangan baku relatif (SBR) timbal dan seng dapat dilihat pada Lampiran 20.

3.10.3 Uji Linearitas

Menurut Gandjar & Rohman (2017) linearitas merupakan kemampuan metode memperoleh hasil-hasil uji yang proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Analisis regresi y = ax + b digunakan untuk menghitung koefisien korelasi (r) (Harmita, 2004).

Keterangan:

y = intensitas yang terbaca a = koefisien regresi (slope) b = tetapan regresi (intersep) x = konsentrasi

3.10.4 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan. Sedangkan batas kuantitasi

(47)

merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Data perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi timbal dan seng dapat dilihat pada Lampiran 21.

Menurut Harmita (2004), batas deteksi dan batas kuantitasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Simpangan aku (S ⁄ ) √∑ i n

atas deteksi ( S ⁄ Slope

atas deteksi ( 0 S ⁄ Slope

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sistem pakar tes iq pada anak menggunakan metode dempster shafer, aplikasi yang dibuat untuk pelaksanaan tes iq, pada dasarnya tes iq yang dibuat masih

Local Clusters in Global Value Chains: A Case Study of Wood Furniture Clusters in Central Java (Indonesia).. VU,

 Gaya bahasakurang menarik dari segi keindahan bahasa dan penggunaan ungkapan kurang berkesan.  Idea masih relevan/ idea bercampur aduk

Ketika infotemen (infotainment) hanya bisa mengung- kap kekayaan para selebritis (hedon, “memu- ja-muja” kekayaan) yang menurut beberapa pihak “karbitan” itu, sementara disisi

Survei tanah yang dilakukan selain untuk melakukan tingkat kapabilitas atau kemampuan lahan secara keseluruhan, juga dilakukan sebagai bahan untuk pemetaan tanah dalam

[r]

[r]

Banyak perlstlwa hukum yang terjadl tentang ianyaknya pelanggaran lzln kelmlgraslan, terutama lzln tlnggal, orang aslng yang tlnggal dl Indonesla