• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamis, 31 Januari :57

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kamis, 31 Januari :57"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Kamis, 31 Januari 2013 - 08:57

Kemanakah Kini Para Penafsir Seni Rupa Itu? oleh Fadjar Sutardi

Sebuah suasana pembukaan pameran seni rupa yang dihelat oleh Galeri Nasional Indonesia di kota Makassar akhir November 2012 lalu. (foto: kuss indarto)

DI ZAMAN yang maju dan serba cepat, manusia modern dituntut untuk bekerja cepat pula. Tak terkecuali para perupa (pelukis, pematung, grafikus, pengrajin, fotografer, desainer, arsitek dan seterusnya) juga dituntut untuk berkesenian serba cepat pula.

Tuntutan yang cepat melahirkan kegiatan yang padat, antrian yang panjang dan kompetisi yang ketat pula. Produk-produk seni rupa melimpah ruah dengan segala ragam dan bentuknya, mulai yang tradisi, modern dan kontemporer bak gunung yang menjulang. Karya rupa melimpah ruah dan menggunung tersebut, mau tidak mau harus terkomunikasikan kepada publik seni dengan cepat pula. Munculnya banyak pengamat, pengulas, penulis dan kurator bak jamur dimusim penghujan, menjadi penanda atas kemajuan yang cepat tersebut. Ruang-ruang publik juga tumbuh subur, seperti tak bisa dikendali. Ajang pameranpun dilakukan dengan berbagai daya dan gaya tariknya.

Hampir setiap hari di kota-kota besar selalu terjadi peristiwa pameran seni rupa yang

beragam rupa penampilannya. Pesatnya kegiatan pameran seakan mengiringi dan

mengimbangi kegiatan produk lain manusia, seperti produk berpolitik, bertani, berburuh,

bersosial ekonomi, ilmu dan teknologi yang terlebih dulu menjadi keinginan dan

(2)

kebutuhan manusia modern dengan segala kelengkapan-kelengkapannya.

Manusia modern memang bekerja ekstra ketat untuk memenuhi seluruh keinginan hidup dan matinya, seakan mereka tak hanya membutuhkan 24 jam untuk memenuhi

keinginannya, tetapi mereka butuh 48 jam siang malam. Mereka menginginkan perputaran ruang dan waktu secepat kilat. Tujuannya hanya satu, yakni berkeinginan untuk memiliki terhadap apa saja. Bahkan terhadap siapa saja. Rumah, mobil, musik, lukisan, burung-burung, kuda tunggangan, taman-taman, buku-buku, minuman, makanan dan apa saja yang dihadapannya, inginnya dilalap dengan rakusnya.

Kebutuhan, keinginan yang condong menjadi kerakusan bergerak cepat mulai di pusat- pusat pemerintahan, propinsi, karesidenan, kotamadya, kabupaten dan mungkin sesekali di kecamatan, bahkan kelurahan.

Gaya dan “kerakusan” hidup manusia modern bertambah satu, yakni suka menghadiri pameran lukisan. Mereka menganggap bahwa menghadiri acara pameran lukisan, sama persis dengan kegiatan belanja ke mall, supermarket, wisata ke luar negeri atau acara keluarga di pemancingan. Mereka mengharuskan dirinya untuk melihat, membeli, mengoleksi lukisan-lukisan sebagai kebanggaan seperti tetangganya, sebagai kenangan dan kebanyakan katanya sebagai investasi. Rumah orang-orang modern dipenuhi barang-barang seni,seperti uang kuno, koran lama, komik, majalah lama, lampu, kursi, meja, almari, dinding kayu jati kuno, lukisan, guci, keramik, wayang golek, wayang kulit, lukisan pelukis terkenal dan sebagainya. Rumah mereka seakan menjadi “museum”

pribadi. Orang-orang modern yang congkak tetapi cerdas ini, dengan sigap dan merasa mengerti segala-galanya tentang seni rupa, menghabiskan sebagian uangnya untuk mengumpulkan barang-barang loak tersebut.

Pameran yang digelar di galeri, museum, taman budaya, art space, hotel-hotel, pusat- pusat perbelanjaan, kampus, sekolah, pendopo-pendopo, penginapan atau di rumah orang kaya yang menyediakan venue pameran, selalu dikunjungi orang-orang modern meruah. Orang-orangpun hadir mengunjungi tempat-tempat itu, seakan tak ada bosannya. Orang-orang berputar dari ruang ke ruang, entah mengerti atau sekadar menjadi penyaksi bagi perupa yang sedang bersukaria menyambut kedatangan mereka.

Mendatangi acara pameran seni rupa, benar-benar menjadi sesuatu yang mengangkat

gengsi mereka. Suasana ini ditangkap oleh para perupa tak kalah gayanya, setiap event

pameran seni rupa diselingi “daya pukau” suguhan aneka jenis dan berbagai hiburan

untuk tamu-tamu orang modern kaya dan cerdas ini. Suasana meriah benar-benar

terbangun dengan berbagai harapan, seperti agar para tamu pengunjung yang datang

menyambanginya, antusias untuk mengoleksi karya-karya mereka. Para perupa

(3)

“menyediakan” kemasan-kemasan yang menarik, mulai dari sekadar sajian solo organ dengan penyanyi yang seksi, campur sari, paduan suara, pembacaan puisi, performance art, folk song, wayang kulit pentas satu jam, tari-tarian, pantomime, keroncong,

kethoprak, lawak, sampai hiburan yang sifatnya highclass, seperti pertunjukkan musik jazz. Penampilan para perupa, juga menakjubkan layaknya selebrities. Baju, celana, rambut, sepatu, jam tangan, gelang, kalung, mobil terkesan sebagai perupa papan atas banget. Tak ada kesederhanaan, seperti zaman Affandi dulu ketika pameran. Tak ada kewibawaan jiwa. Tak ada kehormatan bagi ruh mereka. Semua sudah berubah seakan menjadi kumpulan kaum “borjuis”, kaum hippies yang bebas dan merdeka. Bahasa kata dan isyarat mereka, tidak mudah dipahami oleh awam. Kata-kata mereka cas-cis-cus yang tak mengesankan jiwa yang mendengarnya.

Tokoh masyarakat seperti anggota DPR, anggota MPR, ketua partai, menteri, dirjen- dirjen, kepala dinas, walikota, bupati, camat, lurah, pemain sinetron, para diva, bahkan para ustadz, romo dan kyai dihadirkan untuk memberikan sambutan dan sekaligus membuka pameran, pameran yang dibuka tokoh terkenal dirasa memiliki kesan berbobot, berwibawa dan agung. Tidak hanya itu, para perupa juga meminta tokoh pelukis terkenal untuk kiranya mau “merangkap” sebagai penulis, pembuat catatan, pengamat atau semi-kurator untuk memenuhi halaman dan lembar catalog yang tebal dan mewah. Katalog dicetak warna warni dengan desain yang menawan, sampulnya tebal setebal kitab suci, dengan berpuluh-puluh halaman kitab katalog itu menampilkan tulisan sambutan-sambutan, kesan para sahabat dan sponsor yang mendukungnya. Tak lupa foto karya juga dibuat format ukuran besar-besar.

Dekorasi panggung dibuat mewah, dengan tata lampu layaknya seperti upacara pernikahan. Para pembesar memberikan sambutan-sambutan. Tepuk tanganpun memenuhi halaman venue pameran. Para peserta pameran berjajar dipanggung, para pemotret sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut. Suasana panggung narsis dan anarkhis. Para peserta pameran bersama beragam jenis orang yang hadir berputar- putar melihat-lihat karya yang dipamerkan dengan tawa ria, diselingi tubuh

membungkuk sekadar mendekati karya atau mungkin melihat judul dan ukurannya. Para

“pejabat” berkeliling-keliling bergerombol, satu persatu diminta juru potret untuk mengabadikan peristiwa langka, aneh dan meriah itu.

Dari sisi kekaryaan pameran-pameran diselenggarakan di berbagai tempat memang

disajikan untuk memenuhi “nafsu keinginan” mereka yang berduit. Karya yang disajikan

tak ada kaitan dengan latar belakang dan realitas jiwa keseharian, ketika para perupa

hidup berdampingan dengan masyarakat lingkungan yang membesarkannya. Karya-

karya muncul, melesat dan terpampang dengan megahnya, sebagian besar mirip

(4)

fotografi, mirip poster dan berbagai ragam “ke-letheg-an visual”. Para perupa tanpa risi apalagi sungkan kepada masyarakat bawah yang tak mengerti maksudnya, pada hal ikut membesarkannya. Pokoknya bikin karya mirip perupa luar negeri dengan harapan dapat mendunia. Perupa banyak menggunakan aji mumpung, yang pada awalnya mungkin tergiur selera pasar yang dianggap menghantarkan kesuksesan. Para perupa kemudian coba-coba dan akhirnya dengan beraninya, para perupa membuat loncatan tinggi dengan menampilkan karya-karya yang tak ada hubungannya dengan kehidupan sehari- hari. Contohnya, di Indonesia beberapa tahun terakhir lahir berpuluh-puluh lukisan wajah mirip Mao Tse Tung, Bunda Theresa, Gandhi, Hitler, Che Guevara, Marlyn

Monroe, Nelson Mandela, Dalai Lama, Muhammad Ali, Pele, Bruce Lee, Lady Diana, Billy Graham, Barack Obama yang diambil dari majalah asing semisal majalah Time, untuk kemudian “dimainkan” perupa kita. Maksudnya kita semua tidak tahu, kenapa muncul tokoh-tokoh asing nyelonong ke benak perupa Indonesia. Ada satu dua yang

menampikan tokoh Indonesia, seperti Bung Karno, Sri Sultan HB IX (memakai baret milik Che Guevara). Dan tak lagi mengangkat Diponegoro, Hasanudin, Pattimura atau Syahrir, Hatta, Hamka seperti para perupa sebelumnya. Dunia nyata keseharian mereka tak pernah dijadikan guru kehidupan. Guru mereka siapa, kita tidak tahu. Semua

bergerak. Semua berjalan. Seakan semua sah. Semua boleh. Semua halal. Gambaran tersebut masih berlangsung sampai akhir tahun kemarin.

Pergantian tahun yang merangkak sebulan ini, kemungkinan sama saja. Tak ada

perenungan dan evaluasi mendalam. Mereka sudah terformat selera pasar yang mewah dan mencandu. Tetapi apa benar, sudah benar mencandu atau hanya sekadar basa- basi, ikut-ikutan sebagai gaya hidup yang meniru-niru? Pembiaran-pembiaran berlangsung dan bergerak cepat tanpa landasan yang jelas. Para perupa dan masyarakat rupa ada yang menuai spekulasi ini, hasilnya memang membuncah melimpah ruah dengan dolar-dolar. Tetapi ada pula perupa yang karam, tenggelam begitu saja. Ada yang berjalan dengan selamat sebab “diuntungkan” kabegjan, kata Bob Sadino di televisi.

Kemana Arah Perjalanan Seni dan Kehidupan Kita?

Dari waktu ke waktu, zaman memang digerakkan oleh pemilik modal besar yang

menganggap diri mereka paling maju dan modern. Dengan dasar kemodernan ini, para

pemilik modal besar itu dapat menciptakan apa dan siapa saja. Pemilik modal besar

dapat dengan hanya waktu menitan melahirkan politikus, ekonom, teknokrat, seniman,

sosiolog, psikholog, teolog. Politikus ciptaannya melahirkan partai-partai yang diarahkan

pada kemenangan dan memperbesar mesin modal besarnya. Ekonom ciptaan para

pemilik modal besar mengabdikan hanya pada ekonomi global dan bukan ekonomi

(5)

untuk orang-orang kecil. Teknokrat hanya membuat jaringan kemajuan untuk mengabdinya. Seniman, memuja telapak kaki orang-orang besar. Sosiolog

melanggengkan konsep keseharian kelas orang-orang besar. Psikholog, tak pernah membela orang-orang kecil. Teolog, seakan bertugas hanya mengembangkan narasi keduniaan dan bukan menafsirkan firman-firmanNya pada jiwa orang-orang kecil. Setiap rencana tidak menguntungkan orang-orang kecil,yang dilakukan justru pembenaran- pembenaran konsep mereka dan bukan memecahkan persoalan mendasar orang-orang kecil ini.

Sekadar kembali ke masa silam ratusan tahun yang lalu, kesenian, entah seni rupa, musik, sastra dan teater dahulu kala diciptakan para seniman yang empu, yang pujangga, yang menghormati adiluhung memiliki daya guna untuk mencerahkan

kehidupan. Masyarakat diajari untuk mencari kebenaran, melalui lingualisasi, visualisasi, audovisualisasi kesenian sebagai medianya. Masyarakat diajari tentang kehidupan yang seimbang, harmonis dan adil. Kesenian menjadi sesuatu yang mengharukan jiwa-jiwa masyarakat. Kehidupan menjadi damai penuh dengan salam keselamatan. Para raja diajari untuk memerintah dengan penuh kesabaran keadilan dan kejujuran. Para seniman, berfungsi sebagai guru kehidupan. Para seniman bertugas menjadi

penerjemah dan penafsir kehidupan. Mereka tafsirkan hidup menjadi dan dipraktikkan menjadi adat-istiadat, kebahasaan, kesenian, mata pencaharian, sosial

kegotongroyongan, kelautan atau kemaritiman, keagamaan dan kepengelolaan alam lingkungan dengan penghormatan penuh kebersamaan.

Guru tafsir kesenian, mengutamakan tugas-tugas bekerja (berkreasi) dan tak banyak berkata-kata (teoritis). Guru tafsir kesenian, meneladani, memberi contoh tentang pentingnya merawat akan kebersatuan alam, Tuhan dan manusia. Guru tafsir kesenian mengajarkan tentang makna tanah dan makna air dan bukan mempersoalkan politik kenegaraan. Karena guru tafsir kesenian, sejatinya adalah pemimpin “kenegaraan”

(kenegarian) dalam masyarakat nyata dan bukan masyarakat mengambang. Dari waktu ke waktu, para guru tafsir lahir silih berganti secara alami. Tak ada goncangan, tak ada perebutan, tak ada perasaan kepemilikan, tak ada kecongkaan, tak ada pembenaran- pembenaran. Semua berjalan memenuhi tuntutan keharmonisan dan pengabdian pada kehidupan, sekaligus pengabdian pada makna kematian.

Kesenian berjalan bukan tanpa arah, tetapi hanya mengarah pada sesuatu yang hanya bernilai sehadapan, dan bukan mengarah pada tujuan memuliakan manusia itu sendiri.

Nilai-nilai tergantikan oleh materi-materi sesaat yang dapat mencelakakan kepribadian

manusia. Dan kini, arah menuju pengabdian ke-material-an mengalami titik jenuh dan

titik bosan yang menyesakkan kepala dan dada. Para seniman, yang semestinya

(6)

menjadi penerang jalan menuju kearifan, justru terbalik menjadi penggelap yang memekatkan jiwa menganga. Walau dari sisi lahiriah, mereka terlihat hidup mewah dan melimpah.

Perjalanan kesenian kini menjadi kabur, tak bertuan, tak berpapan, tak berumah dan tak berpakaian. Banyak orang mengatakan, bahwa seni rupa (asli) Indonesia kini tidak ada.

Kemana dan dimana negeri Indonesia, beserta nagari-nagari yang melingkupinya? Di sudut manapun di Indonesia, seni rupa merata sama, tak ada bedanya, tak ada lagi ciri khasnya, tak ada lagi warna-warninya. Berbagai bienalle di daerah, tak mampu

mengangkat citra nilai-nilai kelokalan masing-masing. Semua mirip dan semua sama.

Semangat Yogja, semangat Bandung, semangat Jakarta, yang dahulu menjadi kompetitor bagi lainnya, sekarang mati suri.

Kemana Kini Para Penafsir Seni Rupa Itu?

Kita tahu bahwa warisan kesenian berupa catatan perjalanan para seniman sebagai guru kehidupan bangsa ini masih tersebar di goa-goa Saparua, Leang-leang, Seram. Warisan dolmen, menhir, batu berundak, sarchopagus, kuburan batu yang dikorek Walter Kaudem masih kukuh dan kokoh tegak di berbagai wilayah negeri ini. Warisan Patung Silewe Nazarata, gendang perunggu Bulan dari Pejeng, lumbung padi Huta-sihotang Batak, lukisan batu di Goa Duri, Furir Irian Timur, adegan relief Ramayana di

Prambanan, lakon Budha di Borobudur, patung kayu burung enggang di Dayak, patung kepala singa di Samosir, lingga yoni di Sukuh, patung raja Nagus dan anak kembarnya di Pematang Siantar, patung kepala dengan anting-anting besar di Tanimbar, Maluku yang sangat “kontemporer” masih utuh dan tegak ditanah air. Warisan topeng bukung di Sampit Kalimantan, obelisk di Sukuh, candi Cetho, candi Borobudur, candi

Prambanan, candi Kalasan, candi Mendut, candi Baka masih lengkap menanti sentuhan para guru tafsir modern untuk dijadikan mata air kreativitas dan sekaligus menjaga spirit bangsa ini. Warisan besar bangsa Melayu, berupa masjid, makam, batu nisan berjajaran sepanjang pulau Sumatra. Kaligrafi Pallawa, kaligrafi Jawa, kaligrafi Arab Melayu,

kaligrafi Bugis, kaligrafi Toraja merupakan kekayaan luar biasa berserakan di rak-rak prasasti perpustakaan lama.

Masih banyak ribuan warisan kreasi para seniman dimasa lalu, yang dibiarkan begitu saja. Tak dijumput, tak disentuh, tak dipandang, tak di rentang oleh perupa-perupa modern kita pada hari ini sebagai dasar berpijak. Mereka menganggap sebagai warisan lama, kuno dan mati, ditinggal begitu saja. Mereka sibuk mengabdi pada arus besar seni rupa pemilik modal, yang mereka namakan arus besar seni rupa dunia internasional.

Mereka terjebak pada kubangan-kubangan seni rupa spekulasi yang bernuansa politik

(7)

ekonomi global yang membunuh karakter bangsa ini. Sampai hari ini, belum ada upaya membangun spirit lokal yang bernilai tiada tara ini, belum ada kurikulum-kurikulum kesenirupaan lokal yang sangat berharga itu. Belum muncul ahli sejarah seni rupa, ahli antropologi budaya rupa yang dapat mengabarkan penelitiannya, kepada anak didik dan masyarakat untuk menghargai warisan luar biasa tersebut. Sementara perihal lokalitas seni rupa, ada yang memandang sebelah mata, ada yang menganggap tidak merubah apa-apa. Sehingga titik berangkat berkeseniannya, juga menghasilkan mata sebelah saja. Tidak hanya perupa, pangamat, guru-guru besar seni rupa bahkan pemerintah atau kementerian kesenian tak mau faham dan mengerti warisan-warisan Nusantara ini.

Di sisi lain ada beberapa guru-guru besar seni rupa yang pernah berperan sebagai penafsir seni rupa lokal Nusantara berpulang satu demi satu, dan anehnya tak ada yang mengikuti jejak langkah mereka. Tak ada yang mau mewarisi perjalanan dan sikap mereka. Tak ada lagi penafsir. Tak ada lagi kritikus. Tak ada lagi penulis sejarah. Tak ada lagi para pemikir. Tak ada lagi yang memandang lokalitas negeri ini. Lokalitas yang sebenarnya wajib menjadi akar berpijak dalam menyuarakan rupa di tingkat dunia.

Indonesia dari masa kemasa terjebak pada lingkaran setan yang membuntukan jalan pikiran, jalan perasaan dan jalan pergaulan.

Kita hari ini dengan secepat-cepatnya dan tempo sesingkat-singkatnya butuh seniman- seniman besar yang menggerakkan Indonesia kedepan.Kita butuh orang yang memiliki komitmen terhadap Indonesia Raya sekuat semangat Raden saleh, sekuat Affandi, sekuat Hendra Gunawan, sekuat S.Sudjojono, sekuat Sudibyo, sekuat Nyoman Lempad, sekuat Soetopo, sekuat Otto Djaya, sekuat Ratmoyo, sekuat Dullah, sekuat Sri Hadi Sudarsono, sekuat Widayat, sekuat AD Pirous, sekuat Wardoyo, sekuat Sunaryo dan kekuatan-kekuatan seperti kuatnya bangsa ini dimasa lalu, agar warisan lokal yang mendunia tak hilang begitu saja. Kita perlu melahirkan para penafsir yang memiliki dedikasi dalam mengabdi untuk negeri ini, tanpa mau memihak pada kepentingan pemilik modal besar yang menghalaubilau (seharusnya ditulis: mengharubiru) perupa modern kita yang mungkin sedang lupa.

Ke Depan Perlukah Bangunan dan Kebangunan Seni Rupa “Indonesia”?

Menilik akar perjalanan bangsa ini memang tidak jauh dan tidak bisa lepas dari kesenirupaan. Bangsa ini dikenal oleh bangsa lain dari dulu sampai sekarang berkat karya-karya besar seni rupanya. Perjalanan seni rupa Nusantara berkibar berates tahun, tetapi perjalanan seni rupa Indonesia, masihlah baru. Dalam buku Dutch Culture

Overseas, karangan Frances Gouda ditulis, bahwa sekitar tahun 1900-an banyak perupa

Belanda yang datang di Indonesia. Rudolf Bonet, Walter Spies dan beberapa perupa

(8)

lainnya semisal Antonio Blanco sangat berkeinginan menetap di Indonesia. Dari mereka, seni rupa “Indonesia” dikenalkan kepada dunia melalui pameran kolonial di ajang

festival kolonial di berbagai Negara, seperti di Paris dan Vancouver AS. Belanda

membawa kesenirupaan Bali, Toraja, Bugis, Padang, Dayak, Nias, Solo dan sebagainya.

Sambutan pameran kesenirupaan Indonesia, cukup menarik bagi pengunjung tingkat internasional tersebut.

Lantas kemungkinan festival kolonial tidak terurus lagi, ketika bangsa ini bertekad melawan Belanda yang dikobarkan Sukarno, Hatta, Syahrir, Sutomo dan teman- temannya. Kesadaran akan pentingnya merdeka, juga membangkitkan para perupa yang pro-kemerdekaan Indonesia, seperti Affandi, S. Sudjojono, Resobowo, Trubus dan lainnya. Rupanya bangunan dan kebangunan seni rupa Indonesia, berangkat dari kesadaran ini. Sehingga kesenirupaan modern kita, titik berangkatnya bukan dari kesadaran dari pemilik modal, Belanda misalnya. Tetapi kesadaran kepribadian bangsa sendiri, kerja kreatif sendiri dan tidak mendompleng kepada penjajah. Terlepas setuju atau tidak setuju, pada kenyataannya kesenirupaan Indonesia mendapatkan tingkat apresiasi yang tinggi di tingkat dunia, terletak pada karya-karya besar kesadaran atas kebangsaan yang digerakkan para perupa awal kemerdekaan ini. Karya-karya mereka diakui dunia sampai sekarang.

Menyikapi perubahan besar-besaran dewasa ini, khususnya terjadinya kebebasan berkesenirupaan yang sangat liberatif yang dilakukan perupa-perupa modern kita yang mengabdi pada kenyataan pasar yang bermodal besar, sudah semestinya para

“pengambil keputusan kesenirupaan” (?) untuk mengingatkan mereka kembali melalui diskusi-diskusi reflektif tentang pentingnya pijakan dasar berkesenirupaan Indonesia, dengan memunculkan kiprah kreatif perjalanan awal bangsa ini. Tentu, model diskusi reflektif ini dianggap sok romantik, sok patriotik. Tetapi, lebih parah mana ketika para perupa hanya “menggantungkan hidupnya” dengan mengabdi kepada pemilik modal besar? Setiap hari hanya menanti datangnya Dewa Booming? Kalau hanya demikian, maka bom waktulah yang akan menumbangkan keperupaannya. Banyak sudah yang tumbang dan terombang-ambing di tepi tebing-tebing jurang yang curam. Permainan rupanya tak kan pernah berakhir. Melingkar dan melingkar setiap hari. Hari ini

menjulang, besuk pagi tumbang. Besok pagi tumbang esoknya terjengkang-jengkang.

Atau andai tidak berbentuk diskusi, mungkinkah diawali dengan meletakkan dasar-dasar

seni rupa Indonesia di tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi. Karena hanya

dengan pendidikan, kesadaran bangsa akan tergerak. Hanya melalui pendidikan, bangsa

ini dapat menumbuhkan kemandirian dan terbebas dari gurita-gurita bangsa lain. Kita

berharap dan bukan mengeluh, di suatu saat semoga muncul kesadaran baru bagi

(9)

keberlangsungan seni rupa “asli” Indonesia dalam benak para perupa muda yang lahir, melalui bangunan dasar seni rupa dan kebangunan seni rupa dalam proses pendidikan.

***

*) Perupa, mengajar beberapa sekolah menengah di pinggiran barat wilayah Sragen, Jawa Tengah.

Selasa, 25 Desember 2012 - 06:58

Indonesia Berpuisi Lagi

oleh Fadjar Sutardi

(10)

Penyair Sosiawan Leak. (foto: Suara Merdeka)

INDONESIA dengan budaya Nusantaranya, merupakan sebuah negeri puisi dan negeri kata.

Puisi dan kata menghiasi bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Di kota, di kampung, di gunung, di lembah, di hutan, di ngarai, di sawah, di sungai orang Indonesia senang berkata- kata (menyusun kata, merangkai kata). Kata-kata yang ditata, diuntai sedemikian indahnya, orang menyebutnya puisi (talibun, gurindam, sajak, sanjak, syair, peribahasa, sonata, stanza, pantun, parikan) dan sebagainya.

Di zaman modern yang sangat kontemporer ini, hampir semua orang Indonesia masih

“mengunggulkan” senangnya berkata-kata, tetapi bukan menata kata. Senangnya berkata-kata bisa berbentuk membaca teks pidato, membaca puisi, kampanye mendayu rayu, berkhotbah menjanjikan surga, menipu dengan halusnya kata, atau sekedar menasehati anak-anaknya, dipastikan orang Indonesia sangat “nerocos dan cas-cis-cus” dengan kata-kata apa saja, kapan saja dan dimana saja. Dari pejabat sampai rakyat, pedagang sampai pecundang, ulama sampai umaro’, seniman sampai budayawan semua mengamalkan ibadah dengan berkata-kata.

Kata-kata yang tersusun indah bernama puisi tersebut mengisi lembaran-lembaran buku, koran dan kitab-kitab. Orang yang memiliki keahlian menyusun kata dinamakan penyair dan bukan puisiawan. Tentang puisi, menurut Wikipedia Indonesia berasal dari bahasa Yunani kuno:

ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create, adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk menjaga kualitas estetiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya. Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi.

Dari pengertian diatas, puisi memang memerlukan benar-benar harus memegangi ilmunya

(11)

tersendiri. Memainkan kata-kata, ternyata tidak main-main. Artinya, tidak hanya sekedar menulis dan berteriak-teriak dibacakan. Berpuisi, adalah menuruti perjalanan hati,jiwa yang tercatat oleh logika otak, yang terkadang suasana hati tidak bisa ditulis dengan kosa kata yang ada. Berpuisi, artinya mengungkapkan isi hati dengan kata-kata, secara jujur dan benar. Puisi dapat digunakan (dimanfaatkan) sebagai alat atau perangkat komunikasi antar manusia.

Senada dengan keterangan di atas, Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektualitas penyair (penulis puisi) yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga pilihan tertentu tersebut dapat membangkitkan pengalaman diri sendiri, pembaca ataupun masyarakatnya. Romo Dick Hartoko, mengatakan bahwa, puisi adalah serentetan tulisan pengalaman personal yang dapat menundukkan dirinya, dengan membuahkan kasih (the ultimate reality). Linus Suryadi AG, mengatakan bahwa puisi merupakan catatan kesaksian bagi para penyaksi (penyair), setelah dia menghanyutkan diri dalam telaga kehidupan dengan hati nuraninya secara jujur.

Dengan demikian, andai manusia sering menggunakan hati nuraninya, dipastikan ia secara otomatis dapat dikatakan menjadi penyaksi tertulis atas kehidupannya. Dalam perkembangan zaman manusia yang semakin cerdas, puisi sering menjadi media muhasabah, refresh, pangkal titik start- nya kembali, sekaligus menjadi ungkapan citra cinta dengan apa dan siapapun dimana dia hidup dan berkembang. Maka, puisi dari zaman ke zaman berkembang sesuai dengan “kodratnya”. Zaman Hamzah Fansuri beda zaman Sutan Takdir Alisyahbana, beda dengan zaman Moh. Yamin, beda pula dengan zamannya Chairil, Rendra, Umbu, Emha, Linus, Ulfatin, Sitok Srengenge dan seterusnya. Media ungkap puisi juga berkembang, dahulu lewat buku, kemudian koran, radio, televisi, CD, facebook dan seterusnya. Nah pada titik simpulnya, manusia memang masih butuh puisi.

Gara-gara puisi, kemarin (21.12.12) Sragen ramai didatangi para penyair dari berbagai wilayah di tanah air, untuk menyaksikan acara launching antologi puisi yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) dengan tema “Dari Sragen Memandang Indonesia” yang dikuratori penyair bengal Sosiawan Leak dan Sus S. Harjono. Acara tersebut diselenggarakan di Pendopo Somonegaran Rumah Dinas Bupati Sragen. Dari sekitar 127 penyair yang diundang, 67 orang bersedia hadir untuk membacakan puisi mereka masing- masing, selebihnya berhalangan hadir karena adanya kesibukan personal penyairnya.

Sesuai dengan undangan jam 19.30 WIB acara dimulai, dibuka oleh Bupati Sragen, Agus

Fathurrahman, SH,MH dengan prolog sebuah puisi, ciptaannya. Para penyair dan penulis puisi

berkumpul duduk rapijali bersama bupati dan stafnya, disertai jajaran pejabat Sragen, para

(12)

guru, seniman dan budayawan Sragen dengan menyaksikan pembukaan dengan santai, suka cita tetapi khidmat menikmati acara pembacaan puisi pada malam launching tersebut. Para penyair yang berjumlah 67an orang datang dengan “ABS” (atas beaya sendiri) antusias hadir baik dari kota Sragen maupun dari luar Sragen. Tercatat antara lain dari Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Padang, Pekanbaru, Bandar Lampung, Serang, Bogor, Jakarta, Bandung, Indramayu, Cilacap, Purworejo, Magelang, Tegal, Brebes, Pekalongan, Kendal, Jepara, Semarang, Kudus, Rembang, Blora, Purwodadi, Solo, Yogjakarta, Bantul, Ngawi, Tuban, Surabaya, Malang,

Lamongan, Blitar, Sumenep, Sulawesi Selatan dan Banjarmasin. Apa sebenarnya daya tarik para penyair tulus dan ikhlas mau mendatangi dengan antusias dalam acara ini?

Daya tarik pertamanya, adalah dari “sikap hidup” bupatinya sendiri. Perlu diketahui, utamanya bagi yang kurang tahu, bahwa Agus Fathurrahman, SH,MH adalah seorang bupati yang sangat dekat dengan para penyair dan para seniman. Penampilan dan gaya hidupnya sangat bersahaja dan nyeniman. Saking dekatnya dengan seniman (kemungkinan hanya bupati satu-satunya di Indonesia yang seperti ini) dengan “jiwa merdeka” pernah sekali ia

mengundang WS Rendra untuk pidato kebudayaan di Sragen. Mendiang WS Rendra, sangat senang dapat hadir dan mengalir di Sragen atas undangan bupati di pinggiran wilayah

Surakarta ini. Saking senangnya, ketika saya tanya kepada mas Willy (panggilan akrab Rendra) tentang kelonggarannya untuk hadir di Sragen, ia mengatakan bahwa, kemungkinan titik berangkat kebangkitan keduanya, berawal dari Sragen. Ia akan memulai dari arah Timur, untuk memutar ke Barat, ke Utara dan ke Selatan, melingkar mengitari Indonesia Raya, selorohnya.

Artinya penghormatan bupati Sragen kepada Rendra, sangatlah membanggakan baginya.

Ada kisah menarik bagi bupati yang nyeleneh unik dan menyukai buku-bukunya Rendra, Emha Ainun Nadjib, Gandhi, Karl Marx, Malcom X, Annemarie Schimmel ini, suatu hari dia mendengar berita tentang pementasan Bengkel Teaternya Rendra, dengan spontan (tanpa direncanakan) bupati (waktu itu masih Wakil Bupati sih) berangkat jam empat sore dengan pesawat,

menyempatkan nonton pementasan lakon “Panembahan Reso”- nya Bengkel Teater Rendra di Jakarta sendirian, setelah selesai jam dua belas malam pulang langsung menuju Sragen lagi.

Memang unik dan gila. Salah satu kegilaan lainnya dengan kesenian, rumah pribadinya sering dijadikan tempat diskusi dan pementasan apa saja yang berkembang di masyarakat, mulai dari cokekan, keroncong, rebana, tari, karawitan, macapatan, teater, pembacaan puisi para pejabat dan rakyat, wayang kulit dan sebagainya. Dengan suka cita bupati yang gemar bercelana jeans dan kaos oblong warna putih ini membangun oase spiritualitas kesenian bersama seniman- seniman dalam komunitas Serambi Sukowati yang diasuhnya.

Di samping membangun oase kesenian lewat komunitas Serambi Sukawati, Agus Fathurrahman

juga “gampang” diundang untuk sekadar menulis pengantar pameran dengan tulisan tangannya

sendiri dan membuka pameran seni rupa bagi siapapun yang mengundangnya, ia juga sering

(13)

membaca puisi di pusat kesenian resmi, seperti Taman Budaya, menghadiri diskusi kesenian di lembaga kesenian masyarakat pinggiran dan menjadi pembicara kunci dalam sarasehan

kesenian di wilayah kabupaten Sragen dan kota lainnya. Termasuk membaca puisi saat acara launching berlangsung, sebagai prolog.

Daya tarik kedua, adalah adanya model strategi pengkuratoran puisi melalui email dan SMS.

Di tangan Sosiawan Leak dan Sus S.Hardjono, “pengkuratoran puisi” dilakukan dengan

semangat dan penuh ketelatenan. Selama kurun tiga bulanan terkumpul kiriman ratusan puisi dari para penyair di seantero Indonesia. Dari waktu yang ada maka bermunculanlah nama- nama penyair seperti Abdur Rahman el Husaini, Adin, Agus R. Sarjono, Alex R. Nainggolan, Alie Emje, Badaruddin Amir, Bambang Eka Prasetya, Bambang Widyatmoko, Beni Setia, Boedi Ismanto SA, Danarto, Daniel Tito, Dyah Setyowati, Handry TM, Haryanto Soekiran, Indah Darmastuti, Jumari HS, Kusprihyanto Namma, M.Enthih Mudakir, Nurochman Sudibyo YS, Tri Astoto Kodarie dan sebagainya. Setelah “dikuratori” oleh keduanya, terkumpullah 127 puisi yang siap di terbitkan. Dari sisi pengkuratoran, memang nama Leak, pantas dijual dikalangan penyair di Indonesia. Dan baru di kabupaten Sragenlah, pengkurasian puisi berhasil dengan memuaskan. Pine Wiyatno, memprediksi bahwa satu-satunya kabupaten yang

menyelenggarakan pengkurasian puisi, barulah Sragen. Utamanya dengan terlibat dan partisipasinya Danarto misalnya sastrawan senior dengan karya mistik relegiusnya, yang

memang berasal dari Sragen. Penggalangan puisi oleh Leak, dianggap berhasil, sehingga konon Agus Fathurrahman, selaku bupati sempat tercengang atas banyaknya para penyair yang ingin bergabung dan hadir di Sragen.

Dengan dibantu Pine Wiyatno, Heru Agus Santoso, Sumarno, Agus Sulastya, Sutrisno Tile Budiharjo kerja keras yang dilakukan Sosiawan Leak dan Sus S. Hardjono cukup

membanggakan, dan baru kali ini puisi-puisi memenuhi kota Sragen dengan ramainya.

Daya tarik ketiga, adalah sensualitas wilayah Sragen. Di luaran Sragen dikenal dengan guyonan plesetan Sragen yang sensual. Kata Sragen memang dapat dijarwadasakan: “pasrah sak enggen-enggen”, artinya alam dan masyarakatnya cukup menarik bagi siapapun.Terlepas plesetan tersebut berbau positif atau negatif jujur saja, dibeberapa wilayah Sragen, khususnya dipinggiran barat kota Sragen, terdapat wilayah sensualitas yang sangat puitis, yakni Gunung Kemukus. Sebelah selatan Gunung Kemukus terdapat situs romantis sensual zaman purbakala Sangiran dan sensualitas sungai Bengawan Solo yang membelah keperawanan bumi Sukowati.

Tiga daya tarik tersebut rupanya menjadi “point kreatif” para penyair yang berkenan untuk menciptakan karya puisi-puisinya. Selain ketiga wilayah diatas, belakangan muncul romantisme sensual para relawan Kedung Ombo yang cukup menjadi renungan bagi para penyair (ingat!

Emha dan Romo Mangun sudi berhari-hari hidup melarat bersama rakyat Kedung Ombo, yang

menuntut keadilan di zamannya Orde Barunya Pak Harto itu. Yang kemudian hari Emha

semakin kreatif, yang konon melahirkan komunitas Pak Kanjeng dan Romo Mangun,

(14)

membangun sekolah rakyat di Gilirejo). Kedung Ombo, sebagian termasuk wilayah Sragen yang airnya menghidupkan rakyat dengan karamba-karambanya. Kampung Batik Kliwonan juga menjadi sumber mata air bagi penyair yang melihat Sragen dengan seluas-luasnya. Ini rupanya yang menjadikan daya tarik para penyair dengan rela hati datang di Sragen.

Dari sekian penyair yang nyata-nyata mengeksplorasi dan mengeksploitasi tentang bumi Sragen, dalam kumpulan puisi Dari Sragen Memandang Indonesia terdapat nama-nama antara lain Danarto sendiri, Ayat Khalili, Abah Yoyok, Abdul Azis, Adi Suhara, Agung Yuli TH, Agus Sri Danardana, Alex R. Nainggolan, Alfiah Mumtaz, Aming Aminoedin, Arini Septian Irawati, Ayu Cipta, Budi Setyawan. Boedi Ismanto SA, Daniel Tito, Daru Malhesdaswara, Es Wibowo dan beberapa penyair penting lainnya. Rupanya, kekuatan keindahan Sragen, cukup menjadi perhatian para penyair. Seperti dikatakan Moh. Gufron Cholid, penyair dari Madura,

memberikan kesaksian tentang indah dan misterinya bumi Sukowati, khususnya keindahan alami situs Sangiran yang mempesonakan. Gufron berharap, peristiwa berkumpulnya penyair di Sragen ini, dapat ditiru daerah lain.

Daya tarik keempat, adalah datang dari sensualitas penyairnya sendiri, pasca mendiang WS Rendra berpulang, pembacaan puisi selaksa mati, tak bergairah, lesu, letih, lemah kurang darah. Puisi, masih ditulis tetapi tak lagi dapat menggerakkan massa. Para penyair, malas berolah puisi, mereka beralih profesi menjadi pelukis, mengasuh pondok dengan mengajar ngaji, mencangkul dan membajak sawah, ada yang menjadi penulis esai, atau jenis pekerjaan yang tak jauh dari habitatnya. Puisi, di zaman korupsi tak lagi memikat hati, tak lagi efektif untuk media mencaci maki, tak lagi berarti bagi tegaknya nurani, tak lagi bisa menepati janji suci untuk mencari nilai-nilai keilahian. Ada satu dua penyair yang setia, tetapi karya yang lahir bak penyair salon (pinjam kritikan Rendra, saat melihat penyair tidak bekerja yang

menghasilkan apa-apa). Mereka kalah dengan keadaan yang membelitnya, kalah dengan ketenaran narasi puitis Gde Prama, Anand Krisna, Mario Teguh, Ary Ginanjar dan sebagainya.

Para penyair hampir mati suri. Para penyair muda tak memiliki keberanian berguru pada diri sendiri.

Berangkat dari keadaan itulah, kemungkinan mereka merindukan arti sebuah srawung,

silaturrahmi, gerakan, kumpul untuk memandang cermin citra diri mereka sendiri. Dengan

semangat spekulatif seadanya mereka hadir bersapa, mengkritik diri sendiri, mengambil jurus

dua puluh untuk melahirkan karya-karya nyata yang bernama puisi yang menggerakkan tubuh

mereka sendiri. Di pendopo bupati yang disulap menjadi poem space, mereka uji nyali dengan

teman sesama penyair. Dengan mengepal, berjingkrak, berjumpalitan, teriak sumpah serapah

para penyair meluapkan isi hati dalam antologi nyata yang bernama silaturahmi bersama. Ada

yang setengah, ada yang total, ada yang marah, ada linglung, ada pura-pura bijaksana. Inilah

justru daya tariknya, mereka berdatangan di Sragen, kota kecil mungil yang menggegerkan jiwa

(15)

para penyair.

Mereka saling sapa dengan ejekan dengan menyebut penyair facebook, penyair yang penyiar, penyair yang seperti guru menyampaikan materi ajar pada muridnya, penyair binal, penyair nakal dan seterusnya. Inilah gaya penyair. Jiwa mereka dahaga, lapar dan tak pernah kenyang terhadap keadaan. Mereka saling meminta dan memberi tanda tangan di buku antologi yang launchingkan, saling meminta nomor HP dengan akrab, guyub. Paginya, pendopo itu sunyi dan sunyi lagi. Mereka pulang dengan jabat tangan dekapan erat sambil melambaikan tangannya untuk kiranya mereka bisa berjumpa lagi.

Keempat daya tarik di atas, agaknya yang menjadi dasar panggilan nurani para penyair datang ke Sragen dalam acara launching tersebut. Pancingan Leak beserta teman-teman Sragen sangat tepat dan berhasil membangkitkan jiwa mereka. Ruh dan nyawa mereka. Nampaknya peristiwa ini, menjadi mimpi pertama, untuk nantinya melahirkan mimpi-mimpi selanjutnya.

Inilah dunia kesenian, dunia jiwa dan dunia keindahan yang barusan terjadi di Sragen. Benar kata Rendra, ketika datang ke Sragen dengan thema yang sama sebangun, Rendra

memandang Indonesia. Dan benar juga, Rendra berpulang setelah setahun pidato kebudayaan di Sragen. Kepulangan Rendra ternyata membawa, semangat lahir kembali bagi para penyair.

Semoga, mereka menjadi Rendra-Rendra yang bergerak untuk masa depan bangsa yang sedang sakit parah ini. Benar kata Richard Nixon yang sering dikutip bupati Sragen, yang dekat dengan para penyair ini, bahwa ketika politik tak bernyawa, puisilah yang menghidupkannya.

Benarkah demikian? Kita tunggu lagi antologi para penyair yang memiliki keteguhan dalam mengepakkan sayap kebangsaan bangsa yang sedang rapuh ini.

Fadjar Sutardi, perupa, tinggal di Sragen.

(16)

Selasa, 27 November 2012 - 18:53

KALA KULTUR KALA KULTUS

oleh Fadjar Sutardi

(17)

(foto: kuss)

DALAM gerak hidup dan kehidupan, terdapat peristiwa-peristiwa.Peristiwa demi peristiwa mengisi waktu dan ruang selaksa abadi. Tiga peristiwa terpenting yang selalu dialami (diarasakan, dipikirkan) oleh manusia, adalah peristiwa budaya, peristiwa alam dan peristiwa ke-Tuhanan. Ketiganya, dalam proses dialogisnya kemudian melahirkan kultur yang kultus atau kultus yang dikulturkan dari waktu ke waktu pula.

Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur pembudidayaan dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah, petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut.

Perlu diketahui dalam proses kebudayaan tersebut baik yang ekstensif dan biosif menimbulkan pola kultus (pengkultusan) kepada seseorang, yang dianggap memiliki keluhuran, ia bisa

berupa para cerdik cendikia, ulama, pastur, ilmuwan, teknokrat, seniman, raja, presiden. Kultus yang memang memiliki arti pemujaan, pendewaan terkadang dilakukan dengan sembrono dan berlebihan. Robertson mengatakan, bahwa kultus adalah terminologi yang mengklaim kepada seseorang yang dianggap paling benar, terbenar. Yinger mengatakan, bahwa kultus adalah gerakan new religion pada kelompok tertentu yang bersifat doktriner, dan terkadang menyimpang atau menyempal dari religi besar tertentu pula. Pada intinya, munculnya

kultusisasi pada diri seseorang, karena adanya anggapan bahwa seseorang tersebut memiliki tingkat spiritual revolusioner.

Pada masyarakat yang majemuk, baik yang ortodoks dan protestan, yang modern maupun

(18)

yang kolot, yang kampungan maupun yang metropolitan, yang mukmin maupun yang kafir, yang konvensional dan kontemporer dipastikan muncul adanya kulturisasi kultus atau pengkultusan yang dikulturisasikan.

Dalam peristiwa budaya misalnya, munculnya kulturisasi kultus disebabkan oleh adanya kekhawatiran pada sebagian besar manusia perihal akan masa lalu dan masa depannya, ketakutan akan hidup dan matinya, atau jatuh bangkit bangunnya. Secara umum manusia memang makhluk unik yang dilematis, satu sisi diciptakan menjadi pemberani, sisi yang lain memiliki ketakutan, kepengecutan dan kepengkhianatan. Dilema dua muka atau dua sifat inilah, hidup manusia serba tergesa-gesa, sekaligus ragu-ragu untuk mencapai puncak tangga

tertentu, misalnya. Dan puncak tangga itu adalah kesuksesan hidup material jasmanial dan spiritual rohanial. Manusia dengan akal dan nafsunya, terkadang memuji peristiwa budaya ciptaannya dan juga terkadang memaki peristiwa yang dialaminya. Dalam menghadapi peristiwa- peristiwa utamanya budaya, manusia ada yang melakoninya penuh dengan ketelatenan dan kejelian. Tetapi juga sering dilaluinya penuh dengan intrik-intrik yang berlawanan dengan akal sehat, keduanya akan mempengaruhi proses pelakonan-pelakonan atas peristiwa budaya mulai dari masa kecilnya sampai masa tuanya. Peristiwa budaya tumbuh bersama pola pikir dan pola dzikr ( per-ingatan ) seseorang. Dan seseorang tersebut kemudian diklaim memiliki sesuatu yang dianggap mulia tadi. Dari sini, muncul proses peristiwa budaya kala kultur kultus. Pengkultusan yang disertai pengkulturan dapat terjadi pada ranah peristiwa kebudayaan dan cabang-cabang cakupan dan kajiannya, misalnya pada cabang cakupan dan kajian ekonomi, agama, bahasa, politik, adat istiadat, mata pencaharian, teknologi, seni dan ilmu pengetahuan ( pinjam urutan versi Koentjaraningrat)

Coba simak peristiwa budaya yang diciptakan manusia yang mengandung kulturisasi kultus tersebut, misalnya ketika manusia “terperangkap atau sedang tertarik” pada peristiwa budaya politik, maka dari waktu kewaktu, yang digagas hanyalah persoalan politik belaka dengan segala plus minusnya.Dibenak manusia hanya ada satu yang dianggap terpenting pada saat itu, yakni persoalan politik. Politik akhirnya menjadi kultus, dipuja dan didewakan. Dari sikap dan sifat “pengelebihan” pada peristiwa budaya ciptaan manusia, selanjutnya terjadi korelasi dan relasi konsep atau kata kalimat yang dimainkan, dengan terasa “mengasyikkan sekaligus membingungkan”, misalnya permainan kata seni politik, politik seni, kesenian politik, politisasi kesenian, kesenian yang dipolitisir, seni berbau politik yang menimbulkan permainan kata yang berlebihan yang berbau kultusiasi konsep dan kata yang dilontarkan seseorang yang ahli politik, misalnya. Belum lagi misalnya permainan kata yang melahirkan sikap cultism, seperti agama politik, politik ekonomi, bahasa politik, ilmu politik, sosial politik dan sebagainya.

Keterperangkapan dan ketertarikan pada permainan korelasi dan relasi atas konsep kata

tersebut, kemudia lahirlah ribuan pemikir politik yang “bermain” menggila dan dicatat oleh

sejarah yang cenderung menciptakan kekulturan yang mengkultus, sebutlah misalnya, mulai

(19)

dari pemikir politik yang eksentrik Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Cicero, Seneca, Plotinus, Agustinus, Salisbury,Ibnu Sina, Ibnu,Khaldun, Prapanca, Machiavelli, Jean

Bodin,Spinoza,Montesque, Rousseau, Immanuel Kant,David Hume,De Bonald, Hegel,Joan Stuart Mill, Nietzsche, Lenin, Hitler, Mussolini, Salazar, Gandhi, Mao Tse Tong sampai Sukarno. Orang- orang ini ( yang dikemudian hari dikultuskan ) mengabdikan sepanjang hidupnya untuk

mendalami dengan tujuan mempengaruhi manusia lainnya melalui peristiwa politik.

Kemudian pengkultusan dengan kulturisasi pada peristiwa alam, alam memang seuatu yang dahsyat, istimewa dan luar biasa. Alam bergerak dengan kekuatan mahamekanis dan mengejutkan. Alam bergerak menurut iramanya sendiri. Pada peristiwa alam yang dahsyat, peristiwa budaya ciptaan manusia akan terkalahkan dengan telak, peristiwa budaya bisa tiba- tiba hilang dan mati. Pada peristiwa alam yang dahsyat tersebut, terkadang mempesona manusia dan terkadang memporakporandakan jiwa dan nurani manusia. Bagi manusia alam dan peristiwanya menjadi guru dan peringatan. Menjadi guru, karena alam telah memberikan

“ilmu-ilmuya” kepada manusia. Dari gerak angin empat musim, aliran sungai yang tenang, sahdu, sekaligus gerak banjir bandang yang memperangahkan jiwa manusia, letupan gunung api, putaran matahari kemerlip bintang dilangit, berjalannya awan, putaran bumi yang memusar, larinya padang pasir dari hari kehari yang berubah, tumbuhnya hutan, derai tawa sawah ladang yang memancarkan kebahagiaan para petani, laju batu dari waktu kewaktu menuju samudra semua menjadi peristiwa yang penting bagi manusia. Peristiwa alam melahirkan pranata mangsa, mekanisme pengaturan air subak, jantra pengatur air yang melahirkan api listrik, siklus tikus sebagai pemangsa dan sebagai hama, nadi gerak para bregejil, gandarwo, glundhung pengingis, banas pati, wewe gombel ( ingat pelukis Wahyu Nugroho Pasuruan yang melontarkan ide tentang pemvisualan dhemit pada karya-karyanya yang sering disebut plural painting ) ingat juga Kidungan-nya Njeng Sunan Kalijaga, saat menaklukkan dhedhemitan dipulau Jawa, cobak simak sekedar beberapa nama-nama dhemit yang dikultuskan masyarakat yang berbentuk macapatan dibawah ini:

Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.

Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.

Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrajeksa, ing Magetan, Jenggal si

Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang,

Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.

(20)

Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.

Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.

Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.

Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.

Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajaran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.

Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.

Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi

Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.

Luar biasa kan, pengalaman Sunan Kalijaga, tentang penyebutan nama-nama hantu yang dikultuskan di pulau Jawa?` Pengkultusan pada peristiwa alam juga terjadi pada tanah

pekarangan yang panas dan pekarangan yang “anyep” ( dingin ) ala feng shui, jatuhnya ndaru

pada malam hari, munculnya tanda-tanda pageblug, kiamat dan sebagainya, alam telah

memberikan waskita dan wangsitnya. Dari peristiwa alam inilah, kemudian muncul pemujaan

terhadap alam lingkungan, laut, sungai, pohon, batu dan sebagainya. Kultus pada alam disini

letaknya. Pengkultusan pada alam secara mendalam, dapatlah banyak orang yang bisa bicara

dan berkomunikasi dengan bahasa pepohonan, bahasa bunga mawar, bahasa pohon beringin,

bahasa gunung berapi, bahasa laut yang tenang, bahasa sungai yang dalam. Banyak orang

selama hidup bersama alam ( jadi ingat ustadz Umbu Landu Paranggi ). Mereka mengabdi pada

(21)

alam, mereka berharap agar jangan sampai alam marah dan murka, jangan sampai alam berhenti dalam memberi.

Selanjutnya pada peristiwa ke-Tuhanan ( ke-ilahian ) manusia diajak “masuk dan masuk” untuk mendengarkan sabda dan firmanNya, melalui dialog yang panjang tentang hakikat hidup dan hakikat mati. Tampaknya Tuhan melemparkan pekerjaan rumah yang berat bagi manusia ( bukan pada hewan,syetan dan malaikat ), yakni tentang hakikat hidup dan hakikat mati.

Menengok peristiwa pengkulturan dan pengkultusan akan ketuhanan, pada masyarakat yang belum maju ( ? ), masih berkisar dengan mediasi Tuhan yang

bersifat“kematerialan”.Pengkulturan dan pengkultusan kepercayaan pada Lao Tse,Kung Fu Tse, Tahiti, Saminola, Huna,Beun, Poyang Moyang, Budha, Syiwa, Wisnu, Brahma, Stauda, Mithra, Zarathustra, Zandakar, Ahura Mazda, Manu, Kan’an, Phrygia, Adonis, Aponis, Titan, Chaos, Aphrodite, Ghaea, Saturnus, Venus, Uranus, Zeus, Hera, Ceres, Proserpina, Poseidon,Hades, Apollo,Hestia, Minerva, Mars, Dyonisus, Hermes, Leto, Themis, Amor, Iris,Charites, Horae, Parkae, Hebe, Helios, Luna, Aurora, Hesperus, Maia,Galaxias, Siren, Pontus, Janus, Euros, Aquilo dan sebagainya belum juga menukik pada tahapan spiritualitas revolusioner. Artinya, masih terjadi penomorsatuan pada identitas tuhan “kemanusiaan” yang dianggap luhur atau tuhan yang bersifat “kealaman” yang dianggap memiliki kekuatan animistik dan dinamistik.

Tetapi gambaran secara umum, para tuhan kultur yang kultus tersebut memiliki tugas dan kewenangan berkaitan dengan keselamatan. Utamanya pada keselamatan saat kelahiran, pernikahan dan kematian yang berbentuk ritus-ritus.

Ketiga peristiwa yakni kala ( peristiwa ) budaya, kala alam dan kala tuhan dalam rentangan ratusan, bahkan ribuan tahun, menjadi persoalan yang kompleks dan cenderung menjadi konflik disepanjang sejarah kebudayaan manusia, dari zaman pra sejarah sampai pasca sejarah dewasa ini. Kemudian relevansi dengan agenda dialog Muharram 1434 H yang digelar di Rumah Langit Kebun Bumi ini, menjadi penting, karena ketiga peristiwa yang “berbau” kultus tersebut diatas, perlu diwacanakan untuk ditinjau ulang pikirkan sebagai pengalaman sejarah manusia dari berbagai sisi plus minusnya. Sementara dihadapan kita yang modern dan bahkan supermodern ini, hidup ditengah pusaran dan putaran hegemoni illusion cultur yang akan mempengaruhi cybersoul yang tersembunyi dalam jiwa kita.

Untuk itu, perlu mencoba meloncat tinggi-tinggi ke masa lalu, seperti yang diisyaratkan dan dilakukan oleh Nabiyullah Muhammad, yakni semangat dari hijrah ini. Seribu empat ratusan tahun yang lalu, Rasulullah mengajarkan tentang pentingnya kembali pada akal sehat. Akal sehat yang dirawat, dipelihara dengan nilai-nilai keimanan yang tinggi, akan mengangkat kemanusiaan kita pada tingkatan kualiatas ruhaniah yang membumi. Artinya, ruhaniyah

manusia modern dengan akal sehatnya, sudah tidak lagi memerlukan sesuatu yang usang. Apa

mungkin bisa?

(22)

Romo Mangun, dalam bukunya yang berjudul Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan, terbitan Kanisius,1999 menyatakan bahwa,hanya iman seperti yang diajarkan Ibrahim kita akan mengerti tentang Dia. Kita juga menyatakan seperti proses pendalaman keimanan Romo

Mangun dengan bertanya; kenapa mesti Ibrahim? Karena dari ajaran Ibrahimlah kita mengerti tentang Tuhan Yang Esa, Yang Satu, Yang Tunggal, Yang Tak Beranak dan diperanakkan, Yang Patut dan Pantas diimani.

Ibrahim hijrah dengan tindakan realistik, yakni mengajak dengan meninggalkan tuhan-tuhan material, menuju kepada tuhan yang haq, yakni Allah Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang. Caranya dengan mempraktikkan langsung sesuai dengan kemampuan masing- masing ditengah-tengah sosial masyarakat yang kompleks dengan pendekatan nalar ilmiyah.

Nalar ilmiyah akan menelurkan masyarakat yang aktif dinamis yang tidak terjatuh pada kubangan kesyirikan ( syirik kecil ataupun syirik besar ). Syirik kecil,dalam tataran masyarakat Jawa tertuang dalam kata yang indah, yakni “aja rumangsa bisa, nanging bisoa rumangsa”.

Disinilah bedanya orang yang sadar akan adanya Tuhan Allah yang selalu melihat solah tingkah manusia, dengan orang yang menjalankan sikap adigang, adigung, adi guna. Sikap ini akan menjurumuskan pada praktik kesombongan diberbagai kehidupan wilayah disiplin ilmu yang mengutamakan penghormatan dan toleransi antar manusia ( sesama ). Pada tataran sosial kemasyarakatan yang majemuk, kita diajari oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu nilai percontohan atau uswatun hasanatun, dengan kalimat yang memukau, yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun karso, Tut Wuri Handayani.

Sedangkan pada kubangan syirik besar, kita tidak diperkenankan olehNya untuk menghamba kepada bentuk-bentuk ciptaan Tuhan itu sendiri. Ciptaan Tuhan yang sempurna, yakni alam semesta dan seisinya tak boleh disembah puji, karena semesta juga sama-sama sebagai makhlukNya. Dan kita manusia, hanya bagian kecil dari milyaran semesta raya, tentu tidak layak kalau saling menyembahnya. Artinya, yang patut disembah puji hanyalah Allah Tuhan Yang Maha Esa.

Perjalanan hijrah, berarti juga paham dan memahami akan kultur kultus yang semakin merebak. Banyaknya sekte, aliran yang memecah belah “ruh iman”manusia juga termasuk dalam perangkap kultus. Banyaknya organisasi keagamaan yang cenderung borjuistik dan tidak membela kaum mustadz’afin, sebenarnya juga merupakan indikasi atas ketidakmengertian akan essensi hijrah ini.Hijrah juga berarti menegakkan keadilan ditengah hukum rimba raya ini.

Praktik praktik pemalsuan dalam bidang apa saja, sebenarnya juga tantangan bagi kita berniat hijrah.

Titik simpulnya, bahwa kultur kultus disekitar kita memang ada yang perlu terus dirawat dan

(23)

disempurnakan, tetapi juga adanya kultur kultus yang menyesatkan hati nurani atau akal sehat.

Senyampang kita masih berpegangan dengan nilai-nilai yang tidak berseberangan dengan akal sehat, disitulah kita berlabuh dan menambatkan perjalanan ini.

Fadjar Sutardi, penyampai makalah dalam dialog Muharram 1434 H KULTUR KULTUS di Ruang Seni Rumah Langit Kebun Bumi,Sragen bersama jamaah pengajian Maskumambang Mujahadah, mahasiswa FKIP Seni Rupa UNS, ISI Surakarta, Komunitas Perupa Pintu Mati dan rombongan Kentroeng Rock n Rol Surakarta.

Sabtu, 10 November 2012 - 06:34 Tubuh yang Setubuh oleh Fadjar Sutardi

(24)

Figur patung David karya Michelangelo Buonarroti yang dibuat antara tahun 1501-1504. (foto: google) TUBUH dilihat dari dimensi “kedagingan” merupakan gabungan kebersatuan yang saling kebergantungan dan ketergantungan. Tubuh daging terdiri dari puluhan, ratusan, ribuan, jutaan dan milyaran komponen yang saling menghidupkan. Komponen yang terdiri dari kulit, daging, tulang, sumsum, otot, syaraf dan sel-sel tersebut “bekerja dan berdzikir” sepanjang waktu dengan santun, istiqomah, teratur, terukur, tanpa pamrih dan bertanggungjawab sesuai dengan tugasnya secara jujur, tanpa ada yang merasa paling menonjol, paling populer dan paling berjasa.

Tubuh tumbuh sesuai dengan kodratNya, tumbuhnya kuku kaki, kuku tangan, bulu kaki, bulu tangan, rambut kepala, alis, kumis, jenggot sangatlah santun, teratur dan “tunduk” pada

ketentuan kedemokrasian mekanisme tubuh. Demikian pula berbagai daging yang melekat pada tubuh, pertumbuhan tak sama, tak ada yang ngiri, tak ada yang saling membenci, apalagi protes dengan demo tawuran. Para daging melaksanakan tugas tumbuh dengan apa adanya.

Pada intinya tubuh dapat tumbuh dengan teratur dan sempurna, karena adanya keterlibatan dan campur tangan Tuhan secara meta-machinal.

Tubuh yang dirancang oleh Tuhan yang Maha Sempurna, dilengkapi olehNya dengan komponen

non-kedagingan yang bersifat spiritualistik, yaitu “ruh yang me-ruh” (ruh yang masuk dan

menjiwai seluruh komponen tubuh, kemudian menggerakkan, menghidupkan secara mekanis,

(25)

ekspresif etik dan artistik). Ruh yang menghidupkan tubuh ini berproses untuk menumbuhkan tubuh secara sensualistik (pinjam Sigmund Freud) dan memiliki daya pikat dan keindahan tiada tara. Gerak kaki, mulut, mata, jari-jari, bahu, leher, denyut nadi, jantung, paru-paru sangatlah menarik perhatian siapapun yang melihatnya, khususnya sesama manusia.

Dari daya sensual-kosmis inilah gerak tubuh yang me”ruh” pada akhirnya melahirkan sifat-sifat mulia, seperti cinta, kasih, sayang yang bernilai fenomenal sepajang zaman. Maka tidak aneh, hanya karena gerak betis, seorang laki-laki bisa tersirap darahnya, hanya kedipan mata seseorang, dapat menghanyutkan rasa yang luar biasa. Hanya karena senyuman seseorang dapat “kelabakan” tak bisa memejamkan mata sepanjang malamnya. Hanya karena geraian rambutnya, hanya karena lambaian tangan dan hentakan ritmis kakinya, semua orang terperangkap dan berhenti nadi-nadi syarafnya Tumbuhnya tubuh yang me-“ruh” kemudian menyatu bergerak mencitrakan diri, agar dapat dikenali dan mendapat pengakuan sesamanya atau makhluk lainnya. Citra diri tubuh dan ruh, dibantu oleh kekuatan akal yang bersumber pada otak yang memiliki kelengkapan maha komputer, berkapasitas dan memiliki otoritas tiada tara, dengan milyaran sel yang selalu berkembang secara meta-mekanis dan reflek yang reflektif.

Dari otak inilah, tubuh mulai meraba dan mengidentifikasi mana yang hitam dan mana yang putih, mana yang positif dan mana yang negatif, mana yang sakral dan mana yang profan, mana yang penting dan mana yang tidak penting, walau penuh dengan subyektivitas otak bergerak hidup dan menghidupkan untuk dialog, berkomunikasi kepada apapun yang

ditemuinya dengan alat bantu berupa supermedia yang bernama panca indra; kuping, mata, hidung, lidah, kulit dan seterusnya. Indera-indera ini, bertugas untuk “mencerdaskan” otak subyektif tadi agar pada saatnya “sadar” tentang keobyektifan (benar, kebenaran, yang Maha Benar dan bukan benar menurut ukuran subyektivitas diri). Dari sini, tubuh, ruh dan alat bantu yang bernama otak dan indera-inderanya mulai paham tentang tugas tubuh secara personal dan tugas tubuh secara sosial (pinjam istilah Kuss Indarto).

Pemahaman atas kesadaran tentang tubuh diri sendiri dan tubuh bersama, pada akhirnya

melahirkan kepemilahan diri yang subyektif dan diri yang obyektif, sekaligus tumbuh kedialogan

diri bersama secara obyektif dan subyektif. Dari kepemilahan medan obyektif dan subyektif

inilah, tubuh mulai merasakan kerumitan-kerumitan yang kompleks. Kerumitan yang rumit,

akan semakin rumit ketika tubuh tersesat dan terdampar pada kondisi dan situasi yang jauh

dari kondisi azalinya. Dimensi-dimensi yang tumbuh di dalam tubuh bergerak dengan analogi

dan tafsirnya sesuai idealisme dan pengalaman tumbuhnya masing-masing, sehingga oleh

penglihatan “mata diri” terjadilah apa yang dinamakan salah persepsi, salah tangkap atau dis-

orientasi, dis-komunikasi, dis-alokasi tentang pertumbuhannya.

(26)

Kegalauan dan kekhawatiran atas dis-dis di atas, kemudian dengan rahmat dan kasih

sayangNya tubuh di-”pinjami” Tuhan berupa intuisi, ilham dan atau wahyu yang pada saatya akan bertugas untuk menyelesaikan “konflik demi konflik” tubuh yang berkembang cepat tersebut. Ilham, intuisi, wahyu ditangkap oleh tubuh diri dan didialogkan tubuh bersama, yang pada saatnya akan menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan atas pengalaman tubuh diri dan tubuh bersama, diakumulasikan melalui teori-teori dan memunculkan dasar- dasar pegangan atas tubuh yang tumbuh secara ilmiyah (sesuai dengan tuntutan otak murni).

Otak atau akal yang terwarnai intuisi, ilham, wahyu secara otomatis menuntun, menasehati tubuh yang me-ruh tersebut dengan kekuatan akan ide-ide, konsep dan dasar-dasar nalar yang mengacu pada kebaikan, kebenaran dan kesempurnaan. Namun demikian, tubuh tidak serta- merta patuh pada otak atau akal yang menasehatinya, karena tubuh juga ditumbuhi sesuatu yang lain, yang selalu berseberangan dengan keputusan akal. Sesuatu yang lain itu, bernama hasrat, krenteg, hawa nafsu, bahan bakar yang menggelorakan, yang menyemangatkan sekaligus yang memporakporandakan tubuh itu sendiri. Hawa nafsu ikut serta dalam

“persetubuhan” pada tubuh sepanjang masa. Ia hidup bersama dengan otak, terkadang “manut (tunduk)” terkadang melawan. Tunduknya sangat jarang, melawannya tak terbilang. Oleh Tony Buzan, dikatakan bahwa otak berkecenderungan pada meta-positif dan hawa nafsu

berkecenderungan pada meta-negatif. Andai keduanya “itiqomah” untuk selalu bekerjasama, sungguh peradaban tubuh akan tumbuh berkembang melampui tumbuhnya malaikat.

Persoalan di atas, kemudian menjadi pokok-pokok pikiran bagi perupa Pintu Mati, untuk kemudian memvisualisaikannya melalui karya-karya dua dimensi dan mendapat uluran tangan terbuka dari Bentara Balai Soedjatmoko Surakarta, untuk dipamerkan ke publik seni rupa Surakarta dan sekitarnya, akhir Oktober 2012 lalu. Pokok pikiran atas tubuh, ditukikkan kemudian dengan tajuk Setubuh. Tajuk Setubuh, menjadi hal yang menarik bagi perupa Pintu Mati, karena problem-problem tubuh dewasa ini berkecenderungan menjadi tubuh yang terbelah. Keterbelahan tubuh dengan ruhnya, keterbelahan tubuh dengan pola pikir otaknya, keterbelahan antara dunia lahir dan batinnya, keterbelahan antara kemampuan tubuh dan lintasan pengalaman hidupnya, diangkat dan dipersoalkan sesuai dengan tafsir masing-masing perupa.

Seorang kurator, yang kali ini tidak mau disebut sebagai kurator berkenan untuk “terlibat”

dalam pameran ini, yakni Efix Mulyadi. Efix Mulyadi menelurkan tulisan yang bagus dengan

judul : Tubuh-tubuh Yang Bertiwikrama. Dalam ulasannya, Efix Mulyadi menyatakan bahwa

persoalan tubuh fisik dan simbolik, menjadi persoalan para perupa (baca: manusia) dari zaman

ke zaman, tak terkecuali perupa (baca: manusia) Pintu Mati. Walaupun Pintu Mati mengangkat

tubuh dengan pembacaan yang beragam sesuai dengan tafsir masing-masing, tetapi pada

hakekatnya “kegelisahan” para peserta pameran menjadi sesuatu yang niscaya, ketika zaman

(27)

berubah bersama dengan pemahaman atas “tupoksi” tubuh.

Keterlibatan atas pameran Setubuh Pintu Mati tidak hanya dari Efix Mulyadi yang mantan direktur eksekutif Bentara Budaya Jakarta. Kuss Indarto, seorang kurator muda juga berkenan hadir dan mengalir di Solo, untuk bicara persoalan tubuh dan setubuh bersama para mahasiswa seni dan dosen, juga seniman dan budayawan Solo, dalam dialog seni rupa bersama Kuss Indarto, Senin, 29 Oktober 2012. Kuss Indarto mengawali dialog seni rupa ini, dengan bicara panjang lebar tentang tubuh dari sisi historis, politis, ekonomis dan etis yang dikanvaskan para perupa dari zaman kezaman. Tubuh-tubuh yang bermukim di kanvas dikontruksi secara bebas dan sewenang-wenang oleh seniman untuk tujuan dan kepentingan yang beragam, misalnya peran tubuh sebagai sesuatu kelaziman, kealiman atau sekaligus kezaliman. Para tiran, dari waktu kewaktu “memanfaatkan” seniman untuk melempangkan proyek-proyek mereka. Dalam beberapa dekade puluhan dasa warsa yang lalu, kekuasaan, politik dan tubuh menjadi alat kekuasaan dan politik yang efektif. Gerakan Nazi, gerakan Marxis, gerakan pemusnahan suku Aztex, gerakan Westerling, perang saudara tahun 1965-an di Indonesia, pembantaian

Tiananmen, beberapa kasus di Chechna, Croasia, Libanon, Pilipina, Irak, Iran, India, Poso menjadi bukti bahwa “penghormatan dan penghargaan” tubuh manusia belum pada tempatnya.

Dialog seni rupa Pintu Mati yang dimoderatori Nanang Yulianto dengan sub tema: “membaca erorrelegious manusia modern” menjadi semarak ketika para mahasiswa dan dosen seni rupa baik UNS dan ISI. Narsen Afatara adalah salah satunya. M. Zaelani Tammaka (pengamat seni rupa) juga hadir meramaikannya. Dialog semakin memikat, ketika peserta dialog melempar kegelisahannya kepada peserta, yakni tentang “tak adanya penghormatan pada tubuh” di zaman yang serba boleh, serba free, serba dianggap halal ini. Ia menggambarkan, kenapa manusia dewasa ini, tak mau “menaikkan maqom spiritual bagi dirinya” pada tingkatan yang tinggi. Kenapa kualitas manusia dari sisi etik, moral, kebudian dan keluhurannya, semakin rusak, rapuh dan tak berdaya. Ke-erosan manusia yang sebenarnya akan melahirkan spiritualnya, justru yang muncul adalah ke-eror-an manusia yang terjebak pada hidup yang hedonistik.

Munculnya jargon anak-anak muda sekarang dengan S3 (sex, show, song) menjadikan bukti bahwa, tubuh yang seharusnya diletakkan pada kerangka ketinggian moral, pada kenyataannya justru diperhambakan pada tingkatan yang rendah, yaitu hawa nafsu. Puncak “penghambaan hawa nafsu”, ketika simbol-simbol tubuh seperti lingga-yoni (kelamin laki-laki dan perempuan), direndahkan serendah-rendahnya dan bukan diletakkan pada proporsinya, seperti semata untuk tujuan keberkahan, kedamaian, kesuburan dan pengangkatan harkat dan derajat manusia.

Pembiaran tempat-tempat prostitusi baik yang pinggiran, seperti prostitusi Gunung Kemukus,

dan prostitusi yang terselubung di kota-kota besar, menjadi indikasi bahwa dari waktu kewaktu,

para penguasa tak berdaya untuk “mengangkat” citra manusia menjadi lebih luhur dan mulia.

(28)

Disinilah ke-erosan dipatahkan ke-eroran yang tak membawa kepada nilai dan makna relegius.

M. Zaelani Tammaka, menimpali kesemarakan dialog dengan mengambil jalan tengah.

Tammaka mengambil sebuah hadits Rasulullah, yang intinya para seniman (khususnya seniman Muslim) “dilarang” menggambar makhluk yang bernyawa termasuk didalamnya manusia.

Pelarangan pada teks tersebut bila dicoba direlevansikan dengan zaman ini, agaknya tepat karena pada zaman ini, kemanusiaan disia-siakan. Pada kenyataannya di belahan bumi Barat yang menuhankan kebebasan atau freedom, yang terjadi justru penistaan, pelecehan,

perendahan manusia. Yang pada akhirnya manusia menghamba manusia, laki-laki menghamba laki-laki, laki-laki menghamba wanita, wanita menghamba wanita. Dari sekian realitas tersebut di seluruh hidup dan kehidupan mereka terjebak pada penurutan hawa nafsu. Pengeksploitasian manusia atas nama kebebasan seni, pada ujung-ujungnya kebablasan.

Narasi hadits Rasulullah lain, juga dikatakan, bahwa bila manusia tetap menggambar makhluk hidup, maka di akherat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya, yakni para perupa diminta

“meniupkan nyawa” pada karya seni tubuh makhluk yang dibuat. Kita, memang tidak serta merta “memakan” teks dan narasi hadits Rasulullah tersebut, tetapi kita bisa mendapatkan sarinya, bahwa manusia dilarang untuk mengeksploitasi tubuhnya sendiri. Bila manusia tetap memaksa untuk mengeksploitasi tubuhnya, berarti ia sedang “memakan buah khuldi”-nya sendiri. Pelarangan tersebut relevan, agar manusia tidak berhenti hanya pada tubuh wadag saja, tetapi agar manusia mau “memi’rajkan dirinya” agar mengerti makna penciptaan tubuhnya. Dari sisi ini, manusia tak akan tumpul erosnya, relegiusitasnya dan spiritualnya.

Artinya, manusia tidak jatuh pada pengagungan, pengkultusan tubuh dan penyembahan pada tubuhnya sendiri. Pada tradisi seni rupa Islam, tak akan memunculkan tubuh wadag, tetapi yang ditampilkan adalah dari sisi kecerdasan ritmis matematiknya, mengalunnya rasa yang dalam yang diwujudkan melalui bentuk-bentuk kaligrafis yang non biomorfis.

Narsen Afatara mempertegas, bahwa rupa tubuh dengan segala aspeknya diciptakan Tuhan memiliki nilai keindahan tersendiri. Rupa tubuh tak bisa dieksploitasi semaunya, tetapi perlu dieksplorasi secara artistic. Pengeksplorasian rupa tubuh, diserahkan pada perupa masing- masing. Yang terpenting, hasil pengekplorasian yang visualkan memiliki “getaran yang wah”.

Para perupa (khususnya Pintu Mati) ditantang untuk melakukan eksplorasi besar-besaran secara artistik. Jangan melahirkan karya yang biasa-biasa, tetapi lahirkanlah karya yang luar biasa.

Tingkat kedalaman, tingkat pengalaman dan tingkat kerelegiousitasan masing-masing perupa,

akan menentukan “kelahiran” karya rupa tubuh yang wah. Pencapaian maqom spiritual, akan

menentukan visualitas dan visi yang tinggi juga. Selanjutnya Narsen berharap agar perupa

(khususnya di Solo) tertantang untuk mendalami estetika tingkat tinggi, dengan kata-kata

naratif-sublimasinya demikian; kita tidak mesti menemukan keindahan pada landasan estetika,

tidak mesti menemukan etika pada landasan agama, tidak mesti menemukan ilmu pada

(29)

landasan filsafat dan tidak mesti menemukan Tuhan pada landasan kemasjidan dan kegerejaan.

Kuss Indarto, menutup dialog dengan satu titik simpul bahwa, tubuh dan permasalahannya tetap menjadi sesuatu yang aktual untuk dipersoalkan sampai kapan pun, baik dengan pendekatan eksploratif atau pendekatan eksploitatif. Pencapaian-pencapaian artistik yang bernilai etik atau bahkan spiritualistik, tergantung pada sejarah perjalanan seniman masing- masing. Ruang dan waktulah yang akan mencatat, apakah perupa terjebak pada nilai

kerendahan yang merendahkan atau pada nilai yang tinggi dengan ketinggian yang memuliakan tubuh pada tempatnya yang tepat. ***

*) Perupa, peserta pameran setubuh pintu mati, pengelola ruang seni Rumah Langit Kebun Bumi, Sragen.

Rabu, 22 Agustus 2012 - 07:06 Lebaran Berkah versus Lebaran Mubah? oleh Fadjar Sutardi

(30)

Menara Masjid Agung Kendari, Sulawesi Tenggara. (foto: kuss) NILAI-NILAI, manfaat dan tujuan berpuasa di bulan Ramadhan hampir semua manusia modern sudah tahu dan faham. Apapun agama, kepercayaan, aliran, ke-Islaman, atau apapun status sosialnya dan bahkan yang tidak punya status sekalipun juga sudah tahu, bahwa berpuasa bertujuan membentuk karakter jiwa manusia agar selalu meng-Ilahiyah, mampu membangun citra diri manusia agar selalu

mendapat rahmat, keberkahan dan pengampunan dari Tuhannya. Manusia yang berpuasa digambarkan oleh Tuhan akan mendapatkan ketenangan, kesejukan, kedamaian dan

ketentraman hidup. Diharapkan dengan menjalani kewajiban puasa, nantinya manusia terlahir menjadi sosok manusia ideal, adil, jamil, kamil, sehingga dengan mudah menuangkan rasa kasih dan menumpahkan rasa sayang terhadap sesama. Dengan puasa diharapkan oleh Tuhan agar kehidupan manusia jauh dari gelayutan keangkaraan dan kemungkaran, tidak mudah terjebak dan terjerumus ke dalam “penurutan” dan ketaatan kepada Tuhan yang palsu, yaitu hawa nafsu dengan seluruh jajaran jendral-kopralnya.

Bagi yang berpuasa Tuhan menjanjikan kepada manusia dengan sesuatu yang menarik, yaitu

pencapaian ketakwaan. Takwa itu akan masuk dan merasuk mensucikan jiwa manusia yang

kotor. Mengenai takwa itu oleh Toshihiko Izutsu, dikatakan bahwa dengan taqwa manusia akan

memiliki kepekaan atas konsep dasar manusia, yakni iman yang menggerakkan etika. Etika

yang bersandarkan pada keimanan, akan menjauhkan budaya keangkuhan dan kesombongan

yang bersifat bendawi. Puasa dan taqwa menjadi “laku” yang esensial dan sentral di tengah

Gambar

Figur patung David karya Michelangelo Buonarroti yang dibuat antara tahun 1501-1504. (foto: google)  TUBUH dilihat dari dimensi “kedagingan” merupakan gabungan kebersatuan yang saling  kebergantungan  dan ketergantungan

Referensi

Dokumen terkait

sehingga lama-kelamaan anak tersebut bisa lebih dekat dengannya. Selain itu, hubungannya dengan rekan guru yang lain juga baik. Subyek selalu berusaha untuk dapat bekerjasama yang

Pertama , Pesan dakwah pementasan wayang kulit lakon ”ma’rifat dewa ruci” oleh dalang Ki Enthus Susmono adalah: a] Dari segi bahasa (signing) penyampaian isi

Pendidikan memiliki peranan yang sangat vital serta merupakan suatu wadah yang sangat tepat di dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia serta

Ruang lingkup kajian tentang pembangunan Kudus Extension Mall ini menyangkut Analisis Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan Keberadaan Pasar Tradisional serta UMKM yang berada

Identifikasi dengan spektrofotometer ultra lembayung menun­ jukkan bahwa senyawa E merupakan senyawa glikosida flavono­ id golongan flavonol yang mempunyai gugus OH pada atom

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Manajemen Sistem Informasi (X1), Kepuasan Pengguna (X2) dan Budaya Organisasi (X3) sebagai variabel independen

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar emisi emsis gas buang yang dihasilkan dari bahan bakar cair (premium) dengan bahan bakar gas (LPG) dengan menggunakan

(1) Sosialisasi Program ASLUT tingkat nasional dilaksanakan oleh Kementerian Sosial cq.Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usiaf. (2) Sasaran Sosialisasi Program