i
PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI KAMPUNG
PRAWIRATAMAN, YOGYAKARTA
1920-1975
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh:
Khotifah
064314004
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan
karya saya sendiri dan tidak diambil dari karya orang lain, kecuali disebutkan
dalam kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka.
Yogyakarta, 01 Agustus 2013
Penulis
vi
Motto
“Not All Those Who Wander Are Lost”
vii
Skripsi ini dipersembahkan untuk ibu, bapak, dan adik saya,
viii
ABSTRAK
Skripsi dengan judul Perubahan Sosial dan Ekonomi Kampung Prawirataman Yogyakarta (1920-1975) ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, Mengapa Kampung Prawirataman mengalami perubahan dari pemukiman prajurit menjadi sentra industri batik namun pada akhirnya menekuni bidang pariwisata. Kedua, Bagaimana proses berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut dalam rentang waktu 1920 - 1975. Ketiga, Apa saja kah dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat perubahan-perubahan tersebut. Ketiga permasalahan tersebut kemudian akan dijelaskan dalam beberapa bab.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah dengan studi pustaka, dan juga wawancara dengan warga Prawirataman dan sekitarnya yang mengetahui tentang topik yang menjadi bahasan dalam skripsi ini. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan, mengkaitkan, dan interpretasi terhadap data yang telah berhasil dikumpulkan.
ix
ABSTRACT
Thesis titled Social and Economic Changes in Kampung Prawirataman, Yogyakarta (1920 – 1975) aimed to answers three issues. First, Why does Kampung Prawirataman changed from beingpalace’s troop residenceto center of batik industry, but ultimately engaged in the tourism industry. Second, How does the process of these changes. Third, What are the social and economic impacts arising from these changes. These three issues will be explained in several chapters.
This study is a qualitative research. The method used in conducting this study are literature reviews, as well as interviews with the residents of Kampung Prawirataman and surroundings who know about the topic discussed in this thesis. The analysis were performed by grouping, linking, and interpretation of the data that has been collected.
x
KATA PENGANTAR
Eindelijk!It’s such abig relief that these years of wander has finally come to its end. Tentunya penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari
banyak pihak, karena itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak
terima kasih to whom who have made the years of writing this thesis fun,
miserable, exciting, frustrating, challenging, weird, and most of all legendary:
1. Dosen Pembimbing, Bapak Drs. Silverio R. L. A Sampurno, M. Hum,
terima kasih banyak atas bimbingan, kesediaan waktu, tenaga dan telinga
untuk selalu mendengar, memberikan motivasi serta kesabaran yang telah
diberikan dalam menghadapi kemalasan saya baik saat-saat masih kuliah
atau pun selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Pak Hery Santosa, yang bersedia membuang waktu untuk mendengar dan
memberikan feedback dan saran-saran demi kelancaran penulisan ini.
Banyak terima kasih juga untuk setiap cerita dan pengalaman yang
inspiratif, serta untuk jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan konyol
saya.
3. Pak Sandiwan, Pak Purwanta, Rm. G. Budi Subanar, SJ, Rm. FX. Baskara
T. Wardaya, SJ, terimakasih banyak atas kesabaran, pencerahan, motivasi,
dan waktu-waktu kuliah yang rasanya sudah tidak terhitung berapa
semester banyaknya.
4. Bapak, ibu warga Kampung Prawirataman dan sekitarnya yang telah
xi
Lulu, Pak Slamet, Pak Hartono, Pak Prapto, Pak Soegiran, Pak Sarijan,
Pak Ayik, Pak Tri, Mas Aryo, Mas Agung dan Mba Anjar dihaturkan
bnayak terimakasih. Tidak lupa juga miss Betty yang bersedia meluangkan
waktu untuk menemani.
5. My parents, mukke dan babe – for being my number one supporter since day one, for always believing in me and for allowing me the freedom of
pursuing whatever dreams i have.
6. My sister, Fammy A. and my cousin, Nuzul Dwi – for being the greatest part of family anyone could ever have. I do appreciate all the support, as
well as the abundance of help from time to time.
7. My mates of the year 2006, Theo, Tati dan Ismi – for all good times, for the class assignments to the slackers periode, for the the good food and
karaoke moments.
8. My seniors whose helped a lot through this writing process: Mas Darwin
and miss Tanaya - atas kebaikan hati, serta waktu yang dihabiskan untuk
membantu. Maaf selalu merepotkan! Mas Agus, Mas Sempal, Mas Tri di
Sekretariat, Mba Adda - for the willingness and kindness to help.
9. Jeng Vannie, Oom Greg dan keluarga besar Ketjil Bergerak, terima kasih
untuk setiap kesempatan yang diberikan untuk terus belajar bertumbuh,
mempelajari dan mencoba hal-hal yang baru.
10. Those whom i called friends: Lutfi and the Mbak Uuk’s family, Yessi Widy, Citra Ayu, miss Raita, Ignasia Oyo, Dyah Eko, Lucia Retno, Teguh
xii
family and all the great people i met during the guiding experiences – for the friendship and all the time we have spent together, for the laugh and
the tears, the fun, the weird and crazy moments, for the calmness and
patience in dealing such a weirdos like me. I could thank you all for zillion
things during our friendship.
11. My Xanax: Oskar, Alex, Sebastian, Joren and some other names – for always being the best isolated bubbles which keeps me in a great distance
from the world around me. Thank you guys for everyday that you have
made my life easier!
12. These unbelievable persons i met the last minutes when i’m about to
giving up, Mba Lisis – for being a great mentor. M. Schlund – especially for the 17 hours we’ve spent together and those conversation about nothing and everything. Media Hutabarat – simply for being the coolest person who happend to be the best partner in crime during all those shitty
times dealing with the so-called ‘hell-stuff.’
13. All the beautiful people who helped, but i couldn’t mention one by one
(believeme, i’m shouting your names by heart).
14. Last but not least: caffeine, confections, yoghurt, movies, Chris Martin,
Arkarna, Silverchair, and many other, P. Coelho, I. Natassa, S. Kinsella,
and friends – for always being the best companion who help me through all the rough.You’re indeed my best Ritalin.
Karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itufeed back, kritikan dan
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………...……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
HALAMAN MOTTO... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……… vii
ABSTRAK………. viii
ABSTRACT……… ix
KATA PENGANTAR……… x
DAFTAR ISI……….. xiii
DAFTAR TABEL……….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN………. xvii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah... 8
1. Identifikasi Masalah... 8
2. Pembatasan Masalah... 10
C. Rumusan Permasalahan... 10
D. Tujuan Penelitian... 11
1. Tujuan Akademis... 11
2. Tujuan Praktis... 12
E. Manfaat Penelitian... 12
xiv
2. Manfaat Praktis... 13
F. Kerangka Teori... 14
G. Tinjauan Pustaka... 21
H. Metode Penelitian... 24
I. Sistematika Penulisan... 25
BAB II PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT PRAWIRATAMA... 27
A. Letak Geografis Kampung Prawirataman... 27
B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman... 29
1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta... 29
2. Prawiratama Sebagai Prajurit Kasultanan Yogyakarta... 40
3. Prawirataman Sebagai Kampung Pemukiman Prajurit... 41
BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUNI DUNIA BATIK... 47
A. Daerah Prawirataman dan Perkenalan dengan Dunia Batik... 50
B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-an... 53
C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi, dan Awal Kebangkitan Kembali Usaha Batik... 58
D. Perkembangan Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1950-an... 62
E. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha Batik di Daerah Prawirataman... 68
F. Kemerosotan Usaha Batik dan Perkenalan dengan Dunia Pariwisata... 72
BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI DI PRAWIRATAMAN... 78
A. Proses Perkembangan Industri Pariwisata Terutama Usaha Jasa Penginapan di Kampung Prawirataman... 80
B. Dampak Ekonomi dari Perubahan di Prawirataman... 85
C. Dampak Sosial dari Perubahan di Prawirataman... 93
BAB V PENUTUP... 99
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Perusahaan dan Pekerja Batik di Wilayah Yogyakarta Pada
Tahun 1920-1924……….. 55 Tabel 2 Jumlah Perusahaan Batik di Yogyakarta dan Sekitarnya Pada Tahun
1927………... 57
Tabel 3 Nama Cap Dagang dan Alamat Produsen Batik Daerah Prawirataman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Definisi sejarah tidak semata-mata berhenti pada peristiwa yang terjadi
pada masa lampau saja, tetapi juga terkandung berbagai dimensi dan kompleksitas
di dalamnya, baik dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.
Bukan hanya umat manusia yang terlibat dalam babakan peristiwa masa lampau
itu, akan tetapi juga dinamika dan fenomena-fenomena alam yang terjadi di
dalamnya. Iklim, letak geografis atau kondisi lingkungan alam suatu wilayah
tertentu juga dapat memberikan pengaruh pada kondisi sosio-kultural suatu
kelompok manusia, dan sebaliknya. Keterkaitan-keterkaitan ini tentunya sangat
berperan bagi perkembangan sejarah umat manusia.
Salah satu contoh bentuk keterkaitan itu terjadi dalam sejarah persebaran
umat manusia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan dengan cara berburu
binatang telah menuntun manusia purba untuk menjadi nomaden. Aktivitas ini
sering kali membuat mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah berada di
belahan bumi lainnya. Berkurangnya hewan buruan juga memaksa mereka
mengkonsumsi bahan pangan yang lain dari tumbuh-tumbuhan. Pola kehidupan
daerah tertentu serta mulai bercocok tanam. Lambat laun, berbagai macam
keterampilan dan keahlian serta kehidupan berkelompok juga mulai berkembang.
Selain itu, ketakutan dan kepercayaan akan kekuatan yang lebih besar di
alam semesta membawa mereka pada suatu bentuk upacara dan
pemujaan-pemujaan. Tanda, gambar, dan simbol-simbol mulai dibuat, huruf-huruf mulai
diciptakan, tradisi tulis menulis mulai berkembang. Dari sinilah catatan dan
pengetahuan tentang bagaimana mereka memaknai hidup serta dunia yang mereka
tinggali ataupun peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan mereka dapat
diketahui. Inilah sebuah masa dimana sejarah tercipta. Dan mempelajari sejarah
pun menjadi sebuah hal yang signifikan untuk dilakukan agar kita dapat
memahami konteks masa kini.
Selain mempelajari sejarah itu sendiri, cara menuangkan
peristiwa-peristiwa masa lalu itu secara tertulis juga tidak kalah penting karena dari
tulisan-tulisan tersebut dapat diketahui banyak hal, misalnya bagaimana kehidupan para
generasi-generasi sebelumnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi, apa yang mereka
rasakan, bagaimana mereka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, dan
sebagainya. Harus diakui bahwa kehidupan sekarang memang sudah sangat
berbeda dengan generasi terdahulu. Akan tetapi, mempelajari kehidupan masa lalu
dapat dijadikan sebagai semacam tolak ukur bagi kehidupan yang sekarang,
sehingga manusia dapat belajar menyikapi segala sesuatunya dengan lebih
bijaksana dan dapat merancang masa depan yang lebih baik.
Seiring bergulirnya waktu, penulisan sejarah di Indonesia juga mengalami
diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah yang baru dimana
nasionalisasi historiografi Indonesia dimulai.1 Selanjutnya, perkembangan penulisan sejarah bukan hanya sejarah naratif yang sekedar menceritakan masa
lalu semata tetapi juga penulisan sejarah analitis. Penulisan sejarah analitis ini
membutuhkan ilmu-ilmu sosial yang lain sebagai pendekatannya. Dampak yang
kemudian muncul adalah bahwa corak penulisan sejarah Indonesia menjadi
semakin beragam, bukan hanya sejarah politik, sejarah perang, sejarah tentang
peristiwa besar, ataupun sejarah orang-orang besar semata. Akan tetapi juga
sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah ekonomi, sejarah lokal, sejarah
pedesaan, sejarah kota, dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai sejarah sosial, Sartono Kartodirdjo mengungkapkan
bahwa arti istilah dan konsep yang ditunjukkannya selama perkembangan
historiografi sangat beragam. Sejarah sosial ini bisa mencakup segala aspek
kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu contoh cakupannya adalah tentang
sejarah demografis, yaitu pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi dan
sebagainya. Tema ini berkaitan erat dengan sejarah kota sebagai pusat pemukiman
dengan berbagai kompleksitas di dalamnya.2
Sementara itu, Kuntowijoyo menegaskan bahwa sejarah kota belum
banyak mendapat perhatian kalangan sejarawan akademis. Padahal kalau mau
1
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1994, hal. 1
2
digali lebih dalam, tata pemukiman kota lahir bukan hanya berdasar alasan
ekonomis semata, akan tetapi juga dikarenakan suatu pola sosio-kultural.
Selanjutnya, Sartono juga berpendapat bahwa sejarah kota bertalian erat dengan
penampilan golongan sosial yang tinggal di kota: kaum pedagang, pengusaha,
kaum buruh, rakyat jelata, serta golongan elite.3Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kota juga menyimpan berbagai macam kekayaan historis yang layak
dijadikan bahan pertimbangan dalam penulisan sejarah.
Kota Yogyakarta misalnya, selain terdiri atas pedesaan, perkampungan di
dalam kotanya juga menyimpan berbagai fenomena kehidupan dan keunikan
tersendiri. Wilayah Yogyakarta memang relatif kecil dibandingkan dengan
kota-kota penting lainnya di Indonesia, namun demikian kedudukannya sebagai kota-kota
pendidikan, kebudayaan, dan tujuan pariwisata, baik secara nasional maupun
internasional tidak bisa dianggap remeh. Selain itu, kota Yogyakarta juga
memiliki nilai-nilai historis, serta semangat perjuangan yang bergema dalam skala
nasional. Oleh karenanya, mengikuti dinamika perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di dalam kehidupan perkampungan di dalam kota Yogyakarta akan
menjadi sangat menarik untuk dilakukan.
Istilah ‘kampung’4 sendiri tentu bukan merupakan sesuatu yang baru dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun seiring dengan
3
Sartono Kartodirdjo,Ibid., hal. 158.
4
perkembangan zaman sekarang ini istilah perumahan, apartemen, ataupun rumah
susun juga sudah mulai dikenal di kalangan masyarakat luas, namun dari segi
jumlah, kampung tetap mendominasi. Artinya bahwa sebagian besar wilayah
pemukiman penduduk di Indonesia terdiri atas kampung-kampung. Hal yang sama
juga berlaku di kota Yogyakarta.
Di samping tradisi dan budayanya masih kental, Yogyakarta juga
mempunyai Kraton sebagai pusat kota yang memiliki kedudukan sentral, bahkan
sampai sekarang. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa di sekitar Kraton dapat
dibangun rumah-rumah para sentana dan abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar.5 Hal ini menjadi suatu keistimewaan tersendiri bagi kota Yogyakarta. Keunikan
lain yang menyelimuti kota Yogyakarta juga dapat ditilik dari nama-nama
kampungnya. Adanya beberapa kesamaan dalam proses penamaan sejumlah
kampung menjadi menarik karena dari situ kita bisa mengetahui dan bahkan
mencoba membayangkan bagaimana kira-kira kehidupan masyarakatnya pada
masa lampau.
Kampung-kampung di kota Yogyakarta dulunya dibagi ke dalam dua
wilayah berdasarkan letaknya, yaitu yang berada di dalam kompleks Kraton atau
disebut “Jero/Jeron Beteng” (Dalam Benteng) dan “Jaba/Jaban Beteng” (Luar
Benteng). Pemberian nama kampung baik di dalam benteng atapun di luar
benteng pada umumnya didasarkan pada profesi yang banyak ditekuni oleh
di bawah kecamatan; 4) terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot.
5
warganya, keahlian yang dimiliki, kedudukan dalam pemerintahan, hingga nama
kesatuan pasukan prajurit. Dalam perkembangan selanjutnya, keberagaman
penduduk yang mendiami kota Yogyakarta membawa dampak pada munculnya
nama-nama baru pada wilayah luar benteng.
Saat ini kondisi sebagian kampung-kampung tersebut mungkin tidak lagi
menunjukkan kesesuaian dengan namanya. Namun demikian,
perubahan-perubahan yang terjadi justru menjadi sangat menarik untuk dikaji. Salah satu
contohnya adalah Kampung Prawirataman. Pada mulanya, nama kampung
tersebut merupakan nama salah satu Kesatuan Pasukan Prajurit Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Bregada atau kesatuan prajurit yang dimaksud
bernama “Kesatuan Prajurit Prawiratama.”6
Sebagaimana pejabat Kraton lainnya, Kesatuan Prajurit Prawiratama juga
mendapatkan tanah lungguh7 yang kemudian digunakan sebagai daerah
pemukiman bagi seluruh anggota bregada dan keluarganya. Nama Prawiratama
kemudian digunakan sebagai nama daerah pemukiman mereka, yaitu
Prawirataman. Sistem penamaan seperti ini berlaku juga untuk wilayah
6
Kata “Prawiratama” dan “Prawirataman” ditulis dengan ejaan dalam bahasa Jawa.
7
Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991. Sistem tanah lungguh
atau apanage timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Di dalam menjalankan pemerintahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalannya mereka diberi tanah
pemukiman Kesatuan Prajurit Kraton yang lain, misalnya Kesatuan Prajurit
Wirabraja kemudian menempati pemukiman yang disebut Wirabrajan, Kesatuan
Prajurit Bugis tinggal di Kampung Bugisan, dan seterusnya.
Sebagai sebuah kampung pemukiman, Kampung Prawirataman tidak
hanya berperan sebagai tempat tinggal para anggota Kesatuan Prajurit
Prawiratama semata. Namun juga merupakan kampung yang mengembangkan
usaha batik. Pada awalnya batik merupakan kerajinan rumah tangga yang
dikembangkan sebagai usaha meningkatkan penghasilan keluarga, lambat laun
berubah menjadi industri. Banyaknya jumlah pengrajin serta perusahaan batik
yang kemudian muncul, menjadikan Kampung Prawirataman ini terkenal sebagai
kampung batik sejajar dengan kampung kota di sekitarnya seperti Karangkajen,
Mantrijeron, Kotagede, dan lain-lain.
Pasang surut perjalanan industri batik di kota Yogyakarta turut memberi
pengaruuh pada Kampung Prawirataman. Industri batik yang sangat berkembang
pada tahun 1920-an, tiba-tiba mengalami penurunan sekitar tahun 1930, baik
karena krisis ekonomi dunia. Akan tetapi, berbagai usaha yang kemudian
dilakukan salah satunya dengan mendirikan koperasi untuk para pengusaha batik,
memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan industri batik,
sehingga pada kisaran tahun 1950-an, Prawirataman kembali menjadi sentra
industri batik.
Namun sangat disayangkan, kebangkitan kembali industri batik tersebut
industri perbatikan dan munculnya teknologi baru, seperti teknik printing
disinyalir sebagai penyebab yang mulai menggeser kedudukan batik tradisional.
Di Kampung Prawirataman sendiri, masa kejayaan industri batik ini mulai
mengalami titik kemunduran pada kisaran tahun 1960-an. Meredupnya industri
batik itu, memberikan dampak yang besar. Para pengusaha batik mulai gulung
tikar dan banting setir ke bidang usaha yang lain. Di lain pihak, sektor pariwisata
yang mulai berkembang di Indonesia pada saat itu membawa peluang baru bagi
para pengusaha batik tersebut. Jasa-jasa penginapan bagi wisatawan mulai banyak
dibuka. Banyak dari pengusaha batik itu yang mulai beralih profesi dengan
menjadi pengusaha jasa hotel dan penginapan. Berawal dari situlah di masa kini
Kampung Prawirataman mulai dikenal luas sebagai kampung turis.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya penelitian tentang perubahan sosial
masyarakat di Kampung Prawirataman pada tahun 1920-1975 menjadi menarik
untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah
Kampung Prawirataman dan dinamika perubahan yang terjadi di dalamnya,
perkembangan atau kemunduran yang dialami, serta dampak-dampaknya bagi
masyarakat, terutama dalam ranah sosial dan ekonomi pada kurun waktu
1920-1975.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Prawirataman merupakan salah satu daerah perkampungan yang ada di
sebelah tenggara Kraton Yogyakarta. Awalnya kampung ini merupakan suatu
tanah pemberian dari Kraton sebagai pemukiman Kesatuan Prajurit Prawiratama.
Pemberian nama Prawirataman untuk kampung pemukiman tersebut mengacu
pada nama kesatuan prajurit itu.
Sebagaimana kampung lain di Yogyakarta, Kampung Prawirataman ini
juga mempunyai berbagai peran penting dalam membela Kraton Yogyakarta,
salah satunya adalah turut berperan dalam perang kemerdekaan. Tidak hanya
mengandalkan profesi sebagai prajurit Kraton, usaha-usaha yang lain untuk
pemenuhan kebutuhan hidup mulai dikembangkan. Industri batik dipilih sebagai
sasaran sumber penghasilan. Industri batik ini sangat berkembang dan pada tahun
1920-an Kampung Prawirataman menjadi salah satu sentra industri batik di
Yogyakarta.
Namun sayangnya pada rentangan tahun tahun 1960 – 1970-an, usaha batik mereka mulai mengalami kemunduran karena ketatnya persaingan. Untuk
itu usaha-usaha lain yang dapat meningkatkan perekonomian mulai
dikembangkan. Meningkatnya sektor pariwisata Indonesia berimbas besar pada
kota Yogyakarta. Banyaknya jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke
Yogyakarta dimanfaatkan sebagai peluang usaha yang baru. Besar dan luasnya
rumah-rumah para pengusaha batik menjadi aset penting yang kemudian
dimanfaatkan sebagai lahan penginapan, sehingga sampai sekarang banyak
terdapat penginapan dan hotel di kawasan ini.
Terdapat empat gang di kawasan Kampung Prawirataman ini. Gang-gang
hanya Prawirataman I dan II saja yang masih banyak mengembangkan usaha jasa
pariwisata. Terdapat banyak penginapan, hotel, restoran serta biro pariwisata baik
di Prawirataman I dan II. Sementara itu, meskipun masih terdapat satu atau dua
hotel ataupun restoran di Prawirataman III dan IV, namun kawasan ini lebih
banyak dikenal sebagai perkampungan penduduk saja.
2. Pembatasan Masalah
Dengan berbagai kompleksitas dan perubahan-perubahan yang terdapat di
Kampung Prawirataman tersebut, serta rentangan waktu yang cukup panjang
yakni antara tahun 1920 - 1975, maka agar penelitian ini lebih fokus,
permasalahannya akan dibatasi pada:
a. Tinjauan historis Kesatuan Prajurit Prawiratama yang bermukim di
Kampung Prawirataman.
b. Proses perubahan yang berlangsung di dalam kampung tersebut. Suatu
perkampungan yang awalnya merupakan pemukiman prajurit, kemudian
dikenal sebagai sentra usaha batik namun dalam perkembangannya justru
menjadi kampung wisata.
c. Dampak sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman setelah terjadinya
perubahan.
C. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang dan
setelah dilakukan identifikasi serta pembatasan permasalahan, terdapat beberapa
suatu rangkaian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang
terjadi di Kampung Prawirataman dalam rentang waktu 1920 - 1975?
2. Bagaimanakah proses perubahan yang terjadi pada kampung tersebut,
yaitu dari pemukiman prajurit, menjadi sentra industri batik dan pada
akhirnya mengembangkan usaha pariwisata?
3. Bagaimanakah dampak sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat
dari perubahan tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penulisan tentang Perubahan Sosial dan ekonomi di
Kampung Prawirataman Yogyakarta Tahun 1920-1975 adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Akademis
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisa dan
menguraikan sejarah serta perubahan sosial ekonomi yang terjadi di Kampung
Prawirataman. Kampung yang pada awalnya merupakan pemukiman prajurit
Kraton Yogyakarta yang mengembangkan industri batik dan sangat berhasil
dalam bidang yang digeluti tersebut, namun pada akhirnya justru dikenal sebagai
kampung wisatawan.
Penulisan ini juga ingin melihat dampak yang kemudian timbul dari
akan sangat beragam dan melingkupi berbagai bidang. Namun demikian, agar
pembahasannya tidak terlalu melebar, maka fokus penulisannya hanya akan
dibatasi pada lingkup sosial dan ekonomi saja.
2. Tujuan Praktis
Perubahan sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman, termasuk
berbagai faktor baik yang memperlancar atau menghambat terjadinya perubahan
tersebut, setidaknya dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang
kesejarahan. Sebagaimana diketahui bahwa kajian sejarah yang berkembang lebih
banyak berbicara tentang politik, tentang peristiwa-peristiwa atau orang besar.
Maka dari itu penulisan tentang sejarah dan perubahan sosial yang terjadi di
Kampung Prawirataman diharapkan dapat menyuguhkan pelajaran dan variasi
baru dalam penulisan sejarah. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kesadaran baru bagi masyarakat, bahwa tiap-tiap daerah baik
kampung kota atau pedesaan memiliki banyak keunikan dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembacanya, baik manfaat akademis ataupun praktis yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoretis
Donald G. MacLeod (1977) mengatakan bahwa terdapat tiga sektor yang
pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, manfaat hasil penelitian juga dapat
ditujukan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.8Oleh karena itu, manfaat teoretis dari penulisan ini terkait dengan pemberian informasi, pengetahuan dan gambaran yang lebih jelas
tentang perubahan-perubahan sosial dalam suatu masyarakat khususnya di
Kampung Prawirataman Yogyakarta. Selanjutnya, dari informasi-informasi
tersebut diharapkan dapat menambah dan memberi sumbangan baru pada ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah, terutama sejarah kampung.
Sumbangan yang dimaksud berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu 1920-1975.
2. Manfaat Praktis
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang perubahan
sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman tahun 1920-1975. Dari hasil
penelitian ini diharapkan bahwa nantinya dapat memberikan masukan tentang
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama yang terkait dengan
terjadinya suatu perubahan. Perkembangan atau kemunduran yang terjadi dalam
suatu lingkup pemukiman masyarakat tentu membawa dampak yang tidak sedikit.
Pengetahuan akan perubahan, hambatan dan dampak yang ditimbulkan tersebut
dapat menjadi pengetahuan dan pelajaran agar para masyarakat atau instansi yang
terkait menjadi lebih sadar akan pola-pola yang ada, sehingga nantinya dapat
mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih baik bagi kampungnya.
8
F. Kerangka Teori
Sejarah yang analitis bukan sekedar memaparkan suatu peristiwa masa
lalu dan hanya bersifat naratif yang hanya mengandalkan common sense semata,
tetapi juga membutuhkan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial yang lain.9 Dengan demikian penelitian suatu peristiwa sejarah yang dihasilkan nantinya merupakan
suatu penjelasan yang analitis dan mendalam.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial sangat dibutuhkan dalam penulisan sejarah.
Rapproachement atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu
lain salah satunya disebabkan karena penulisan sejarah deskriptif-naratif sudah
tidak lagi memuaskan untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba
kompleks.10Ilmu-ilmu sosial yang dimaksud dapat berupa Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Geografi, Ekonomi, dan lain sebagainya. Selain untuk
memperkaya khasanah pemikiran, ilmu bantu dari cabang-cabang ilmu sosial
yang lain tersebut juga dapat membantu dalam memberikan eksplanasi dan
penjelasan yang lebih mendalam atas suatu peristiwa sejarah yang sedang menjadi
9
Sartono Kartodirjo,op. cit.hal. 121
10
Ibid,.hal. 120- 121. Terkait dengan proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang lain itu, Sartono memaparkan bahwa penyebab yang lainnya antara lain; (1) pendekatan multidimensional atau social scientific
bahan kajian. Sehingga pada akhirnya tulisan sejarah yang akan dihasilkan pun
lebih bersifat analitis dan ilmiah.
Terkait dengan masalah di atas, maka tulisan ini juga mencoba untuk
menggunakan pendekatan dari ilmu sosial yang lain. Sebagaimana telah
dijabarkan sebelumnya bahwa tema besar yang diambil sebagai fokus dalam
penelitian ini adalah tentang perubahan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang
akan digunakan adalah teori-teori yang relevan dengan perubahan sosial.
Ada begitu banyak teori yang telah dihasilkan oleh para ahli baik dari
dalam atau luar negeri sehubungan dengan perubahan sosial. Sebagaimana
diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa perubahan sosial merupakan tema
yang luas cakupannya. Kedatangan agama Islam beserta sistem politiknya ke
wilayah Indonesia, masuknya bangsa Barat dengan proses modernisasi
(westernisasi); dan peningkatan proses modernisasi sejak abad ke-19 merupakan
peristiwa-peristiwa yang sarat akan perubahan sosial. Hal ini berdampak pada
berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya.11
Salah satu lapisan kehidupan masyarakat yang terkena dampak dari proses
modernisasi yang melanda bangsa Indonesia sejak abad ke-19 tersebut adalah
kampung. Kata kampung sendiri tentu saja tidak asing dan sudah sangat lazim
digunakan. Dalam penulisan karya ini pun subyek yang menjadi obyek penelitian
adalah Kampung Prawirataman di Yogyakarta, dalam kurun waktu 1920-1975.
Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diuraikan tentang definisi kampung itu
sendiri.
11
Sebagaimana dipaparkan oleh Sullivan dan Murray dalam Hans-Dieter
Evers Urbanisme di Asia Tenggara, bahwa istilah kampung setidaknya
memperlihatkan sesuatu yang terkait dengan desa dan komunitas-komunitas.
Namun istilah tersebut sebenarnya tidak bisa didefinisikan sebagai komunitas
usaha (corporate community) karena ikatan sosial yang ada umumnya adalah
antar tetangga saja. Aspek komunitas dalam kampung itu telah ditunjukkan
dengan baik, yaitu dalam urusan bertetangga atau neighbourship. Sullivan juga
menyatakan bahwa terdapat tekanan kuat pada orang kampung agar menjadi
tetangga yang baik. Tetangga yang baik (neighbourliness) persisnya ditetapkan
dalam kampung, begitu juga sanksi-sanksi berat yang berfungsi untuk membuat
anggota komunitas berperilaku sejalan dengan konvensi-konvensi yang berlaku.
Sedangkan Murray dalam Evers berpendapat bahwa kampung bukanlah suatu
entitas yang mampu merencanakan strategi, tetapi suatu komunitas dari orang
perorang yang menyesuaikan diri mereka dengan situasi perkotaan dan kian hari
kian banyak orang yang datang untuk bekerja sama dan bersaing.12
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa corak kehidupan
kampung kota juga memiliki suatu kekhasan tersendiri yang tentu berbeda dengan
pedesaan. Lebih lanjut lagi hal ini juga akan berpengaruh pada ciri dan
karakteristik masyarakat di dalamnya. Oleh karena itulah masyarakat yang
berdiam di perkampungan kota dikenal dengan istilah masyarakat kota. Namun
demikian, terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, perubahan sosial merupakan
12
suatu proses yang terjadi baik di desa ataupun di kota. Berbagai pengaruh yang
masuk dalam suatu komunitas pemukiman baik di desa ataupun di kota juga turut
mendorong terjadinya perubahan, baik yang sifatnya kemajuan(progress)ataupun
kemunduran(regress).
Perubahan sosial tersebut biasanya terjadi tidak dalam jangka waktu yang
singkat. Sebagaimana dipaparkan oleh Darwis Khudori bahwa homogenitas
penduduk kampung mulai terkikis, baik dari segi agama, suku bangsa, aliran
politik, mata pencaharian maupun tingkat pendapatan. Keterikatan terhadap
kampung dan kehidupan pertetanggaan bagi sebagian penduduk juga berkurang
seiring dengan tuntutan modernisasi. Namun ada dua kenyataan yang belum akan
berubah dalam jangka waktu yang lama, yaitu pertama, bahwa kampung
merupakan satu-satunya jenis pemukiman yang bisa menampung golongan
penduduk Indonesia yang tingkat perekonomian dan pendidikannya paling
rendah, meskipun tidak tertutup bagi penduduk dengan penghasilan dan tingkat
pendidikan yang tinggi. Kedua, bahwa terdapat organisasi sosial di setiap
kampung yang mengatur dan mengawasi tata tertib kehidupan kemasyarakatan
warga kampung yang bersangkutan.13
Lebih jauh lagi, Sartono berpendapat bahwa apabila dipandang dari
perspektif sejarah sosial, proses sejarah dalam keseluruhannya merupakan proses
13
perubahan sosial dalam berbagai dimensi. Dipandang sebagai proses modernisasi,
perubahan sosial mencakup permasalahan-permasalahan sebagai berikut:14
1. Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat
menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk
penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kultural yang
menentukan sikap terhadap pengaruh baru.
2. Berkaitan dengan proses akulturasi itu kemudian muncul adanya proses
seleksi dan diferensiasi berdasarkan lokasi sosiohistoris pelbagai golongan
sosial. Variasi sikap kultural dan heterogenitas baik yang sifatnya
penolakan atau penerimaan mulai muncul. Di sini konflik sosial
merupakan dampak yang menyertai terjadinya perubahan sosial.
3. Perubahan dari heterogenitas yang inkoheren ke heterogenitas yang
koheren.
4. Proses modernisasi yang merupakan proses pokok dalam transformasi
struktural.
5. Adanya proses integrasi dan desintegrasi, atau disorganisasi dan
reorganisasi yang silih berganti sebagai bentuk transformasi sosial.
6. Munculnya jaringan sosial yang mencakup interdependensi antara
pelbagai sektor atau fungsi masyarakat yang dalam keseluruhannya
mewujudkan suatu sistem sebagai akibat dari kompleksitas stukturasi
hubungan sosial masyarakat.
14
7. Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan
atau pertumbuhan (development). Penting diketahui bahwa proses
perkembangan itu tidak dengan sendirinya menunjukkan arah
pertumbuhan serta tujuan. Berdasarkan kerangka teoretisnya,
evolusionisme, fungsionalisme, positivisme, pelbagai paradigma
menunjukkan bahwa masing-masing memandang arah dan tujuan
perkembangan secara berbeda-beda.15
Teori perubahan sosial lain yang turut mendukung datang dari Selo
Soemardjan yang berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.16
Masih menurut Selo Soemardjan, bahwa jenis dari perubahan sosial
penting untuk diketahui agar dapat mengetahui pelopor perubahannya. Pelopor
perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang dipercayai oleh
masyarakat sebagai pemimpin dalam salah satu atau beberapa lembaga sosial.
Orang atau kelompok itu mempelopori jalan meninggalkan masa lampau menuju
zaman baru, yakni menetapkan kaidah sistem sosial baru atau yang diperbaharui.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta sendiri sejak akhir masa
penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu perubahan yang
15
Ibid.,hal. 160-162
16
disengaja/direncanakan sebelumnya (intended) dan perubahan yang tidak
disengaja/tidak diketahui dan direncanakan (unintended). Proses perubahan yang
disengaja dan tidak disengaja tersebut memiliki kecenderungan untuk saling
memperkuat satu dengan yang lainnya.17
Dengan demikian, perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman,
yaitu yang pada awalnya merupakan kampung pemukiman prajurit, kemudian
mengembangkan usaha batik dan berhasil menjadi salah satu sentra industri batik
di Yogyakarta, namun pada akhirnya justru bergerak dalam sektor pariwisata
dengan mengembangkan usaha penginapan, dapat digolongkan pada jenis
perubahan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Situasi dan kondisi yang
terjadi di lingkungan sekitar didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah
membawa dampak terjadinya perubahan tanpa direncanakan sebelumnya.
G. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian dan tulisan yang telah dibuat oleh beberapa
orang sebelumnya. Tulisan-tulisan tersebut antara lain:
“Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah” karya
Ahmad Adaby Darban. Merupakan buku yang membahas tentang sejarah lokal
dan perubahan sosial suatu daerah tertentu, yaitu Kampung Kauman. Kampung
Kauman Yogyakarta sendiri dulunya juga merupakan salah satu kompleks hunian
bagi para abdi dalem pamethakan, yang bertugas dalam bidang keagamaan,
khususnya urusan kemasjidan. Di dalam buku tersebut diungkapkan bahwa terjadi
17
banyak perubahan di kampung tersebut dalam kurun waktu 1900 –1950. Namun demikian perubahan yang terjadi bukan pada tatanan nilai tetapi lebih banyak
pada ranah tatanan norma kehidupan masyarakat. Daerah yang menjadi obyek
penelitian dalam buku tersebut memang bukan Kampung Prawirataman
melainkan Kampung Kauman, namun demikian obyek pembahasan yang fokus
pada satu wilayah tertentu merupakan referensi yang bagus dan berguna dalam
tulisan ini.
Karya tulis yang membahas tentang Kampung Prawirataman sendiri
memang tidak sedikit. Salah satunya adalah makalah hasil penelitian terhadap
kampung wisata Prawirataman yang pernah dilakukan oleh Retno Kumolohadi,
Nugroho Dwi Priyohadi, dan Th. Agung M. Harsiwi dengan judul “Studi
Terhadap Kampung Wisata PrawirotamanYogyakarta.”Studi tersebut dilakukan
untuk mengetahui pengaruh sosial budaya dan ekonomi serta perilaku akibat
pariwisata di Kampung Prawirataman. Di dalam makalah hasil penelitian itu
dipaparkan bahwa perubahan dari kampung batik menjadi kampung pariwisata
yang mengalami perkembangan pesat membawa dampak positif maupun negatif.
Dampak positifnya terjadi dalam bidang ekonomi dengan berkembangnya
berbagai bidang usaha yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakatnya baik
secara formal maupun informal, misalnya dalam bidang jasa. Sedangkan dampak
negatifnya dirasakan dari segi sosial budaya dan perilaku yaitu timbulnya sikap
individualistis, pragmatis dan profit oriented. Selain itu juga sikap dan perilaku
yang cenderung lebih mengagung-agungkan wisatawan mancanegara dan perilaku
Hasil penelitian tentang Prawirataman di atas baik, akan tetapi titik berat
penelitiannya lebih pada bidang kepariwisataan. Bagaimana pariwisata di
Kampung Prawirataman memberi dampak pada bidang ekonomi juga terhadap
perilaku masyarakat di Prawirataman. Namun demikian, belum banyak
aspek-aspek historis yang diungkapkan.
Lebih spesifik lagi tesis dari Chiyo Inui Kawamura yang berjudul
“Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 –
1900-an.” Di dalam karya tulisnya tersebut Chiyo Inui Kawamura
merekonstruksikan perubahan sosial dan proses peralihan usaha dari industri batik
tradisional ke industri pariwisata yang bersifat modern masyarakat Prawirataman
pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Fokus penulisan yang diambil Kawamura lebih pada proses peralihan
usaha yang terjadi di daerah Prawirataman, yaitu dari usaha batik yang
berkembang pesat pada tahun 1950-an menjadi usaha pariwisata pada tahun
1990-an. Kawamura menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1950 – 1990-an telah
terjadi perubahan drastis di daerah Prawirataman, dimana “zaman batik” yang
berlangsung pada tahun 1950-an mengalami kemerosotan karena
perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun di dalam lingkungan kampung
sejak awal tahun 1960. Dan karena pengaruh dari kebijakan pemerintah industri
pariwisata kemudian berkembang di Prawirataman sehingga tidak terdapat lagi
rumah industri batik di jalan Prawirataman pada tahun 1990-an.
Penelitian Kawamura tersebut memberikan cukup banyak informasi dan
yang menjadi subyek penelitian hampir sama, akan tetapi periode penelitiannya
berbeda. Melalui pendekatan sosial-ekonomi, penelitian ini bermaksud melihat
sedikit lebih jauh ke belakang, yaitu pada tahun 1920-an dimana pada saat itu
usaha batik telah begitu berkembang di Jawa termasuk di Prawirataman.
Kedudukan Kampung Prawirataman yang pada mulanya merupakan kampung
pemukiman prajurit, dan hubungannya dengan perkembangan usaha batik di
daerah tersebut.
Kemudian titik akhir yang diambil dalam penelitian ini adalah pada tahun
1975, dimana pada kisaran tahun 1970-an itu merupakan masa-masa transisi bagi
Kampung Prawirataman. Dengan kata lain, apabila penelitian Chiyo Inui
Kawamura dilakukan dalam kurun waktu dimana usaha yang berkembang di
Prawirataman sudah matang dan mantap, maka dalam tulisan ini ingin melihat
kembali masa awal perkembangan usahanya, berbagai dinamika dan perubahan
sosial di Kampung Prawirataman sendiri, baik dari pemukiman prajurit yang
merupakan akar dan cikal bakal munculnya masyarakat Prawirataman, proses
serta usaha-usaha yang dilakukan sampai kemudian menjadi salah satu sentra
industri batik, namun pada akhirnya justru merintis dan mulai mengembangkan
usaha pariwisata.
H. Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah yang bersifat deskriptif-analisis diperlukan suatu
sosial di Kampung Prawirataman ini. Metode penelitian yang dipakai dalam
penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan.
Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari
buku-buku, artikel-artikel, laporan dan hasil penelitian, juga melalui situs-situs di
internet yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Sumber yang akan dicari
sebisa mungkin adalah sumber primer yang dapat menerangkan dinamika sejarah
yang terkait dengan sejarah Kampung Prawirataman sebagai topik pembahasan.
Sumber primer memaparkan kata-kata yang sebenarnya dari seseorang yang
berpartisipasi atau menyaksikan peristiwa-peristiwa yang digambarkan atau dari
seseorang yang memperoleh informasi dari yang ikut berpartisipasi. Sedangkan
sumber sekunder mencatat penemuan dari seseorang yang tidak mengamati
peristiwa tetapi menyelidiki bukti-bukti primer.18
Proses pengumpulan data lain yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi lapangan dengan melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan
dengan kriteria sebagai berikut: penduduk asli Prawirataman ataupun pendatang,
baik laki-laki ataupun perempuan yang sekiranya mengetahui dan dapat
menjelaskan tentang sejarah daerahnya, pemilik penginapan atau usaha perjalanan
pariwisata, karyawan, tukang becak dan atau orang-orang yang telah
berkecimpung di wilayah Prawirataman dan tahu banyak tentang perkembangan
kampung tersebut. Studi lapangan ini sebenarnya bersifat terbuka, dalam artian
bahwa peneliti tidak akan membatasi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan,
18
akan tetapi tetap harus bisa memenuhi tuntutan jawaban yang diperlukan,
sehubungan dengan perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman.
Setelah data-data diperoleh, langkah selanjutnya adalah menganalisa dan
mengolahnya. Pada tahapan ini, penafsiran dan pemberian tanggapan atas data
dilakukan sesuai dengan persoalan yang dibahas. Hal ini dilakukan agar
subjektivitasnya dapat dikurangi. Sehingga tulisan yang dihasilkan walaupun
bersifat ilmiah dan analitis tetapi hendaknya dapat dipahami berbagai kalangan.
I. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini rencananya akan dibagi kedalam 5 bab yang
sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan yang memuat sembilan subbab. Subbab itu
terdiri atas: Latar Belakang, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Rumusan
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Inti dari Bab I adalah latar
belakang penelitian dan permasalahan yang mendorong untuk mengadakan
penelitian dan penyusunan tulisan ini.
Bab II akan menguraikan tentang latar belakang Kampung Prawirataman.
Latar belakang yang dimaksud disini adalah tinjauan historis Kesatuan Prajurit
Prawiratama yang bermukim di Kampung Prawirataman.
Bab III akan membahas tentang faktor-faktor dan proses terjadinya
perubahan sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu
Bab IV merupakan paparan yang berisi tentang dampak sosial dan
ekonomi yang muncul sebagai akibat dari perubahan yang terjadi di Kampung
Prawirataman.
Bab V merupakan bagian akhir atau penutup dari tulisan ini. Bab ini berisi
Kesimpulan yang merupakan jawaban dan pernyataan penulis mengenai hasil
penelitian sekaligus jawaban atas rumusan permasalahan yang diuraikan pada
BAB II
PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN
PRAJURIT PRAWIRATAMA
A. Letak Geografis Kampung Prawirataman
Kampung Prawirataman merupakan satu dari lima kampung yang berada
dalam wilayah Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota
Yogyakarta.1 Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, Kampung Prawirataman terletak sekitar 3 km di sebelah tenggara Kraton Yogyakarta dan
kurang lebih 600 meter dari Pojok Beteng Wetan. Kampung ini diapit oleh dua
ruas jalan besar yang keduanya merupakan akses menuju wilayah Kabupaten
Bantul, yaitu Jalan Parangtritis yang berada di sebelah barat dan Jalan
Sisingamangaraja yang terletak di sebelah timur.
1
Secara umum, Kampung Prawirataman dibagi menjadi empat kawasan
berdasarkan ruas jalan utama yang kemudian juga disebut dengan gang. Keempat
jalan atau gang utama yang terdapat di dalam kampung tersebut dikenal dengan
istilah Prawirataman I, II, III dan IV.
Di sepanjang gang I terdapat banyak fasilitas akomodasi dan penginapan
baik yang berbintang ataupun melati, restoran dan kafe, kantor biro perjalanan
pariwisata, persewaan sepeda, sepeda motor serta mobil, ATM, art shop/gallery,
salon kecantikan, jasa penukaran mata uang asing, dan berbagai fasilitas
penunjang kegiatan pariwisata yang lainnya. Hal itulah yang menjadikan kawasan
ini jauh lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan dengan tiga gang
lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya nama Prawirataman I ini lebih banyak
dikenal sebagai Jalan Prawirataman atau sering disebut sebagai Prawirataman
saja.
Beberapa fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata juga dapat
dijumpai di Prawirataman II yang terletak di sebelah selatan Prawirataman I.
Sebuah pasar tradisional yang sering disebut sebagai Pasar Prawirataman berada
di ujung barat gang ini tepatnya di ruas Jalan Parangtritis. Namun demikian,
dalam kaitannya dengan wisatawan kawasan ini masih belum seramai Jalan
Prawirataman I. Sementara itu, di kawasan Prawirataman III dan Prawirataman IV
juga terdapat beberapa penginapan dan restoran, tetapi jumlahnya tidak banyak
B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman
1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta
Latar belakang dan perjalanan sejarah keberadaan prajurit Kraton sudah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan cikal bakalnya telah
ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu,
Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Paku Buwana II menentang
perjanjian yang disepakati oleh kakaknya tersebut dengan VOC. Protes akan
ketidaksetujuan tersebut dilakukan dengan meninggalkan istana dan kemudian
melakukan pemberontakan.2
Pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyusun kekuatan prajurit
yang beranggotakan baik dari kalangan bangsawan (Tumenggung, Pangeran,
Bupati) ataupun rakyat biasa. Pasukan itu kemudian melakukan penyerangan ke
berbagai daerah. Serangan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi beserta
pasukannya itu membawa dampak pada bertambah besarnya jumlah kekuatan
prajuritnya.
2
Alamsyah, Kajian Arkeomusikologi Terhadap Alat Musik Prajurit Kraton Yogyakarta, Skripsi: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2005. Pangeran Mangkubumi adalah putra dari Amangkurat IV (1719-1796) yaitu generasi keempat dari Sultan Agung raja pertama kerajaan Mataram Islam, dan dilahirkan oleh Mas Ayu Tedjowati yang merupakan permaisuri kedua. Khairuddin H, Filsafat Kota Yogyakarta
Prajurit Pangeran Mangkubumi berjumlah 13.000 yang terdiri dari 2.000
pasukan kavaleri dan sisanya merupakan pasukan infantri. Jumlah tersebut
merupakan akumulasi dari gabungan antara prajurit Mangkubumi sendiri dan
prajurit dari Raden Mas Said. Desa Ayogya yang terletak di antara Kraton
Kotagede dan Plered dijadikan sebagai markas/basis dalam menyusun strategi
perang.3
Bertambahnya jumlah kekuatan pasukan Pangeran Mangkubumi serta
keberhasilannya menaklukkan berbagai daerah, menimbulkan kekhawatiran yang
besar di pihak VOC. Upaya perundingan pun dilakukan. Akhirnya kesepakatan
dicapai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari
1755 oleh Sunan Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan
dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah tentang Palihan Nagari atau
Pembagian Dua Kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Ngayogyakarta.
Setelah perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan
Kota Istana atau Kota Kraton. Pendirian pusat pemukiman dilakukan dengan
konsep “Babad Alas” atau membuka hutan dan kemudian menempatkan istana
sebagai pusat pemerintahan kerajaan.4 Kota Istana tersebut kemudian diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ibukota Ngayogyakarta yang berarti baik dan
3
Ibid., hal 17.
4
rahayu. Dengan artian yang lebih dalam yaitu masyarakat yang tinggal di
Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus.5
Pangeran Mangkubumi kemudian bertahta sebagai raja yang pertama.
Gelar yang digunakan adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin
Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta
Hadiningrat,6atau kemudian lebih dikenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Gelar tersebut menunjukkan bahwa raja Kasultanan Yogyakarta secara simbolis
dan filosofis mencerminkan kerangka konseptual tentang raja, kerajaan, sifat
keilahian dalam pandangan Islam.7
Dalam hubungannya dengan masalah keprajuritan, Sri Sultan Hamengku
Buwana I ini tidak begitu saja membubarkan pasukan prajurit bersenjata yang
turut berjuang bersamanya. Akan tetapi, merupakan pilar penting berdirinya
5
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk Yogyakarta: Dari Hutan Beringan Ke Ibukota Daerah Istimewa, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002. Hal. 9. Pembahasan yang lain terdapat dalam Tim Penyusun, “Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Hal. 62. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa
Yogyakarta berarti (kota) Yogya yang “karta” atau kota Yogya yang makmur.
Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat maksudnya adalah kota yang makmur dan yang paling utama atau yang merupakan keindahan di bumi.
6
Tim Penulis, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta.2009. Hal. 6.
7
Kasultanan Ngayogyakarta yang menjadi perangkat strategis dan taktik
pertahanan kerajaan, serta representasi dari kekuatan politik seorang raja.
Selain sebagai pasukan pertahanan dan pengamanan Kraton,
pasukan-pasukan prajurit yang ada dibagi ke dalam kesatuan (bregada) yang memiliki
tugas dan fungsi masing-masing. Misalnya, terdapat pasukan khusus yang sangat
handal dalam berperang, kemudian selain mengamankan kerajaan, terdapat juga
pasukan prajurit yang bertanggung jawab sebagai pengawal raja pada saat
melakukan kegiatan dan tugas-tugas di luar istana, berburu, dan lain-lain.
Sebagai pasukan militer kerajaan, sarana dan prasarana prajurit serta
persenjataan yang dimiliki menjadi sangat penting. Persenjataan prajurit terdiri
atas beberapa jenis senjata api, serta senjata tradisional, seperti tombak, keris,
panah, pedang dan alat pelindung badan berupa tameng. Selain itu juga beberapa
alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kegiatan
keprajuritan.8
Namun demikian, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II (1792–
1811), perubahan yang besar terjadi. Kekuatan asing yang menguasai wilayah
Nusantara bukan lagi kongsi dagang (VOC), akan tetapi berada langsung di
bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.9 Perubahan tersebut juga turut memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Kraton
Kasultanan Yogyakarta dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya.
8
Tim Penulis,op cit. hal. 8 - 9
9
Saat Pemerintah Kolonial Belanda menggantikan kedudukan VOC di
Yogyakarta, mereka juga terus berusaha menciptakan persekongkolan untuk
mendapatkan peluang serta melancarkan campur tangannya di dalam
pemerintahan kerajaan. Salah satunya, melalui campur tangan Daendels, Sultan
Hamengku Buwana II dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada putra
mahkota. Putra mahkota kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana III
(1810-1811). Hamengku Buwana III juga dikenal sebagai Sultan Raja.10
Sultan Hamengku Buwana II sendiri masih diperbolehkan tinggal di dalam
Kraton meskipun tidak lagi memerintah. Dengan demikian ada dua raja di dalam
istana, yaitu Sultan Raja dan Sultan Sepuh. Selain itu, meskipun resminya sudah
mengundurkan diri, tetapi Sultan Sepuh masih memiliki banyak pengaruh.
Melalui pengaruhnya, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan
berkuasa.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Inggris telah berhasil menguasai
pulau Jawa. Kebijakan Kraton yang menentang kekuasaan Inggris, membawa
akibat pada serangan pasukan Inggris ke dalam kerajaan. Pihak Kraton
mengalami kekalahan. Hamengku Buwana II diasingkan dan putra mahkota atau
Hamengku Buwana III kembali naik tahta (1812-1814). Selain itu, Inggris juga
menyita harta kekayaanKraton.11
10
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Hal. 16.
11
Sutrisno Kutoyo, dkk Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan pengurangan jumlah prajurit
Kraton. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani Hamengku
Buwono III dengan Rafless, prajurit Kratontidak boleh lagi berada dalam format
sebagai angkatan perang dan pasukan militer yang kuat sebagaimana sebelumnya.
Kualitas kesatuan prajurit Kraton itu diperlemah sehingga tidak mungkin lagi
menjadi kekuatan militer, dan selanjutnya fungsi prajurit hanya sebatas pengawal
Sultan dan penjaga Kraton. Tidak berhenti sampai di situ saja, para prajurit ini
juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari pasukan Inggris.12
Ketentuan tersebut juga masih berlaku ketika Inggris menyerahkan
kembali kekuasaannya atas wilayah Nusantara ke tangan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda tahun 1816. Praktek sewa tanah yang mulai diberlakukan Inggris
pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV (1814-1822) masih tetap
dipertahankan. Akan tetapi, karena pihak swastalah yang lebih diuntungkan, maka
kemudian pada tahun 1823, larangan atas usaha tersebut mulai diberlakukan.
Surakarta yang juga dianggap bersalah mendapatkan hukuman yang sama dari pihak Inggris. Kedua kerajaan tersebut diharuskan menyerahkan tanah-tanah kerajaan yang kemudian disebut sebagai Karesidenan Kedu, dan sebagian dari Karesidenan Semarang, Rembang, dan Surabaya. Menurut ketentuan-ketentuan lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang tertanggal 1 Agustus 1812, raja Surakarta dan Yogyakarta berkewajiban mendirikan pos-pos polisi yang permanen dan mengadili kawula Gubernur yang berdasar hukum yang benar. Kedua orang raja itu harus mengakui kekuasaan tertinggi orang Eropa atas Pulau Jawa, menyerahkan hutan-hutan jati, menyerahkan sarang burung, menyerahkan pasar dan rumah-rumah cukai, menghilangkan semua hukuman siksaan dan menurut nasehat-nasehat. Perlu dicatat bahwa dalam hal penyerahan rumah-rumah cukai, raja mendapat ganti rugi berupa uang. Maka sejak itu kekuasaan tertinggi Eropa di atas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dikokohkan. Kalau dua kerajaan Jawa itu melanggar perjanjian yang ada, dapat ditindak dengan kekuatan senjata.
12
Kebijakan ini yang kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).
Meskipun kemenangan ada di pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
namun perang yang berlangsung selama 5 tahun tersebut membawa ketakutan
yang besar bagi pihak Belanda. Ketakutan akan munculnya pemberontakan
serupa, berakibat pada berkurangnya sebagian besar wilayah kekuasaan
Kasultanan.
Berbagai tekanan politik yang terjadi di dalam kerajaan tersebut, juga turut
memberi dampak dalam bidang keprajuritan. Berdasarkan kesepakatan dengan
pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, terjadi pengurangan prajurit secara
besar-besaran. Kesatuan prajurit Kraton yang awalnya berjumlah 26, dipangkas
dan hanya tersisa setengahnya saja. Pada setiap kesatuan diperkirakan terjadi
pelucutan kekuatan bersenjata sampai 75%, sehingga hanya menyisakan sekitar
1625-3250 dengan asumsi setiap kesatuan terdiri dari 125-250 orang.13
13
Tidak hanya berkurang dalam hal jumlah, fungsi dan pemaknaan prajurit
Kraton pun ikut mengalami perubahan. Dalam fungsinya, prajurit Kraton bukan
lagi prajurit perang, tetapi lebih merupakan prajurit pasif (tidak berperang) yang
aktivitasnya hanya sebagai obyek simbol politis dalam beberapa upacara
seremonial, tugas pengawalan, dan penjagaan benteng Kraton.14 Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan sultan selanjutnya.
Pada masa pemerintahan GRM Dorojatun yang bergelar Sultan Hamengku
Buwana IX (1940-1988), perubahan dalam bidang keprajuritan kembali terjadi.
Sebelum dilantik, GRM Dorojatun sudah dihadapkan pada tiga pokok masalah
yang menjadi kebuntuan dalam perundingan dengan Gubernur Jendral Belanda
yang saat itu dijabat oleh Dr. Lucian Adam. Ketiga pokok permasalahan tersebut
yaitu:
1. Jabatan Patih berdasarkan keinginan Belanda yaitu mengemban Dwi
Kesetiaan yang dalam tugasnya memiliki dua tanggung jawab yaitu,
kepada pihak Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, yang digambarkan
dalam topi yang digunakan Patih. Dua lambang menjadi satu, yaitu
lambang Singa dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan lambang
Lar Praba (sayap bersinar) milik Kasultanan. Hal ini tidak disepakati
oleh GRM Dorojatun karena alasan politis bahwa akan sangat sulit
mendapatkan loyalitas dari dua majikan dalam satu jabatan.
Dalamnya, ditambahkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dan VIII, jumlah pasukan tinggal 12bregada.
14
2. Dewan Penasihat menurut Belanda adalah sepenuhnya atas persetujuan
pihak Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Belanda dan tidak
lagi mempunyai kebebasan bicara, walaupun pada prakteknya Sultan
diberi kebebasan untuk mengajukkan separuh dari jumlah anggota
dewan dari pihak Kasultanan Yogyakarta. GRM Dorojatun tidak
menyetujui kesepakatan ini karena monopoli Belanda terhadap
keputusan Dewan Penasihat mengakibatkan kebuntuan aspirasi rakyat.
3. Prajurit Kraton menurut keinginan Belanda adalah legiun di bawah
komand KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Legere/Tentara
Kerajaan Hindia Belanda) yang tidak dapat diperintah oleh Kasultanan
Yogyakarta, akan tetapi di lain sisi Kasultanan Yogyakarta
bertanggung jawab atas perekrutan dan gaji prajurit kraton. Dalam hal
ini GRM Dorojatun menyetujui asalkan langsung berada di bawah
komandonya.
Perundingan tersebut berjalan sangat alot dan berlangsung sekitar 4 bulan.
Kesepakatan atas ketiga permasalahan tersebut akhirnya tercapai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk
permasalahan Patih disepakati sesuai dengan permintaan pihak Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dua permintaan lain yang berhubungan
Kesepakatan ini secara resmi dicapai pada tanggal 18 Maret 1940 bersamaan
dengan penobatan GRM Dorojatun sebagai Sultan ke IX.15
Dalam dua tahun masa kepemimpinanya, Jepang datang ke wilayah
Nusantara dan berhasil menaklukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Masa
pendudukan Jepang ini berlangsung sekitar 3 tahun (1942-1945). Namun
demikian dampak yang ditimbulkan sangat besar dan mencakup berbagai aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan
sebagainya.
Dampak yang timbul di wilayah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta
sendiri juga tidak sedikit. Berbagai macam perubahan, efisiensi, dan penghematan
dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bencana kekurangan pangan
yang timbul pada masa pendudukan Jepang itu. Berbagai macam kebiasaan dan
formalitas disederhanakan, salah satunya pelaksanaan upacara dan ritus yang
mahal dan rumit tanpa mengurangi makna kultural, keagamaan dan nilai
magisnya. Selain itu, fungsi patih juga dihapuskan dan prajurit Kratondibubarkan
sesuai dengan perjanjian dengan pihak Jepang yang tidak memperbolehkan
adanya prajurit di dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta.16 Pembubaran ini juga dilakukan Sultan Hamengku Buwana IX untuk menghindarkan keterlibatan para
prajurit dalam Perang Asia Timur Raya.
Masa vakum dalam bidang keprajuritan terus berlangsung hingga masa
kemerdekaan, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Namun kemudian pada tanggal
15
Alamsyah,op. cit, hal. 27-28
16
7 Oktober 1956, prajurit Kraton kembali dimunculkan atas prakarsa Camat
Mantrijero dan KRT. Brajanegara serta disetujui oleh Sultan Hamengku Buwana
IX. Satu bregada atau kompi prajurit Daeng turut dalam acara karnaval untuk
menyemarakkan HUT Kota Yogyakarta yang ke-200. Hal itu memicu munculnya
gagasan akan revitalisasi. Selanjutnya, atas prakarsa kerabat Sultan (warga RK
Ngasem) dan seorang putera Hamengku Buwana IX yaitu BRM Harjuno Dalpito
(sekarang Sri Sultan Hamengku Buwana X), RM. Mudjanat Tistomo, serta RM.
Tirun Marwito, revitalisasi prajurit kraton diadakan.
Pada awal revitalisasi, prajurit Kraton hanya terdiri dari Kesatuan
Wirabraja, Daeng, Nyutra, dan Ketanggung. Namun demikian revitalisasi terus
berlangsung hingga kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jumlah
total anggota prajurit pada tahun 1994 sekitar 700-an orang dengan perincian
sebagai berikut: Prajurit Wirabraja 86 orang, Prajurit Daeng 85 orang, Prajurit
Patangpuluh 83 orang, Prajurit Jagakarya 85 orang, Prajurit Prawiratama 81
orang, Prajurit Nyutra 64 orang, Prajurit Ketanggung 83 orang, Prajurit gabungan
Mantrijero-Langenastra 8