• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan sosial dan ekonomi kampung Prawirataman, Yogyakarta 1920-1975.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan sosial dan ekonomi kampung Prawirataman, Yogyakarta 1920-1975."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI KAMPUNG

PRAWIRATAMAN, YOGYAKARTA

1920-1975

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh:

Khotifah

064314004

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan

karya saya sendiri dan tidak diambil dari karya orang lain, kecuali disebutkan

dalam kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 01 Agustus 2013

Penulis

(5)
(6)

vi

Motto

“Not All Those Who Wander Are Lost”

(7)

vii

Skripsi ini dipersembahkan untuk ibu, bapak, dan adik saya,

(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi dengan judul Perubahan Sosial dan Ekonomi Kampung Prawirataman Yogyakarta (1920-1975) ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, Mengapa Kampung Prawirataman mengalami perubahan dari pemukiman prajurit menjadi sentra industri batik namun pada akhirnya menekuni bidang pariwisata. Kedua, Bagaimana proses berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut dalam rentang waktu 1920 - 1975. Ketiga, Apa saja kah dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat perubahan-perubahan tersebut. Ketiga permasalahan tersebut kemudian akan dijelaskan dalam beberapa bab.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah dengan studi pustaka, dan juga wawancara dengan warga Prawirataman dan sekitarnya yang mengetahui tentang topik yang menjadi bahasan dalam skripsi ini. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan, mengkaitkan, dan interpretasi terhadap data yang telah berhasil dikumpulkan.

(9)

ix

ABSTRACT

Thesis titled Social and Economic Changes in Kampung Prawirataman, Yogyakarta (1920 1975) aimed to answers three issues. First, Why does Kampung Prawirataman changed from beingpalace’s troop residenceto center of batik industry, but ultimately engaged in the tourism industry. Second, How does the process of these changes. Third, What are the social and economic impacts arising from these changes. These three issues will be explained in several chapters.

This study is a qualitative research. The method used in conducting this study are literature reviews, as well as interviews with the residents of Kampung Prawirataman and surroundings who know about the topic discussed in this thesis. The analysis were performed by grouping, linking, and interpretation of the data that has been collected.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Eindelijk!It’s such abig relief that these years of wander has finally come to its end. Tentunya penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari

banyak pihak, karena itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak

terima kasih to whom who have made the years of writing this thesis fun,

miserable, exciting, frustrating, challenging, weird, and most of all legendary:

1. Dosen Pembimbing, Bapak Drs. Silverio R. L. A Sampurno, M. Hum,

terima kasih banyak atas bimbingan, kesediaan waktu, tenaga dan telinga

untuk selalu mendengar, memberikan motivasi serta kesabaran yang telah

diberikan dalam menghadapi kemalasan saya baik saat-saat masih kuliah

atau pun selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Pak Hery Santosa, yang bersedia membuang waktu untuk mendengar dan

memberikan feedback dan saran-saran demi kelancaran penulisan ini.

Banyak terima kasih juga untuk setiap cerita dan pengalaman yang

inspiratif, serta untuk jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan konyol

saya.

3. Pak Sandiwan, Pak Purwanta, Rm. G. Budi Subanar, SJ, Rm. FX. Baskara

T. Wardaya, SJ, terimakasih banyak atas kesabaran, pencerahan, motivasi,

dan waktu-waktu kuliah yang rasanya sudah tidak terhitung berapa

semester banyaknya.

4. Bapak, ibu warga Kampung Prawirataman dan sekitarnya yang telah

(11)

xi

Lulu, Pak Slamet, Pak Hartono, Pak Prapto, Pak Soegiran, Pak Sarijan,

Pak Ayik, Pak Tri, Mas Aryo, Mas Agung dan Mba Anjar dihaturkan

bnayak terimakasih. Tidak lupa juga miss Betty yang bersedia meluangkan

waktu untuk menemani.

5. My parents, mukke dan babe – for being my number one supporter since day one, for always believing in me and for allowing me the freedom of

pursuing whatever dreams i have.

6. My sister, Fammy A. and my cousin, Nuzul Dwi – for being the greatest part of family anyone could ever have. I do appreciate all the support, as

well as the abundance of help from time to time.

7. My mates of the year 2006, Theo, Tati dan Ismi – for all good times, for the class assignments to the slackers periode, for the the good food and

karaoke moments.

8. My seniors whose helped a lot through this writing process: Mas Darwin

and miss Tanaya - atas kebaikan hati, serta waktu yang dihabiskan untuk

membantu. Maaf selalu merepotkan! Mas Agus, Mas Sempal, Mas Tri di

Sekretariat, Mba Adda - for the willingness and kindness to help.

9. Jeng Vannie, Oom Greg dan keluarga besar Ketjil Bergerak, terima kasih

untuk setiap kesempatan yang diberikan untuk terus belajar bertumbuh,

mempelajari dan mencoba hal-hal yang baru.

10. Those whom i called friends: Lutfi and the Mbak Uuk’s family, Yessi Widy, Citra Ayu, miss Raita, Ignasia Oyo, Dyah Eko, Lucia Retno, Teguh

(12)

xii

family and all the great people i met during the guiding experiences – for the friendship and all the time we have spent together, for the laugh and

the tears, the fun, the weird and crazy moments, for the calmness and

patience in dealing such a weirdos like me. I could thank you all for zillion

things during our friendship.

11. My Xanax: Oskar, Alex, Sebastian, Joren and some other names – for always being the best isolated bubbles which keeps me in a great distance

from the world around me. Thank you guys for everyday that you have

made my life easier!

12. These unbelievable persons i met the last minutes when i’m about to

giving up, Mba Lisis – for being a great mentor. M. Schlund – especially for the 17 hours we’ve spent together and those conversation about nothing and everything. Media Hutabarat – simply for being the coolest person who happend to be the best partner in crime during all those shitty

times dealing with the so-called ‘hell-stuff.’

13. All the beautiful people who helped, but i couldn’t mention one by one

(believeme, i’m shouting your names by heart).

14. Last but not least: caffeine, confections, yoghurt, movies, Chris Martin,

Arkarna, Silverchair, and many other, P. Coelho, I. Natassa, S. Kinsella,

and friends – for always being the best companion who help me through all the rough.You’re indeed my best Ritalin.

Karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itufeed back, kritikan dan

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

HALAMAN MOTTO... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN……… vii

ABSTRAK………. viii

ABSTRACT……… ix

KATA PENGANTAR……… x

DAFTAR ISI……….. xiii

DAFTAR TABEL……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………. xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah... 8

1. Identifikasi Masalah... 8

2. Pembatasan Masalah... 10

C. Rumusan Permasalahan... 10

D. Tujuan Penelitian... 11

1. Tujuan Akademis... 11

2. Tujuan Praktis... 12

E. Manfaat Penelitian... 12

(14)

xiv

2. Manfaat Praktis... 13

F. Kerangka Teori... 14

G. Tinjauan Pustaka... 21

H. Metode Penelitian... 24

I. Sistematika Penulisan... 25

BAB II PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT PRAWIRATAMA... 27

A. Letak Geografis Kampung Prawirataman... 27

B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman... 29

1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta... 29

2. Prawiratama Sebagai Prajurit Kasultanan Yogyakarta... 40

3. Prawirataman Sebagai Kampung Pemukiman Prajurit... 41

BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUNI DUNIA BATIK... 47

A. Daerah Prawirataman dan Perkenalan dengan Dunia Batik... 50

B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-an... 53

C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi, dan Awal Kebangkitan Kembali Usaha Batik... 58

D. Perkembangan Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1950-an... 62

E. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha Batik di Daerah Prawirataman... 68

F. Kemerosotan Usaha Batik dan Perkenalan dengan Dunia Pariwisata... 72

BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI DI PRAWIRATAMAN... 78

A. Proses Perkembangan Industri Pariwisata Terutama Usaha Jasa Penginapan di Kampung Prawirataman... 80

B. Dampak Ekonomi dari Perubahan di Prawirataman... 85

C. Dampak Sosial dari Perubahan di Prawirataman... 93

BAB V PENUTUP... 99

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Perusahaan dan Pekerja Batik di Wilayah Yogyakarta Pada

Tahun 1920-1924……….. 55 Tabel 2 Jumlah Perusahaan Batik di Yogyakarta dan Sekitarnya Pada Tahun

1927………... 57

Tabel 3 Nama Cap Dagang dan Alamat Produsen Batik Daerah Prawirataman

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Definisi sejarah tidak semata-mata berhenti pada peristiwa yang terjadi

pada masa lampau saja, tetapi juga terkandung berbagai dimensi dan kompleksitas

di dalamnya, baik dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.

Bukan hanya umat manusia yang terlibat dalam babakan peristiwa masa lampau

itu, akan tetapi juga dinamika dan fenomena-fenomena alam yang terjadi di

dalamnya. Iklim, letak geografis atau kondisi lingkungan alam suatu wilayah

tertentu juga dapat memberikan pengaruh pada kondisi sosio-kultural suatu

kelompok manusia, dan sebaliknya. Keterkaitan-keterkaitan ini tentunya sangat

berperan bagi perkembangan sejarah umat manusia.

Salah satu contoh bentuk keterkaitan itu terjadi dalam sejarah persebaran

umat manusia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan dengan cara berburu

binatang telah menuntun manusia purba untuk menjadi nomaden. Aktivitas ini

sering kali membuat mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah berada di

belahan bumi lainnya. Berkurangnya hewan buruan juga memaksa mereka

mengkonsumsi bahan pangan yang lain dari tumbuh-tumbuhan. Pola kehidupan

(18)

daerah tertentu serta mulai bercocok tanam. Lambat laun, berbagai macam

keterampilan dan keahlian serta kehidupan berkelompok juga mulai berkembang.

Selain itu, ketakutan dan kepercayaan akan kekuatan yang lebih besar di

alam semesta membawa mereka pada suatu bentuk upacara dan

pemujaan-pemujaan. Tanda, gambar, dan simbol-simbol mulai dibuat, huruf-huruf mulai

diciptakan, tradisi tulis menulis mulai berkembang. Dari sinilah catatan dan

pengetahuan tentang bagaimana mereka memaknai hidup serta dunia yang mereka

tinggali ataupun peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan mereka dapat

diketahui. Inilah sebuah masa dimana sejarah tercipta. Dan mempelajari sejarah

pun menjadi sebuah hal yang signifikan untuk dilakukan agar kita dapat

memahami konteks masa kini.

Selain mempelajari sejarah itu sendiri, cara menuangkan

peristiwa-peristiwa masa lalu itu secara tertulis juga tidak kalah penting karena dari

tulisan-tulisan tersebut dapat diketahui banyak hal, misalnya bagaimana kehidupan para

generasi-generasi sebelumnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi, apa yang mereka

rasakan, bagaimana mereka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, dan

sebagainya. Harus diakui bahwa kehidupan sekarang memang sudah sangat

berbeda dengan generasi terdahulu. Akan tetapi, mempelajari kehidupan masa lalu

dapat dijadikan sebagai semacam tolak ukur bagi kehidupan yang sekarang,

sehingga manusia dapat belajar menyikapi segala sesuatunya dengan lebih

bijaksana dan dapat merancang masa depan yang lebih baik.

Seiring bergulirnya waktu, penulisan sejarah di Indonesia juga mengalami

(19)

diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.

Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah yang baru dimana

nasionalisasi historiografi Indonesia dimulai.1 Selanjutnya, perkembangan penulisan sejarah bukan hanya sejarah naratif yang sekedar menceritakan masa

lalu semata tetapi juga penulisan sejarah analitis. Penulisan sejarah analitis ini

membutuhkan ilmu-ilmu sosial yang lain sebagai pendekatannya. Dampak yang

kemudian muncul adalah bahwa corak penulisan sejarah Indonesia menjadi

semakin beragam, bukan hanya sejarah politik, sejarah perang, sejarah tentang

peristiwa besar, ataupun sejarah orang-orang besar semata. Akan tetapi juga

sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah ekonomi, sejarah lokal, sejarah

pedesaan, sejarah kota, dan lain sebagainya.

Berbicara mengenai sejarah sosial, Sartono Kartodirdjo mengungkapkan

bahwa arti istilah dan konsep yang ditunjukkannya selama perkembangan

historiografi sangat beragam. Sejarah sosial ini bisa mencakup segala aspek

kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu contoh cakupannya adalah tentang

sejarah demografis, yaitu pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi dan

sebagainya. Tema ini berkaitan erat dengan sejarah kota sebagai pusat pemukiman

dengan berbagai kompleksitas di dalamnya.2

Sementara itu, Kuntowijoyo menegaskan bahwa sejarah kota belum

banyak mendapat perhatian kalangan sejarawan akademis. Padahal kalau mau

1

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1994, hal. 1

2

(20)

digali lebih dalam, tata pemukiman kota lahir bukan hanya berdasar alasan

ekonomis semata, akan tetapi juga dikarenakan suatu pola sosio-kultural.

Selanjutnya, Sartono juga berpendapat bahwa sejarah kota bertalian erat dengan

penampilan golongan sosial yang tinggal di kota: kaum pedagang, pengusaha,

kaum buruh, rakyat jelata, serta golongan elite.3Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kota juga menyimpan berbagai macam kekayaan historis yang layak

dijadikan bahan pertimbangan dalam penulisan sejarah.

Kota Yogyakarta misalnya, selain terdiri atas pedesaan, perkampungan di

dalam kotanya juga menyimpan berbagai fenomena kehidupan dan keunikan

tersendiri. Wilayah Yogyakarta memang relatif kecil dibandingkan dengan

kota-kota penting lainnya di Indonesia, namun demikian kedudukannya sebagai kota-kota

pendidikan, kebudayaan, dan tujuan pariwisata, baik secara nasional maupun

internasional tidak bisa dianggap remeh. Selain itu, kota Yogyakarta juga

memiliki nilai-nilai historis, serta semangat perjuangan yang bergema dalam skala

nasional. Oleh karenanya, mengikuti dinamika perubahan-perubahan sosial yang

terjadi di dalam kehidupan perkampungan di dalam kota Yogyakarta akan

menjadi sangat menarik untuk dilakukan.

Istilah ‘kampung’4 sendiri tentu bukan merupakan sesuatu yang baru dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun seiring dengan

3

Sartono Kartodirdjo,Ibid., hal. 158.

4

(21)

perkembangan zaman sekarang ini istilah perumahan, apartemen, ataupun rumah

susun juga sudah mulai dikenal di kalangan masyarakat luas, namun dari segi

jumlah, kampung tetap mendominasi. Artinya bahwa sebagian besar wilayah

pemukiman penduduk di Indonesia terdiri atas kampung-kampung. Hal yang sama

juga berlaku di kota Yogyakarta.

Di samping tradisi dan budayanya masih kental, Yogyakarta juga

mempunyai Kraton sebagai pusat kota yang memiliki kedudukan sentral, bahkan

sampai sekarang. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa di sekitar Kraton dapat

dibangun rumah-rumah para sentana dan abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar.5 Hal ini menjadi suatu keistimewaan tersendiri bagi kota Yogyakarta. Keunikan

lain yang menyelimuti kota Yogyakarta juga dapat ditilik dari nama-nama

kampungnya. Adanya beberapa kesamaan dalam proses penamaan sejumlah

kampung menjadi menarik karena dari situ kita bisa mengetahui dan bahkan

mencoba membayangkan bagaimana kira-kira kehidupan masyarakatnya pada

masa lampau.

Kampung-kampung di kota Yogyakarta dulunya dibagi ke dalam dua

wilayah berdasarkan letaknya, yaitu yang berada di dalam kompleks Kraton atau

disebut “Jero/Jeron Beteng” (Dalam Benteng) dan “Jaba/Jaban Beteng” (Luar

Benteng). Pemberian nama kampung baik di dalam benteng atapun di luar

benteng pada umumnya didasarkan pada profesi yang banyak ditekuni oleh

di bawah kecamatan; 4) terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot.

5

(22)

warganya, keahlian yang dimiliki, kedudukan dalam pemerintahan, hingga nama

kesatuan pasukan prajurit. Dalam perkembangan selanjutnya, keberagaman

penduduk yang mendiami kota Yogyakarta membawa dampak pada munculnya

nama-nama baru pada wilayah luar benteng.

Saat ini kondisi sebagian kampung-kampung tersebut mungkin tidak lagi

menunjukkan kesesuaian dengan namanya. Namun demikian,

perubahan-perubahan yang terjadi justru menjadi sangat menarik untuk dikaji. Salah satu

contohnya adalah Kampung Prawirataman. Pada mulanya, nama kampung

tersebut merupakan nama salah satu Kesatuan Pasukan Prajurit Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Bregada atau kesatuan prajurit yang dimaksud

bernama “Kesatuan Prajurit Prawiratama.”6

Sebagaimana pejabat Kraton lainnya, Kesatuan Prajurit Prawiratama juga

mendapatkan tanah lungguh7 yang kemudian digunakan sebagai daerah

pemukiman bagi seluruh anggota bregada dan keluarganya. Nama Prawiratama

kemudian digunakan sebagai nama daerah pemukiman mereka, yaitu

Prawirataman. Sistem penamaan seperti ini berlaku juga untuk wilayah

6

Kata “Prawiratama” dan “Prawirataman” ditulis dengan ejaan dalam bahasa Jawa.

7

Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991. Sistem tanah lungguh

atau apanage timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Di dalam menjalankan pemerintahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalannya mereka diberi tanah

(23)

pemukiman Kesatuan Prajurit Kraton yang lain, misalnya Kesatuan Prajurit

Wirabraja kemudian menempati pemukiman yang disebut Wirabrajan, Kesatuan

Prajurit Bugis tinggal di Kampung Bugisan, dan seterusnya.

Sebagai sebuah kampung pemukiman, Kampung Prawirataman tidak

hanya berperan sebagai tempat tinggal para anggota Kesatuan Prajurit

Prawiratama semata. Namun juga merupakan kampung yang mengembangkan

usaha batik. Pada awalnya batik merupakan kerajinan rumah tangga yang

dikembangkan sebagai usaha meningkatkan penghasilan keluarga, lambat laun

berubah menjadi industri. Banyaknya jumlah pengrajin serta perusahaan batik

yang kemudian muncul, menjadikan Kampung Prawirataman ini terkenal sebagai

kampung batik sejajar dengan kampung kota di sekitarnya seperti Karangkajen,

Mantrijeron, Kotagede, dan lain-lain.

Pasang surut perjalanan industri batik di kota Yogyakarta turut memberi

pengaruuh pada Kampung Prawirataman. Industri batik yang sangat berkembang

pada tahun 1920-an, tiba-tiba mengalami penurunan sekitar tahun 1930, baik

karena krisis ekonomi dunia. Akan tetapi, berbagai usaha yang kemudian

dilakukan salah satunya dengan mendirikan koperasi untuk para pengusaha batik,

memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan industri batik,

sehingga pada kisaran tahun 1950-an, Prawirataman kembali menjadi sentra

industri batik.

Namun sangat disayangkan, kebangkitan kembali industri batik tersebut

(24)

industri perbatikan dan munculnya teknologi baru, seperti teknik printing

disinyalir sebagai penyebab yang mulai menggeser kedudukan batik tradisional.

Di Kampung Prawirataman sendiri, masa kejayaan industri batik ini mulai

mengalami titik kemunduran pada kisaran tahun 1960-an. Meredupnya industri

batik itu, memberikan dampak yang besar. Para pengusaha batik mulai gulung

tikar dan banting setir ke bidang usaha yang lain. Di lain pihak, sektor pariwisata

yang mulai berkembang di Indonesia pada saat itu membawa peluang baru bagi

para pengusaha batik tersebut. Jasa-jasa penginapan bagi wisatawan mulai banyak

dibuka. Banyak dari pengusaha batik itu yang mulai beralih profesi dengan

menjadi pengusaha jasa hotel dan penginapan. Berawal dari situlah di masa kini

Kampung Prawirataman mulai dikenal luas sebagai kampung turis.

Berdasarkan uraian di atas, kiranya penelitian tentang perubahan sosial

masyarakat di Kampung Prawirataman pada tahun 1920-1975 menjadi menarik

untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah

Kampung Prawirataman dan dinamika perubahan yang terjadi di dalamnya,

perkembangan atau kemunduran yang dialami, serta dampak-dampaknya bagi

masyarakat, terutama dalam ranah sosial dan ekonomi pada kurun waktu

1920-1975.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Prawirataman merupakan salah satu daerah perkampungan yang ada di

(25)

sebelah tenggara Kraton Yogyakarta. Awalnya kampung ini merupakan suatu

tanah pemberian dari Kraton sebagai pemukiman Kesatuan Prajurit Prawiratama.

Pemberian nama Prawirataman untuk kampung pemukiman tersebut mengacu

pada nama kesatuan prajurit itu.

Sebagaimana kampung lain di Yogyakarta, Kampung Prawirataman ini

juga mempunyai berbagai peran penting dalam membela Kraton Yogyakarta,

salah satunya adalah turut berperan dalam perang kemerdekaan. Tidak hanya

mengandalkan profesi sebagai prajurit Kraton, usaha-usaha yang lain untuk

pemenuhan kebutuhan hidup mulai dikembangkan. Industri batik dipilih sebagai

sasaran sumber penghasilan. Industri batik ini sangat berkembang dan pada tahun

1920-an Kampung Prawirataman menjadi salah satu sentra industri batik di

Yogyakarta.

Namun sayangnya pada rentangan tahun tahun 1960 – 1970-an, usaha batik mereka mulai mengalami kemunduran karena ketatnya persaingan. Untuk

itu usaha-usaha lain yang dapat meningkatkan perekonomian mulai

dikembangkan. Meningkatnya sektor pariwisata Indonesia berimbas besar pada

kota Yogyakarta. Banyaknya jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke

Yogyakarta dimanfaatkan sebagai peluang usaha yang baru. Besar dan luasnya

rumah-rumah para pengusaha batik menjadi aset penting yang kemudian

dimanfaatkan sebagai lahan penginapan, sehingga sampai sekarang banyak

terdapat penginapan dan hotel di kawasan ini.

Terdapat empat gang di kawasan Kampung Prawirataman ini. Gang-gang

(26)

hanya Prawirataman I dan II saja yang masih banyak mengembangkan usaha jasa

pariwisata. Terdapat banyak penginapan, hotel, restoran serta biro pariwisata baik

di Prawirataman I dan II. Sementara itu, meskipun masih terdapat satu atau dua

hotel ataupun restoran di Prawirataman III dan IV, namun kawasan ini lebih

banyak dikenal sebagai perkampungan penduduk saja.

2. Pembatasan Masalah

Dengan berbagai kompleksitas dan perubahan-perubahan yang terdapat di

Kampung Prawirataman tersebut, serta rentangan waktu yang cukup panjang

yakni antara tahun 1920 - 1975, maka agar penelitian ini lebih fokus,

permasalahannya akan dibatasi pada:

a. Tinjauan historis Kesatuan Prajurit Prawiratama yang bermukim di

Kampung Prawirataman.

b. Proses perubahan yang berlangsung di dalam kampung tersebut. Suatu

perkampungan yang awalnya merupakan pemukiman prajurit, kemudian

dikenal sebagai sentra usaha batik namun dalam perkembangannya justru

menjadi kampung wisata.

c. Dampak sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman setelah terjadinya

perubahan.

C. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang dan

setelah dilakukan identifikasi serta pembatasan permasalahan, terdapat beberapa

(27)

suatu rangkaian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang

terjadi di Kampung Prawirataman dalam rentang waktu 1920 - 1975?

2. Bagaimanakah proses perubahan yang terjadi pada kampung tersebut,

yaitu dari pemukiman prajurit, menjadi sentra industri batik dan pada

akhirnya mengembangkan usaha pariwisata?

3. Bagaimanakah dampak sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat

dari perubahan tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Sebagaimana permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penulisan tentang Perubahan Sosial dan ekonomi di

Kampung Prawirataman Yogyakarta Tahun 1920-1975 adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Akademis

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisa dan

menguraikan sejarah serta perubahan sosial ekonomi yang terjadi di Kampung

Prawirataman. Kampung yang pada awalnya merupakan pemukiman prajurit

Kraton Yogyakarta yang mengembangkan industri batik dan sangat berhasil

dalam bidang yang digeluti tersebut, namun pada akhirnya justru dikenal sebagai

kampung wisatawan.

Penulisan ini juga ingin melihat dampak yang kemudian timbul dari

(28)

akan sangat beragam dan melingkupi berbagai bidang. Namun demikian, agar

pembahasannya tidak terlalu melebar, maka fokus penulisannya hanya akan

dibatasi pada lingkup sosial dan ekonomi saja.

2. Tujuan Praktis

Perubahan sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman, termasuk

berbagai faktor baik yang memperlancar atau menghambat terjadinya perubahan

tersebut, setidaknya dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang

kesejarahan. Sebagaimana diketahui bahwa kajian sejarah yang berkembang lebih

banyak berbicara tentang politik, tentang peristiwa-peristiwa atau orang besar.

Maka dari itu penulisan tentang sejarah dan perubahan sosial yang terjadi di

Kampung Prawirataman diharapkan dapat menyuguhkan pelajaran dan variasi

baru dalam penulisan sejarah. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kesadaran baru bagi masyarakat, bahwa tiap-tiap daerah baik

kampung kota atau pedesaan memiliki banyak keunikan dan kekayaan yang

terkandung di dalamnya.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

pembacanya, baik manfaat akademis ataupun praktis yang dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoretis

Donald G. MacLeod (1977) mengatakan bahwa terdapat tiga sektor yang

(29)

pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, manfaat hasil penelitian juga dapat

ditujukan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu

pengetahuan dan kebudayaan.8Oleh karena itu, manfaat teoretis dari penulisan ini terkait dengan pemberian informasi, pengetahuan dan gambaran yang lebih jelas

tentang perubahan-perubahan sosial dalam suatu masyarakat khususnya di

Kampung Prawirataman Yogyakarta. Selanjutnya, dari informasi-informasi

tersebut diharapkan dapat menambah dan memberi sumbangan baru pada ilmu

pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah, terutama sejarah kampung.

Sumbangan yang dimaksud berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang

terjadi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu 1920-1975.

2. Manfaat Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang perubahan

sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman tahun 1920-1975. Dari hasil

penelitian ini diharapkan bahwa nantinya dapat memberikan masukan tentang

masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama yang terkait dengan

terjadinya suatu perubahan. Perkembangan atau kemunduran yang terjadi dalam

suatu lingkup pemukiman masyarakat tentu membawa dampak yang tidak sedikit.

Pengetahuan akan perubahan, hambatan dan dampak yang ditimbulkan tersebut

dapat menjadi pengetahuan dan pelajaran agar para masyarakat atau instansi yang

terkait menjadi lebih sadar akan pola-pola yang ada, sehingga nantinya dapat

mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih baik bagi kampungnya.

8

(30)

F. Kerangka Teori

Sejarah yang analitis bukan sekedar memaparkan suatu peristiwa masa

lalu dan hanya bersifat naratif yang hanya mengandalkan common sense semata,

tetapi juga membutuhkan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial yang lain.9 Dengan demikian penelitian suatu peristiwa sejarah yang dihasilkan nantinya merupakan

suatu penjelasan yang analitis dan mendalam.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial sangat dibutuhkan dalam penulisan sejarah.

Rapproachement atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu

lain salah satunya disebabkan karena penulisan sejarah deskriptif-naratif sudah

tidak lagi memuaskan untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba

kompleks.10Ilmu-ilmu sosial yang dimaksud dapat berupa Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Geografi, Ekonomi, dan lain sebagainya. Selain untuk

memperkaya khasanah pemikiran, ilmu bantu dari cabang-cabang ilmu sosial

yang lain tersebut juga dapat membantu dalam memberikan eksplanasi dan

penjelasan yang lebih mendalam atas suatu peristiwa sejarah yang sedang menjadi

9

Sartono Kartodirjo,op. cit.hal. 121

10

Ibid,.hal. 120- 121. Terkait dengan proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang lain itu, Sartono memaparkan bahwa penyebab yang lainnya antara lain; (1) pendekatan multidimensional atau social scientific

(31)

bahan kajian. Sehingga pada akhirnya tulisan sejarah yang akan dihasilkan pun

lebih bersifat analitis dan ilmiah.

Terkait dengan masalah di atas, maka tulisan ini juga mencoba untuk

menggunakan pendekatan dari ilmu sosial yang lain. Sebagaimana telah

dijabarkan sebelumnya bahwa tema besar yang diambil sebagai fokus dalam

penelitian ini adalah tentang perubahan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang

akan digunakan adalah teori-teori yang relevan dengan perubahan sosial.

Ada begitu banyak teori yang telah dihasilkan oleh para ahli baik dari

dalam atau luar negeri sehubungan dengan perubahan sosial. Sebagaimana

diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa perubahan sosial merupakan tema

yang luas cakupannya. Kedatangan agama Islam beserta sistem politiknya ke

wilayah Indonesia, masuknya bangsa Barat dengan proses modernisasi

(westernisasi); dan peningkatan proses modernisasi sejak abad ke-19 merupakan

peristiwa-peristiwa yang sarat akan perubahan sosial. Hal ini berdampak pada

berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya.11

Salah satu lapisan kehidupan masyarakat yang terkena dampak dari proses

modernisasi yang melanda bangsa Indonesia sejak abad ke-19 tersebut adalah

kampung. Kata kampung sendiri tentu saja tidak asing dan sudah sangat lazim

digunakan. Dalam penulisan karya ini pun subyek yang menjadi obyek penelitian

adalah Kampung Prawirataman di Yogyakarta, dalam kurun waktu 1920-1975.

Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diuraikan tentang definisi kampung itu

sendiri.

11

(32)

Sebagaimana dipaparkan oleh Sullivan dan Murray dalam Hans-Dieter

Evers Urbanisme di Asia Tenggara, bahwa istilah kampung setidaknya

memperlihatkan sesuatu yang terkait dengan desa dan komunitas-komunitas.

Namun istilah tersebut sebenarnya tidak bisa didefinisikan sebagai komunitas

usaha (corporate community) karena ikatan sosial yang ada umumnya adalah

antar tetangga saja. Aspek komunitas dalam kampung itu telah ditunjukkan

dengan baik, yaitu dalam urusan bertetangga atau neighbourship. Sullivan juga

menyatakan bahwa terdapat tekanan kuat pada orang kampung agar menjadi

tetangga yang baik. Tetangga yang baik (neighbourliness) persisnya ditetapkan

dalam kampung, begitu juga sanksi-sanksi berat yang berfungsi untuk membuat

anggota komunitas berperilaku sejalan dengan konvensi-konvensi yang berlaku.

Sedangkan Murray dalam Evers berpendapat bahwa kampung bukanlah suatu

entitas yang mampu merencanakan strategi, tetapi suatu komunitas dari orang

perorang yang menyesuaikan diri mereka dengan situasi perkotaan dan kian hari

kian banyak orang yang datang untuk bekerja sama dan bersaing.12

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa corak kehidupan

kampung kota juga memiliki suatu kekhasan tersendiri yang tentu berbeda dengan

pedesaan. Lebih lanjut lagi hal ini juga akan berpengaruh pada ciri dan

karakteristik masyarakat di dalamnya. Oleh karena itulah masyarakat yang

berdiam di perkampungan kota dikenal dengan istilah masyarakat kota. Namun

demikian, terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, perubahan sosial merupakan

12

(33)

suatu proses yang terjadi baik di desa ataupun di kota. Berbagai pengaruh yang

masuk dalam suatu komunitas pemukiman baik di desa ataupun di kota juga turut

mendorong terjadinya perubahan, baik yang sifatnya kemajuan(progress)ataupun

kemunduran(regress).

Perubahan sosial tersebut biasanya terjadi tidak dalam jangka waktu yang

singkat. Sebagaimana dipaparkan oleh Darwis Khudori bahwa homogenitas

penduduk kampung mulai terkikis, baik dari segi agama, suku bangsa, aliran

politik, mata pencaharian maupun tingkat pendapatan. Keterikatan terhadap

kampung dan kehidupan pertetanggaan bagi sebagian penduduk juga berkurang

seiring dengan tuntutan modernisasi. Namun ada dua kenyataan yang belum akan

berubah dalam jangka waktu yang lama, yaitu pertama, bahwa kampung

merupakan satu-satunya jenis pemukiman yang bisa menampung golongan

penduduk Indonesia yang tingkat perekonomian dan pendidikannya paling

rendah, meskipun tidak tertutup bagi penduduk dengan penghasilan dan tingkat

pendidikan yang tinggi. Kedua, bahwa terdapat organisasi sosial di setiap

kampung yang mengatur dan mengawasi tata tertib kehidupan kemasyarakatan

warga kampung yang bersangkutan.13

Lebih jauh lagi, Sartono berpendapat bahwa apabila dipandang dari

perspektif sejarah sosial, proses sejarah dalam keseluruhannya merupakan proses

13

(34)

perubahan sosial dalam berbagai dimensi. Dipandang sebagai proses modernisasi,

perubahan sosial mencakup permasalahan-permasalahan sebagai berikut:14

1. Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat

menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk

penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kultural yang

menentukan sikap terhadap pengaruh baru.

2. Berkaitan dengan proses akulturasi itu kemudian muncul adanya proses

seleksi dan diferensiasi berdasarkan lokasi sosiohistoris pelbagai golongan

sosial. Variasi sikap kultural dan heterogenitas baik yang sifatnya

penolakan atau penerimaan mulai muncul. Di sini konflik sosial

merupakan dampak yang menyertai terjadinya perubahan sosial.

3. Perubahan dari heterogenitas yang inkoheren ke heterogenitas yang

koheren.

4. Proses modernisasi yang merupakan proses pokok dalam transformasi

struktural.

5. Adanya proses integrasi dan desintegrasi, atau disorganisasi dan

reorganisasi yang silih berganti sebagai bentuk transformasi sosial.

6. Munculnya jaringan sosial yang mencakup interdependensi antara

pelbagai sektor atau fungsi masyarakat yang dalam keseluruhannya

mewujudkan suatu sistem sebagai akibat dari kompleksitas stukturasi

hubungan sosial masyarakat.

14

(35)

7. Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan

atau pertumbuhan (development). Penting diketahui bahwa proses

perkembangan itu tidak dengan sendirinya menunjukkan arah

pertumbuhan serta tujuan. Berdasarkan kerangka teoretisnya,

evolusionisme, fungsionalisme, positivisme, pelbagai paradigma

menunjukkan bahwa masing-masing memandang arah dan tujuan

perkembangan secara berbeda-beda.15

Teori perubahan sosial lain yang turut mendukung datang dari Selo

Soemardjan yang berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan

pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola

perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.16

Masih menurut Selo Soemardjan, bahwa jenis dari perubahan sosial

penting untuk diketahui agar dapat mengetahui pelopor perubahannya. Pelopor

perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang dipercayai oleh

masyarakat sebagai pemimpin dalam salah satu atau beberapa lembaga sosial.

Orang atau kelompok itu mempelopori jalan meninggalkan masa lampau menuju

zaman baru, yakni menetapkan kaidah sistem sosial baru atau yang diperbaharui.

Perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta sendiri sejak akhir masa

penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu perubahan yang

15

Ibid.,hal. 160-162

16

(36)

disengaja/direncanakan sebelumnya (intended) dan perubahan yang tidak

disengaja/tidak diketahui dan direncanakan (unintended). Proses perubahan yang

disengaja dan tidak disengaja tersebut memiliki kecenderungan untuk saling

memperkuat satu dengan yang lainnya.17

Dengan demikian, perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman,

yaitu yang pada awalnya merupakan kampung pemukiman prajurit, kemudian

mengembangkan usaha batik dan berhasil menjadi salah satu sentra industri batik

di Yogyakarta, namun pada akhirnya justru bergerak dalam sektor pariwisata

dengan mengembangkan usaha penginapan, dapat digolongkan pada jenis

perubahan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Situasi dan kondisi yang

terjadi di lingkungan sekitar didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah

membawa dampak terjadinya perubahan tanpa direncanakan sebelumnya.

G. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian dan tulisan yang telah dibuat oleh beberapa

orang sebelumnya. Tulisan-tulisan tersebut antara lain:

“Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah” karya

Ahmad Adaby Darban. Merupakan buku yang membahas tentang sejarah lokal

dan perubahan sosial suatu daerah tertentu, yaitu Kampung Kauman. Kampung

Kauman Yogyakarta sendiri dulunya juga merupakan salah satu kompleks hunian

bagi para abdi dalem pamethakan, yang bertugas dalam bidang keagamaan,

khususnya urusan kemasjidan. Di dalam buku tersebut diungkapkan bahwa terjadi

17

(37)

banyak perubahan di kampung tersebut dalam kurun waktu 1900 –1950. Namun demikian perubahan yang terjadi bukan pada tatanan nilai tetapi lebih banyak

pada ranah tatanan norma kehidupan masyarakat. Daerah yang menjadi obyek

penelitian dalam buku tersebut memang bukan Kampung Prawirataman

melainkan Kampung Kauman, namun demikian obyek pembahasan yang fokus

pada satu wilayah tertentu merupakan referensi yang bagus dan berguna dalam

tulisan ini.

Karya tulis yang membahas tentang Kampung Prawirataman sendiri

memang tidak sedikit. Salah satunya adalah makalah hasil penelitian terhadap

kampung wisata Prawirataman yang pernah dilakukan oleh Retno Kumolohadi,

Nugroho Dwi Priyohadi, dan Th. Agung M. Harsiwi dengan judul “Studi

Terhadap Kampung Wisata PrawirotamanYogyakarta.”Studi tersebut dilakukan

untuk mengetahui pengaruh sosial budaya dan ekonomi serta perilaku akibat

pariwisata di Kampung Prawirataman. Di dalam makalah hasil penelitian itu

dipaparkan bahwa perubahan dari kampung batik menjadi kampung pariwisata

yang mengalami perkembangan pesat membawa dampak positif maupun negatif.

Dampak positifnya terjadi dalam bidang ekonomi dengan berkembangnya

berbagai bidang usaha yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakatnya baik

secara formal maupun informal, misalnya dalam bidang jasa. Sedangkan dampak

negatifnya dirasakan dari segi sosial budaya dan perilaku yaitu timbulnya sikap

individualistis, pragmatis dan profit oriented. Selain itu juga sikap dan perilaku

yang cenderung lebih mengagung-agungkan wisatawan mancanegara dan perilaku

(38)

Hasil penelitian tentang Prawirataman di atas baik, akan tetapi titik berat

penelitiannya lebih pada bidang kepariwisataan. Bagaimana pariwisata di

Kampung Prawirataman memberi dampak pada bidang ekonomi juga terhadap

perilaku masyarakat di Prawirataman. Namun demikian, belum banyak

aspek-aspek historis yang diungkapkan.

Lebih spesifik lagi tesis dari Chiyo Inui Kawamura yang berjudul

“Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 –

1900-an.” Di dalam karya tulisnya tersebut Chiyo Inui Kawamura

merekonstruksikan perubahan sosial dan proses peralihan usaha dari industri batik

tradisional ke industri pariwisata yang bersifat modern masyarakat Prawirataman

pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Fokus penulisan yang diambil Kawamura lebih pada proses peralihan

usaha yang terjadi di daerah Prawirataman, yaitu dari usaha batik yang

berkembang pesat pada tahun 1950-an menjadi usaha pariwisata pada tahun

1990-an. Kawamura menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1950 – 1990-an telah

terjadi perubahan drastis di daerah Prawirataman, dimana “zaman batik” yang

berlangsung pada tahun 1950-an mengalami kemerosotan karena

perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun di dalam lingkungan kampung

sejak awal tahun 1960. Dan karena pengaruh dari kebijakan pemerintah industri

pariwisata kemudian berkembang di Prawirataman sehingga tidak terdapat lagi

rumah industri batik di jalan Prawirataman pada tahun 1990-an.

Penelitian Kawamura tersebut memberikan cukup banyak informasi dan

(39)

yang menjadi subyek penelitian hampir sama, akan tetapi periode penelitiannya

berbeda. Melalui pendekatan sosial-ekonomi, penelitian ini bermaksud melihat

sedikit lebih jauh ke belakang, yaitu pada tahun 1920-an dimana pada saat itu

usaha batik telah begitu berkembang di Jawa termasuk di Prawirataman.

Kedudukan Kampung Prawirataman yang pada mulanya merupakan kampung

pemukiman prajurit, dan hubungannya dengan perkembangan usaha batik di

daerah tersebut.

Kemudian titik akhir yang diambil dalam penelitian ini adalah pada tahun

1975, dimana pada kisaran tahun 1970-an itu merupakan masa-masa transisi bagi

Kampung Prawirataman. Dengan kata lain, apabila penelitian Chiyo Inui

Kawamura dilakukan dalam kurun waktu dimana usaha yang berkembang di

Prawirataman sudah matang dan mantap, maka dalam tulisan ini ingin melihat

kembali masa awal perkembangan usahanya, berbagai dinamika dan perubahan

sosial di Kampung Prawirataman sendiri, baik dari pemukiman prajurit yang

merupakan akar dan cikal bakal munculnya masyarakat Prawirataman, proses

serta usaha-usaha yang dilakukan sampai kemudian menjadi salah satu sentra

industri batik, namun pada akhirnya justru merintis dan mulai mengembangkan

usaha pariwisata.

H. Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang bersifat deskriptif-analisis diperlukan suatu

(40)

sosial di Kampung Prawirataman ini. Metode penelitian yang dipakai dalam

penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan.

Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari

buku-buku, artikel-artikel, laporan dan hasil penelitian, juga melalui situs-situs di

internet yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Sumber yang akan dicari

sebisa mungkin adalah sumber primer yang dapat menerangkan dinamika sejarah

yang terkait dengan sejarah Kampung Prawirataman sebagai topik pembahasan.

Sumber primer memaparkan kata-kata yang sebenarnya dari seseorang yang

berpartisipasi atau menyaksikan peristiwa-peristiwa yang digambarkan atau dari

seseorang yang memperoleh informasi dari yang ikut berpartisipasi. Sedangkan

sumber sekunder mencatat penemuan dari seseorang yang tidak mengamati

peristiwa tetapi menyelidiki bukti-bukti primer.18

Proses pengumpulan data lain yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah studi lapangan dengan melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan

dengan kriteria sebagai berikut: penduduk asli Prawirataman ataupun pendatang,

baik laki-laki ataupun perempuan yang sekiranya mengetahui dan dapat

menjelaskan tentang sejarah daerahnya, pemilik penginapan atau usaha perjalanan

pariwisata, karyawan, tukang becak dan atau orang-orang yang telah

berkecimpung di wilayah Prawirataman dan tahu banyak tentang perkembangan

kampung tersebut. Studi lapangan ini sebenarnya bersifat terbuka, dalam artian

bahwa peneliti tidak akan membatasi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan,

18

(41)

akan tetapi tetap harus bisa memenuhi tuntutan jawaban yang diperlukan,

sehubungan dengan perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman.

Setelah data-data diperoleh, langkah selanjutnya adalah menganalisa dan

mengolahnya. Pada tahapan ini, penafsiran dan pemberian tanggapan atas data

dilakukan sesuai dengan persoalan yang dibahas. Hal ini dilakukan agar

subjektivitasnya dapat dikurangi. Sehingga tulisan yang dihasilkan walaupun

bersifat ilmiah dan analitis tetapi hendaknya dapat dipahami berbagai kalangan.

I. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini rencananya akan dibagi kedalam 5 bab yang

sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang memuat sembilan subbab. Subbab itu

terdiri atas: Latar Belakang, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Inti dari Bab I adalah latar

belakang penelitian dan permasalahan yang mendorong untuk mengadakan

penelitian dan penyusunan tulisan ini.

Bab II akan menguraikan tentang latar belakang Kampung Prawirataman.

Latar belakang yang dimaksud disini adalah tinjauan historis Kesatuan Prajurit

Prawiratama yang bermukim di Kampung Prawirataman.

Bab III akan membahas tentang faktor-faktor dan proses terjadinya

perubahan sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu

(42)

Bab IV merupakan paparan yang berisi tentang dampak sosial dan

ekonomi yang muncul sebagai akibat dari perubahan yang terjadi di Kampung

Prawirataman.

Bab V merupakan bagian akhir atau penutup dari tulisan ini. Bab ini berisi

Kesimpulan yang merupakan jawaban dan pernyataan penulis mengenai hasil

penelitian sekaligus jawaban atas rumusan permasalahan yang diuraikan pada

(43)

BAB II

PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN

PRAJURIT PRAWIRATAMA

A. Letak Geografis Kampung Prawirataman

Kampung Prawirataman merupakan satu dari lima kampung yang berada

dalam wilayah Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota

Yogyakarta.1 Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, Kampung Prawirataman terletak sekitar 3 km di sebelah tenggara Kraton Yogyakarta dan

kurang lebih 600 meter dari Pojok Beteng Wetan. Kampung ini diapit oleh dua

ruas jalan besar yang keduanya merupakan akses menuju wilayah Kabupaten

Bantul, yaitu Jalan Parangtritis yang berada di sebelah barat dan Jalan

Sisingamangaraja yang terletak di sebelah timur.

1

(44)

Secara umum, Kampung Prawirataman dibagi menjadi empat kawasan

berdasarkan ruas jalan utama yang kemudian juga disebut dengan gang. Keempat

jalan atau gang utama yang terdapat di dalam kampung tersebut dikenal dengan

istilah Prawirataman I, II, III dan IV.

Di sepanjang gang I terdapat banyak fasilitas akomodasi dan penginapan

baik yang berbintang ataupun melati, restoran dan kafe, kantor biro perjalanan

pariwisata, persewaan sepeda, sepeda motor serta mobil, ATM, art shop/gallery,

salon kecantikan, jasa penukaran mata uang asing, dan berbagai fasilitas

penunjang kegiatan pariwisata yang lainnya. Hal itulah yang menjadikan kawasan

ini jauh lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan dengan tiga gang

lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya nama Prawirataman I ini lebih banyak

dikenal sebagai Jalan Prawirataman atau sering disebut sebagai Prawirataman

saja.

Beberapa fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata juga dapat

dijumpai di Prawirataman II yang terletak di sebelah selatan Prawirataman I.

Sebuah pasar tradisional yang sering disebut sebagai Pasar Prawirataman berada

di ujung barat gang ini tepatnya di ruas Jalan Parangtritis. Namun demikian,

dalam kaitannya dengan wisatawan kawasan ini masih belum seramai Jalan

Prawirataman I. Sementara itu, di kawasan Prawirataman III dan Prawirataman IV

juga terdapat beberapa penginapan dan restoran, tetapi jumlahnya tidak banyak

(45)

B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman

1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta

Latar belakang dan perjalanan sejarah keberadaan prajurit Kraton sudah

berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan cikal bakalnya telah

ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu,

Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Paku Buwana II menentang

perjanjian yang disepakati oleh kakaknya tersebut dengan VOC. Protes akan

ketidaksetujuan tersebut dilakukan dengan meninggalkan istana dan kemudian

melakukan pemberontakan.2

Pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyusun kekuatan prajurit

yang beranggotakan baik dari kalangan bangsawan (Tumenggung, Pangeran,

Bupati) ataupun rakyat biasa. Pasukan itu kemudian melakukan penyerangan ke

berbagai daerah. Serangan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi beserta

pasukannya itu membawa dampak pada bertambah besarnya jumlah kekuatan

prajuritnya.

2

Alamsyah, Kajian Arkeomusikologi Terhadap Alat Musik Prajurit Kraton Yogyakarta, Skripsi: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2005. Pangeran Mangkubumi adalah putra dari Amangkurat IV (1719-1796) yaitu generasi keempat dari Sultan Agung raja pertama kerajaan Mataram Islam, dan dilahirkan oleh Mas Ayu Tedjowati yang merupakan permaisuri kedua. Khairuddin H, Filsafat Kota Yogyakarta

(46)

Prajurit Pangeran Mangkubumi berjumlah 13.000 yang terdiri dari 2.000

pasukan kavaleri dan sisanya merupakan pasukan infantri. Jumlah tersebut

merupakan akumulasi dari gabungan antara prajurit Mangkubumi sendiri dan

prajurit dari Raden Mas Said. Desa Ayogya yang terletak di antara Kraton

Kotagede dan Plered dijadikan sebagai markas/basis dalam menyusun strategi

perang.3

Bertambahnya jumlah kekuatan pasukan Pangeran Mangkubumi serta

keberhasilannya menaklukkan berbagai daerah, menimbulkan kekhawatiran yang

besar di pihak VOC. Upaya perundingan pun dilakukan. Akhirnya kesepakatan

dicapai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari

1755 oleh Sunan Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan

dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah tentang Palihan Nagari atau

Pembagian Dua Kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan

Ngayogyakarta.

Setelah perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan

Kota Istana atau Kota Kraton. Pendirian pusat pemukiman dilakukan dengan

konsep “Babad Alas” atau membuka hutan dan kemudian menempatkan istana

sebagai pusat pemerintahan kerajaan.4 Kota Istana tersebut kemudian diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ibukota Ngayogyakarta yang berarti baik dan

3

Ibid., hal 17.

4

(47)

rahayu. Dengan artian yang lebih dalam yaitu masyarakat yang tinggal di

Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus.5

Pangeran Mangkubumi kemudian bertahta sebagai raja yang pertama.

Gelar yang digunakan adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin

Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta

Hadiningrat,6atau kemudian lebih dikenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Gelar tersebut menunjukkan bahwa raja Kasultanan Yogyakarta secara simbolis

dan filosofis mencerminkan kerangka konseptual tentang raja, kerajaan, sifat

keilahian dalam pandangan Islam.7

Dalam hubungannya dengan masalah keprajuritan, Sri Sultan Hamengku

Buwana I ini tidak begitu saja membubarkan pasukan prajurit bersenjata yang

turut berjuang bersamanya. Akan tetapi, merupakan pilar penting berdirinya

5

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk Yogyakarta: Dari Hutan Beringan Ke Ibukota Daerah Istimewa, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002. Hal. 9. Pembahasan yang lain terdapat dalam Tim Penyusun, “Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Hal. 62. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa

Yogyakarta berarti (kota) Yogya yang “karta” atau kota Yogya yang makmur.

Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat maksudnya adalah kota yang makmur dan yang paling utama atau yang merupakan keindahan di bumi.

6

Tim Penulis, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta.2009. Hal. 6.

7

(48)

Kasultanan Ngayogyakarta yang menjadi perangkat strategis dan taktik

pertahanan kerajaan, serta representasi dari kekuatan politik seorang raja.

Selain sebagai pasukan pertahanan dan pengamanan Kraton,

pasukan-pasukan prajurit yang ada dibagi ke dalam kesatuan (bregada) yang memiliki

tugas dan fungsi masing-masing. Misalnya, terdapat pasukan khusus yang sangat

handal dalam berperang, kemudian selain mengamankan kerajaan, terdapat juga

pasukan prajurit yang bertanggung jawab sebagai pengawal raja pada saat

melakukan kegiatan dan tugas-tugas di luar istana, berburu, dan lain-lain.

Sebagai pasukan militer kerajaan, sarana dan prasarana prajurit serta

persenjataan yang dimiliki menjadi sangat penting. Persenjataan prajurit terdiri

atas beberapa jenis senjata api, serta senjata tradisional, seperti tombak, keris,

panah, pedang dan alat pelindung badan berupa tameng. Selain itu juga beberapa

alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kegiatan

keprajuritan.8

Namun demikian, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II (1792–

1811), perubahan yang besar terjadi. Kekuatan asing yang menguasai wilayah

Nusantara bukan lagi kongsi dagang (VOC), akan tetapi berada langsung di

bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.9 Perubahan tersebut juga turut memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Kraton

Kasultanan Yogyakarta dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya.

8

Tim Penulis,op cit. hal. 8 - 9

9

(49)

Saat Pemerintah Kolonial Belanda menggantikan kedudukan VOC di

Yogyakarta, mereka juga terus berusaha menciptakan persekongkolan untuk

mendapatkan peluang serta melancarkan campur tangannya di dalam

pemerintahan kerajaan. Salah satunya, melalui campur tangan Daendels, Sultan

Hamengku Buwana II dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada putra

mahkota. Putra mahkota kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana III

(1810-1811). Hamengku Buwana III juga dikenal sebagai Sultan Raja.10

Sultan Hamengku Buwana II sendiri masih diperbolehkan tinggal di dalam

Kraton meskipun tidak lagi memerintah. Dengan demikian ada dua raja di dalam

istana, yaitu Sultan Raja dan Sultan Sepuh. Selain itu, meskipun resminya sudah

mengundurkan diri, tetapi Sultan Sepuh masih memiliki banyak pengaruh.

Melalui pengaruhnya, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan

berkuasa.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah Inggris telah berhasil menguasai

pulau Jawa. Kebijakan Kraton yang menentang kekuasaan Inggris, membawa

akibat pada serangan pasukan Inggris ke dalam kerajaan. Pihak Kraton

mengalami kekalahan. Hamengku Buwana II diasingkan dan putra mahkota atau

Hamengku Buwana III kembali naik tahta (1812-1814). Selain itu, Inggris juga

menyita harta kekayaanKraton.11

10

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,

Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Hal. 16.

11

Sutrisno Kutoyo, dkk Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

(50)

Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan pengurangan jumlah prajurit

Kraton. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani Hamengku

Buwono III dengan Rafless, prajurit Kratontidak boleh lagi berada dalam format

sebagai angkatan perang dan pasukan militer yang kuat sebagaimana sebelumnya.

Kualitas kesatuan prajurit Kraton itu diperlemah sehingga tidak mungkin lagi

menjadi kekuatan militer, dan selanjutnya fungsi prajurit hanya sebatas pengawal

Sultan dan penjaga Kraton. Tidak berhenti sampai di situ saja, para prajurit ini

juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari pasukan Inggris.12

Ketentuan tersebut juga masih berlaku ketika Inggris menyerahkan

kembali kekuasaannya atas wilayah Nusantara ke tangan Pemerintah Kolonial

Hindia Belanda tahun 1816. Praktek sewa tanah yang mulai diberlakukan Inggris

pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV (1814-1822) masih tetap

dipertahankan. Akan tetapi, karena pihak swastalah yang lebih diuntungkan, maka

kemudian pada tahun 1823, larangan atas usaha tersebut mulai diberlakukan.

Surakarta yang juga dianggap bersalah mendapatkan hukuman yang sama dari pihak Inggris. Kedua kerajaan tersebut diharuskan menyerahkan tanah-tanah kerajaan yang kemudian disebut sebagai Karesidenan Kedu, dan sebagian dari Karesidenan Semarang, Rembang, dan Surabaya. Menurut ketentuan-ketentuan lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang tertanggal 1 Agustus 1812, raja Surakarta dan Yogyakarta berkewajiban mendirikan pos-pos polisi yang permanen dan mengadili kawula Gubernur yang berdasar hukum yang benar. Kedua orang raja itu harus mengakui kekuasaan tertinggi orang Eropa atas Pulau Jawa, menyerahkan hutan-hutan jati, menyerahkan sarang burung, menyerahkan pasar dan rumah-rumah cukai, menghilangkan semua hukuman siksaan dan menurut nasehat-nasehat. Perlu dicatat bahwa dalam hal penyerahan rumah-rumah cukai, raja mendapat ganti rugi berupa uang. Maka sejak itu kekuasaan tertinggi Eropa di atas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dikokohkan. Kalau dua kerajaan Jawa itu melanggar perjanjian yang ada, dapat ditindak dengan kekuatan senjata.

12

(51)

Kebijakan ini yang kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya

Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).

Meskipun kemenangan ada di pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,

namun perang yang berlangsung selama 5 tahun tersebut membawa ketakutan

yang besar bagi pihak Belanda. Ketakutan akan munculnya pemberontakan

serupa, berakibat pada berkurangnya sebagian besar wilayah kekuasaan

Kasultanan.

Berbagai tekanan politik yang terjadi di dalam kerajaan tersebut, juga turut

memberi dampak dalam bidang keprajuritan. Berdasarkan kesepakatan dengan

pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, terjadi pengurangan prajurit secara

besar-besaran. Kesatuan prajurit Kraton yang awalnya berjumlah 26, dipangkas

dan hanya tersisa setengahnya saja. Pada setiap kesatuan diperkirakan terjadi

pelucutan kekuatan bersenjata sampai 75%, sehingga hanya menyisakan sekitar

1625-3250 dengan asumsi setiap kesatuan terdiri dari 125-250 orang.13

13

(52)

Tidak hanya berkurang dalam hal jumlah, fungsi dan pemaknaan prajurit

Kraton pun ikut mengalami perubahan. Dalam fungsinya, prajurit Kraton bukan

lagi prajurit perang, tetapi lebih merupakan prajurit pasif (tidak berperang) yang

aktivitasnya hanya sebagai obyek simbol politis dalam beberapa upacara

seremonial, tugas pengawalan, dan penjagaan benteng Kraton.14 Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan sultan selanjutnya.

Pada masa pemerintahan GRM Dorojatun yang bergelar Sultan Hamengku

Buwana IX (1940-1988), perubahan dalam bidang keprajuritan kembali terjadi.

Sebelum dilantik, GRM Dorojatun sudah dihadapkan pada tiga pokok masalah

yang menjadi kebuntuan dalam perundingan dengan Gubernur Jendral Belanda

yang saat itu dijabat oleh Dr. Lucian Adam. Ketiga pokok permasalahan tersebut

yaitu:

1. Jabatan Patih berdasarkan keinginan Belanda yaitu mengemban Dwi

Kesetiaan yang dalam tugasnya memiliki dua tanggung jawab yaitu,

kepada pihak Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, yang digambarkan

dalam topi yang digunakan Patih. Dua lambang menjadi satu, yaitu

lambang Singa dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan lambang

Lar Praba (sayap bersinar) milik Kasultanan. Hal ini tidak disepakati

oleh GRM Dorojatun karena alasan politis bahwa akan sangat sulit

mendapatkan loyalitas dari dua majikan dalam satu jabatan.

Dalamnya, ditambahkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dan VIII, jumlah pasukan tinggal 12bregada.

14

(53)

2. Dewan Penasihat menurut Belanda adalah sepenuhnya atas persetujuan

pihak Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Belanda dan tidak

lagi mempunyai kebebasan bicara, walaupun pada prakteknya Sultan

diberi kebebasan untuk mengajukkan separuh dari jumlah anggota

dewan dari pihak Kasultanan Yogyakarta. GRM Dorojatun tidak

menyetujui kesepakatan ini karena monopoli Belanda terhadap

keputusan Dewan Penasihat mengakibatkan kebuntuan aspirasi rakyat.

3. Prajurit Kraton menurut keinginan Belanda adalah legiun di bawah

komand KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Legere/Tentara

Kerajaan Hindia Belanda) yang tidak dapat diperintah oleh Kasultanan

Yogyakarta, akan tetapi di lain sisi Kasultanan Yogyakarta

bertanggung jawab atas perekrutan dan gaji prajurit kraton. Dalam hal

ini GRM Dorojatun menyetujui asalkan langsung berada di bawah

komandonya.

Perundingan tersebut berjalan sangat alot dan berlangsung sekitar 4 bulan.

Kesepakatan atas ketiga permasalahan tersebut akhirnya tercapai dengan

pertimbangan-pertimbangan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk

permasalahan Patih disepakati sesuai dengan permintaan pihak Pemerintah

Kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dua permintaan lain yang berhubungan

(54)

Kesepakatan ini secara resmi dicapai pada tanggal 18 Maret 1940 bersamaan

dengan penobatan GRM Dorojatun sebagai Sultan ke IX.15

Dalam dua tahun masa kepemimpinanya, Jepang datang ke wilayah

Nusantara dan berhasil menaklukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Masa

pendudukan Jepang ini berlangsung sekitar 3 tahun (1942-1945). Namun

demikian dampak yang ditimbulkan sangat besar dan mencakup berbagai aspek

kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan

sebagainya.

Dampak yang timbul di wilayah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta

sendiri juga tidak sedikit. Berbagai macam perubahan, efisiensi, dan penghematan

dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bencana kekurangan pangan

yang timbul pada masa pendudukan Jepang itu. Berbagai macam kebiasaan dan

formalitas disederhanakan, salah satunya pelaksanaan upacara dan ritus yang

mahal dan rumit tanpa mengurangi makna kultural, keagamaan dan nilai

magisnya. Selain itu, fungsi patih juga dihapuskan dan prajurit Kratondibubarkan

sesuai dengan perjanjian dengan pihak Jepang yang tidak memperbolehkan

adanya prajurit di dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta.16 Pembubaran ini juga dilakukan Sultan Hamengku Buwana IX untuk menghindarkan keterlibatan para

prajurit dalam Perang Asia Timur Raya.

Masa vakum dalam bidang keprajuritan terus berlangsung hingga masa

kemerdekaan, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Namun kemudian pada tanggal

15

Alamsyah,op. cit, hal. 27-28

16

(55)

7 Oktober 1956, prajurit Kraton kembali dimunculkan atas prakarsa Camat

Mantrijero dan KRT. Brajanegara serta disetujui oleh Sultan Hamengku Buwana

IX. Satu bregada atau kompi prajurit Daeng turut dalam acara karnaval untuk

menyemarakkan HUT Kota Yogyakarta yang ke-200. Hal itu memicu munculnya

gagasan akan revitalisasi. Selanjutnya, atas prakarsa kerabat Sultan (warga RK

Ngasem) dan seorang putera Hamengku Buwana IX yaitu BRM Harjuno Dalpito

(sekarang Sri Sultan Hamengku Buwana X), RM. Mudjanat Tistomo, serta RM.

Tirun Marwito, revitalisasi prajurit kraton diadakan.

Pada awal revitalisasi, prajurit Kraton hanya terdiri dari Kesatuan

Wirabraja, Daeng, Nyutra, dan Ketanggung. Namun demikian revitalisasi terus

berlangsung hingga kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jumlah

total anggota prajurit pada tahun 1994 sekitar 700-an orang dengan perincian

sebagai berikut: Prajurit Wirabraja 86 orang, Prajurit Daeng 85 orang, Prajurit

Patangpuluh 83 orang, Prajurit Jagakarya 85 orang, Prajurit Prawiratama 81

orang, Prajurit Nyutra 64 orang, Prajurit Ketanggung 83 orang, Prajurit gabungan

Mantrijero-Langenastra 8

Gambar

Tabel 1Jumlah Perusahaan dan Pekerja Batik di Wilayah Yogyakarta Pada
Tabel 1. Jumlah Perusahaan Dan Pekerja Batik Di Wilayah Yogyakarta Pada
Tabel 2. Jumlah Perusahaan Batik Di Yogyakarta dan Sekitarnya Tahun 1927

Referensi

Dokumen terkait

APLIKASI KARAKTER MONSTER DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK CROCHET PADA PRODUK TAS REMAJA PUTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Seni

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. Sari

Minyak otak sapi dan otak kambing yang digunakan diperoleh dari proses. sokletasi dengan menggunakan

Ekstraksi adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan mengocok menggunakan pelarut organik

Ester Asam Lemak Bebas Minyak Kelapa dengan Senyawa Etanolamida dan Dietanolamina Menggunakan Katalis Natrium Metoksida.. Jakarta: PT.Gramedia

[r]