• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengembangkan keterampilan bekerjasama melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mengembangkan keterampilan bekerjasama melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta."

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BEKERJASAMA MELALUI PENERAPAN METODE BERCERITA

DENGAN MEDIA BONEKA

PADA ANAK USIA DINI DI TK MANGUNAN YOGYAKARTA

Lis Aviani

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2014

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bekerjasama melalui metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam 1 kali pertemuan. Subjek pada penelitian ini adalah anak usia dini kelas A TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014 dengan jumlah20 anak.Data hasil penelitian diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian mengenai keterampilan bekerjasama pada anak usia dini melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka hasil sebagai berikut: prapenelitian diperoleh hasil kemampuanketerampilan bekerjasama anak adalah 45%dengan kategori rendah, kemudian dilanjutkan perbaikan ke siklus I danhasil penelitian meningkat 70% dengan kategori cukup, kemudian dilanjutkan pada siklus II dan hasil penelitian meningkat 90%dengan kategori sangat baik. Untuk lebihmemaksimalkan keterampilan bekerjasama melalui penerapan metode bercerita dengan boneka peneliti melanjutkan ke siklus III dengan peningkatan sangat baik97%. Berdasarkan dari hasil penelitian peneliti menyimpulkan ada perkembangan keterampilan bekerjasama dengan penerapan metode bercerita menggunakan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

(2)

ix

ABSTRACT

DEVELOPING THE COOPERATION SKILL THROUGH STORYTELLING METHOD USING DOLLS FOR YOUNG CHILDREN AT TK MANGUNAN YOGYAKARTA

Lis Aviani

Sanata Dharma University Yogyakarta

2014

This study aims at developing the cooperation skill through storytelling method using dolls for young children at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year. This research is an action research of guidance and counseling (PTBK), carried out in 3 cycles. Each cycle was carried out in 1 meeting. The subject in this study is the early childhood students of class A at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year which consists of 20 children. The data were obtained from interviews, observation and documentation.

The results of research on the cooperation skill through storytelling method using dolls can be presented as follows: in the pre-research, it is found that the cooperation skill ability of the children is 45% of a low category, then continued to improvement to the first cycle and the result of the study increased 70% with average category, then continued on the second cycle and the result of the study increased 90% with very good category. To further maximize the cooperation skill through storytelling method using dolls, the researcher continued her research to the third cycle and it increased in the third cycle with 97% of very good category. Based on the results of the study, the researcher concludes that there is improvement of the cooperation skill through storytelling method using dolls for young children at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year.

(3)

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BEKERJASAMA

MELALUI PENERAPAN METODE BERCERITA

DENGAN MEDIA BONEKA

PADA ANAK USIA DINI DI TK MANGUNAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Lis Aviani NIM 091114020

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BEKERJASAMA

MELALUI PENERAPAN METODE BERCERITA

DENGAN MEDIA BONEKA

PADA ANAK USIA DINI DI TK MANGUNAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Lis Aviani NIM 091114020

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014

(5)
(6)
(7)

MOTTO

“Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan, tapi dengan ketekunan

dan kegigihan”

(

Samuel Johnson

)

“Lebih

baik bertempur dan kalah daripada tidak pernah bertempur sama

sekali”

(Arthur Hugh Clough

)

(8)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus

Setiap orang yang mencintai dunia pendidikan khususnya bimbingan

dankonseling...

Keluargaku tercinta:

Kedua orangtuaku tercinta, Bapak Dionisius Jemu Susilo dan Ibu

Yulia Ngadinem

Keduaadikku tersayangDominikus Agus Atmoko dan Yustina Imas

Yulian

Teman-temanku BK USD angkatan 2009

(9)
(10)
(11)

ABSTRAK

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BEKERJASAMA MELALUI PENERAPAN METODE BERCERITA

DENGAN MEDIA BONEKA

PADA ANAK USIA DINI DI TK MANGUNAN YOGYAKARTA

Lis Aviani

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2014

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bekerjasama melalui metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam 1 kali pertemuan. Subjek pada penelitian ini adalah anak usia dini kelas A TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014 dengan jumlah20 anak.Data hasil penelitian diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian mengenai keterampilan bekerjasama pada anak usia dini melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka hasil sebagai berikut: prapenelitian diperoleh hasil kemampuanketerampilan bekerjasama anak adalah 45%dengan kategori rendah, kemudian dilanjutkan perbaikan ke siklus I danhasil penelitian meningkat 70% dengan kategori cukup, kemudian dilanjutkan pada siklus II dan hasil penelitian meningkat 90%dengan kategori sangat baik. Untuk lebihmemaksimalkan keterampilan bekerjasama melalui penerapan metode bercerita dengan boneka peneliti melanjutkan ke siklus III dengan peningkatan sangat baik97%. Berdasarkan dari hasil penelitian peneliti menyimpulkan ada perkembangan keterampilan bekerjasama dengan penerapan metode bercerita menggunakan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

Kata kunci: Keterampilan bekerjasama, bercerita, boneka, anak usia dini

(12)

ABSTRACT

DEVELOPING THE COOPERATION SKILL THROUGH STORYTELLING METHOD USING DOLLS FOR YOUNG CHILDREN AT TK MANGUNAN YOGYAKARTA

Lis Aviani

Sanata Dharma University Yogyakarta

2014

This study aims at developing the cooperation skill through storytelling method using dolls for young children at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year. This research is an action research of guidance and counseling (PTBK), carried out in 3 cycles. Each cycle was carried out in 1 meeting. The subject in this study is the early childhood students of class A at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year which consists of 20 children. The data were obtained from interviews, observation and documentation.

The results of research on the cooperation skill through storytelling method using dolls can be presented as follows: in the pre-research, it is found that the cooperation skill ability of the children is 45% of a low category, then continued to improvement to the first cycle and the result of the study increased 70% with average category, then continued on the second cycle and the result of the study increased 90% with very good category. To further maximize the cooperation skill through storytelling method using dolls, the researcher continued her research to the third cycle and it increased in the third cycle with 97% of very good category. Based on the results of the study, the researcher concludes that there is improvement of the cooperation skill through storytelling method using dolls for young children at TK Mangunan Yogyakarta in 2013/2014 school year.

Keywords: cooperation skills, storytelling, dolls, young children

(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas berkah dan rahmat Tuhan Yesus Kristus, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini bertujuan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

Penulis banyak menerima bantuan, semangat, dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

2. Dr. Gendon Barus, M.Si selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dan memberikan kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini

3. A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., P.Si., M.A, selaku sekretaris Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah membantu dan memberikan kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini

4. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam membimbing dan mendampingi penulis pada setiap tahap dan seluruh proses penyusunan skripsi ini

5. Ag. Krisna Indah Marheni, S.Pd., M.A selaku dosen yang selalu meluangkan waktu dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam mendampingi penulis pada setiap tahap dan seluruh proses penyusunan skripsi ini

(14)

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah mencurahkan ilmunya dengan sepenuh hati sehingga berguna untuk bekal hidup

7. Rumei Endri Yani, S.Pd, selaku Kepala TK Mangunan Yogyakarta, yang berkenan menerima dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian

8. Francisia Fegawati Pramono, S.Pd dan Kristina Brevi Kusumowinahyu, S.Pd, selaku guru kelas TK Mangunan Yogyakarta, yang bersedia membantu, membimbing, dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan penelitian 9. Seluruh anak TK Mangunan Yogyakarta, khususnya siswa kelas A Tahun

Ajaran 2013/2014 atas kebersamaan dan kebahagiaannya saat penulis melaksanakan penelitian

10.Kedua orangtua tersayang, Bapak Dionisius Jemu Susilo dan Ibu Yulia Ngadinem yang tiada henti-hentinya memberikan motivasi, doa, kasih sayang dan segalanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

11.Adik-adikku Dominikus Agus Atmoko dan Yustina Imas Yulian, yang selalu mendukung penulis dengan penuh kasih sayang, kebahagiaan, dan kebersamaan

12.Agnes Muryani, yang selalu memotivasi dan memberikan dukungan dari penulis masih kecil hingga dewasa

13.Sahabat-sahabatku (Clara Iyud Ambar Ciptaningsih, Fransiska Wening Panitis, Desak Made Suniari, Ermelinda Sri Novita Sari, Aldian Putranto Hadi, Muhamad Riduan, Chatarina Erni, Elisabeth Viviana, Doni Rebi,

(15)
(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

F. Definisi Operasional... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Bekerjasama ... 11

1. Pengertian Keterampilan Bekerjasama ... 11

2. Tujuan dan Manfaat Kerjasama ... 15

3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Keterampilan Bekerjasama Anak ... 17

(17)

4. Ciri-ciri Bekerjasama... 19

5. Aspek-aspek Keterampilan Bekerjasama... 20

B. Bercerita... 22

1. Pengertian Metode Bercerita... .... 22

2. Fungsi danManfaat Penggunaan Metode Bercerita... 23

3. Teknik Penggunaan Metode Bercerita... 27

C. Media Bimbingan ... 30

1. Pengertian Media Bimbingan ... 30

2. Fungsi dan Manfaat Media Bimbingan ... 31

3. Ragam Media Bimbingan ... 33

2. Karakteristik Anak Usia Dini... 48

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 58

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 58

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

D. Setting Penelitian ... 59

E. Prosedur Penelitian... 61

F. Langkah Tahapan Penelitian ... 63

G. Teknik Pengumpulan Data ... 76

H. Instrumen Pengumpulan Data ... 79

I. Teknik Analisis Data ... 82

J. Kriteria Keberhasilan ... 83

(18)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ... 85

1. Pra Tindakan Bimbingan dan Konseling ... 86

2. Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Siklus I ... 94

3. Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Siklus II ... 107

4. Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Siklus III ... 119

B. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas... 131

C. Pembahasan ... 133

D. Keterbatasan Penelitian ... 137

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 139

B. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141

LAMPIRAN ... 147

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara Guru….... ... 80 Tabel 3.2. Kisi-kisi Pedoman Observasi Anak ... 81 Tabel 3.3. Kriteria Kategori Hasil Persentase Skor Observasi

Terhadap Keterampilan Bekerjasama ... 83 Tabel 4.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Kelas A TK Mangunan ... 85 Tabel 4.2. Analisis Hasil Observasi Keterampilan Bekerjasama

Pada Pra Tindakan ... 91 Tabel 4.3. Analisis Hasil Observasi Keterampilan Bekerjasama Pada

Siklus I ... 102 Tabel 4.4. Analisis Hasil Observasi Keterampilan Bekerjasama Pada

Siklus II ... 114 Tabel 4.5. Analisis Hasil Observasi Keterampilan Bekerjasama Pada

Siklus III ... 126 Tabel 4.6. Data Hasil Observasi Keterampilan Bekerjasama

Pra Tindakan, Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 132

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Bagan Penelitian Tindakan Model Hopkins (1993) ... 62 Gambar 4.1. Grafik Hasil Observasi Siswa Pra Tindakan, Siklus I,

Siklus II, dan Siklus III ... 133

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Program Rancangan Kegiatan Penelitian Tindakan ... 143

Lampiran 2. Satuan Layanan Bimbingan ... 159

Lampiran 3. Kisi-Kisi Penelitian ... 180

Lampiran 4. Instrumen Penelitian ... 183

Lampiran 5. Tabulasi Data Penelitian ... 186

Lampiran 6. Foto-Foto Penelitian ... 192

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian ... 199

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Chaplin (dalam Suhartini, 2004) keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya. Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain: kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri, bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada, dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Anak yang menguasai keterampilan bekerjasama, diharapkan mampu untuk menyesuaikan diri terhadap norma kelompok, karena keterampilan bekerjasama merupakan salah satu aspek perkembangan anak yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan anak untuk memulai dan memiliki hubungan sosial.

Kemampuan keterampilan bekerjasama pada anak sangat penting, karena hal ini akan menjadi bekal saat anak memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan mempengaruhi kehidupannya. Kurangnya keterampilan dalam bekerjasama akan menyebabkan rasa rendah diri, kenakalan, dan dijauhi dalam pergaulan. Oleh sebab itu individu harus diajarkan dan dilatih memiliki keterampilan bekerjasama sejak usia dini, yang bisa didapat dari lingkungan keluarga,

(23)

masyarakat dan lingkungan sekolah. Sekarang ini yaitu ketika pertama kali anak memasuki sekolah seperti Taman Kanak-Kanak (TK).

Menurut Purwadarminta (1976), Taman Kanak-Kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Tujuan program kegiatan belajar di TK adalah untuk membantu perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Belajar dan bermain di TK, akan mempermudah anak untuk belajar mengembangkan keterampilan bekerjasama, karena saat anak melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) anak dituntut memiliki keterampilan bekerjasama yang baik, karena intensitas berinteraksi

lebih banyak dan harus ditanamkan dan diajarkan pada masa prasekolah.

(24)

bekerjasama, padahal keterampilan bekerjasama anak juga diperoleh di dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

Orangtua tidak menyadari bahwa sekolah maupun lembaga pendidikan yang diberikan kepada anak belum tentu dapat membentuk perkembangan keterampilan kerjasama secara baik, karena kebanyakan sekolah dan lembaga pendidikan tersebut lebih mengedepankan tujuan bagaimana peserta didiknya menjadi pintar dan cerdas (kognitif) tanpa memperhatikan bagaimana perkembangan keterampilan kerjasama peserta didiknya. Oleh karena itu para orangtua sebaiknya tidak melepaskan tanggungjawabnya dalam hal membentuk perkembangan keterampilan kerjasama anak.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru kelas yang ada di TK Mangunan Yogyakarta (26 September 2013) masih terdapat anak-anak yang tidak menyapa terhadap sesama teman, terdapat anak yang tidak mau bergabung dengan teman– teman kelompok. Anak masih terlihat asyik dengan kegiatan sendiri tanpa membutuhkan interaksi dengan teman bermainnya. Anak masih terlihat egois dan bermain dengan menguasai permainannya, Selain itu cara anak bekerjasama dalam sebuah kelompok juga masih kurang sehingga perlu ditingkatkan.

(25)

keterampilan bekerjasama anak di TK Mangunan Yogyakarta juga bisa dilihat

dari kurangnya interaksi anak dengan teman sebaya dan kurangnya sikap saling

membutuhkan dan kerjasama dalam kegiatan di sekolah. Misalnya dalam

kegiatan menempel berkelompok, anak masih egois dan tidak mau dibantu

teman, dalam kegiatan pembelajaran anak sulit sekali berbagi alat tulis misalnya

penghapus dan pensil. Contoh lain yaitu anak sulit sekali bekerjasama dalam

permainan, misalnya dalam bermain sepak bola anak hanya ingin menguasai

bola tanpa memberi kesempatan anak yang lain untuk ikut menendang bola.

Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan melalui

wawancara dengan guru kelas yang bersangkutan dan observasi dapat ditarik kesimpulan bahwa kurangnya interaksi pada anak, anak-anak masih egois dan anak-anak tidak mau bergabung dalam kelompok saat guru kelas membagikan tugas dalam kelompok. Hal ini menunjukan masih kurang maksimal sikap bekerjasama pada anak.

(26)

Salah satu penyebab masih kurangnya keterampilan bekerjasama anak adalah metode pengajaran kurang memiliki variasi dalam bermain, serta pembagian tugas kepada anak seringkali bersifat individual atau tidak berkelompok. Proses pembelajaran tanpa adanya kegiatan bermain akan mengakibatkan anak cepat bosan dan jenuh di kelas sehingga diperlukan upaya yang baru untuk mengembangkan keterampilan bekerjasama anak agar lebih optimal yaitu dengan menggunakan boneka.

Boneka adalah sejenis mainan yang berbentuk beraneka ragam, seperti manusia, hewan, sayur-sayuran, buah-buahan, ekspresi wajah serta tokoh-tokoh fiksi. Boneka bisa dikatakan salah satu mainan yang paling tua, karena pada zaman Yunani, Romawi ataupun Mesir kuno boneka sudah ada. Namun, fungsi, bentuk, maupun bahan pembuatnya ternyata berbeda sekali antara dulu dan sekarang. Berawal dari sebuah cerita pengantar tidur, kemudian menjadi kegiatan di waktu senggang, saat ini dongeng/cerita boneka telah menjadi sebuah kegiatan pengajaran di sekolah (Kathryn Geldard, 2008).

(27)

kepribadian dan perilaku orang yang mereka benci atau teman yang mereka sukai dan telah terpisah dari mereka. Misalnya, barbie yang cantik dan suka menolong, beruang teddy yang bersifat lembut dan menyenangkan, dan monyet yang nakal, rakus serta menghibur.

Boneka dapat digunakan dalam bentuk cerita menarik tentang kisah keseharian anak, dan ide ceritanya pun dapat bervariasi. Lebih tepat dikatakan bahwa dengan metode bercerita menggunakan boneka, maka cerita yang akan disampaikan adalah cerita tentang keseharian yang dialami anak-anak. Pencerita tidak harus menceritakan cerita-cerita legenda atau seperti dongeng pada umumnya, akan tetapi bisa mengangkat ide yang ada dalam kehidupan keseharian anak-anak. Banyak hal positif yang dapat disampaikan kepada anak dengan cara mendongeng/cerita boneka. Tidak hanya merangsang mereka untuk berinteraksi dengan anak-anak yang lain, tetapi juga menanamkan nilai-nilai sosial.

Metode bercerita merupakan salah satu metode yang banyak digunakan di Taman Kanak-kanak. Sebagai suatu metode bercerita mengundang perhatian anak terhadap guru sesuai dengan tema bimbingan. Bila isi cerita dikaitkan dengan dunia kehidupan anak di Taman Kanak-kanak, maka mereka dapat memahami isi cerita itu, mereka akan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan mudah dapat menangkap isi cerita.

(28)

mampu menularkan pengetahuan dan menanamkan nilai budi pekerti luhur secara efektif, dan anak-anak menerima dengan senang hati. Bercerita bagi seorang anak adalah sesuatu yang menyenangkan. Melalui cerita anak dapat mengembangkan imajinasinya menjadi apapun yang dia inginkan. Dalam cerita seorang anak dapat memperoleh nilai yang banyak dan berarti bagi proses pembelajaran dan perkembangannya, termasuk didalamnya perkembangan emosi dan sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dan dengan judul ”Mengembangkan Keterampilan Bekerjasama Melalui Penerapan Metode Bercerita dengan Media Boneka pada Anak Usia Dini di TK Mangunan Yogyakarta”. Penelitian ini dilakukan terutama terhadap kelas yang berdasarkan wawancara dan observasi kurang memiliki sikap bekerjasama yakni kelas A. Melalui penerapan metode bercerita menggunakan media boneka diharapkan dapat membantu mengembangkan keterampilan bekerjasama pada anak.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan data pengamatan serta data wawancara masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Beberapa anak belum menyapa sesama teman.

2. Beberapa anak belum bergabung dengan teman-teman kelompok.

(29)

4. Anak-anak membeda-bedakan teman, misalnya anak-anak perempuan hanya bergaul dengan yang perempuan saja dan anak laki-laki hanya bermain dengan yang laki-laki.

5. Anak hanya berbagi makanan kepada teman-teman tertentu saja.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa kondisi yang melatarbelakangi penelitian ini, dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus PTBK ini sebagai berikut: Apakah keterampilan bekerjasama dapat dikembangkan melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

Mengembangkan keterampilan bekerjasama melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka pada anak usia dini di TK Mangunan Yogyakarta Tahun 2013/2014.

E. Manfaat Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberi manfaat:

1. Manfaat Teoritis

(30)

2. Manfaat Praktis a. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk menerapkan metode bercerita dengan media boneka sebagai alat dalam mengembangkan keterampilan bekerjasama pada anak.

b. Bagi guru BK

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh guru BK sebagai dasar untuk memberikan bimbingan klasikal dengan menerapkan metode bercerita dengan media boneka. Selain itu, guru diharapkan mampu untuk semakin kreatif menyusun sendiri teknik penyampaian materi bimbingan yang mampu membuat sikap bekerjasama anak berkembang.

c. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat menambah wawasan, referensi dan pengetahuan penelitian sejenis.

F. Definisi Operasional

Menurut Suryabrata (dalam Purwanto, 2007) definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi). Berdasarkan pengertian tersebut maka definisi operasional mengarah pada sifat konkrit yang dapat diamati. Definisi operasional pada penelitian ini adalah:

(31)

antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

2. Metode Bercerita: adalah suatu cara untuk bercerita atau menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.

3. Boneka: adalah sejenis mainan yang dapat berbentuk macam-macam, seperti manusia, hewan, sayur-sayuran, buah-buahan, ekspresi wajah serta tokoh-tokoh fiksi.

(32)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Keterampilan Bekerjasama

1. Pengertian Keterampilan Bekerjasama

Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang.

Merrel (2008) memberikan pengertian keterampilan sosial sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk perilaku seseorang. Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn,1992) memberikan pengertian keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain. Sedangkan Matson dan Ollendick (dalam Widyanti, 2008) menerjemahkan keterampilan sosial sebagai kemampuan seseorang dalam beradaptasi secara baik dengan

(33)

lingkungannya dan menghindari konflik saat berkomunikasi baik secara fisik maupun verbal.

Hargie (1998) memberikan pengertian keterampilan sosial sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, dimana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Menurut Suardi (1979) keterampilan sosial adalah suatu kemahiran dalam bergaul dengan orang lain. Sementara itu, Surya (1988) menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah perangkat perilaku tertentu yang merupakan dasar bagi tercapainya interaksi sosial secara efektif.

Matson (1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial membantu seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain-lain.

(34)

manusia. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan sosial merupakan cara anak dalam melakukan interaksi baik dilihat dari bentuk perilaku maupun dalam bentuk komunikasi dengan orang lain.

Salah satu ciri khas keterampilan sosial yang berkembang adalah kerjasama, belajar kerjasama yang mengembangkan kognitif maupun sosial. Kerjasama adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan bersama. Kerjasama dan pertentangan merupakan dua sifat yang dapat dijumpai dalam seluruh proses sosial atau masyarakat, diantara seseorang dengan orang lain, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan seseorang. Pada umumnya kerjasama menganjurkan persahabatan, akan tetapi kerjasama dapat dilakukan diantara dua pihak yang tidak bersahabat, atau bahkan bertentangan. Kerjasama diantara dua pihak yang bertentangan dinamakan kerjasama berlawanan (antagonic cooperation), merupakan suatu kombinasi yang amat produktif dalam masyarakat modern (Carol seefeldt & Barbara, 2008).

(35)

yang diajak kerjasama. Makna timbal balik ini harus diusahakan dan dicapai, sehingga harapan-harapan, motivasi, sikap dan lain-lainnya yang ada pada diri atau kelompok dapat diketahui oleh orang atau kelompok lain. Adanya hubungan timbal balik ini akan menghilangkan kecurigaan, prasangka dan praduga. Kerjasama adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan bersama. (Yudha & Rudyanto, 2005).

Surgent (dalam Sentosa, 1992) menyatakan bahwa kerjasama merupakan usaha terkoordinasi diantara anggota kelompok atau masyarakat yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Sentosa (1992) juga menyatakan bahwa kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota kelompok yang lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga seseorang individu hanya dapat mencapai tujuan bila individu lain juga mencapai tujuan.

(36)

2. Tujuan dan Manfaat Bekerjasama

Seorang anak diciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang anak selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Seorang anak dalam melakukan kegiatan berkelompok memerlukan kerjasama dengan anak yang lain, anak pasti akan memilih teman sebaya yang memiliki pemikiran yang sama dengannya agar dapat menyelesaikan sebuah permainan dengan baik.

(37)

menggunakan kekuatan dan pemikiran masing-masing untuk bekerjasama atau saling berhubungan.

Menurut Yudha (2005) tujuan bekerjasama untuk anak usia dini yaitu untuk lebih menyiapkan anak didik dengan berbagai ketrampilan baru agar dapat ikut, berpartisipasi dalam dunia yang selalu berubah dan terus berkembang, membentuk kepribadian anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan, berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial, mengajak anak untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam pembelajaran kerjasama (kooperatif), serta anak TK tidak hanya menerima pengetahuan dari guru begitu saja tetapi siswa menyusun pengetahuan yang terus menerus sehingga menempatkan anak sebagai pihak aktif. Selain itu juga dapat memantapkan interaksi pribadi diantara anak dan diantara guru dengan anak didik. Hal ini bertujuan untuk membangun suatu proses sosial yang akan membangun pengertian bersama.

Berdasarkan dua pendapat para ahli mengenai tujuan bekerjasama dapat ketahui bahwa kemampuan bekerjasama bertujuan mengembangkan kreativitas anak dalam berkelompok atau bermain bersama teman-temannya karena jika anak tidak memiliki kemampuan bekerjasama anak belum dapat membedakan antara kondisi dirinya dengan kondisi orang lain atau anak lain di luar dirinya.

(38)

tolong menolong, untuk menciptakan mental anak didik yang penuh rasa percaya diri agar dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, serta dapat meningkatkan sosialisasi anak terhadap lingkungan.

Bekerjasama memiliki manfaat yang dapat diperoleh anak ketika melakukan suatu kegiatan atau permainan. Menurut Kusnadi (2003) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian, bekerjasama memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut:

1) Bekerjasama mendorong persaingan di dalam pencapaian tujuan. 2) Bekerjasama mendorong berbagai upaya terciptanya banyak energi. 3) Bekerjasama mendorong terciptanya hubungan yang baik antar

individu serta meningkatkan rasa kesetiakawanan.

4) Bekerjasama menciptakan praktek yang sehat serta meningkatkan semangat kelompok.

5) Bekerjasama mendorong ikut serta memiliki situasi dan keadaan yang terjadi dilingkungannya, sehingga secara otomatis akan ikut menjaga dan melestarikan situasi dan kondisi yang telah baik.

Adanya kerjasama, anak yang satu dengan yang lain akan menciptakan interaksi sosial yang baik dan hubungan yang baik sehingga dapat mengakrabkan hubungan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Keterampilan

Bekerjasama Anak

(39)

dan masyarakat sekitar. Apabila kondisi anak dan lingkungan sosial dapat memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif maka anak akan mencapai keterampilan bekerjasama yang baik.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan bekerjasama anak antara lain faktor internal, faktor eksternal dan faktor eksternal dan internal. Natawidjaya (dalam Setiasih, 2006) menjelaskan bahwa faktor internal merupakan faktor yang dimiliki manusia sejak dilahirkan yang meliputi kecerdasan, bakat khusus, jenis kelamin, dan sifat-sifat kepribadiannya.

Faktor eksternal yaitu yang dihadapi oleh individu pada waktu dan setelah anak dilahirkan serta terdapat pada lingkungan seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat. Faktor internal eksternal adalah faktor yang terpadu antara faktor luar dan dalam yang meliputi sikap, kebiasaan, emosi dan kepribadian.

(40)

faktor tersebut, yaitu karena bakat dari dirinya sendiri dan pengaruh dan masukan yang didapat anak dari luar.

4. Ciri-ciri Bekerjasama

a. Menurut Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini (2003) ciri-ciri keterampilan bekerjasama adalah:

1) Senang bermain dengan teman (tidak bermain sendiri). 2) Dapat melaksanakan tugas.

3) Dapat memuji teman atau orang lain.

b. Menurut Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta (2009) ciri-ciri keterampilan bekerjasama adalah:

1) Anak dapat bergabung dalam permainan kelompok. 2) Anak dapat terlibat aktif dalam permainan kelompok. 3) Anak bersedia berbagi dengan teman-temannya.

4) Anak dapat mendorong anak lain untuk membantu orang lain. 5) Anak merespon dengan baik bila ada yang menawarkan bantuan. 6) Anak bergabung bermain dengan teman saat istirahat.

7) Anak mengucapkan terima kasih apabila dibantu teman.

c. Menurut Tedjasaputra, (2001) ciri-ciri keterampilan bekerjasama adalah:

1) Anak dapat membina dan mempertahankan hubungan dengan teman.

(41)

3) Anak mau menghadapi masalah bersama-sama. 4) Mau menunggu giliran.

5) Belajar mengendalikan diri. 6) Mau berbagi.

Berdasarkan ciri-ciri keterampilan bekerjasama di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa seorang anak dikatakan dapat bekerjasama jika memenuhi ciri-ciri keterampilan bekerjasama di atas.

5. Aspek–Aspek Keterampilan Bekerjasama

Menurut Johnson dan Johnson (1993) keterampilan bekerjasama dibagi menjadi lima aspek yaitu:

a. Mendengarkan: proses menangkap pesan atau gagasan yang disajikan melalui ujaran. Misalnya, anak mendengarkan penjelasan guru saat bimbingan.

b. Menghormati: menaruh hormat, menjunjung, menghargai kepada orang lain. Misalnya, anak menyapa, memanggil, mengucapkan salam, mengucapkan terima kasih kepada orang lain secara sopan menggunakan bahasa yang baik.

(42)

d. Komunikasi: bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya sengaja atau tidak sengaja. Tidak hanya terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. Pada saat anak-anak dapat mengenali perasaan dalam diri mereka dan orang lain dan dapat memulai menunjukkan perasaan mereka dengan tepat, mereka cenderung berhasil dalam berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi mencakup pertukaran antara dua atau lebih orang. Biasanya, seseorang mengawali perbincangan dan yang lain meresponnya. Pada awal kanak-kanak, interaksi pertemanan didasarkan pada aktivitas permainan bersama. Namun demikian, disaat anak-anak tumbuh, interaksi menjadi lebih fokus ada penerimaan dan keakraban pertemanan.

e. Interaksi Sosial: hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Misalnya: saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi.

(43)

B. Metode Bercerita

1. Pengertian Metode Bercerita

Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain (Bachri:2005).

(44)

Fisher dalam (Suwangsih, 2011), menyatakan bahwa bercerita adalah bentuk kreativitas yang menyenangkan yang terbentuk dalam lintas negara dan budaya. Cerita-cerita yang lahir dari masyarakat mengkomunikasikan apa yang ada dalam cerita dan memperluas wawasan anak tentang berbagai ragam budaya.

2. Fungsi dan Manfaat Penggunaan Metode Bercerita

Adapun fungsi dari metode bercerita (Moeslichatoen :2004) yaitu : a. Melatih daya konsentrasi.

b. Melatih mengungkapkan daya pikir

c. Menambah pengetahuan dan keterampilan anak dalam mengkomunikasikan isi gambar.

d. Melatih menghubungkan isi gambar sesuai dengan imajinasi anak. e. Melatih mengungkapkan imajinasi anak.

f. Melatih anak berkomunikasi secara lisan. g. Menambah kosa kata dalam berbahasa

Menurut Musfiroh (2005) ditinjau dari beberapa aspek, manfaat metode bercerita sebagai berikut:

a. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak. b. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi. c. Memacu kemampuan verbal anak.

d. Merangsang minat menulis anak. e. Merangsang minat baca anak.

(45)

Metode bercerita dimaknai sebagai metode yang dapat mengembangkan berbagai hal: sosial, moral, emosional, bahasa dan sebagainya. Musfiroh (2008) menyebutkan manfaat bercerita adalah sebagai berikut:

a. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak di samping teladan yang dilihat anak setiap hari.

b. Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara, menulis, dan menyimak.

c. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.

d. Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik, sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.

(46)

f. Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada pelajaran budi pekerti yang diberikan melalui penuturan dan perintah langsung.

g. Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.

h. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orang tua.

i. Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan demikian itu menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian sekelilingnya. j. Bercerita mendorong anak memberikan makna bagi proses belajar

terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut pandang orang lain.

Sedangkan menurut Bachri (2005), manfaat bercerita adalah “dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru

baginya”.

(47)

penggugah kreativitas anak-anak. Melalui dongeng/cerita, guru bisa menyampaikan pesan-pesan, hikmah-hikmah dan pengalaman-pengalaman kepada murid-muridnya. Di samping memperkaya imajinasi anak, dongeng/bercerita pun menjadikan anak-anak merasa belajar sesuatu, tetapi tak merasa digurui.

Beberapa manfaat metode bercerita bagi anak TK (Moeslichatoen:2004) di antaranya adalah :

a. Melatih daya serap atau daya tangkap anak TK, artinya anak usia TK dapat dirangsang untuk mampu memahami isi atau ide-ide pokok dalam cerita secara keseluruhan.

b. Melatih daya pikir anak TK, untuk terlatih memahami proses cerita, mempelajari hubungan bagian-bagian dalam cerita termasuk hubungan-hubungan sebab akibatnya.

c. Melatih daya konsentrasi anak TK untuk memusatkan perhatiannya kepada keseluruhan cerita.

d. Mengembangkan daya imajinasi anak, artinya dengan bercerita anak dengan daya fantasinya dapat membayangkan atau menggambarkan sesuatu situasi yang berada di luar jangkauan inderanya.

(48)

3. Teknik Penggunaan Metode Bercerita

Menurut Majid (2008) ada beberapa metode penyampaian cerita yang penting untuk diketahui dan dipahami oleh para pencerita. Metode penyampaian cerita dijabarkan sebagai berikut.

a. Tempat bercerita

Bercerita tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas, tetapi boleh juga di luar kelas yang dianggap baik oleh guru agar para siswa bisa duduk dan mendengarkan cerita.

b. Posisi duduk

Sebelum guru memulai bercerita, sebaiknya ia memposisikan para siswa dengan posisi yang baik untuk mendengarkan cerita. Kemudian guru duduk di tempat yang sesuai dan mulai bercerita. Sebaiknya, guru tidak langsung duduk pada awal bercerita tetapi memulainya dengan berdiri. Selama bercerita, guru hendaknya tidak duduk terus, tetapi juga berdiri, bergerak, dan mengubah posisi gerakan sesuai jalannya cerita.

c. Bahasa cerita

(49)

d. Intonasi guru

Cerita itu mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang muncul dalam cerita, dan klimaks. Pada permulaan cerita, guru hendaknya memulai dengan suara tenang. Kemudian mengeraskan sedikit demi sedikit. Perubahan naik-turunnya cerita harus sesuai dengan peristiwa dalam cerita. Ketika guru sampai pada puncak konflik ia harus menyampaikannya dengan suara ditekan dengan maksud menarik perhatian para siswa. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa besarnya perhatian para siswa akan bertambah ketika konflik mulai berkembang dan mereka akan merasa lega dari ketegangannya, jika telah sampai pada klimaks. Maka guru hendaknya menyampaikan peristiwa-peristiwa dalam cerita dengan suara yang meyakinkan yang dapat membuat siswa penasaran hingga tiba saat klimaks. Ketika guru menyampaikan klimaks, ia harus menjiwai setiap ungkapan dan intonasi suara sampai akhir cerita. e. Pemunculan tokoh-tokoh

(50)

f. Penampakan emosi

Saat bercerita guru harus dapat menampakkan keadaan jiwa dan emosi para tokohnya dengan memberi gambaran kepada pendengar bahwa seolah-olah hal itu adalah emosi si guru sendiri. jika situasinya menunjukkan rasa kasihan, protes, marah atau mengejek, maka intonasi dan kerut wajah harus menunjukkan hal tersebut.

g. Peniruan suara

Sebagian orang ada yang mampu meniru suara-suara binatang dan peristiwa tertentu. Seorang guru dalam bercerita dituntut untuk dapat melakukan peniruan suara ini sesuai dengan yang diinginkan dalam cerita. Peniruan suara ini dapat menciptakan penjiwaan dalam cerita dan memberi kesan yang lebih dalam di hati para siswa.

h. Penguasaan terhadap siswa yang tidak serius

(51)

menatapnya. Biasanya, tindakan ini bisa mengembalikan perhatian siswa.

i. Menghindari ucapan spontan

Guru acapkali mengucapkan ungkapan spontan setiap menceritakan suatu peristiwa. Ucapan spontan yang dimaksud adalah ucapan spontan yang merupakan kebiasaan sehari-hari si guru atau bisa dikatakan latah. Kebiasaan tersebut tidak baik karena dapat memutuskan rangkaian peristiwa dalam cerita. Guru sebaiknya bercerita dengan ucapan yang jelas dan lancar.

Kesembilan hal di atas sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan guru ketika bercerita. Memang, membaca petunjuk-petunjuk yang tertulis saja tidak cukup. Harus ditambah pula dengan media yang mendukung sesuai dengan cerita.

C. Media Bimbingan

1. Pengertian Media Bimbingan

Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata medium artinya perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar dari pengirim ke penerima pesan. Association for Education and Communication Technology (AECT) mengartikan media sebagai segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi.

(52)

untuk belajar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa (Sadiman,1996).

Pada awalnya, media banyak digunakan dalam dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah, yang memanfaatkan media umumnya guru mata pelajaran. Namun seiring berjalannya waktu, media tidak hanya diperlukan oleh guru mata pelajaran dalam proses pembelajaran di kelas saja, tetapi juga diperlukan dalam proses bimbingan yang dilakukan oleh guru BK di sekolah.

Maka, berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media bimbingan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk membantu penyaluran pesan atau informasi dari pembimbing (guru BK) kepada klien (siswa) dalam proses bimbingan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat sehingga klien akan mengalami perubahan perilaku, sikap dan perbuatan ke arah yang lebih baik.

2. Fungsi dan Manfaat Media Bimbingan

Menurut Sudrajat (2008) media bimbingan memiliki beberapa fungsi:

(53)

anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek yang dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio, visual, dan audial.

b. Media dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek yang disebabkan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, obyek terlalu besar. Kedua, obyek terlalu kecil. Ketiga, obyek yang bergerak terlalu lambat. Keempat, obyek yang bergerak terlalu cepat. Kelima, obyek yang terlalu kompleks. Keenam, obyek yang bunyinya terlalu halus. Ketujuh, obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik. Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.

c. Media menghasilkan keseragaman pengamatan

d. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.

e. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.

(54)

g. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.

Menurut Arsyad (2010), manfaat praktis dari penggunaan media pembimbingan dalam proses belajar mengajar, adalah:

a. Dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar atau bimbingan.

b. Dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar atau, interakasi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan siswa bisa belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

c. Dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu.

d. Dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, dan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat dan lingkungannya.

3. Ragam Media Bimbingan

Media dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu:

(55)

Jenis-jenis media yang termasuk dalam media ini adalah program radio dan program media rekam (software), yang disalurkan melalui hardware seperti radio dan alat-alat perekam seperti phonograph record (disc recording), audio tape (tape recorder) yang menggunakan pita magnetik (cassette), dan compact disk. Program media rekam sangat mungkin untuk sasaran dalam jangkauan terbatas, seperti proses pembelajaran di kelas kecil maupun kelas besar. Contoh media bimbingan yang berupa media audio adalah rekaman instrumen untuk refleksi, rekaman proses konseling.

b. Media visual, yaitu media yang melibatkan indera penglihatan. Jenis media yang termasuk dalam media visual ini adalah media cetak-verbal, cetak-grafis dan visual non cetak. Pertama, media visual-verbal, adalah media visual yang memuat pesan-pesan verbal (pesan linguistik berbentuk tulisan). Kedua, media visual-nonverbal-grafis adalah media visual yang memuat pesan nonverbal yakni berupa simbol-simbol visual atau unsur-unsur grafis, seperti gambar (sketsa, lukisan, dan foto), grafik, diagram, bagan, dan peta. Ketiga, media visual nonverbal-tiga dimensi adalah media visual yang memiliki tiga dimensi berupa model, seperti miniatur, mock up, specimen, bola dunia, boneka, diorama, dan sebagainya.

(56)

tulis dan papan pamer (display board); dan bisa dibuat dalam bentuk tayangan, yakni melalui projectables aids atau alat-alat yang mampu memproyeksikan pesan-pesan visual, seperti opaque projector, OHP (overhead projector), digital projector (LCD). Contoh media bimbingan yang berupa media grafis adalah poster bimbingan, banner bimbingan, papan bimbingan, kliping bimbingan, dan folder bimbingan.

c. Media audio visual, yaitu media yang melibatkan indera pendengaran dan penglihatan sekaligus dalam satu proses. Sifat pesan yang dapat disalurkan melalui media dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang terlihat layaknya media visual juga pesan verbal dan nonverbal yang terdengar layaknya media audio di atas. Pesan yang terdengar dan terlihat itu dapat disajikan melalui program audio visual seperti film dokumenter, film dokumenter, film drama, bermain peran menggunakan boneka dan lain-lain. Semua program tersebut dapat disalurkan melalui peralatan film, video, dan juga televisi dan dapat disambungkan pada alat proyeksi (projectable aids). Contoh media bimbingan yang berupa media proyektif adalah film-film untuk refleksi. Selain itu, pertunjukan permainan peran menggunakan boneka, wayang dan sebagainya.

4. Media untuk Anak Usia Dini

(57)

a. Buku/cerita, yaitu suatu media yang dapat dibawakan dengan bercerita secara lisan. Cerita yang dibawakan haruslah menarik dan mengundang perhatian anak. Isi ceritanya dapat melibatkan orang, hewan, figur fantasi, dan semua jenis objek tidak bernyawa, seperti kereta api, batu, jam, dan vas bunga. cerita yang menarik dapat membuat anak memperhatikan cerita serta anak dapat memahami apa yang hendak disampaikan melalui cerita tersebut. Sehingga anak tidak jenuh, bahkan menjadikan kegiatan yang menyenangkan.

Adapun tujuan ketika menggunakan buku/cerita yaitu: 1) membantu anak-anak mengenali kecemasan mereka atau tekanan dengan mengenali karakter atau situasi dalam cerita, 2) membantu anak menemukan mereka dari waktu ke waktu. Misalnya, anak-anak menemukan bahwa mereka memiliki ketakutan ditinggal sendirian, takut dikhianati atau perasaan berlebihan untuk bertanggung jawab bagi orang lain,

(58)

memisahkannya dengan frustrasi. Sehingga emosi yang ditahan anak-anak akan terekspresikan dan memiliki dampak penyembuhan.

Oleh karena itu bentuk tanah liat dapat dengan mudah diubah, media ini mengajak anak-anak untuk terus melanjutkan latihan dengan mengembangkan tema yang ada dan menggali tema yang baru.

Tanah liat adalah media tiga dimensi. Hal ini membuat anak-anak memiliki kebebasan yang lebih kreatif daripada menggunakan media dua dimensi, seperti melukis atau menggambar. Dengan menggunakan tanah liat, anak-anak akan merasa bebas menciptakan bentuk yang realistis, imajinatif, atau simbolok. Misalnya, anak-anak dapat membuat bentuk tanah liat yang mewakilik monster. Bentuk ini, yang mewakili monster dapat terlihat realistis dan seperti hewan, atau terlihat seperti sosok fantasi atau memiliki bentuk simbolis, atau hanya bentuk tanah liat yang kasar.

(59)

merasakan keberhasilan dan kepuasan ketika menyelesaikan tugas kreatif.

c. Gambar, yaitu media atau alat bantu yang sering digunakan dalam proses belajar mengajar yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang dituangkan dalam bentuk memberi label dan menggambar bentuk simbol-simbol komuniasi baik berupa gambar orang, tempat, benda-benda sekitar, binatang, konsep bilangan dan lain-lain.

Semua media mengajak anak-anak untuk menggali, merasakan, dan bermain. Anak dapat menggunakan media untuk membuat gambar atau mempresentasikan simbol masalah, perasaan, dan tema, yang terkait dengan kisah mereka atau bagian dari kisah mereka. Oleh karena itu, akan dapat mengembangkan gambaran lingkungan mereka yang bermasalah dan mengenali posisi mereka dalam lingkungan tersebut. Mereka juga dapat menggunakan media untuk menggali perubahan apapun yang telah terjadi dalam lingkungan atau mengubah apa yang telah mereka lakukan di masa-masa tertentu.

(60)

ditahan dan tidak diwujudkan dalam tindakan. Hal ini membuat anak-anak bereksperimen dan merasakan emosi negatif.

Media juga membuat anak-anak bersifat konstruktif dan destruktif, tetapi dengan cara yang bermanfaat. Misalnya, anak -anak dapat merusak gambar yang telah mereka buat dengan mencoret-coret bagian pada gambar yang menyimbolkan sesuatu yang membuat mereka marah. Jika mereka mau, mereka dapat menghancurkan seluruh gambar dengan menyobeknya dan membuangnya.

(61)

penggunaan buku atau komik dan dongeng. Mereka kemudian dapat menggabungkan elemen kreatif seni dan fantasi, bereksperimen dengan perubahan dalam kisah mereka dan dapat menguasainya.

d. Drama Imajinatif, yaitu drama yang dibuat oleh anak-anak. Anak-anak seringkali menikmati berpura-pura menjadi orang lain seperti dokter yang memeriksa pasien atau ibu yang menyusui anaknya. Dalam drama tersebut, mereka mendandani dan menggunakan prperti, misalnya paket makanan kosong ketika mereka berpura-pura berbelanja. Dengan demikian, mereka menggabungkan penggunaan objek, tindakan, kata-kata, dan interaksi sosok imajinatif untuk menghasilkan drama.

Anak-anak yang berusia dua dan tiga tahun dapat meniru peran orang dewasa dalam hidup mereka, mereka harus menggunakan objek nyata atau mainan yang menyerupai sosok-sosok nyata dalam drama mereka.

(62)

mulut mereka seolah-olah sebuah cangkir ketika berpura-pura minum. Oleh karena anak mampu melakukan pemikiran abstrak, mereka dapat dengan mudah memainkan drama fantasi seperti pahlawan super, monster, dan peri.

Pada drama imajinatif, anak-anak menjadi terlibat penuh dalam tindakan tokoh dalam situasi yang diimajinasikan. Anak-anak menjadi aktor dalam kesadaran penuh.

Terkadang drama imajinatif itu menyertakan penggunaan keterampilan sosial, tetapi tidak selalu. Ketika keterampilan sosial terlibat, dapat disebut sebagai drama sosio dramatik. Penggunaan keterampilan sosial terjadi ketika menggunakan drama imajinatif dalam bentuk interaksi verbal dan nonverbal antara konselor dan anak-anak saat memerankan drama.

(63)

tertentu, 7) memberi anak-anak kesempatan untuk membangun konsep diri dan kepercayaan diri.

e. Bak Pasir, yaitu sebuah media dapat terbuat dari kayu atau plastik. Idealnya, berbentuk persegi dengan sisi sepanjang 1 meter dan tinggi 50 mm. Bak pasir kayu harus memiliki garis anti air. Pasir yang digunakan harus bersih.

Simbol yang dapat digunakan untuk mewakili hal-hal konkrit, seperti jalan, rumah, sekolah, pusat perbelanjaan, dan orang. Sebagai tambahan, simbol simbol dapat digunakan untuk mewakili konsep yang tidak berbentuk , seperti rahasia, pikiran, keyakinan, harapan, dan hambatan emosional. Oleh karena itu, simbol dapat digunakan untuk mewakili hal-hal konkret ataupun tidak berbentuk, atau abstrak yang memiliki tempat dalam kisah anak-anak.

Adapun tujuan dari dari penggunaan bak pasir yaitu: 1) mengeksplorasi peristiwa tertentu, masa lalu, sekarang, dan masa depan, 2) mengeksplorasi tema dan masalah yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, 3) melakukan hal yang dapat atau tidak dapat diterima oleh mereka, 4) mengubah kisah mereka, seperti yang dibuat dalam bak pasir, dengan memproyeksikan fantasi mereka didalamnya, 5) menguasai masalah dan peristiwa di masa lampau dan masa kini. f. Boneka/Mainan, adalah sejenis mainan yang dapat berbentuk

(64)

Boneka dan mainan memiliki manfaat yang sama dan dapat pula menambah dimensi lain pada suatu dongeng. Melalui boneka dan mainan, anak-anak menjadi terlibat secara langsung dalam menciptakan dan mengucapkan dialog cerita dan menggerakkan boneka dan mainan untuk berakting dalam cerita. Melalui hal ini, anak-anak menjadi terlibat dan berhubungan secara personal dengan cerita. Hal ini membuat mereka membuat hubungan dengan lebih mudah antara anatara perasaan emosional mereka dan yang dimiliki tokoh dalam cerita.

Adapun tujuan dari penggunaan boneka/mainan yaitu: 1) menguasai masalah atau peristiwa di masa lampau, 2) mendapatkan kekuatan melalui ekspresi fisik, 3) mengembangkan kemampuan mengatasi masalah dan pengambilan keputusan, 4) mengembangkan keterampilan sosial, 5) meningkatkan keterampilan sosial.

D. Media Boneka

1. Pengertian Boneka

(65)

Sudjana & Rivai (2007) mengatakan secara umum boneka (marionette dalam bahasa Perancis), ada 2 yaitu:

a. Tubuh yang dihubungkan dengan lengan, kaki dan badannya, digerakkan dari atau dengan tali-tali atau kawat-kawat halus.

b. Boneka yang digerakkan dari bawah oleh seorang yang tangannya dimasukkan ke bawah pakaian boneka.

Boneka adalah tiruan dari bentuk manusia dan bahkan sekarang termasuk tiruan dari bentuk binatang. Pada perkembangannya, boneka tidak hanya sebagai mainan anak ataupun perlambang kenegaraan.

Di bidang pendidikan, boneka mulai digunakan sebagai media dalam membantu tumbuh kembang anak. Boneka merupakan salah satu media pembelajaran yang tidak asing lagi dan sering digunakan pada sekolah tingkat dasar dan menengah. Cara penyajian boneka sebagai media pembelajaran bergantung pada kretivitas guru/ konselor yang juga disesuaikan dengan kompetensi dasar yang harus dicapai.

2. Jenis Boneka

Menurut Sudjana & Rivai (2007) boneka dibedakan menjadi lima jenis yaitu:

a. Boneka Jari

(66)

demikian bisa langsung dimainkan. Boneka ini bisa dibuat menjadi berbagai karakter misalnya binatang/hewan, tumbuhan, kendaraan, buah-buahan dll. Selain itu, bisa dibuat karakter kartun seperti Doraemon, boneka jari Upin Ipin, boneka jari Spiderman, Boneka jari Shaun The Sheep dan kawan-kawan, boneka jari Spongebob dan Patrick, Boneka jari Angry Bird dan lain-lain.

b. Boneka Tangan

Pada boneka tangan ini satu tangan hanya dapat memainkan satu boneka. Disebut boneka tangan, karena boneka ini hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja, sedangkan bagian badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup lengan orang yang memainkannya disamping cara memainkannya juga hanya memakai tangan (tanpa menggunakan alat bantu yang lain). Boneka ini bisa dibuat menjadi beberapa karkater misalnya, bapak dan ibu guru, keluarga (ayah, ibu, adik dan kakak), keluarga muslimin, teman-teman bermain, teman-teman sekolah, hewan, sayuran, dan kendaraan.

c. Boneka Tongkat

(67)

bisa dibuat beberapa karakter misalnya dibuat tokoh tentara, pedagang, lurah, nelayan dan sebagainya. Boneka tongkat dapat dibuat dari kayu yang lunak seperti kayu kemiri, randu, dan sebagainya.

d. Boneka Tali

Boneka tali atau “Marionet” banyak dipakai di negara barat. Perbedaan yang mencolok antara boneka tali dengan boneka yang lain adalah, boneka tali bagian kepala, tangan, dan kaki dapat digerak-gerakkan menurut kehendak kita/dalangnya. Cara mengdigerak-gerakkannya dengan tali. Maka kedudukan tangan orang yang memainkannya berada di atas boneka yang dimainkannya. Karakter boneka ini misalnya, robot dan orang.

e. Boneka Bayang-bayang

Boneka bayang-bayang (Sadhow Puppet) adalah jenis boneka yang cara memainkannya dengan mempertontonkan gerak bayang-bayang dari boneka tersebut. Di Indonesia khususnya di Jawa dikenal

dengan “Wayang kulit”. Namun untuk keperluan sekolah, wayang

semacam ini dirasakan kurang efektif, karena untuk memainkan boneka ini diperlukan ruangan gelap/tertutup. Selain itu diperlukan lampu untuk membuat bayang-bayang layar.

3. Fungsi dan Manfaat Penggunaan Boneka

(68)

a. Menampilkan fantasi serta bakat-bakat anak terkait dengan interaksi pada orang lain dan interaksi anak-anak pada dirinya sendiri.

b. Bermain peran menjadi orang atau binatang yang menjadi kesukaan anak-anak.

c. Menciptakan dialog dalam drama, memerankan kepribadian anak dan perilaku orang yang mereka benci atau teman yang mereka sukai dan telah terpisah dari mereka.

d. Mempelajari dan melatih perilaku yang dapat diterima.

e. Merangsang anak bereksplorasi, bereksperimen dan berekspresi.

f. Melatih anak belajar menggunakan alat bersama dengan anak lain dan bermain bersama/bekerjasama.

Menurut Geldard (2008) adapun manfaat penggunaan boneka ada 3, yaitu:

a. Anak-anak menjadi terlibat secara langsung dalam menciptakan dan mengucapkan dialog cerita dan menggerakan boneka untuk berakting dalam cerita.

b. Anak-anak menjadi terlibat dan berhubungan secara personal dengan cerita.

(69)

E. Anak Usia Dini

1. Pengertian Anak Usia Dini

Menurut Biecheler dan Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) menyatakan bahwa anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 sampai 6 tahun. Mereka pada umumya mengikuti program prasekolah dan Taman Kanak kanak. Di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 sampai 5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4 sampai 6 tahun pada umumnya mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak.

Anak prasekolah adalah anak yang belum memasuki pendidikan di bangku Sekolah Dasar (SD). Anak-anak dengan usia 3-6 tahun pada umunya mengikuti program Taman Kanak-kanak. Program Taman Kanak-kanak dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas A dan kelas B. Kelas A merupakan kelas anak -anak yang lebih kecil yaitu usia 3-4 tahun dan kelas B merupakan kelas anak -anak yang lebih besar yaitu 5-6 tahun. 2. Karakteristik Anak Usia Dini

(70)

harus diperoleh anak sebelum memperoleh tingkah laku terminal yang baru. Perilaku awal tersebut meliputi kesiapan, kematangan, perbedaan individual, dan kepribadian. Menurut Sunarto & Hartono (2002), setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga muncul perbedaan individu yang meliputi berbagai bidang yaitu:

a. Perbedaan kognitif.

b. Perbedaan dalam kecakapan bahasa. c. Perbedaan dalam kecakapan motorik. d. Perbedaan latar belakang.

e. Perbedaan bakat.

f. Perbedaan kesiapan belajar.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa karakteristik anak usia dini meliputi kesiapan, kematangan, perbedaan individual, dan kepribadian yang yang dilihat dari aspek fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional.

1) Fisik Motorik

(71)

sebagainya. Menurut Hurlock (1978) perkembangan motorik tergantung pada:

a) Perkembangan syaraf dan otot. b) Kematangan fisik.

c) Mengikuti pola yang dapat diramalkan.

d) Dimungkinkan menentukan norma perkembangan motorik. e) Perbedaan individu dalam laju perkembangan motorik.

Mempelajari keterampilan motorik perlu di perhatikan pula kesiapan dan kesempatan belajar, kesempatan berpraktek, bimbingan, model yang baik serta motivasi (Hurlock, 1978) dengan cara trial and error, meniru dan pelatihan. Anak usia TK memiliki sejumlah ciri fisik sebagai berikut:

a) Sangat aktif. Anak usia ini sangat menyukai kegiatan yang dilakukan atas kemauan sendiri.

b) Memerlukan istirahat yang cukup. Setelah melakukan banyak aktivitas, meskipun sering tidak disadari anak memerlukan istirahat.

c) Otot-otot besar besar lebih berkembang daripada kontrol terhadap jari dan tangan. Sehingga anak belum dapat melakukan aktivitas yang rumit.

(72)

e) Tulang tengkorak masih lunak, sehingga berbahaya jika terjadi benturan.

f) Motorik halus anak perempuan lebih terampil daripada anak laki-laki. Snowman (Patmonodewo, 2003).

2) Kognitif

Gambar

Tabel 3.1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara Guru….... ...........................
Gambar 3.1. Bagan Penelitian Tindakan Model Hopkins (1993) ........
gambar yang dapat disajikan secara audio, visual, dan audial.
Tabel 3.1. Kisi-kisi lembar wawancara terhadap guru kelas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data diperoleh temuan penelitian bahwa: (1) Dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan kreatifitas anak usia dini di Wisma Pojok dongeng

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA ANAK USIA DINI MELALUI METODE BERCERITA PADA TK PERTIWI PULUHAN I.. DI KELOMPOK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerapan metode bercerita dengan kemampuan mengungkapkan bahasa pada anak usia dini.. Penelitian ini

anak usia dini terbagi dalam tiga tahap, yaitu masa anak anak lahir sampai 12 bulan, masa toddler (balita) usia 1-3 tahun, dan masa pra sekolah 3-6 tahun. Metode

Beberapa keterampilan sains yang dapat dilatih dan dikembangkan pada anak usia dini seperti keterampilan mengamati, mengelompokkan, menggunakan angka atau bilangan (menghitung),

Pendidikan anak usia dini (PAUD) mempunyai peran penting dalam menyiapkan anak untuk tumbuhkembang sampai dengan dewasa termasuk menyiapkan anak masuk pendidikan yang

S kripsi yang berjudul “ Metode Bermain Peran Makro Dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Emosional Anak Usia Dini di TK Aisyiyah 19 Surabaya ” disusun untuk memenuhi

Jurnal Pendidikan Tambusai 1560 Media Pembelajaran untuk Anak Usia Dini di Pendidikan Anak Usia Dini Shofia Maghfiroh1, Dadan Suryana2 Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas