SKRIPSI
HUBUNGAN TERAPEUTIK PERAWAT-PASIEN TERHADAP
TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA C
RSUP SANGLAH DENPASAR
OLEH:
NI MADE ARTINI
NIM. 1302115010
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
HUBUNGAN TERAPEUTIK PERAWAT-PASIEN TERHADAP
TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI
RUANG IRNA C RSUP SANGLAH DENPASAR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH :
NI MADE ARTINI
NIM. 1302115010
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien terhadap Tingkat Kecemasan
Pasien Pre Operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF. selaku Ketua PSIK Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.
3. DR. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes. selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian pada instansi yang dipimpin.
4. Ns. Ni Ketut Guru Prapti, S.Kep., MNS. sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
vi
secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman angkatan 2013 program S-1 Keperawatan, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, Februari 2015
ABSTRACT
Artini, Ni Made. 2015.The Relation of Therapeutic Nurse-Patient to the Anxiety Level of
Pre-Operation’s Patients in IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. Undergraduate thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University, Supervisor (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti S.Kep., MNS; (2) Ns. I Gusti Ngurah Putu, S.Kep.
Operation is the one form of therapy and attempts to bring a threat tothe body, integrity, andsoul. Patients are often not satisfied with the quality and quantity of information that patients receive from health workers, and a lack of communication between the hospital staff to patients is the one of reasons the complaints of patients at the hospital. This study aims to determine therelation of therapeutic nurse-patient to theanxiety level of pre-operation’s patient. This study was a cross-sectional study to therelation of therapeutic nurse and patient anxiety levels, data analysis usingRank Spearman Correlationstatistical test with significance levelα ≤0.01. The study population were the patients in IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, amounting to 45 people. Data was collected using a questionnaire. The results showed, there are significant relation of therapeutic and patient's anxiety level with p=0.000 atsignificance level α ≤0.01 and a correlation coefficient -0.895.The further research is expected to have a more in-depth study on the implementation of the therapeutic nurse.
vii
ABSTRAK
Artini, Ni Made. 2015. Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti S.Kep., MNS; (2) Ns. I Gusti Ngurah Putu, S.Kep.
Tindakan pembedahan atau operasi merupakan salah satu bentuk terapi dan upaya yang dapat mendatangkan ancaman terhadap tubuh, integritas dan jiwa seseorang. Pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang pasien terima dari tenaga kesehatan, serta kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Penelitian ini merupakan penelitian crossectionaluntuk mencari hubungan terapeutik perawat dan tingkat kecemasan pasien menggunakan uji statistikRank Spearman Correlation
dengan derajat kemaknaan α ≤ 0,01. Populasi penelitian adalah pasien di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar yang berjumlah 45 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga dengan nilaip= 0,000 pada derajat kemaknaanα ≤ 0,01 dan koefisien korelasi – 0,895. Penelitian mendatang diharapkan ada penelitian yang lebih mendalam tentang pelaksanaan hubungan terapeutik perawat.
DAFTAR ISI
x
3.2 Variabel Penelitian... 32
3.3 Definisi Operasional Penelitian ... 32
3.4 Hipotesis ... 36
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 37
4.2 Kerangka Kerja... 38
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian... 38
4.4 Populasi, Sampel dan Sampling ... 39
4.5 Pengumpulan Data... 40
4.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 46
4.7 Masalah Etika ... 47
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian... 49
5.2 Pembahasan Hasil Penelitian... 57
5.3 Keterbatasan Penelitian ... 62
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 63
6.2 Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian...33 Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Pelaksanaan Hubungan Terapeutik ...53 Tabel 5.2 Distribusi Frekwensi Tingkat Kecemasan ...54 Tabel 5.3 Tabel Silang Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif ...22
Gambar 3.1: Kerangka Konseptual Penelitian...30
Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian...37
Gambar 4.2 : Kerangka Kerja Penelitian ...38
Gambar 5.1 : Distribusi Frekwensi Jenis Kelamin ...51
Gambar 5.2 : Distribusi Frekwensi Umur...51
Gambar 5.3 : Distribusi Frekwensi Tingkat Pendidikan...52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Anggaran Penelitian
Lampiran 3 : Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 5 : Form Pengumpulan Data
Lampiran 6 : Lembar Uji Validitas Lampiran 7 : Lembar Uji Reliabilitas Lampiran 8 : Lembar Master Tabel
Lampiran 9 : Lembar Distribusi Frekuensi Lampiran 10 : Lembar Analisa Korelasi Lampiran 11 : UjiSpearman Rank
Lampiran 12 : Surat Permohonan Ijin Pengambilan Data Awal
Lampiran 13 : Surat Permohonan Ijin Penelitian dan Pengambilan Data Lampiran 14 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 15 : Ethical Clearance
xiv
DAFTAR SINGKATAN
DASS : Depression Anxiety Stress Scale HARS : Halmiton Anxiety Rating
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi sebagian besar pasien, masuk rumah sakit karena sakitnya dan harus menjalani rawat inap adalah sesuatu yang membuat mereka cemas. Faktor kecemasan ini dipicu karena minimalnya informasi yang diterima pasien dari tenaga kesehatan dalam upaya menyembuhan penyakit yang dideritanya. Prosedur pengobatan dapat menimbulkan kecemasaan yang tinggi biasanya adalah prosedur pengobatan dengan operasi atau pembedahan. Tindakan operasi dilakukan untuk mengobati kondisi yang sulit dan tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obat sederhana (Potter & Perry, 2005).
2
Berdasarkan data WHO (2007), hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada 1 Oktober 2003 sampai 30 September 2006 menunjukan dari 35.539 pasien bedah yang dirawat di unit perawatan intensif, terdapat 8.922 pasien (25,1%) mengalami kondisi kejiwaan dan 2,473 pasien (7%) mengalami kecemasan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan diberbagai rumah sakit di Indonesia diketahui berbagai hal penting mengenai angka kejadian kecemasan dan stres pada pasien pre operasi. Salah satunya adalah penelitian Wijayanti (2009), di RSUD Dr. Soeraji Tirto Negoro Klaten Jawa Tengah ditemukan bahwa 20 (64,5%) pasien mengalami stres ringan dan 11 (35,5%) pasien mengalami stres berat.
Kecemasan dapat menimbulkan hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari klien dan menimbulkan berbagai gangguan. Menurut Efendi (2008) (dikutip dari Mohamad 1989) hasil penelitian tim dokter dan ahli psikologis mengenai penyebab penundaan operasi pada pasien, menyimpulkan sebanyak 42% dari 200 pasien yang diamati melakukan penundaan operasi karena faktor psikologis, psikodinamis, dan emosional sebelum operasi.
3
Berbagai hal diduga sebagai pemicu terjadinya kecemasan selain kurangnya pengetahuan. Ellis (2000) menambahkan kecemasan pasien bisa disebabkan oleh (1) kurangnya kesadaran diri perawat, (2) kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik, (3) kurangnya kerangka konseptual dan, (4) kurangnya kejelasan tujuan.
Untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi salah satunya adalah dengan pemberian informasi melalui informed consent tentang tindakan persiapan dan kejadian-kejadian yang akan dialami oleh pasien selama dan setelah operasi. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik.
4
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti awal Desember 2014 di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, salah satunya adalah ruang Angsoka 3 ditemukan data terjadi tujuh kasus penundaan dan pembatalan tindakan operasi. Dalam buku register ruangan menunjukkan hal tersebut terjadi karena keadaan tiga kasus belum tersedianya alat ventilator dan empat kasus lainnya dikarenakan pasien menyatakan takut masuk ruang operasi. Peneliti melakukan wawancara kepada lima pasien yang akan menjalani tindakan operasi yang sudah mendapatkan penjelasan sebelumnya terkait prosedur dan tindakan yang akan dilakukan. Hasil menunjukan dua pasien yang akan menjalani operasi mayor mengatakan mengalami cemas berat dikarenakan takut peralatan pembedahan, petugas, dan takut operasi gagal. Tiga pasien lainnya yang akan menjalani operasi minor, dua diantaranya mengatakan cemas sedang karna takut pembiusan, dan satu pasien lagi mengalami cemas ringan.
5
diberikan selama perawatan, di IRNA C infomerd consent digunakan oleh perawat untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi.
Namun pelaksanaan pemberian informed consent di IRNA C belum berhasil optimal, karena kecemasan pasien yang akan menjalani operasi masih merupakan masalah dalam perawatan pre operasi. Menurut Ley (1992), menyatakan 35-40% pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang pasien terima dari tenaga kesehatan, serta kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit (dikutip oleh Smet, 2004). Menurut Widodo, Arif (2004) apabila informasi sebelum operasi yang diberikan atau dijelaskan kepada pasien kurang jelas atau sulit dimengerti pasien maka kecemasan pasien akan semakin tinggi.
6
Apabila hubungan terapeutik perawat-pasien tidak diaplikasikan akan berdampak negatif bagi mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit serta akan menimbulkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi suatu tindakan operasi, maka hubungan perawat-pasien perlu dibangun agar pasien dapat memilih alternatif coping yang positif bagi dirinya sehingga kecemasan pre operasi dapat diminimalisir (Hastuti, 2005).
Dari pemikiran dan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan terapeutik perawat-pasien dengan tingkat kecemasan pasien, khususnya pada pasien sebelum dilakukan operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan
pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara terapeutik
perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan perawat-pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar?”.
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum :
7
1.3.2 Tujuan khusus :
1) Mengidentifikasi hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
2) Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
3) Menganalisa hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah : 1.4.1 Teoritis
1) Pengembangan ilmu keperawatan pre operasi, khususnya dalam hal pelaksanaan hubungan terapeutik dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
2) Sebagai acuan ataupun sumber informasi untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.
1.4.2 Praktis
1) Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat dalam melaksanakan hubungan terapeutik pada pasien yang dirawat di IRNA C.
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
Dalam tinjauan teoritis ini akan dibahas tentang konsep dasar hubungan terapeutik, komunikasi interpersonal, persiapan tindakan operasi dan kecemasan.
2.1. Konsep Hubungan terapeutik
2.1.1 Pengertian
Hubungan terapeutik adalah kemampuan seseorang melakukan suatu interaksi atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan (Stuart dan Sundeen,1995). Hubungan terapeutik perawat-pasien adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman untuk memperbaiki emosi pasien. Pengertian lain menurut Liliweri (2008 ) komunikasi dalam hubungan terapeutik berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsesus, mengidentifikasi aksi-aksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dapat dilakukan secara efektif. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan teknik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan pasien untuk memberikan pengertian dan merubah prilaku pasien (Machfoedz, 2009).
2.1.2 Tujuan Hubungan Terapeutik
Hubungan terapeutik perawat – pasien bertujuan untuk perkembangan pasien (Nurjanah, 2005) yaitu :
9
c. Kemampuan untuk membina hubungan erat, interdependen, pribadi dengan kecakapan menerima dan memberi kasih sayang.
d. Kemampuan untuk membentuk suatu keintiman dan saling ketergantungan. e. Mendorong fungsi dan meningkatkan kemampuan terhadap kebutuhan yang
memuaskan dan mencapai tujuan pribadi yang realistik.
2.1.3 Tahapan Hubungan Terapeutik
Dalam proses, perawat membina hubungan sesuai tingkat perkembangan pasien dalam menyadari dan mengidentifikasi masalah dan membantu memecahkan masalah. Tahapan hubungan terapeutik ini dibagi dalam empat tahapan atau fase yaitu pra interaksi, orientasi atau perkenalan, kerja, dan terminasi.
a. Pra interaksi
10
b. Perkenalan atau orientasi
Fase ini dimulai dengan pertemuan dengan pasien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan pasien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-pasien. Dalam memulai hubungan, tugas utama adalah membina rasa percaya, penerimaan, dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan pasien. Stuart dan Sundeen (1987) mengatakan elemen-elemen kontrak perlu diuraikan dengan jelas pada pasien sehingga kerja sama perawat-pasien dapat optimal. Diharapkan pasien berperan serta secara penuh dalam kontrak. Perawat dan pasien mungkin mengalami perasaan tidak nyaman, bimbang karena memulai hubungan yang baru. Pasien yang mempunyai pengalaman hubungan interpersonal yang menyakitkan akan sukar menerima dan terbuka pada perawat. Dimana pada tahap ini tugas perawat adalah mengeksplorasikan pikiran, perasaan, perbuatan pasien, dan mengidentifikasi masalah,serta merumuskan tujuan bersama pasien.
c. Kerja
Pada fase ini, perawat dan pasien mengungkapkan stressor yang tepat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan pasien. Perawat membantu pasien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri, dan mengembangkan mekanisme coping yang konstruktif. Perubahan perilaku
11
d. Terminasi
Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan erat yang terapeutik sudah terjalin dan berada pada tingkat yang optimal. Perawat dan pasien, akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau pasien akan pulang. Dimana perawat dan pasien bersama-sama meninjau kembali proses perawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Proses terminasi yang sehat akan memberi pengalaman positif dalam membantu pasien mengembangkan koping untuk perpisahan. Terminasi yang mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan pasien sebagai penolakan, atau dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan karena pasien masih memerlukan bantuan perawat (Keliat,1992).
2.1.4 Komponen Hubungan Terapeutik
Komponen-komponen hubungan terapeutik perawat dengan pasien terdiri dari enam komponen :
a. Kualitas personal/pribadi perawat
Fokus analisa diri perawat adalah kesadaran diri, klarifikasi nilai, pengungkapan perasaan, dan rasa tanggung jawab.
12
Mempelajari diri sendiri meliputi proses pengungkapan diri, pikiran, perasaan, perilaku, termasuk pengalaman yang menyenangkan, hubungan
interpersonal dan kebutuhan pribadi, b) Belajar dari orang lain, merupakan suatu kesedian dan keterbukaan menerima umpan balik dari orang lain c) Membuka diri merupakan salah satu kriteria kepribadian yang sehat. Kesadaran diri dapat ditingkatkan agar penguasaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif.
2. Klarifikasi nilai, Covey (1997) mengatakan bahwa metode dimana seseorang menemukan nilai-nilainya sendiri dengan mengkaji, mengungkapkan dan menentukan nilai-nilai pribadi serta bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Hal ini perlu dilakukan karena nilai itu bermacam-macam, dari sinilah seorang yang proaktif mendasarkan pemilihan responnya, pilihan tersebut merupakan hasil dari pertimbangan yang matang berdasarakan nilai bukan emosi sesaat. Perawat sebaiknya mempunyai sumber kepuasan dan rasa aman yang cukup, sehingga tidak menggunakan pasien untuk kepuasan dan keamanannya.
13
4. Etik dan tanggung jawab, perawat mempunyai kode etik dan tanggung jawab tertentu yang mengambarkan nilai-nilai yang terdapat dalam hubungan perawat dengan pasien. Dengan demikian perawat perlu memahami kode etik keperawatan dan menggunakan kode etik dalam melaksanakan tugas.
b. Fasilitasi Komunikasi
Komunikasi pada dasarnya dapat menjadi suatu alat untuk memfasilitasi dan tanpa komunikasi tidak mungkin terjadi hubungan terapeutik antara perawat–pasien. Menurut Wilson dan Kneisi (1983), fasilitasi komunikasi bertujuan untuk memulai, membangun dan membina keterlibatan dan hubungan saling percaya, antara perawat dan pasien. Dalam berkomunikasi faktor yang perlu diperhatikan agar hubungan dapat berlangsung secara efektif diperlukan suatu pengenalan kesadaran diri sendiri dan mengenal orang lain dengan demikian tujuan komunikasi dapat tercapai. Dalam proses komunikasi ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi, sehingga komunikasi yang dibangun tidak dapat berlangsung secara efektif antara lain : 1) perkembangan, 2) persepsi, 3) nilai atau standar, 4) latar belakang sosial budaya, 5) emosi, 6) jenis kelamin, 7) pengetahuan, 8) peran dan hubungan, 9) lingkungan, dan 10) jarak.
c. Dimensi respon
14
1. Keikhlasan, perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan berperan aktif dalam hubungannya dengan pasien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengungkapkan perasaan yang sebenarnya dan spontan.
2. Menghargai, perawat menerima pasien apa adanya. Sikap perawat tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek, atau tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui duduk diam bersama pasien yang menangis, minta maaf pada hal yang tidak disenangi pasien.
3. Empati, merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan pasien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan pasien, merasakan melalui perasaan pasien dan kemudian mengidentifikasi masalah pasien, serta membantu pasien mengatasi masalah tersebut.
4. Konkrit, Perawat harus dapat menghindari keraguan dan ketidakjelasan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan: a) mempertahankan respon perawat terhadap pasien, b) memberikan penjelasan yang akurat, c) mendorong pasien memikirkan masalahnya.
d. Dimensi Tindakan
Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pergertian Stuart dan Sundeen (dikutip oleh Keliat,1992), dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emosional catharsis..
15
Carkhoff (1988) yang dikutip oleh Keliat (1992), mengidentifikasi ada tiga kategoriyaitu: a) Ketidaksesuaian antara konsep tentang diri pasien dan ideal diri pasien, b) Ketidaksesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku pasien, c) Ketidaksesuaian antara pengalaman pasien dan perawat. Sebelum melakukan konfrontasi, perawat perlu mengkaji tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan pasien, dan kekuatan coping
pasien. Konfrontasi ini berguna untuk meningkatkan kesadaran pasien akan kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku yang dilakukan secara
asertif.
2. Kesegeraan, kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat- pasien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan dan berkeinginan membantu pasien dengan segera.
3. Keterbukaan perawat, perawat memberikan informasi tentang dirinya, idealnya, perasaanya, sikap dan nilainya. Perawat
membuka diri tentang pengalaman yang berguna. Keterbukaan antara perawat dan pasien akan menurunkan tingkat kecemasan perawat-pasien (Keliat,1992).
16
perawat dengan pasien makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya dan makin cenderung mendengarkan dengan penuh perhatian serta bertindak atas nasehat yang diberikan oleh perawat.
2.1.4 Pengukuran Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien
Menurut Stuart dan Sundeen , dalam Cristina, dkk., (2003) Hubungan terapeutik perawat-pasien diukur dengan tahapan-tahapan hubungan terapeutik. Untuk melihat hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien dinilai dari dimensi respon dan dimensi tindakan. Alat ukur yang digunakan terdiri dari 21 pertanyaan, masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) 1-3 yang artinya adalah: nilai 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= ya. Masing-masing score dari ke 21 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan hasil dari penjumlahan tersebut dapat diketahui penerapan hubungan terapeutik perawat kepada pasien yaitu: total score < 30= hubungan terapeutik kurang, 30-50= hubungan terapeutik sedang, dan > 50= hubungan terapeutik baik (Penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail, 2013)
2.2 Komunikasi Interpersonal
17
yang kompeten harus menjadi komunikator yang efektif dan setiap perawat mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan perkembangnya sendiri. Ada empat faktor utama yang menunjang terjadinya masalah komunikasi dalam perawatan yang nantinya akan mempengaruhi hubungan perawat dengan pasien yaitu : kurangnya kesadaran diri perawat, kurangnya ketrampilan interpersonal yang sistematik, kurangnya kerangka konseptual dan kurangnya kejelasan tujuan:
a. Kurangnya kesadaran diri perawat
18
b. Kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik
Keterampilan yang sistematis mempunyai peranan dalam proses menjadikan seseorang komunikator yang efektif dan kompeten, serta dapat mengintegrasikan keterampilan yang sudah dikenalnya kedalam gaya komunikasi yang unik. Keterampilan interpersonal meliputi keterampilan verbal dan non verbal yang terdiri dari keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian, menujukkan penerimaan, mengulangi ucapan pasien dengan menggunakan kata kata sendiri, memfokuskan pembicaraan, menganjurkan pasien untuk menguraikan persepsinya dan memberikan kesempatan kepada pasien memulai pembicaraan. Keterampilan tersebut, akan dipraktekkan sampai kompetensi dicapai. Egan (1990) memperhatikan seringkali tidak memiliki keterampilan dasar untuk menolong (keterampilan interpersonal ).
c. Kurangnya kerangka konseptual
19
terapeutik perawat-pasien menentukan kapan sesorang membutuhkan bantuan, memperhatikan respon pasien (Jumadi,1999) Model Betty Neuman (1982) meletakkan dasar bagi komunikasi terbuka antara perawat dan pasien dalam keterlibatan perawat yang efektif. Model yang diterapkan ini, berfokus pada individu dan respon atau reaksi individu terhadap stress termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi dan kemampuan adaptasi pasien (Gaffar,1999).
d. Kurangnya kejelasan tujuan
Hubungan yang efektif akan mempunyai angka keberhasilan dalam membuat pilihan yang benar pada situasi-situasi yang dihadapi karena perawat mengetahui dengan jelas tentang tujuan atau maksud dari setiap interaksi (Ellis,1999). Ini memungkinkan untuk membeda-bedakan dan memilih pilihan yang cocok dengan situasi tertentu. Biasanya bukan perawat yang menentukan tujuan interaksi tetapi kebutuhan pasien. Proses ini, membutuhkan kepekaan dan empati agar perawat mampu membaca situasi secara tepat dan menilai apa yang diperlukan serta mengetahui tujuan yang jelas, dan melakukan secara strategis.
2.3 Persiapan Tindakan Operasi
20
operasi yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulit paska bedah dapat dicegah sebanyak mungkin. Tindakan bedah adalah upaya yang dapat mendatangkan stress karena terdapat ancaman terhadap tubuh, integritas dan terhadap jiwa seseorang. Perawat berada dalam posisi untuk memberikan bantuan kepada pasien agar bisa menyesuaikan dengan stressor (Meyer & Gray, 2001).
2.3.1 Persiapan mental
Persiapan mental pasien sebelum menjalani tindakan operasi meliputi tiga hal penting yaitu :
a. Informasi
Menurut Long (1996), informasi merupakan fungsi untuk mengurangi rasa cemas. Pasien yang menerima informasi yang benar sebelum menghadapi prosedur tindakan, tujuan operasi dan efek sampingnya lebih dapat melakukan perawatan yang mandiri (Keliat,1998). Adapun informasi yang harus diterima pasien meliputi prosedur dan resiko yang mungkin terjadi, alternatif tindakan yang dapat dipilih, perubahan bentuk dan penampilan, anestesi yang digunakan ( kondisi pada periode pasca operasi dan biaya operasi ).
b. Dukungan
21
c. Post op Exercise
Misalnya diagfragmatic breathing, turning and leg exercise, dsb. Post op exercise dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi operasi. 2.3.2 Persiapan fisik
Persiapan fisik meliputi persiapan berbagai sistem tubuh dan organ, keadaan gizi pasien, pemeriksaan laboratorium, foto dan pemasangan alat perawatan sesuai prosedur operasi serta penyulit pasca bedah lainnya yang mungkin timbul.
2.3.3 Persetujuan tindakan medik
Merupakan perjanjian legal antara dokter dan pasien yang harus ditanda tangani oleh pasien / orang tua / wali sebelum dokter melakukan tindakan (Appelbaum, 1987).
2.4 Konsep Kecemasan
2.4.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang (Nugroho, 2008).
22
2.4.2 Rentang Respon dan Proses Adaptasi Terhadap Cemas
Stuart dan Sundeen (2000) mengatakan rentang respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti :
Adatif Maladatif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik Gambar 2.1 Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif
Roy (1992) mengatakan manusia mahluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Menurut Stuart & Sundeen (2000) koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu :
a. Mekanisme Koping Adaptif
23
b. Mekanisme Koping Maladaptif
Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan dan menghindar.
2.4.3 Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart & Sundeen (2000), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :
a. Ansietas ringan
Pada fase ini pasien akan merasa :
1. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari. 2. Kewaspadaan meningkat.
3. Persepsi terhadap lingkungan meningkat.
4. Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas. 5. Respon kognitif tampak mampu menerima rangsangan yang kompleks,
konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan.
24
b. Ansietas sedang
Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :
1. Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.
2. Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.
3. Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak–sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.
c. Ansietas berat
Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul antara lain :
1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan kabur, serta tampak tegang. 2. Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat dan membutuhkan
banyak pengarahan/tuntunan, serta lapang persepsi menyempit.
3. Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).
d. Ansietas sangat berat / panik
Pada fase ini respon yang muncul antara lain :
25
2. Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.
3. Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
2.4.4 Faktor Pencetus Kecemasan
Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori:
a. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari–hari guna pemenuhan kebutuhan dasarnya.
b. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.
2.4.5 Dampak Kecemasan
26
mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).
2.4.6 Pengukuran Kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan digunakan alat ukur kecemasan. Ada dua jenis alat ukur yang sering di gunakan untuk menilai tingkat kecemasan, alat ukur yang sering digunakan adalah Halmiton Anxiety Rating Scale (HARS)dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS).
a. Alat ukur HARS
Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya
symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS
27
b. Alat ukur DASS
Menurut Hardjanah 1994 (dalam Sriati 2008) DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42 dibentuk tidak hanya mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku dimanapun dari status emosional secara signifikan biasanya digambarkan dengan stress. DASS
baik digunakan untuk individu maupun kelompok untuk tujuan penelitian.
Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score)
antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3 = sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 = kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).
Dari 2 jenis alat ukur kecemasan diatas, alat ukur dengan menggunakan DASS
28
2.4.7 Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien dengan Tingkat Kecemasan
Penerapan hubungan terapeutik perawat-pasien sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Keberhasilan hubungan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan langsung kepada pasien. Status pasien dalam hubungan perawat-pasien merupakan hubungan interdependent dan perawat memberikan alternatif dan membantu pasien dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi (Cook dan Fontaine,1987). Dalam hubungan terapeutik tersebut, perawat harus mampu membina hubungan saling percaya serta tindakan yang dilaksanakan dalam konteks kehangatan dan pengertian. Maka berdasarkan hal tersebut penulis ingin membuktikan kebenaran teori dengan kenyataan dilapangan.
29
yaitu (< α = 0,05). Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%)