• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Insektisida Anorganik

Insektisida merupakan bahan kimia pertanian yang digunakan untuk membasmi organisme pengganggu tanaman. Setelah aplikasi, residu insektisida akan terdapat pada tanaman, tanah, dan organisme tanah (Puspitasari &

Khaeruddin, 2016). Pengaplikasian insektisida sebenarnya sangat bagus untuk lahan pertanian dan perkebunan, namun pengaplikasian yang berlebih dapat menambah deposit residu dalam tanah. Residu tersebut dapat terserap tanaman dan melekat pada hasil panen bahkan dapat meracuni konsumen. Residu tidak hanya berasal dari bahan insektisida yang sedang diaplikasikan, namun juga dari penyerapan sisa residu yang tersisa di dalam tanah oleh akar, terutama pada tanaman yang dipanen umbinya (Soejitno & Ardiwinata, 2000).

Peningkatan kebutuhan pasar daripada hasil panen, mendorong petani memakai insketisida yang melebihi dosis. Tindakan tersebut berdampak terhadap banyaknya kandungan bahan kimia ditemukan dalam tanah (Sulaeman et al., 2016). Penggunaan insektisida sintetik harusnya ditanggung semua umat manusia untuk hasil negatif bagi lingkungan dan mahluk hidup lainnya (Sudewa et al., 2008). Pencemaran lingkungan dan keracunan terhadap pemakainya sulit diminimalkan. Dampak penggunaan insektisida pada tanaman bagi lingkungan dapat menyebabkan deposit residu dalam tanah makin banyak dan membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi, yang dikhawatirkan bisa menurunkan angka biodiversitas organisme pada ekosistem pertanian (Djuetea et al., 2017).

Menurut (Kurnia, 2018), gejala pencemaran residu insektisida tidak langsung dirasakan dalam waktu yang singkat, namun dalam jangka panjang dengan menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya berupa gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim. Residu pestisida yang diterima suatu organisme ke dalam tubuh mereka akan terakumulasi pada jaringan tubuh yang dibawa bersama makanan pada jaringan yang mengandung lemak pada tubuh dan kemudian dapat merusak fisiologis ginjal, hati, menurunkan kekebalan tubuh, cacat bawaan, system syaraf, alergi dan kanker. Kadar residu kimia dalam tanah akan terus

(2)

dipelajari sehingga dapat dicapai upaya terbaik pencegahan dampak dari residu insektisida (FAO/WHO, 2016).

Jenis bahan penyusun insektisida, umumnya yang digunakan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan karbamat (Munarso et al., 2004). Senyawa organofosfat dan karbamat bersifat menghambat enzim cholinesterase, yaitu enzim yang berperan dalam penerusan rangsangan syaraf. Peracunan dapat terjadi karena gangguan dalam fungsi susunan syaraf yang akan menyebabkan kematian atau dapat pulih kembali. Umur residu dari organofosfat dan karbamat ini tidak berlangsung lama (180 hari) sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor lingkungan mudah menguraikannya menjadi komponen yang tidak beracun (Sudewa et al., 2008)

Penentuan jenis insektisida yang tepat untuk tanaman, harus disertai pengetahuan karakteristik insektisida yang akan digunakan. Mulai dari efektifitas, selektifitas, fitotoksisitas dan residu insektisida terebut. Efektifitas merupakan daya bunuh insektisida terhadap OPT. Selektifitas merupakan kemampuan insektisida membunuh OPT secara selektif, dimana suatu insektisida lebih toksik terhadap sejumlah serangga tertentu dan tidak atau kurang toksik terhadap sejumlah serangga lainnya. Selektifitas insektisida lebih menekankan kemampuan insektisida untuk memilih OPT sasaran tanpa merugikan organisme non-target, termasuk musuh alami dan serangga berguna lainnya (Djojosumarto, 2008).

Berdasarkan beberapa penelitian, bahwa bahwa pemakaian bahan agrokimia pada sentra perkebunan hortikultura terutama sayur sudah berlebihan dan telah melebihi batas maksimum residu (BMR), ada indikasi bahwa kandungan residu insektisida dalam sayuran selalu terjadi di lahan produksi (Harsanti et al., 2015). Dan kenyataan di lapang bahwa memang penggunaan pestisida masih menjadi cara utama dalam pembasmian hama dan penyakit pada tanaman di Indonesia.

2.2 Cara Kerja Insektisida

Penambahan suatu substrat atau tindakan pengolahan tanah akan merubah ketersediaan makanan dan kondisi mikro yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme tanah (Simarmata, 2012). Sejalan dengan Harsanti

(3)

(2015), insektisida disusun oleh gugus fungsional bermuatan ion untuk meningkatkan peluang pelekatan pada tanah, dimana ion positif tersebut akan melekat pada tanah liat atau lempung yang ionnya negatif.

Penggunaan insektisida anorganik bagi lingkungan dapat menyebabkan tertumpuknya sisa insektisida dalam tanah yang membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi sehingga menimbulkan pencemaran tanah dan menyebabkan turunnya biodiversitas organisme dalam tanah. Sisa insektisida anorganik dalam tanah dapat masuk ke dalam air tanah dan sampai ke sumber mata air yang dikonsumsi oleh manusia dan juga petani yang berinteraksi langsung dengan insektisida dalam jangka waktu lama akan menimbulkan efek buruk bagi kesehatan, antara lain kanker, depresi, gangguan pernapasan, efek neurologik dan penyakit dermatologi (Djuetea et al., 2017).

Frekuensi penyemprotan serta tingginya volume pestisida yang digunakan menunjukkan adanya peran yang menentukan dari pestisida terhadap produksi tanaman sehingga pestisida ini tidak dapat dilepaskan dari penanaman sayuran.

Jenis pestisida yang banyak digunakan petani konvensional adalah pestisida golongan organofosfat. Hal ini disebabkan karena pestisida golongan organofosfat memiliki karakteristik yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pestisida organoklorin, seperti mudah terurai dan waktu persistennya yang singkat (Chen, 2011). Berikut merupakan beberapa jenis pestisida yang sering digunakan oleh petani di Desa Bokor pada lahan cabai rawit dan kubis:

1. Klorpirifos

Menurut Kurnia (2018), klorpirifos merupakan jenis bahan insektisida pada golongan organofosfat yang bersifat non sistemik. Sistem kerjanya yaitu ketika bahan klorpirifos bersentuhan pada kulit, termakan, dan terhirup oleh serangga maka akan mati. Penggunaan klorpirifos pada tanaman dilakukan dengan cara penyemprotan langsung atau tidak langsung. Klorpirifos adalah kristal putih yang memiliki bau yang tajam, yang tidak bercampur dengan air tapi bercampur dengan liquid berminyak. Klorpirifos relatif lebih lambat terdegradasi daripada jenis karbamat. Tergantung juga oleh kandungan liat dan karakteristik tanah, seperti; tipe liat dan kandungan bahan organik tanah juga mempengaruhi

(4)

akumulasi insektisida. Reaktifitas klorpirifosadalam tanah dipengaruhii oleh pH tanh, jika pH tanahnya tinggi (7,9-8,1) maka menyebabkan rendahnya cara kerja mekanismee dan kinetika serapan insektisida dalam tanah (Harsanti et al., 2015).

2. Abamektin

Abamektin merupakan insektisida yang bekerja secara kontak dan lambung pada pencernaan hama dan membunuh hingga ke telurnya. Kandungan Bahan aktif yang beredar di pasaran Indonesia yakni sekitar 18 ml/L. Penggunaan insektisida abamektin sesuai dengan takaran yang dianjurkan dalam kemasan akan menyebabkan berkurangnya kepadatan populasi hama, seiring bertambahnya konsentrasi penggunaan insektisida. Sehingga pemberian insektisida abamektin yang melebihi takaran yang dianjurkan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroarthropoda dalam suatu habitat (Niswah et al., 2019). Menurut Kolar et al (2007), bahwa insektisida yang mengandung abamektin merupakan salah satu bagian dari golongan avermektin dengan tingkat toksisitas tinggi pada invertebrata tanah jika dibandingkan dengan avermektin golongan lainnya. Menurut Nanjing Bangnuo Biotechnology (2016), abamektin menyerang sistem saraf serangga dan tungau, kemudian menyebabkan kelumpuhan dalam beberapa jam dimana kelumpuhan tersebut tidak dapat dikembalikan dan kematian maksimum terjadi dalam 3-4 hari.

3. Imidakloprid

Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengaruh perlakuan insektisida imidakloprid pada kutu daun berpengaruh nyata terhadap penurunan populasi.

Efektifitas dari bahan aktif imidakloprid telah banyak diuji terhadap kelompok homoptera. Bahan aktif imidakloprid bekerja secara kontak, lambung, dan sistem yang menyebabkan hama setelah menghisap tanaman yang sudah mengandung insektisida mengalami gangguan pada organ-organ tubuh yang mengakibatkan keracunan dan pada akhirnya menyebabkan kematian (Wicaksono, 2016).

Insektisida dengan kandungan imidakloprid dapat bertahan dengan lama sekitar selama 39 hari akibat fotolisis di permukaan tanah dan terjerap di dalam butiran tanah (Fossen, 2006). Menurut El-Hamady (2008), molekul dari bahan imidaklropid masih terkandung di dalam tanah selama 21 hari pengaplikasiaan,

(5)

dan selebihnya diserap oleh tanaman melalui akar. Penggunaan imidaklropid juga bisa merubah susunan kandungan hara di dalam tanaman diantaranya: Kalsium, Fe, Magnesium, Mangan, Natrium, Kalium, dan Zinc yang mempengaruhi pertumbuhan populasi tanaman (Azzam et al., 2011).

4. Profenofos

Menurut Wariki (2012), profenofos merupakan bahan aktif dari insektisida organofosfat berspektrum luas yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga pada tomat, kapas, jagung, kentang, sayur-sayuran dan tanaman lainnya. Profenofos ini termasuk dalam kategori racun kontak lambung, yang mampu bereaksi cepat untuk mengendalikan serangan beragam hama dan membuat hama mati karena terganggu sistem pencernaannya (Alen et al., 2015).

5. Klorantraniliprol

Menurut Handayani (2019), formula insektisida dengan kandungan klorantraniliprol tersedia dalam bentuk cair dan bubuk (powder). Sedangkan, di Indonesia formula yang beredar merupakan bentuk cair berbahan aktif 50%

dengan dosis anjuran 900 mL/ha. Formulasi bentuk bubuk memiliki kadar bahan aktif sebesar 35% dan belum dirilis di Indonesia, sehingga belum diketahui bagaimana pengaruh pengaplikasiannya terhadap lingkungan dan serangga nontarget. Insektisida klorantraniliprol yang diaplikasikan pada pertanaman cabai mempunyai cara kerja sistemik lokal dengan efek translaminar dimana insektisida ini hanya mampu diserap oleh jaringan daun (epidermis atas) dan tidak dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (Sudrajat et al., 2019). Cara kerja klorantraniliprol adalah menganggu saraf otot dengan mengaktifkan reseptor rianodin serangga yang menyebabkan berkurangnya ion kalsium intraselular sehingga mengakibatkan kelumpuhan otot dan kematian pada serangga. Gejala yang ditunjukan oleh serangga akibat aplikasinya adalah berhenti makan dan dalam beberapa hari dapat menyebabkan kematian (Djuetea et al., 2017)

2.3 Gambaran Kecamatan Tumpang

Kecamatan Tumpang memiliki ketinggian antara 900-1450 meter di atas permukaan air laut, suhu bekisar antara 22-30°C dan curah hujan 980-2.490 mm/tahun. Pertanian yang berkembang di Kecamatan Tumpang adalah pertanian

(6)

dengan tipe ladang, tegalan, dan perkebunan. Sedangkan lahan bukan sawah, seperti ladang dan tegalan ditanami dengan tanaman palawija, kopi, jagung, cabe, sayur mayur, dan sebagainya. Kemudian pekarangan disekitar rumah penduduk biasanya ditanami dengan jenis pohon-pohonan seperti apel, tomat, bambu, dan sebagainya (Cipta et al., 2018).

Desa Bokor merupakan satu dari 15 desa di Kecamatan Tumpang, terletak di bagian barat Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Desa Bokor mempunyai curah hujan 2600 mm/tahun, 6 bulan bulan basah, dan ketinggian 450 m dpl. Luas desa 130,95 ha. Potensi daerah terletak di bidang pertanian, 74,7%

luas lahan desa merupakan sawah dengan irigasi sepanjang tahun, sisanya merupakan tegalan, pekarangan dan juga fasilitas umum. Desa Bokor memiliki posisi yang penting karena menjadi potensi untuk pengembangan pertanian dan Kota Malang dapat menjadi pangsa pasar produk pertanian (Sebayang et al., 2020). Permasalahan petani di Desa Bokor adalah susah dalam mendapatkan pengairan, padahal komoditas yang ditanam berupa sayur-sayuran dimana membutuhkan pengairan yang lancar. Permasalahan kedua yakni hama dan penyakit tanaman yang selalu muncul tiap musim tanam. Lalu, biaya produksi selalu teralokasikan pada biaya pupuk kimia dan insektisida kimia. Sehingga diperlukan alternatif untuk mengurangi biaya produksi dengan menggunakan kompos dan agens hayati (Aini et al., 2020).

2.4 Pengolahan Lahan Perkebunan di Desa Bokor

Seiring dengan kesadaran manusia bahwa mengkonsumsi sayuran dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan, terjadi peningkatan konsumsi pada sayuran. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk sehingga mempengaruhi kebutuhan komoditas sayur-sayuran. Salah satu sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat saat ini adalah kubis (Brassica olearecea. L).

Kubis memiliki kandungan gizi yang tinggi seperti serat, kalsium, dan kaya vitamin seperti vitamin A 200 IU, B20 IU dan C 120 IU yang sangat berperan bagi kesehatan (Kumarawati et al., 2013). Selain itu kubis juga mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi yang dapat mengurangi resiko terkena penyakit. Keunggulan lain dari sayuran kubis yaitu murah, sangat mudah dijumpai

(7)

dan di pasar tradisional maupun di swalayan, sering kali dikonsumsi dalam keadaan mentah (Agustina et al., 2016).

Menurut Faruk (2016), tanaman kubis tergolong sayuran daun yang memerlukan banyak unsur nitrogen untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas produksi yang tinggi. Simarmata (2012), tanah yang sehat akan mengasilkan produktivitas yang optimal secara berkesinambungan. Manajemen untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas tanah mencakup:

1. Mempertahankan akvitivitas biologi tanah, diversitas dan produktivitas.

2. Mengendalikan atau meregulasi aliran air dan nutrisi yang terlarut.

3. Melestarikan ketersediaan nutrisi dan siklus hara.

4. Mempertahankan kandungan dan pasokan bahan organik dan menghilangkan bahan polutan dari dalam tanah (detoksifikasi).

5. Manajemen konservasi tanah dan air dan tanaman (kultur teknis, rotasi tanaman, pemeliharaan tanaman).

6. Menentukan kriteria tingkat kompleksitas jaringan makanan yang optimal dalam mempertahankan kualitas lahan, dilengkapi indikatornya.

7. Merancang dan menyusun rancang bangun teknologi atau desain yang akan digunakan dalam mengelola sumber daya lahan secara berkesinambungan.

8. Memonitor dan mengaudit kualitas lahan secara fisik, kimia dan biologi dan pengembangan indikator biologis yang praktis di lapangan sangat diperlukan.

9. Mempersiapkan sumberdaya yang terampil (qualified skills of grower farmers).

Ladang perkebunan Cabai Rawit (Capsicum frustescens) di Desa Bokor kebanyakan memakai sistem pertanian seperti tumpang sari. Bermaksud untuk memacu produksi tanaman cabai, ada beberapa faktor yang dapat dilakukan selain penggunaan bibit unggul yaitu dengan manipulasi lingkungan tempat untuk tanaman (karena cabai merupakan tanaman golongan C3, dimana tanaman tidak membutuhkan cahaya yang terik untuk habitat hidupnya) seperti; penggunaan mulsa pada tanaman cabai. Pada awalnya penggunaan mulsa ditujukan kepada

(8)

pencegahan erosi pada musim hujan dan pencegahan kekeringan pada musim kemarau. Pada dewasa ini pemulsaan pada cabai berkembang pada kajian iklim mikro tanah, refleksi matahari dan daya serap permukaan tanah (Umboh, 2002).

Sesuai kutipan Oktaviani & Batoro (2017), keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi merupakan beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat terkait dengan pengelolaan lahan dan pemanfaatan tumbuhan. Permasalahan tersebut telah mendorong masyarakat untuk melakukan teknik tertentu dalam pengelolaan lahan dan bentuk pemanfaatan tumbuhan.

Peningkatan suhu dan intensitas cahaya matahari menyebabkan tanaman cabai tidak dapat tumbuh secara optimum (Moekasan et al., 2015).

2.5 Kualitas Tanah Terhadap Keanekaragaman Makrofauna Tanah Tanah merupakan satu dari banyak reservoir penting dari biodiversitas.

Dimana kebergunaan tanah menggambarkan proses biogeokimia dari ekosistem yang berbeda-beda dan saling berkombinasi di dalamnya, dengan fluktuasi kualitas tanah menjadi pertimbangan dari sebuah kriteria yang pantas untuk mengevaluasi kelestarian ekosistem jangka panjang. Ada dua faktor yang bisa mempengaruhi berubahnya kriteria tanah yaitu: (1) Komponen abiotik yang dapat mempengaruhi faktor fisika seperti tekstur tanah, struktur tanah, dan faktor kimia antara lain pH, salinitas, kadar bahan organik dan unsur mineral tanah. (2) Komponen biotik yang dapat mempengaruhi antara lain flora dan fauna, dengan adanya dua komponen tersebut terjadi interaksi pertukatan zat dan energi secara terus-menerus sehingga ekosistem didalam tanah berjalan dengan baik (Haneda &

Sirait, 2012). Sejalan dengan pendapat Simarmata (2012), berkurangnya kandungan bahan organik tanah secara langsung akan mempengaruhi kualitas tanah baik secara kesuburan fisik, kimia maupun biologi tanah.

Secara ekologis, tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hidup), faktor abiontik berupa bahan organik, dan faktor abiotik berupa pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay).

Fungsi tanah berperan penting sebagai sumber hara (nutrition) tanah yang akan tersedia bagi tanaman dan mikrobia setelah bahan organik tersebut mengalami

(9)

perombakan menjadi senyawa-senyawa sederhana (dekomposisi atau mineralisasi) (Hanafiah et al., 2007).

Salah satu aspek dalam keberhasilan pertanian yaitu tanah. Dari perspektif tanaman, tanah merupakan tempat terjadinya proses konversi hara yang terikat dalam senyawa organik maupun anorganik yang dapat diserap oleh tanaman.

Pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada kemampuan tanah dari faktor kualitas tanah seperti kesehatan tanah dan keanekaragaman hayati yang di sana (Simarmata, 2012). Sesuai dengan pendapat (Waluyaningsih, 2008), tanah merupakan penentu utama kemajuan ekosistem terestrik karena berlaku sebagai sumber, pengalih ragam dan penyedia hara tumbuhan, serta sebagai penyedia air bagi tumbuhan yang dialihragamkan dari atmosfer.

Maka tanah menjadi penentu kapasitas lahan dalam produkasi biomassa berguna seperti pertanian dan perkebunan. Keanekaragaman makrofauna tanah berkaitan erat dengan bahan organik tanaman yang ditambahkan pada tanah.

Semakin tinggi keanekaragaman makrofauna tanah pada suatu tempat, maka semakin stabil ekosistem di tempat tersebut. Menurut Rizqqiyah (2016) mengatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan yang sama atau hampir sama. Keberadaan suatu organisme dalam suatu ekosistem dapat memengaruhi keanekaragama makro dan mikrofauna tanah. Berkurangnya jumlah jenis maupun populasi dalam suatu ekosistem dapat mengurangi indeks keanekaragamannya.

2.6 Makrofauna Tanah dan Peranannya

Menurut (Santoso, 2017), makrofauna tanah merupakan komponen tanah yang sangat bergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu derah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut.

Adapun faktor-faktor fisika maupun kimia yang mempengaruhi kepadatan populasi fauna tanah. Pertama, penyebaran organisme dalam tanah sangat tergantung kondisi agro-ekosistem (kualitas tanah dan ketersediaan substrat atau sumber makanan). Semakin banyak sumber makanan (faktor intensitas) dan semakin baik kondisi lingkungan akan terdapat jumlah organisme tanah dalam

(10)

jumlah yang relatif besar (Simarmata, 2012). Kondisi biologi tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kondisi yang terganggu akan mempengaruhi jenis dan jumlah fauna tanah yang ada. Makrofauna tanah lebih banyak ditemukan pada daerah dengan keadaan lembap dan kondisi tanah yang memiliki tingkat kemasaman lemah sampai netral (Wibowo & Slamet, 2017). Hal tersebut menjadikan makrofauna tanah sebagai indikator yang paling sensitif terhadap perubahan dalam penggunaan lahan, sehingga dapat digunakan untuk menduga kualitas lahan.

Peranan fauna tanah dalam pemeliharaan kualitas lingkungan di lahan pertanian sangat penting. Pengelolaan tanah yang tidak memenuhi kaidah-kaidah yang benar akan menyebabkan penurunan kelimpahan dan keragaman fauna tanah dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan terganggunya siklus hara alami dalam agroekosistem, menurunnya kualitas dan produktivitas lahan, dan pada gilirannya akan mengancam keberlangsungan usaha tani di lahan tersebut.

Pengetahuan ini dapat dipakai untuk menciptakan atau memperbaiki penerapan teknologi pengelolaan lahan pertanian yang lebih ramah lingkungan, mempunyai produktivitas tinggi, dan mengarah pada sistem pertanian berkelanjutan. Beberapa filum makrofauna tanah yang sering ditemukan dalam lahan pertanian adalah sebagai berikut:

2.6.1 Filum Anelida

Filum Anelida ini merupakan indikator dalam menentukan kualitas tanah.

Tanah subur umumnya dicirikan dengan tingginya populasi filum Anelida.

Menurut Ansyori (2004), populasinya berkaitan erat dengan karakteristik tempat hidupnya, yaitu ketersediaan makanan, kondisi tanah, musim dan jenis. Cacing tanah yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas tanah (soil quality) dan pertanian. Populasi cacing akan meningkat dengan bertambahnya kandungan bahan organik tanah (Simarmata, 2012). Penelitian yang dilakukan Jayanthi, (2014), cacing tanah sering ditemukan pada pertanian yang menerapkan system pertanian organik. Famili anelida yang sering ditemukan pada lahan jenis pertanian adalah Glossocolecida dan Megascolecidae. Sesuai menurut Ansyori (2004), bahwa cacing adalah organisme bersifat hermaprodit yang sering dijumpai

(11)

pada lahan pertanian. Berikut beberapa contoh beberapa famili anelida yang sering dijumpai pada lahan pertanian.

1. Famili Glossocolecida

Gambar 2.1. (Ponthoscolex corethrurus) Sumber: Jayanthi et al., (2014)

Keterangan: a) morfologi tubuh, b) klitelum berbentuk sadel, c) seta tipe lumbrisine, dan d) prostomium prolobus.

Klasifikasi:

Kingdom: Animalia Fillum : Annelida Kelas : Cliteliata Subkelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Subordo : Lumbricina Genus : Glossoscolecidae

Spesies : Ponthoscolex corethruru (Ansyori, 2004).

Tanda-tanda khusus: Panjang tubuh berkisar antara 45-120 mm, diameter 2-3 mm, dan jumlah segmen antara 120-167, warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral abu-abu keputihan, warna ujung anterior kekuningan dan ujung posterior coklat kekuningan, prostomium prolobus, klitelium berbentuk sadel pada segmen ke 13-17 berwarna kekuningan, pada bagian dorsal menebal sedangkan bagian ventral tidak. Tipe seta lumbricine di bagian dorsal tubuh, terlihat lebih jelas pada bagian posterior, lubang kelamin jantan terletak pada segmen 20/21 dan lubang kelamin betina tidak jelas.

(12)

2. Famili Megascolecidae:

Gambar 2.2. (Amynthas sp.) Sumber: Jayanthi et al., (2014)

Keterangan: a) morfologi tubuh; b) klitelium berbentuk annular;

c) prostomium tipe epilobus, dan d) seta perichitine.

Klasifikasi:

Kingdom: Animalia Fillum : Annelida Kelas : Cliteliata Ordo : Haplotaxida Family : Megascolecidae Genus : Amynth

Spesies : Amynthas sp (Ansyori, 2004).

Tanda-tanda khusus: Panjang tubuh berkisar antara 60-158 mm, diameter 3-5 mm, dan jumlah segmen antara 87-167. Warna bagian dorsal coklat kemerah- merahan, bagian ventral coklat pucat, warna ujung anterior coklat dan ujung posterior coklat kekuningan, prostomium epilobus, klitelium berbentuk annular pada segmen 14-16 dengan warna coklat muda. Tipe seta perichaetine tersebar diseluruh segmen. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen 18 dan lubang kelamin betina terletak pada segmen 14 tidak jelas. Cacing ini biasanya hidup di dalam permukaan tanah dengan pH normal untuk menetaskan kokon (telur).

(A)

(C) (D)

(B)

(13)

Gambar: 2.3. (Megascolex sp.) Sumber: Jayanthi et al., (2014)

Keterangan: a) morfologi tubuh; b) klitelum berbentuk annular;

c) prostomium tipe epilobus; dan d) seta perichitine Klasifikasi:

Kingdom : Animalia Fillum : Annelida Kelas : Chaetopoda Subkelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Famili : Megascolecidae Genus : Megascolex

Spesies : Megascolex sp (Hanafiah, 2005).

Tanda-tanda khusus: Panjang tubuh berkisar antara 90-130 mm, diameter 3-4 mm dengan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral pucat atau coklat keputihan. Warna ujung anterior coklat keputihan dan ujung posterior abu-abu coklat. Klitelium berbentuk annular dimulai pada segmen ke 14-16. Lubang kelamin jantan pada segmen 18, lubang kelamin betina pada septa 7/8-8/9.

2.6.2 Filum Molusca

Menurut Mansur et al., (2017), molusca termasuk ke dalam hewan tidak bertulang belakang (vertebrata), dan memiliki keanekaragaman yang tinggi.

Jumlah Mollusca yang melimpah di Indonesia dikarenakan karena memang iklim habitatnya yang sesuai dengan dibutuhkan oleh Mollusca. Filum ini memiliki

(14)

beberapa penggolongan dalam kelasnya. Beberapa yang sering muncul di lahan pertanian biasanya berasal dari kelas Gastropoda dan Bivalvia. Sesuai dengan namanya, Gaster: Perut dan Podous: Kaki; berarti tubuh dan kakinya menyatu yang terdapat lapisan cangkang. Morfologi kelas Gastropoda yaitu: tidak memiliki rangka dalam namun selalu terdapat kelenjar mantel yang dapat melindungi tubuhnya, tubuh yang asimetris, kepala dan kakinya menyatu dengan radula;

memikiki satu hingga dua insang; dan beberapa mantel hasil modifikasi (Hickman et al., 2001). Alat reproduksinya terpisah namun ada yang hermaprodit seperti pada bekicot (Achatina fulica).

2.6.3 Filum Arthopoda

Menurut (Borror, 1970), arthropoda (arthros: bersambung, podos: kaki) adalah hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) sehingga pergerakannya sangat tergantung pada kulit eksternal yang dikenal sebagai exoskleton.

Ukurannya bervariasi dari mulai mikroskopik sampai makroskopik (beberapa inchi). Populasi antropoda umumnya terkonsentrasi pada tanah lapisan atas, dan semakin dalam populasinya semakin sedikit. Ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan yang diperlukan oleh organisme tersebut. Keberadaan arthropoda pada pertanaman sangatlah penting karena terdapat beberapa famili yang berperan.

Famili vespidae dan Apidae berperan sebagai penyerbuk dan famili Entomobrionidae dan Isotomidae berperan sebagi pengurai sisa-sisa tanaman (Khasanah, 2011).

2.6.3.1 Kelas Chilopoda

Chilopoda merupakan kelas dengan bentuk tubuh agak pipih yang terdiri atas kaki semu sekitar 177 pasang. Kecuali di belakang kepala dan di bagian tubuh terakhir yang dibagi menjadi bagian lengan. Bagian dari tubuh pertama bermodifikasi menjadi sengat yang beracun. Bagian kepala ada beberapa yang mirip dengan serangga yaitu terdiri atas sungut, bagian rahang (Mandible), dan beberapa maxillae. Kelas Chilapoda biasanya hidup di tempat lembap seperti di bawah kayu, kulit kayu, dan bebatuan. Beberapa spesies dari kelas ini sangat berbahaya bagi manusia dan tergolong karnivora (Hickman et al., 2001).

(15)

Gambar 2.4. (Scolopendra gigantean) Sumber: Hickman et al., (2001) Klasifikasi:

Kingdom: Animalia Fillum : Arthropoda Kelas : Chilophoda

Ordo : Scolopendromorpha Famili : Scolopendridae Genus : Scolopendra

Spesies : Scolopendra gigantea (Borror & White, 1970).

2.6.3.2 Kelas Diplopoda

Diplopoda atau biasa disebut Myriapoda yang berarti memiliki seribu kaki.

Walaupun memiliki banyak kaki tetapi mereka hanya memiliki cincin abdominal yang terbagi. Tubuhnya yang silinder tersebut, tersusun 25 hingga 100 segmen cincin dimana satu thorax tubuh mereka terdiri atas empat segmen cincin yang terdapat sepasang kaki. Bagian kepala meeka terdapat sepasang antena, mandibel, dan maxillae. Kelas ini menyukai tempat gelap dengan keadaan lembap seperti dibawah balok kayu dan bebatuan. Beberapa spesies memang tergolong herbivor akan tetapi ada juga yang memakan tanaman busuk. Pergerakannnya begitu lambat sehingga ketika terganggu mereka melindungi dirinya dengan cara menggulungkan dirinya menjadi seperti lingkaran. Kelas diplopoda berperan sebagai pengurai humus dari sisa-sisa tumbuhan. Habitatnya ada di berbagai ekosistem seperti darat da nada di dalam tanah.

(16)

Gambar 2.5. (Trigoniulus corallinus) Sumber: Hickman et al., (2001) Klasifikasi:

Kingdom: Animalia Fillum : Arthropoda Kelas : Chilophoda Ordo : Chilognatha Famili : Chilognathae Genus : Trigoniulus

Spesies : Trigoniulus corallinus (Borror, 1970).

2.6.3.3 Kelas Arachnoidea

Beberapa jenis yang termasuk kedalam Arachnoidea adalah kalajengking, laba-laba, dan sebagainya. Tubuhnya terdiri dari 2 bagian yaitu: Cephalothorax, dan perut, memiliki 6 pasang embelan pada Chepalothorax, tidak memiliki antena.

Pasangan embelan yang pertama adalah kelisere (chelicerae) yang berfungsi untuk merobek dan melumpuhkan mangsanya. Kelas ini memiliki mata yang sederhana, biasanya 8 buah yang terletak dibagian kepala.

2.6.3.4 Kelas Insecta

Serangga merupakan kelompok organisme dominan. Sehingga dengan dominasi tersebut menjadikan serangga sebagai penyambung kebutuhan adalah siklus energi dengan berbagai peran yang dilakukan. Keberadaan serangga pada suatu tempat dapat menjadi indikator biodiversitas, kesehatanxekosistem, dan degradasi lahan. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah sebagai

(17)

pollinator, dekomposer, predator dan parasitoid (Kartikasari, 2015). Serangga terbagi lagi pada beberapa jenis peran atas tingkatan trofik dalam ekosistem yaitu herbivora, karnivora, detrivor, dan pollinator (Untung, 2006), yaitu:

a) Serangga Herbivora

Serangga yang termasuk dalam golongan ini adalah serangga hama, karena beberapa serangga dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian karena menyerang tanaman yang dibudidayakan oleh pertain yang akhirnya produksi turun. Contoh dari serangga herbivora ini yaitu belalang (Dissostura sp), belalang sembah (Stagmomatis sp), kecoa (Blattaorentalis), dan walang sangit (Leptocorixa acuta).

b) Serangga Karnivora

Serangga karnivora terdiri dari predator dan parasitoid, peran serangga karnivora ini bisa jadi memangsa hewan-hewang pemakan tumbuhan sebagai parasit atau bahkan juga menjadi kanibal terhadap sesama serangga sebagai predator. Umumnya serangga karnivora dari ordo Hymenopteram coleopteran, dan diptera. Contohnya adalah semut tentara (Dorylinae).

c) Serangga Detrivor

Serangga ini sangat berguna pada proses jaring-jaring makanan, perannya sebagai decomposer akan dimanfaaatkan oleh tumbuhan. Golongan serangga detritivor yang sering kali ditemukan adalah dari ordo Coleoptera, Blattaria, Diptera, dan Isoptera. Salah satu contohnya adalah Reticulitermis fllavipes.

d) Serangga Pollinator

Serangga penyerbuk merupakan jenis serangga yang menguntungkan karena sebagai penyambung atau perantara penyerbukan tanaman. Penyerbukan tanaman oleh serangga merupakan proses pemindahan serbuk sari dari ather ke stigma (kepala putik). Contoh dari serangga pollinator adalah lebah (Anthophila sp.), kupu-kupu (Rhopalocera sp.), kumbang (Coleoptera sp.). Ciri-ciri umum serangga diantaranya memiliki apendiks atau alat tambahan yang beruas, tubuhnya bilateral simetri yang terdiri dari sejumlah ruas, tubuh terlindungi oleh zat kitin. Sistem saraf tangga tali, coelom pada serangga dewasa bentuknya kecil dan merupakan suatu rongga yang berisi darah (Hadi, 2009). Beberapa ordo selalu dijumpai dalam susunan trofik sistem pertanian seperti: Odonata, Orthoptera,

(18)

Isoptera, Hemiptera, Coleptera, Diptera, Lepidoptera, dan Hymnoptera. Menurut (Patang, 2010), keberadaannya sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana ia hidup dan mempunyai potensi yang tidak ternilai, terutama dalam membantu perombakan bahan organik tanah, sehingga menjadi salah satu mahkluk penyeimbang lingkungan.

2.7 Sumber Belajar Biologi

Sumber belajar merupakan objek yang membantu siswa dalam terjadinya proses belajar, seperti; manusia, peralatan, metode, dan lingkungan. Sumber belajar menjadikan anak didik bisa membedakan yang baik dan yang buruk, mana perintah dan mana larangan (Musfiqon, 2012). Keberadaan sumber belajar dapat memungkinkan dan memudahkan terjadinya proses belajar. Proses pembelajaran merupakan interaksi antara siswa dengan objek yang dipelajari, maka peranan sumber belajar tidak dapat dikesampingkan dalam proses belajar biologi (Octovi er al., 2015). Adanya pengadaan dan penggunaan sumber belajar di sekolah diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka meningkatkan kualiatas pengajaran. Menurut Nurrohman et al. (2015) tentang syarat-syarat pemanfaatan sumber belajar, yaitu sebagai berikut: kejelasan potensi, kesesuaian dengan tujuan belajar, ketapatan sasaran, kejelasan informasi yang diungkapkan, kejelasan pedoman eksplorasi, kejelasan perolehan yang diharapkan. Proses pembelajaran dibutuhkan suatu sumber belajar yang harus sesuai dengan silabus pada kurikulum yang berlaku. Salah satu contohnya pada mata pelajaran biologi SMA kelas X materi Berbagai Tingkat Keanekaragaman Hayati Indonesia pada KD 3.2 Menganalisis data hasil observasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman hayati Indonesia (gen, hayati, jenis, dan ekosistem). Hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar yang sesuai dengan KD 3.2 tersebut.

Mata pelajaran Biologi merupakan mata pelajaran yang wajib ditempuh bagi siswa maupun siswi di SMA di kelas X. Pada materi keanekaragaman hayati Kurikulum 2013 pada KD 3.2 Menganalisis data hasil obervasi tentang berbagai tingkat keanekaragaman hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia. Sub materi tentang keanekaragaman hayati pada tingkat ekosistem pada kompetensi dasar tersebut, terdapat materi yang menyebutkan bahwa ekosistem terdiri dari

(19)

dua, yaitu ekosistem darat (terestrial) dan ekosistem perairan. Organisme seperti makro dan mikrofauna tanah sangat jarang sekali dibahas secara luas dalam pelajaran biologi. Berdasarkan pertimbangan hal diatas maka hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang mendukung proses pembelajaran bagi peserta di kelas.

2. 8 Kerangka Konseptual

Gambar 2.6 Kerangka Konseptual Penelitian Perkebunan Hortikultura

Pengolahan Lahan

Kebun Kubis Kebun Cabai

Kualitas tanah a. Suhu

b. Kelembapan c. pH tanah d. C-organik

Kelimpahan Makrofauna tanah

Kajian Pemanfaatan Sumber Belajar Biologi

Insektisida Abamektin dan Klorantranipol Insektisida

Klorantranipol, Abamektin dan Klorpirifos

Insektisida Insektisida

Mempengaruhi

Faktor Abiotik

Mempengaruhi

Digunakan sebagai Indeks Keanekaragaman (H‟)

Indeks Kemerataan (E)

Indeks Dominansi (C)

Meliputi

Gambar

Gambar 2.4. (Scolopendra gigantean)  Sumber: Hickman et al., (2001)  Klasifikasi:   Kingdom: Animalia  Fillum    : Arthropoda  Kelas     : Chilophoda  Ordo     : Scolopendromorpha  Famili     : Scolopendridae  Genus     : Scolopendra
Gambar 2.5. (Trigoniulus corallinus)  Sumber: Hickman et al., (2001)  Klasifikasi:   Kingdom: Animalia  Fillum    : Arthropoda  Kelas     : Chilophoda  Ordo     : Chilognatha  Famili     : Chilognathae  Genus     : Trigoniulus

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan untuk mengetahui jenis clan tingkat residu insektisida pada tanah, air dan tanaman (beras), serta pengaruhnya terhadap salah satu biota di

Cekaman lingkungan menyebabkan tanaman melakukan strategi untuk dapat bertahan hidup dengan strategi mengoptimalkan senyawa tertentu yang terdapat pada

Analisis dilakukan terdahap residu insektisida organofosfat didalam tanah kemudian dari hasil pengukuran residu insektisida organofosfat dan hasil perhitungan total plate count

Perilaku terhadap lingkungan memiliki ruang lingkup suatu pernyataan untuk bertindak peduli lingkungan, seperti pernyataan diri tentang masalah dengan lingkungan, penggunaan

Dalam pelaporan keberlanjutannya, organisasi diwajibkan menyajikan cakupan topik material serta batasan yang mencerminkan dampak pada aspek sosial, lingkungan, dan

Laporan Keberlanjutan harus meliputi berbagai aspek yang ada seperti dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sesuai dengan perusahaan dan juga memiliki dampak

Laporan keberlanjutan mencerminkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan utama perusahaan dan menyediakan aspek-aspek kunci perusahaan untuk memungkinkan pemangku

Kelemahan dan Kelebihan Beberapa Jenis Digester Beton/Bata Fiber Glass Plastik Pembangunan harus teliti, membutuhkan waktu lama dalam pembangunannya Produk pabrik, sistem knock