xv
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran A Form Bimbingan
xvi
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xvii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran B Wawancara dengan Dian Wisnuwardhani, M. Psi, Psikolog
Narasumber : Dian Wisnuwardhani, M. Psi, Psikolog Tanggal Wawancara : 30 Agustus 2021
Durasi Wawancara : 42 menit 2 detik
Di usia remaja dewasa, 17-25, apa yang terjadi secara pertumbuhan psikis dan apa korelasi hubungan romantis terhadap masa perkembangan tersebut?
Kalau di psikologi, ada remaja awal, remaja madya, remaja akhir. Kalau usia 17-21 tahun, itu biasanya remaja akhir. Tapi karena di Indonesia rata-rata mereka setelah lulus S2 baru keluar dari rumah, maka dikatakan mereka masih menjadi remaja akhir di usia 25 tahun. Ada sebetulnya kalau di teori Amerika dan Eropa, 21 tahun itu sudah beranjak dewasa muda, jadi harusnya bahkan di usia 21 tahun itu sudah keluar dari rumah, sudah mandiri, sudah bekerja, tidak bersama orang tua lagi, berbeda dengan di Indonesia, bahkan sampai S2 masih bersama dengan orang tua.
Jadi, karakternya lebih manja kalau di Indonesia, terus terang saja, dibandingkan dengan orang asing. Bahkan kalau di Barat, setahun sudah kerja. Jadi lulus SMA, mereka kerja, mereka punya penghasilan, dan mereka bisa membiayai dengan uang kuliahnya dengan bekerja. Kalau di kita kan tidak, orang tua disuruh bekerja, sampai anaknya S2 atau S3. Jadi, pola pikir remaja sekarang ada yang manja, tetapi ada juga yang tidak. Apalagi sekarang sudah banyak beasiswa. Tapi sebetulnya kalau bicara generasi Z, kalau bicara hubungan interpersonal, maka mereka bisa interaksi secara sosial melalui media. Medianya bisa menggunakan apa saja, bisa lewat media sosial kenalan. Jadi, kalau sekarang, anak-anak pakai media sosial.
Maksudnya, anak-anak jaman sekarang sudah dimudahkan dengan bagaimana mereka berinteraksi secara sosial. Lalu, kemudian, di games yang mereka gunakan juga jadi berkenalan. Sehingga, interaksi bertemu dengan siapapun, dengan lawan jenis, juga lebih mudah melalui online. Bahkan mereka juga bisa masuk dalam website yang terkait dengan pencarian pasangan. Banyak cara yang bisa digunakan, sehingga orang bisa mencari apa yang dia butuhkan.
xviii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Jika terjadi kegagalan hubungan, apa yang akan terjadi sama mereka?
Ada teori yang menjelaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian, jadi mereka harus berinteraksi dengan orang lain, bahkan ketika kita lahir di dunia ini, kita membutuhkan orang lain untuk bisa membuat kita terlahir, orang tua kita misalnya.
Kebutuhan manusia itu dengan interaksi, mereka bisa jadi bergaul, punya pengetahuan, punya keahlian tertentu dari belajar. Jadi berbagai macam. Jadi interaksi sosial itu kebutuhan dasar manusia. Ketika kebutuhan dasar itu misalnya menjadi hal yang gagal dalam arti dia nggak bisa berinteraksi, atau dia nggak bisa ngobrol karena ada hambatan dari dalam dirinya. Hambatannya misalnya karena orangnya pemalu. Karena dia pemalu, dia nggak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan, dia pikirkan, apa yang dia khawatirkan, itu kan bisa membuat hubungan dengan orang lain, siapapun itu, apakah teman atau pacar, jadi terhambat. Karena begini, pada dasarnya, kalau kita bicara hubungan interpersonal, bicara hubungan dengan orang lain, itu nggak bicara dengan pasangan aja. Dengan teman, dengan keluarga, dengan atasan, dengan bawahan, dengan semua orang yang kita kenal di dunia ini. Tapi kalau dengan pasangan, tadi kan hubungan intim. Kalau hubungan intim itu, tentunya membutuhkan resiprokal. Resiprokal itu timbal balik. Jadi misalnya Akhira berhubungan sama pasangannya, Akhira nelepon, dia nggak sempet angkat telepon, nanti dia akan telepon balik. Itu kan timbal balik. Jadi, ada needs yang sama, pengen sama-sama ngobrol. Ada tujuan yang sama, sama-sama berkomunikasi. Jadi, Akhira kalau misalnya kita gagal, kita putus dengan pacar, maka kita bicara penyebabnya itu kan macam-macam ya. Penyebabnya bisa itu tadi, hambatan secara psikologis, tipe kepribadian yang mungkin pendiam, atau dia terlalu dominan sehingga hubungannya menjadi toxic. Jadi pasangannya jadi takut sama dia, akhirnya dia meninggalkan hubungan itu. Dan karena orang yang bersama dengan orang yang toxic, berarti yang satu kan memanipulasi, menguasai pasangannya. Jadi nggak ada komunikasi yang nyaman. Menjadi tidak berkembang juga hubungannya, lalu dirinya juga jadi nggak berkembang sebagai seorang pribadi yang bisa mengembangkan dirinya. Jadi serba takut, serba khawatir, takut salah gitu kan kalau bersama orang yang toxic. Nggak kerasa senang. Rasa
xix
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
senangnya sebetulnya palsu, dalam arti dia senang kalau dihubungi sama pasangannya, tapi sebetulnya ada hal-hal yang tidak bisa dikomunikasikan dalam hubungan toxic.
Jadi, lebih ke komunikasi ya Mbak? Pada akhirnya kegagalannya lebih ke komunikasinya?
Dari kepribadian, saya rasa juga penting sekali. Bagaimana tipe kepribadian orang itu, ketika kita berhubungan dengan.. Misalnya saya tau Akhira kepribadiannya santun, kemudian bisa mengkomunikasikan apa yang dipikirkan. Asertif. Bisa mengungkapkan dengan baik. Jadi, menjadi nyaman ketika bertemu orang yang punya prinsip yang sama dalam berkomunikasi. Orang yang bisa gitu juga, yang bisa mengkomunikasikan dan menghargai orang lain, dan sebagainya. Kita nggak cuma bicara bahwa inti dari sebuah hubungan tersebut adalah komunikasi, tapi bagaimana orang itu bisa membawa dirinya untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Ketika terjadi kegagalan hubungan, apakah trauma pasti terjadi?
Sebetulnya tergantung. Setiap orang punya cara untuk resilience. Resilience adalah kemampuan seseorang untuk bangkit dari sebuah kegagalan dalam kehidupannya.
Sebuah kegagalan dalam sebuah relationship, itu bisa menjadi dia bangkit, atau dia terpuruk dalam kegagalan itu. Kalau dia trauma, itu berarti dia terpuruk. Maka bisa saja dia jadi makin banyak pacar, atau dia malah berhenti nggak mau pacaran lagi.
Kalau orangnya resilient, dia akan berusaha melakukan self healing dulu. Dia berpikir dulu, what do I want? What do I need? Kalau gue punya pacar, gimana gue membuat hubungan gue dengan pacar ini langgeng? Apakah gue akan berjuang sendiri, apakah gue berjuang bersama? Well, it takes two to tango. Jadi kalau dalam sebuah relationship, nggak bisa satunya berjuang keras, satunya nggak. Satunya cuma nungguin aja. Nggak bisa begitu, harus dua-duanya berjuang. Misalnya kamu punya long distance relationship, satunya pengen kamu pergi, satunya pengen kamu
xx
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
dateng. Dua-duanya harus kerjasama, gimana caranya supaya dia dateng? Bantuin apa? Nggak cuma nungguin sampai dia dateng, tapi bantuin supaya dia jadi dateng.
Jadi ketemuan, misalnya 3 bulan sekali atau 2 bulan sekali. Ada effort dari dua- duanya. Jadi, relationship itu harus ada, kalau di psikologi, kita bilangnya itu sebagai mutualism ya. Kerjasama. Kerjasama, mutualism. Jadi kalau dia sampai trauma, kenapa dia bisa trauma? Kalau kerasa trauma dan nggak bisa move on.
Move on tuh macem-macem ya, bisa move on lalu cepat punya pacar lagi, atau move on melakukan self healing. Dia santai dulu, tenang dulu, banyakin teman dulu, nanti baru mungkin kalau sudah ada yang tepat, nanti juga datang jodohnya.
Dia santai dulu, tenang dulu, setelah itu baru setelah mengenal apa yang jadi kebutuhannya, kalau dia tahu bahwa dia tetap trauma, ya harus ke psikolog. Harus terapi. Kalau tidak, nanti dia terpuruk dengan traumanya, bisa menyebabkan kecemasan yang semakin berat, sehingga sulit untuk melakukan aktivitas sehari- hari, muncul depresi, kehilangan atau kelebihan nafsu makan, tidak bergairah dalam menjalankan kehidupannya, kuliahnya ngedrop jika remaja, selalu berprasangka buruk dengan orang lain, tidak bisa mengambil keputusan, dan kesedihan atau kemarahannya terus berlanjut.
Kalau self healing, apakah self healing sesuatu yang semua orang secara natural punya kesadaran untuk melakukan, atau biasanya keburu terlambat sehingga sudah parah, orang baru mulai mencari pertolongan?
Kita tidak bisa judge, apakah semua orang punya atau nggak. Karena, semua orang pasti punya cara sendiri untuk bisa bertahan dalam kehidupan mereka sendiri. Ada yang tau namanya self healing, ada yang dengan wiritan, berdoa, meditasi, olahraga, atau menemukan hobi baru. Misalnya melukis, les bahasa tertentu.
Healing itu lebih, kalau saya melihat healing, pertama adalah dia aware dulu bahwa relationship yang lama telah membuat dia bersedih. Kita bicara putus cinta ya.
Putus cinta sih, kalau normalnya, orang bersedih dulu. Marah, sedih. Jadi ada prosesnya ya. Emosinya dulu, marah, sedih, kecewa. Kemudian dia berusaha untuk bangkit dengan melakukan kegiatan sehari-hari. Dicoba. Masih sulit konsentrasi,
xxi
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
tetapi dicoba terus, akhirnya bisa dengan coba makan dan minum teratur, olahraga teratur, kemudian dia berusaha untuk memahami kenapa hubungan tersebut gagal.
Apa salahnya? Mencoba mencari orang yang bisa diajak berdiskusi. Kalau nggak nemu, berarti dia harus pergi ke psikolog atau relationship expert. Kemudian, dia diskusi, ngobrol, setelah itu dia mendapatkan, ternyata harusnya seperti ini. Dapat insight. Kemudian, dia move on. Ketika move on, dia nggak cepat-cepat punya pacar, dia healing. Healingnya dengan memperbanyak kapasitas dirinya. Artinya, memperkaya apa yang dia miliki. Jadi memperkaya kapasitas, meningkatkan kualitas dirinya, sehingga dia menjadi orang yang 'jomblo berkualitas'. Putus cinta nggak apa-apa, tapi gue sukses di karir gue, gue lulus S1 dan S2 dengan gemilang.
Memang gue nggak punya pacar, it's okay, tapi gue berhasil di titik yang lain. Jadi mencari sebuah titik yang lain, yang bisa membuat dirinya bangga. Membuat dirinya merasa bahwa gue ini berkarya, hidup gue nggak cuma tergantung dengan sebuah relationship yang gagal, tapi gue bisa berhasil di titik-titik yang lain. Itu sih.
Berdasarkan sebuah data, meskipun cenderung berbeda tidak lebih dari belasan persen, lebih banyak wanita yang mengalami dampak negatif.
Kenyataan di budaya kita, secara gender, bagaimana tendensi kedua gender menyikapi kegagalan tersebut?
Kalau kita bicara teori kemudian kita mencoba menyamaratakan dengan budaya, saya nggak tau. Karena saya harus lihat dulu. Tapi kalau diamati, dari pengamatan saya secara pribadi, mana yang lebih cepet bangkit? Sekarang kita lihat aja, mana yang sering kawin duluan? Laki-laki atau perempuan? Itu aja. Jadi data itu diambil dari mana? Apakah jurnalnya jurnal Amerika, Indonesia, Korea, Cina, tergantung budaya kita. Kalau di budaya kita, perempuan itu berada dalam posisi di mana harus bisa melakukan segalanya. Karena kalau laki-laki, dia bisa melakukan segalanya, terutama dalam tugas sebagai seorang Bapak, yaitu dia harus bisa bekerja menafkahi anak-anaknya. Sekarang mari kita merefer sebuah teori Charles Darwin.
Kalau Charles Darwin mengatakan ketika seseorang mencari pasangan, dari teori Darwin, kita bilangnya teori evolusi ya. Jadi, betina, ketika mencari jantan, betina
xxii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
akan melihat seberapa strong si jantan? Tidak cuma dari otot, tapi dari otaknya juga.
Jadi ototnya, otaknya, kepandaiannya, kepintarannya, keterampilan dia, bagaimana ketika melawan musuh, ketika mencoba bertahan hidup di tengah kerumunan, itu dilihat oleh si betina. Si jantan, melihat betina, yang dia tertarik, adalah betina yang satu, dia harus mampu untuk memberikan keturunan kepada dia sebagai seorang jantan. Saya jadi bilang seorang pejantan yang keren kalau saya sudah bisa punya anak. Jadi, keturunan itu penting bagi para jantan, karena menunjukkan bahwa dia seorang laki-laki yang bisa memberikan keturunan buat si betina. Dan jantan melihat betina sebagai sosok yang harus seksi, 'bisa berproduksi'. Untuk keturunannya. Sehingga fitur seksinya dilihat kalau perempuan. Jadi kenapa kita itu kalau dilihat di media, yang paling banyak yang cantik, yang keren, karena itu memang fiturnya untuk memberikan keturunan. Laki-laki mencari fitur itu, perempuan mencari fitur yang kalau nanti dia punya anak dari jantan, jantan itu bisa bertanggung jawab nggak ya, untuk mengurus keturunan saya? Dan keturunan dia.
Jadi dicari yang strong, physically, socially, economically. Everything. Even personality juga harus strong. Jadi, jadi jantan, sebetulnya karakternya lebih banyak yang diminta. Kalau betina, jantan ngeliatnya yang penting dia bisa beranak atau nggak. Intinya gitu, dalam tanda kutip. Mampu atau tidak.
Apakah wanita dan pria berbeda? Apakah ada alasan salah satu gender butuh penanganan khusus?
Kalau dalam psikologi kita bilang orang tersebut tangguh, kuat, bisa tumbuh, bisa berkembang, dan bisa bangkit dari relationship yang gagal, itu tidak tergantung jenis kelamin. Tapi, tergantung dari personality yang dia punya. Personality itu terbentuk dari bagaimana dia diasuh dalam sebuah keluarga, dia dapat pendidikan yang bagus, dia dapat pendidikan moral yang oke. Kemudian juga, dia belajar dari lingkungan sosial yang lain. Jadi, apakah laki-laki dan perempuan, siapa yang lebih rentan? Kalau kita lihat, sebenernya tergantung kebutuhannya. Kalau dia personality tipenya adalah tipe yang mudah kesepian, pasti dia butuh pasangan segera yang bisa memenuhi kesepian itu. Tapi ketika orang yang kesepian itu dia
xxiii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
self healing dan dia tau bahwa hidup ini nggak hanya bicara soal mencari pasangan, tapi juga mencari bagaimana dia mengembangkan dirinya sebagai manusia yang berguna untuk masyarakat dan dirinya, dia mengaktualisasikan dirinya sebagai pekerja, sebagai mahasiswa yang bisa berkembang dengan lebih baik, meningkatkan IP, membantu orang tua, jadi fokusnya beda. Karena gini, memang lucu ya, ada manusia yang kebutuhannya.. Ada tiga. Tiga kebutuhan dasar. Satu, kebutuhan sosialisasi, satu kebutuhan achievement, dan satu kebutuhan untuk power. Nah, setiap manusia pasti punya tiga kebutuhan itu, tapi ada yang dia lebih kepada kebutuhan sosial. Jadi berdekatan dengan orang penting buat dia. Ada orang yang kebutuhan paling utamanya adalah achievement, prestasi lebih penting dari segala kebutuhan yang lain. Ada yang power, need for powernya lebih tinggi. Jadi, tergantung dia termasuk orang yang need apanya yang lebih tinggi. Kita harus lihat dulu. Kita diskusi, kita tanya. Kalau Akhira tipenya need of achievement, putus pacar nggak apa-apa, toh punya achievement yang lain yang bisa dilakukan.
Misalnya. Tapi kalau misalnya ada temannya Akhira yang tipenya need for affiliation, dalam artian kebutuhan untuk berhubungan untuk orang lain tinggi sekali, putus pacar bisa jadi gagal kehidupan untuk dia. Berbeda dengan mereka yang need for powernya tinggi, dia nggak dapet kerjaan, itu lebih mengenaskan buat dia, lebih mengkhawatirkan, daripada dia nggak punya pacar. Tergantung neednya orang itu ada di mana.
Apakah intervensi psikologis dibutuhkan untuk menangani dampak dari kegagalan hubungan tersebut?
Intervensi kalau dalam psikologi itu mencegah. Intervensi ada mencegah, ada mengobati. Kalau mencegah, berarti kita kasih edukasi ke mereka, sifatnya preventif atau mencegah, kita kasih edukasi kalau punya relationship itu kamu masuk kelas relationshipnya saya, misalnya. Kelas saya ada di UI, kelas Hubungan Interpersonal sama kelas Psikologi Seksual. Kamu belajar, tentang pemahaman diri kamu. Kamu belajar tentang mencari pasangan tuh seperti apa. Kalau berteman itu bagaimana. Kalau sama orang tua bagaimana, sama boss bagaimana. Belajar dulu
xxiv
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
basic dari sebuah relationship. Itu sifatnya intervensi yang 'melalui edukasi'.
Pencegahan. Ada juga intervensi pengobatan. Kalau pengobatan, berarti kamu diterapi. Jadi kamu udah gagal dulu, kamu udah pernah mengalami 'kesalahan', butuh pertolongan, maka kita tolong kamu. Jadi kita obati. Lebih susah mana?
Tentunya lebih susah yang intervensi sifatnya pengobatan. Karena sudah terlanjur.
Kenapa bisa sampai sakit? Kenapa bisa gagal? Mungkin dia kurang di bagian ketika sifatnya preventif. Dia kurang ketika belum tau tentang pendidikan hubungan interpersonal tuh ada. Ternyata ada pendidikan bagaimana berdekatan dengan orang lain, ternyata ada teorinya, ada tahapannya. Ternyata aku salah di bagian ini.
Terus kamu belajar. Itu bisa juga. Tapi mengalami kegagalan dulu. Manusia biasanya ada trial, ada error.
Kalau kita berbicara lebih baik orang diberi intervensi pencegahan atau intervensi pengobatan, lebih baik yang mana?
Lebih baik dicegah, diberi pendidikan. Misalnya seperti ini, ketika kita bicara mengapa banyak orang gagal dalam percintaan, banyak orang yang bercerai di masa pandemi, banyak orang yang putus pacar dan sebagainya, kalau kita berikan edukasi di awal bahwa di masa pandemi ini toleransi adalah paling tinggi. Toleransi, solidaritas sosial itu penting. Kenapa? Kamu harus solider. Kalau kekuatan solidaritas kamu rendah, dalam arti kamu nggak bisa memahami bahwa lagi pandemi, maka LDR itu susah untuk dijalankan. Lagi pandemi, walaupun kamu nggak LDR, secara geografis kamu dekat tapi juga nggak bisa ketemu karena PPKM, pahami kondisi yang ada di negara kita. Ikuti aturan yang ada. Jadi nggak mungkin putus gara-gara PPKM. Kan konyol. Jadi pahami dulu kondisi. Karena gini, sebuah relationship yang berhasil juga dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, pengetahuan, dan juga kepribadian kamu tipe yang mudah menyerah atau terus mau belajar.
xxv
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Kalau misalkan kita berbicara intervensi pencegahan ini, sangat mungkin dilakukan mandiri?
Iya.
Kalau misalkan kita berbicara intervensi pencegahan, selain edukasi, apakah ada metode lain?
Intervensi kan ada orang yang belum pernah pacaran, dia ingin tahu. Ada yang sudah pernah pacaran, maka dia butuh intervensinya adalah penyembuhan.
Berbicara tentang intervensi pencegahan, tadi kita membicarakan dengan konteks target audiens 17-25 tahun. Apakah intervensi pencegahan ini baiknya dilakukan lebih dini di usia remaja awal, atau bahkan 17-25 tahun masih membutuhkan intervensi pencegahan tersebut?
Sebetulnya nggak pernah boleh berhenti di titik tertentu. Pertanyaan kamu bagus banget ini. Jadi gini, kalau kita berbicara tentang pengetahuan hubungan interpersonal, kita sudah belajar dari kita kecil. Kita lihat interaksi orang tua kita, kalau harmonis gini. Kita mengobservasi. Kita lihat. Kalau berantem, orang tua kayak gini. Kalau berantem, nggak pernah depan kita. Mereka berada di ruangan lain, atau mereka berantemnya di mobil. Itu lebih bagus. Jadi anak nggak liat.
Karena kalau anak liat, jadi traumatik. Kalau usia remaja, perkembangannya sudah lebih besar. Mereka secara kognitif tahu mana yang benar, mana yang salah. Udah lebih pintar, apalagi generasi Z. Sehingga, sebetulnya, nggak salah juga kalau di usia 17 tahun, mereka mulai ikut edukasi tentang hubungan interpersonal, hubungan intim yang benar seperti apa. Atau hubungan intim yang harmonis seperti apa. Selalu akan ada yang namanya pasang surut di dalam sebuah relationship.
Nggak mungkin cuma pasang terus kebagiannya. Tetapi, kadang-kadang surut juga di antara mereka. Jadi belajar terus, proses terus. Yang penting adalah karakter yang dimiliki oleh seseorang yang bertahan dalam sebuah relationship, satu, dia punya
xxvi
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
kemampuan untuk berusaha mencari solusi, ketika berantem nyarinya solusi, bukan mencari kenapa berantem, tapi mencari apa solusinya supaya kita tidak berantem lagi. Lalu memaafkan, bisa memaafkan kesalahan diri sendiri dan kesalahan pasangannya. Bisa mengkomunikasikan dengan baik, yang jadi kebutuhan dan keinginannya. Menerima pasangan apa adanya. Itu yang berat. Karena pacaran 17 tahun sama pacaran di usia 25 tahun, di pacar yang sama, itu rasanya beda sama yang baru pacaran sama yang udah lama pacaran. Sekarang kamu mikir aja, kok bisa orang tua saya bertahan puluhan tahun? Kenapa saya nggak bisa? Kenapa saya harus gagal? Kenapa saya nggak oke. Jadi, pembelajaran itu dimulai dari kita masih dini, usia masih bayi, kita sudah belajar. Bagaimana orang tua kita menerima kita, menyusui kita, menyayangi kita, itu namanya kalau di psikologi 'attachment' di awal, kelekatan dengan orang tua, itu menjadi pembelajaran pertama untuk berhubungan sosial dengan orang lain. Ketika dia diasuh tidak sama ibunya, dia akan bertanya, ke mana ibunya? Ada apa? Dan harus ada orang yang bisa menjelaskan itu. Karena kondisi ekonomi, jadi anak angkat, atau karena ibunya sakit dan meninggal, atau karena hal lain, itu harus dijelaskan kepada anak, ketika anak sudah berusia yang bisa berpikir lebih matang. Dan lebih siap menerima kondisi. Jadi kegagalan sebuah relationship tidak bisa dikatakan karena dia cuma gagal komunikasi, tapi proses dari mana dia hidup dari dalam sebuah keluarga, itu juga menentukan, apakah dia akan gagal, apakah dia akan berhasil dalam sebuah relationship. Edukasi relationship juga mengajarkan anak-anak remaja untuk melihat bahwa relationship itu nggak cuma you and me, you and your partner, tapi juga kamu bisa membawa hubungan itu menjadi hubungan yang dewasa yang mandiri, tidak tergantung dari ekonomi orang lain, secara sosial mandiri bisa bekerja dan beraktualisasi, punya karir di luar, pandai mengelola keuangan, mengelola emosi juga pandai, itu penting banget. Kalau berantem, jadi tidak awur- awuran, tidak ambyar. Jadi, di mana usia dewasa itu berada? Sekarang ditanya lagi, ketika kamu tahu bahwa kalau kamu bertengkar, kamu mencari solusi, bukan mencari-cari atau berusaha balas dendam dengan kondisi itu. Ketika kamu sampai satu titik bahwa fokus kamu adalah always find the solution, bukan fokus ke masalahnya, maka kamu sudah menjadi manusia yang paling tidak berpikir bahwa
xxvii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
setiap manusia pasti punya masalah, tapi saya berusaha mencari solusinya, bukan fokus pada masalahnya. Bukan fokus pada masalahnya. Bangkit untuk menyelesaikan perseteruan dengan pasangan, gimana caranya. Kecuali hubungan itu toxic.
Apakah kegagalan hubungan berdampak signifikan pada proses perkembangan remaja dewasa?
Jika seseorang gagal, ada yang trauma, ada yang tidak. Tergantung bagaimana dia belajar dari hubungan itu. Dia mau bangkit, atau tidak. Kalau dia mau terpuruk, nangis terus, silakan. Dia bisa memaafkan diri nggak, kalau dia pernah gagal? Itu tergantung di kekuatan dirinya sendiri. Personalitynya. Kalau dia orang yang kuat, berarti dia jangan mau kalah dengan kondisi. Dia harus menang. Ketika kamu gagal dan kamu trauma, kamu kalah dengan diri kamu sendiri. Ketika kamu cepat bangkit, cepat move on, berarti kamu sudah memaafkan diri kamu dan mau mencoba yang baru. Tapi kamu satu, harus self healing. Nggak cepet-cepet ganti pacar juga.
Tunggu dulu. Apa yang dibutuhkan, apa yang diinginkan, apa yang diharapkan.
Kalau remaja putus cinta, cari aja gantinya biar cepet. Kan nggak begitu. Kamu harus bisa berpikir dulu, kenapa saya bisa putus. Kesalahan saya apa? Kesalahan dia apa? Yang kurang apa? Yang belum dikomunikasikan apa. Jadi belajar dulu.
Jadi learning processnya penting. Kemudian, mencoba untuk menyelesaikan itu dulu. Bisa menerima bahwa dulu ternyata saya salah di sini, saya nggak cocok dengan orang yang seperti ini. Jadi kalau nyari lagi, saya nggak akan nyari orang yang seperti ini lagi. Karena orang seperti itu lebih dominan, saya nggak cocok, dan sebagainya. Jadi self healing itu tujuannya bisa mempelajari dan bisa merasakan, sebetulnya kita butuhnya apa? Lalu memaafkan diri kita juga bahwa kita pernah gagal dan kita pelan-pelan bangkit. Ada orang yang cepet bangkitnya, ada yang butuh proses bisa tahunan. Beda-beda.
xxviii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran C Laporan Turnitin
xxix
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxx
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
1 = Sangat Setuju 2 = Setuju
3 = Tidak Setuju
4 = Sangat Tidak Setuju
xxxi
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxiii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxiv
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxv
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxvi
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxvii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
xxxviii
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran D Wawancara dengan Roselli Kezia Ausie
Narasumber : Roselli Kezia Ausia Tanggal Wawancara : 6 November 2021 Durasi Wawancara : 15 menit
Apa yang selama ini sering dilewatkan oleh remaja perempuan ketika dihadapkan kepada konflik hubungan romantis?
Yang sering tidak dipertimbangkan ketika dihadapkan adalah konflik adalah kebutuhan diri sendiri. Dalam beberapa kasus yang pernah dihadapi, mereka sebetulnya value mereka sendiri yang dipelajari seperti dari keluarga dan pendidikan. Tetapi, ketika dihadapkan dalam relasi yg tidak sehat, nilai-nilai yang dimiliki dan dipegang menjadi goyah.
Apa indikasi berkonflik yang sehat?
Indikasi berkonflik secara sehat adalah adanya usaha untuk menyelesaikan, dengan tidak menjadi denial, tidak menunda, dan benar-benar mengambil aksi nyata untuk menyelesaikan. Juga, ketika menghadapi konflik, yang menghadapi bukan satu pihak, tapi kedua belah pihak. Dalam hal ini, perempuan biasanya sering mengalah dan memahami (lebih permisif), seperti membela momen ketika pasangannya baik.
Hal ini masih sangat kental dalam fase remaja akhir dewasa akhir. Kedua belah pihak perlu menyelesaikan. Jika konflik berulang terus menerus dengan masalah yang sama, itu pertanda ada suatu hal yg missed out, entah dari cara menyelesaikan atau memang ada perbedaan yg tidak bisa diatasi.
Apa tahapan yang harus dilewati remaja untuk bisa menyelesaikan konflik mereka dengan sehat?
Secara perkembangan biologis, fungsi prefrontal belum optimal dan hal ini mempengaruhi kemampuan berpikir dan mengambil keputusan. Hal ini bisa dilatih.
Sebagai langkah awal, orang tersebut harus berlatih untuk melihat masalah, menyadari, dan memetakan; apa yang terjadi, apa yang perlu diubah, apa yang sudah baik. Kemudian, karena ini dalam konteks relasi, hal tersebut perlu
xxxix
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
dikomunikasikan dan disampaikan kepada pasangan. Kemudian, kedua belah pihak mencari solusi untuk mencapai kesepakatan. Kemudian, tahapan yang sering dilewatkan setelah mencapai kesepakatan adalah komitmen melaksanakan kesepakatan.
Bagaimana cara menumbuhkan resiliensi pada remaja dalam konteks menghadapi konflik hubungan romantis?
Dalam membicarakan resiliensi, hal ini adalah kemampuan individu untuk bounce back. Konflik dampaknya dapat menjadi besar. Di anak remaja, ia perlu mengetahui resource yang dimiliki, apa yang dia punya yang bisa membantu dia untuk bounce back. Resourcenya harus ada. Nggak hanya percaya diri, juga butuh koneksi, butuh support system. Yang bisa dilakukan adalah didukung bangun support system, dia bisa cerita ke siapa, siapa orang terdekatnya. Kemudian, menyadarkan anak remaja, bahwa mereka punya control terhadap hubungannya. Yang sering terjadi ketika sulit bounce back adalah karena mereka merasa tidak berdaya. Jadi build awareness about their control to take action towards the relationship.
Jika terkena dampak dari konflik hubungan romantis, apa indikasi bahwa remaja membutuhkan bantuan profesional?
Indikasi ketika remaja membutuhkan bantuan professional adalah saat terjadi 4D, yaitu deviance, dysfunction, distress, dan danger. Deviance dikategorikan sebagai apa yang terjadi, dibandingkan dengan orang lain, terbilang tidak wajar. Misalnya, ia mengenal seseorang dalam kurun waktu seminggu, berpacaran selama seminggu, dan putus, kemudian ia merasa sangat sedih berkelanjutan. Dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya, hal tersebut bisa jadi tidak wajar. Kemudian, dysfunction adalah ketika mereka terhambat untuk berfungsi dalam perannya sehari-hari, misalnya sebagai mahasiswa atau pelajar. Kemudian, distress adalah dampak yang dirasakan sudah membuat mereka stress dan tidak nyaman.
Kemudian, danger menjelaskan bahwa dampaknya membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
xl
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Apakah Bapak/Ibu memiliki referensi bacaan mengenai penyelesaian konflik dalam hubungan romantis yang harus diketahui oleh remaja?
Belum ada yang spesifik khusus untuk remaja, namun beberapa hal yang lebih umum bisa diterapkan. Salah satunya adalah Gottman, karena mereka berbasis riset.
Langkah yg mereka sarankan sangat praktikal, namun perlu diperhatikan bahwa mereka berbasis budaya barat dan memiliki materi-materi yang tidak hanya hubungan heteroseksual, namun juga homoseksual. Jadi mungkin ada beberapa hal yang harus diadaptasi secara kultur agar lebih diterima secara lokal. Kemudian, buku Acceptance and Commitment Therapy juga cukup membantu saya karena banyak worksheet-nya.
xli
Perancangan Kampanye Mengatasi…, Akhira Nabilla, Universitas Multimedia Nusantara
Lampiran E Laporan Turnitin
6
%SIMILARITY INDEX
4
%INTERNET SOURCES
0
%PUBLICATIONS
4
%STUDENT PAPERS
1
3
%2
1
%3
< 1
%4
< 1
%5
< 1
%6
< 1
%7
< 1
%8
< 1
%9
< 1
%Sidang Kelayakan
ORIGINALITY REPORT
PRIMARY SOURCES
Submitted to Academic Library Consortium
Student Paper
kc.umn.ac.id
Internet Source
Submitted to Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Student Paper
www.coursehero.com
Internet Source
text-id.123dok.com
Internet Source
repositori.usu.ac.id
Internet Source
123dok.com
Internet Source
docplayer.info
Internet Source
repository.usd.ac.id
Internet Source