• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formalisasi agama : studi kasus pada religi balian dalam masyarakat adat Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan 1970-1980 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Formalisasi agama : studi kasus pada religi balian dalam masyarakat adat Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan 1970-1980 - USD Repository"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

FORMALISASI AGAMA

STUDI KASUS PADA RELIGI BALIAN

DALAM MASYARAKAT ADAT SUKU DAYAK MERATUS DI KALIMANTAN SELATAN

1970-1980

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh:

Nama Mahasiswa : Gusti Yasser Arafat Nomor Mahasiswa: 024314006

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan buat:

Almamaterku tercinta, kebanggaanku, dan takkan terlupakkan : Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Kedua orang tuaku: H. Gusti Abdul Hamid dan Hj. Rusna Yuda yang selalu memberikan yang terbaik buat putera-puteranya dan menyadarkanku akan Dunia.

Kai dan Nini: H. Syamsul Bahri dan Hj. Noorsitah yang tak

henti-hentinya mendoakanku dan menyadarkanku akan Akhirat.

Kakakku: Gusti Muhammad Shadiq yang paling hebat. You are welcome and yes you loose your mind.

Kekasihku: Rong-rong yang selalu setia selamanya mendampingi hatiku.

Da Neuvre Hoctha Fo Velo Ut.

(5)

MOTTO:

Tuhan Ada

(6)

Halaman Pernyataan Keaslian Karya

Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.

Yogyakarta Penulis

(7)

ABSTRAK

Penulisan skripsi dengan judul “Formalisasi Agama: Studi Kasus Pada Religi Balian Dalam Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Di Kalimantan Selatan 1970-1980” ini berusaha mendeskripsi dan menganalisa tentang perkembangan religi Balian yang dipeluk oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai puak dari suku Dayak ketika formalisasi agama berlangsung tahun 1970-1980 serta dampak-dampak yang diakibatkannya

Sebagai sebuah penulisan sejarah maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini melalui tahapa-tahap: heuristik, pengumpulan sumber dari kepustakaan dan wawancara lisan; kritik sumber, memilah-milah dan menemukan sumber yang kredibel dan otentik; interpretasi, menafsirkan dan memaknai sumber-sumber tersebut; historiografi, penyajian dan merekonstruksi peristiwa yang dikaji.

(8)

ABSTRACT

The writing of this thesis "Religion Formalization: A Study Case on Balian Religion in the Society of Dayak Meratus Tribe in South Kalimantan, 1970-1980" are aiming todescribeand analyze the development of Balian religion that were held by the society of Dayak Meratus tribe, a sub-tribe of Dayak society, when governmental’s program called religion formalization conducted during 1970-1980, and also the cultural impacts of this programs.

As a historiography, the steps of the research conducted for this thesis are the following: heuristic, collecting the sources form literature study and live interview; critics toward the sources, sorting the sources to find the one that credible and authentic; interpretation, interpreting the sources; historiography, presentation and reconstruct the events studied.

(9)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan memanjatkan rasa syukur luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna atas setiap cinta, jalan, pertolongan, kemudahan, rahmat dan hidayahNya, penulis berhasil mewujudkan skripsi dengan judul: “Formalisasi Agama: Studi Kasus Pada Religi Balian Dalam Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Di Kalimantan Selatan 1970-1980.”

Penulis menghaturkan rasa hormat dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum. beserta Ibu Adriana Novijanti, selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah sekaligus Pembimbing Tunggal yang sudah bersedia banyak meluangkan waktu dan kesempatan untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini sampai terwujud, motivasi, nasehat, hal-hal bijak, dan bertukar pikiran tentang banyak hal lintas ruang dan waktu.

Dalam Penulisan skripsi ini penulis banyak sekali melibatkan bantuan, dukungan, bimbingan, masukan dan sumbangan pemikiran, baik itu moril maupun materil, secara langsung maupun tidak langsung dari segenap pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga dan menjunjung hormat kepada:

1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M. M. selaku Dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji. S. M. Hum. sebagaifield soldier dan guru lapangan

yang telah banyak membagi pengalaman fantastisnya buat penulis.

(10)

4. Bapak Drs. H. Purwanta, M. A. yang sudah menyumbangkan pemikiran-pemikiran filosofi hidup bagi penulis.

5. Bapak G. Moedjanto yang mengajarkanku tentang sebuah pengabdian.

6. Bapak Drs. Manu Joyoatmojo, Bapak Prof. Dr. P. Y. Suwarno, S. H., Bapak Drs. Anton Haryono, M. Hum., Bapak Paulus Suparmo, S. Ip., Romo Dr. F. X. Baskara T. Wardaya, dan Ibu Dra. Juningsih, M. Hum yang menekankanku kedisiplinan. 7. Bapak Waluyo selaku “Rektor” Wisma A, yang susah payah menjaga dan

memelihara kenyamanan Markas Besar (Mabes) Ilmu Sejarah.

8. Mas Try di Sekretariat Fakultas Sastra yang banyak disibukkan keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

9. Bapak Dr. St. Sunardi yang memberikanku pencerahan dalam menikmati ilmu pengetahuan.

10. Bapak Dr. Budiawan yang mengenalkankumemorical history.

11. Bapak Drs. Yohanes H. Mardiraharjo yang mengajarkanku asyiknya bertoleransi dalam segala bentuk kemajemukan

12. Bapak Drs. Wahana yang memberikan kuliah dengan nuansa humoris. 13. Bapak Yohanes Setiyanto, S. S. yang mengajarkanku cara hidup baik.

14. Ibu Nila Riwut yang sudah memberikan masukan dan meminjamkan buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya.

15. Pimpinan UPT. Perpustakaan dan segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta yang telah banyak membantu dalam pengumpulan sumber literer.

(11)

17. Pimpinan dan staf kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Loksado yang telah memberikan masukan dan data-data.

18. Apin, Kapau, Julak Madi, Manan, Haji. Judin, Ari, Ahyar, Pandi, Ating, dan sejumlah responden yang memberikan keterangan (lisan) digunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini.

19. Segenap warga Kecamatan Loksado dan Kandangan masyarakat adat suku Dayak Meratus yang bersedia menerima penulis untuk meneliti di daerah mereka.

20. Guru-guruku sekolah yang telah banyak berjasa mencetak generasi-generasi mengagumkan.

21. Sahabat-sahabatku: Markus “Renaldy”, Yosi “Bang Yos”, Eko “Mbah Darmo”, Daniel “Penjahat Kelon”, Yuda “Drunken Master”, Opet “Kutu Kopet”, Ella, Ririd, “Bunda Nana”, Eka “Britpop”, Devi, Vianey, Krisna, Bertha “Bams”, Eddi, Agus , Nanno, Mamik, Feny, Roger “Dower”, Ada, Dary, Keke, Atiek, Halim “Cino”. Yuhan “Bang Jo Tile”, Nanto “A’a Atto”, Elang, dan Vila. Kalian istimewa!

22. Keluargaku tercinta di Kandangan: Datu, Kai Sapi, Kai Anggut, Paman Udin, Acil Ici, Paman Hassan, Acil Annie 1 dan 2, Incip, Acil Ijam, Ila, Ili, Acil Iris, Paman Uhit, dan Ipi.

23. Keluargaku di Jogja Mama Yun, Tante Ie, Om Bas, Budhe Yani, Pakdhe Git, Pak Oyok, Mbah Kung, Dian Kasih, Ayu Manis, Dira ‘n Chicka, Mbak Oppie, Mbak Aik, Ibang, Ajeng, Mas Ilham dan Nana.

(12)

25. Teman-temanku di workshopDewa Aries, Tatam, H. Defa, Uji Pulis, Uji Kudung, Sarman, Syarifudin, Udin, Romili, Upik Parut, Kai Paku, Irwan, Rifki, Firman Murang, Meina, Diah, Yayan, Buval, Kaef, Acung Riswan, dan Mamas.

26. Teman-temanku Hair, Humai, Iwit, Gandi, Adi, Tabri, Aban, Junai, A’an, A’an Jawa, Iwan gunung, Amal, Mary Amad, Mary Ahim, Taha, Babay, Om Udung, Santy, Sumy, Isan, Habibi, Yanur, Antun, Udin Asing, Rita, Atul, Masrita Itung, Yayan Araji, Rija, Febry, Rukiah, Nasir, Giping, Yuli, Dina, Idup, H. Ancah, Atat, dan Engkong.

27. Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut andil untuk tersusunnya skripsi ini.

God created human perfectly not perfect human, Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna bukan menciptakan manusia yang sempurna. Makna sempurna pada Tuhan berbeda dengan sempurna pada manusia. Sempurnanya Tuhan menciptakan manusia yang sempurna dengan kekurangannya sekalipun. Jadi penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat kekuarangan-kekuarangan karena khilaf dan keterbatasan. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis bercita-cita semoga hasil penelitian ini berguna bagi pembaca yang budiman.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………...………...…………..….iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………...…………...iv

HALAMAN MOTTO………...…………...……….v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...……….vi

HALAMAN ABSTRAK………....vii

HALAMAN ABSTRACK………....viii

KATA PENGANTAR……….ix

DAFTAR ISI………...………...……...…………xiii

DAFTAR TABEL……….……xvi

DAFTAR PETA………...xvii

DAFTAR LAMPIRAN………...xviii

BAB PERTAMA : PENDAHULUAN……….……….……..1

A. Latar Belakang Masalah ……….……….1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah……….………10

1. Identifikasi Masalah……….……….10

2. Pembatasan Masalah……….………...11

C. Perumusan Masalah……….………...11

D. Tujuan Penelitian……….………...12

E. Manfaat Penelitian……….……….13

F. Tinjauan Pustaka……….………13

G. Landasan Teori………...17

H. Metode Penelitian……….………..31

1. Tahap Heuristik………32

2. Tahap Kritik Sumber………34

3. Tahap Interpretasi……….……34

4. Tahap Historiografi……….……….35

(14)

BAB KEDUA : SUKU DAYAK MERATUS……….………...37

A. Suku Dayak……….……38

1. Penyebutan dan Penulisan Etimologi Istilah Dayak……….…39

2. Asal-Usul Suku Dayak………...……….….41

3. Puak-Puak dalam Suku Dayak………..…...…………45

B. Puak Suku Dayak Meratus……….……….52

1. Penyebutan dan Penulisan Etimologi Suku Dayak Meratus…………..…...52

2. Asal Mula Suku Dayak Meratus………...53

3. Jumlah Populasi Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus dan Wilayah-Wilayah yang Didiami………..…………56

4. Rumah Komunal Balai Adat……….………61

5. Mata Pencaharian Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus………..68

BAB KETIGA : RELIGI BALIAN……….………...74

A. Religi Balian Sebagai Religi Lokal Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus….76 B. Bentuk Kepercayaan……….…………..82

1. Konsep tentang Sang Maha Kuasa dalam Religi Kaharingan………...…...85

2. Konsep Penciptaan tentang Alam Semesta, Pengatur-Pengaturnya, Ilah-Ilah, Nabi-Nabi dan Malaikat-malaikat………...……..87

3. Konsep Penciptaan Manusia Pertama……….……….….90

4. Nabi-Nabi dalam Religi Kaharingan………..……..93

5. Malaikat-Malaikat dalam Religi Kaharingan……….……….….95

6. Balian sebagai Tokoh Spiritual dalam Religi Kaharingan………..….95

C. Pelaksanaan Ibadah pada Upacara-Upacara Ritual Keagamaan (Ritus)……....99

1. Upacara-Upacara Ritual yang Berhubungan dengan Kebudayaan Huma……...……….100

a. Upacara Mancari Padang Hanyar………...……..………101

b. Upacara Mamuja Tampa………..……….………103

c. Upacara Batilah………...………..105

d. Upacara Marandahakan Diyang Sanyawa…………...……….105

e. Upacara Bamula………...……….………107

f. Upacara Basamu Ulang………...…….109

g. Upacara Manyidat Banih………..111

h. Upacara Manajak Tihang Basungkul Atau Manatapakan Tihang Banua……….…...113

i. Upacara Bawanang……….……….……….114

j. Upacara Mamisit Banih……….…...……….117

BAB KEEMPAT : FORMALISASI AGAMA………..………..120

A. Negara dan Formalisasi Agama………..….……….120

1. Alasan dan Tujuan dalam Konteks Nasional……….…….120

a. Alasan Kriteria (Syarat) suatu Agama……….121

b. Alasan Bahaya Laten Komunis atau Politik Pembeda antara Pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru……….………….122

c. Alasan Pengalihan Medan Konflik Massa………125

d. Alasan Pemerintah sebagai “Nabi Perubahan” untuk Kemajuan…….126

(15)

2. Dalil-Dalil tentang Kebebasan Beragama (Sikap Pemerintah terhadap

Agama dan Aliran Kepercayaan)………...…..128

B. Religi Kaharingan di tengah Proses Formalisasi Agama…………..…………134

1. Proses Pengagamaan………...………....136

a. Misi dan Dakwah Agama-Agama Resmi Negara (Islam dan Kristen)…...136

1) Penyebaran (Misi) Agama Kristen……….138

2) Penyebaran (Dakwah) Agama Islam……….…….………143

a) Kilas Balik Sejarah Perkembangan Agama Islam di Kalimantan Selatan………...………....143

b) Penyuluh Agama Honorer (Pah) dan Da’i………149

2. Hindu Kaharingan sebagai Manifestasi Equilibrium………..154

C. Jumlah dan Konsentrasi Wilayah Pemeluk Agama-Agama………….………163

1. Jumlah Penganut Agama-Agama………..……..163

2. Konsentarsi Wilayah……….……….….164

BAB KELIMA : PENUTUP………..………..168

GLOSARY THESAURUS………..………173

DAFTAR PUSTAKA………..……….…………176

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Beberapa penyebutan Puak Suku Dayak……….49

Tabel 2. Profil Demografi dan Topografi Propinsi Kalimantan Selatan………...56

Tabel 3. Bubuhan, Wilayah, Faktor Pembentuk,Tutuha, Tempat Tinggal dan Etnis……….66

Tabel 4. Perincian Persyaratan dan Fungsi Masing-masing Balian………...97

Tabel 5. Pelapisan dan Peranan Sosial………....………..98

Tabel 6. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam……….149

Tabel 7. Jumlah Desa, RT, dan Penduduk………...164

Tabel 8. Agama-agama/kepercayaan dan Jumlah Penganutnya………..165

Tabel 9. Tempat-tempat Ibadah………...166

(17)

DAFTAR PETA

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Jumlah Desa, RT dan Penduduk; Data Agama dan Kepercayaan

serta Sarana Ibadah; Data Pendidikan Keagamaan……….186

Lampiran 2. Data Kesejahteraan Sosial Kecamatan Loksado……….189

Lampiran 3. Data Nama Calon Penerima Bantuan Aruh Ganal………..192

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah kebudayaan di masa klasik sudah pernah ditulis, bahkan untuk pertama kalinya dikenal istilah “sejarah” atau “history” dalam bahasa Inggris. Herodotus (484-430 SM) The Father of History atau Bapak Sejarah ini menggunakan istoria yang berasal dari bahasa Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadihistoriadan dalam bahasa Inggris menjadihistory. The HistoriesKarya Agung Herodotus adalah sebuah sejarah kebudayaan yang sangat komprehensif dengan skope spasial yang tidak tanggung-tanggung luasnya (kepulauan Ionia, Asia Minor, kepulauan Aegea, hingga pulau-pulau di Utara Laut Hitam). Begitu pulaEssai Sur Les Moues et L’spirit des Nations (On The Customs and The Spirit of Nation)karya Voltaire (1694-1778),Die Culture Der Renaissance in Italienkarya Jacob Burckhardt (1818-1897),De Herftstij Der Middeleuwen/ The Waning of The Middle Ages karya Huizinga (1872-1945), Kehidupan Dunia Keraton Surakarta (1830-1939) karya Darsiti Suratman dan

Kebudayaan Indies karya Djoko Sukiman adalah sejarawan-sejarawan dengan karya-karya sejarah kebudayaannya.

(20)

topik lain (misalnya politik) lebih menarik dan mempunyai tujuan tertentu dalam penulisannya.

Negeri ini tidak boleh tenggelam dalam kekhilafannya mengesampingkan jati diri identitas budayanya sendiri. Lamprectht (1856-1915) seorang sejarawan profesional menyebutkan “sejarah kebudayaan ialah sejarah dariseeleleben, kehidupan rohaniah sebuah bangsa”.1 Negara juga mempunyai keterkaitan dan peranan penting dengan budaya. Jadi sudah selayaknya negara bersahabat, ramah, tidak kejam, dan netral dengan budaya. Jacob Burckhardt (1818-1897) dalam karyanya Die Culture Der Renaissance in Italienmenulis “Negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari sistem budaya”.2 Sejarah kebudayaan juga dianggap perlu untuk dikaji karena sejarah kebudayaan merupakan bagian dari sejarah umum. Joseph H. Greenberg menuliskannya sebagai berikut: “Sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembanganhistoriesbangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau”.3

Indonesia bukan saja negeri yang kaya akan sumber daya alamnya dan jumlah penduduknya, tapi juga kaya akan keragaman, mulai dari suku, adat-istiadat, bahasa, agama dan kepercayaan, ras dan keturunan, hingga karakter tiap-tiap orang yang mendiami bentangan Nusantara ini. Oleh karena itu mengkaji untuk menyelami lebih dalam tentang keragaman yang ada pada negeri ini menjadi menarik, terlebih pada bagian-bagian yang sering menjadi bahan perdebatan dan masih kontroversial di

1

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1994), hlm. 115.

2

Ibid. hlm. 117. 3

(21)

kalangan peneliti dan juga bagi pemerhati budaya dan kaum intelektual, khususnya di Indonesia hingga sekarang ini. Selain itu, tulisan ini juga berupaya untuk menambah wawasan tentang khasanah budaya bangsa negeri sendiri yang hingga saat ini porsinya masih sedikit, yakni tentang sejarah kebudayaan.

Dalam penulisan Sejarah Indonesia, terdapat dua kelompok besar, yakni Sejarah Indonesia yang ditulis dengan sudut pandang oleh orang-orang Indonesia sendiri (Indonesiasentrisme) dan sejarah Indonesia yang disajikan dengan perspektif oleh orang luar Indonesia. Penulisan Sejarah Indonesia yang Indonesiasentrime masih terbagi-bagi lagi ke dalam lokalitas kedaerahan. Salah satu yang sering terdengar dan diulas serta diperdebatkan adalah penulisan sejarah Indonesia yang Jawasentris.

Dalam beberapa dekade ini banyak penulisan sejarah dengan sudut pandang dari Jawa atau Jawasentrisme, baik yang berupa sejarah politik, sejarah sosial hingga sejarah kebudayaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan kemajuan banyak terjadi di pulau Jawa. Misalnya dalam hal dunia intelektual yang maju pesat di pulau Jawa. Ilmu pengetahuan dan informasi dapat dengan mudah diakses di pulau Jawa. Kenyataan ini berbeda dengan di pulau Kalimantan misalnya, terlebih di daerah-daerah pedalaman di mana dunia pendidikan tidak semaju di pulau Jawa.

Penulisan sejarah Indonesia kental dengan Jawasentrisme. Penulis-penulis sejarah Indonesia atau sejarawan Jawa nampak lebih dominan dalam mengulas sejarah Nasional Indonesia. Hal ini antara lain karena dukungan pemerintah, karena Pemerintah ikut “menikmatinya”, terlebih pada masa Pemerintahan rezim Orde Baru. Pada saat itu, banyak peristiwa sejarah yang dimanfaatkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan.

(22)

administratif kewilayahan, sejarah lokal bermakna sejarah suatu Propinsi atau daerah jika itu dilihat dari skala Nasional.4Sejarah lokal atau sejarah daerah juga biasa disebut sebagai sejarah mikro.

Peristiwa-peristiwa (sejarah) yang terjadi di pulau Jawa nampaknya juga lebih menonjol dalam penulisan sejarah di Indonesia. Seperti yang dimuat dalam buku

Sejarah Nasional Indonesia yang banyak memunculkan peristiwa-peristiwa sejarah di pulau Jawa dengan tokoh-tokoh pergerakan dan pahlawan-pahlawan di pulau Jawa. Hal ini masih terbawa hingga sekarang, di mana peristiwa-peristiwa apapun akan lebih aktual dan disorot jika itu terjadi di pulau Jawa. Padahal ini bukan Negara Jawa, Negara Andalas, Negara Borneo, atau Negara Moluccas. Ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi sudah selayaknya dan memang harus, sejarah Nasional Indonesia memuat sejarah lokal dari daerah-daerah di bentangan Nusantara ini.

Selama ini banyak dijumpai karya-karya tulis tentang sejarah yang mengangkat sejarah Nasional yang agak menyisihkan cerita-cerita lokal atau daerah atau malah banyak tulisan sejarah yang berpusat tentang sejarah di pulau Jawa saja, atau dengan kata lain pulau Jawa menjadi dominan dalam banyak penulisan sejarah. Maka dalam tulisan ini berusaha untuk kembali lebih memberikan ruang yang lebih besar bagi penulisan sejarah lokal atau daerah/mikro, agar bangsa ini juga akan lebih memahami turut sertanya sejarah lokal dalam membangun sejarah Nasional.

Sejarah-sejarah lokal menjadi tenggelam di samudera sejarah nasional. Hanya segelintir penulis dan sejarawan yang tergugah minatnya dengan sejarah lokal atau sejarah dareah. Oleh karena itu penulisan sejarah dengan topik yang kedaerahan perlu dilakukan. Kesadaran akan penulisan sejarah lokal itu perlu ditumbuhkembangkan pada

4

J. J. Kusni, “ Tentang Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional”, dalam majalah

(23)

penulis-penulis sejarah. Regenerasi sejarah lokal harus terus digugah pada setiap insan pemerhati sejarah di Bumi Pertiwi ini secara turun-temurun, agar sejarah lokal tidak pupus begitu saja atau keliru kebenarannya karena tidak ada perhatian dan minat melestarikannya.

Kalimantan umumnya dan Kalimantan Selatan khususnya selaku (Propinsi) sebagai bagian dari wilayah republik ini juga mempunyai cerita atau sejarah lokal. Sejarah lokal Kalimantan (Selatan) seperti halnya sejarah lokal dari daerah-daerah lain juga turut membangun Sejarah Nasional Indonesia. Sejarah lokal di Kalimantan Selatan juga harus terus dikaji dan diteliti, bukan saja sifatnya yang dinamis tapi juga karena masih ada sejarah yang samasekali belum pernah diangkat, padahal topik-topiknya banyak yang menarik untuk diteliti.

Dalam penulisan Sejarah Lokal Kalimantan Selatan yang berhubungan dengan kebudayaan masih sangat kurang jumlahnya dan jauh lebih sangat kurang lagi pendalamannya. Hanya beberapa saja yang tertarik dan tergugah minatnya untuk menulis tentang sejarah kebudayaan di Kalimantan Selatan.

Salah satu kekayaan ragam bangsa ini adalah suku. Suku-suku yang jumlahnya mungkin mencapai ribuan yang tersebar di segala penjuru Nusantara ini. Suku Dayak adalah salah satunya. Suku Dayak terdapat di pulau terbesar ketiga di planet ini dan terbesar pertama di Republik ini, pulau Kalimantan. Suku Dayak menjadi sorotan penelitian atau menarik untuk diteliti karena beberapa alasan, mulai dari keunikan dan khasnya adat-istiadat, budaya dan tradisinya, alam mistiknya, eksotik alamnya, hingga masalah-maslah sosial politik yang kerap dibenturkan pada suku ini.

(24)

lain sebagainya. Pendapat-pendapat ini tentu saja sangat naif. Image yang dilekatkan pada suku Dayak di atas tidak berlandaskan sisi obyektifitas faktanya. Memang benar bahwa suku Dayak hidup di alam yang buas, hutan yang rimba, komunitas-komunitas kecil di perkampungan-perkampungan terpencil, memuja roh-roh alam dan leluhur, terdapat istilah ngayau atau mamat(memotong kepala manusia), hidup sederhana dan jauh dari modern civilization. Akan tetapi bukan berarti bahwa mereka (suku Dayak)

uncivilized.

Suku Dayak masih terbagi-bagi lagi dalam beberapa puak atau sub-suku Dayak. Tiap-tiap puak atau sub suku Dayak juga masih terpilah menjadi sub-sub suku Dayak lagi. Tiap-tiap puak suku Dayak mempunyai ciri khas tersendiri meskipun sebenarnya mereka adalah sama, satu nenek moyang, satu rumpun, yakni suku Dayak. Tiap-tiap puak suku Dayak mempunyai alasan kriteria tertentu dalam hal pembagiannya, seperti daerah yang mereka diami. Misalnya puak suku Dayak Meratus yang mendiami kawasan Pegunungan Meratus di Propinsi Kalimantan Selatan dan sebagian di Kalimantan Tengah.

Masyarakat adat suku Dayak Meratus adalah masyarakat yang masih setia menganut kepercayaan/religi lokal mereka, meskipun juga tidak sedikit yang sudah mulai meninggalkannya dengan alasan-alasan tertentu. Mereka menyebutnya dengan istilah “agama” Balian, yang juga biasa ditafsirkan sebagai Kaharingan-nya bagi puak suku Dayak Meratus. Masalah penyebutan nama kepercayaan suku Dayak Meratus ini pun juga mempunyai perdebatan. Seperti yang kemudian muncul penamaan agama Hindu (sekte) Kaharingan sebagai wujud dari perjuangan pengakuan terhadap eksistensi penganut “agama” Balian.

(25)

masyarakat adat suku Dayak Meratus banyak sekali bergantung pada alam. Oleh karena itu masyarakat adat suku Dayak Meratus sungguh sangat menghargai alam. Agama dan mitos sebagai bagian dari budaya yang kerap mempunyai gejala dan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tapi hanya berdasarkan pengalaman iman saja.5 Setiap sesuatu yang ada dalam religi Balian mempunyai mitosnya sendiri-sendiri. Misalnya tentang terjadinya sesuatu, asal-muasal dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mitos-mitos tersebut erat berhubungan dengan alam di mana mereka berpijak. Masyarakat adat suku Dayak Meratus percaya bahwa tiap-tiap unsur dan benda apapun itu di muka bumi mempunyai nyawa atau roh, perasaan, amarah, indera, kuasa, kehendak, dan sebagainya seperti halnya makhluk hidup. Termasuk di antaranya pohon, hutan, air, sungai, tanah, gunung, dan sebagainya. Masyarakat suku Dayak Meratus juga percaya terhadap adanya roh-roh nenek moyang dan mahkluk-makhluk halus. Sehingga religi Balian dapat dikatakan sebagai kepercayaan yang mempunyai unsur animisme, dinamisme, totemisme, fetisme, dan spiritisme serta animatisme.6

Jumlah total penganut “agama-agama asli” di seluruh dunia mencapai 237.386.000 orang atau setara 3,7% dari total jumlah penduduk dunia yang berjumlah kira-kira 6,3 milyar orang. Di Negara Indonesia “agama-agama asli” banyak terdapat di pedalaman Sumatera, pedalaman Kalimantan, Papua, pedalaman Sulawesi, dan Sumba. Menurut sensus aliran kepercayaan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 di Indonesia setidaknya terdapat 245 Aliran Kepercayaan dengan jumlah total

5

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, sunt. Kamdani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 132-133.

6

(26)

penghayatnya mencapat 400 ribu jiwa lebih.7 Di antaranya adalah: Ilmu Sejati, “agama” Buhun, Aliran Kepercayaan Mbah Suro, “agama” Parmalim, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, “agama” Pentrap, “agama” Traju Trisna, “agama” Balian atau Kaharingan, “agama” Pahkampetan, “agama” Bolin, “agama” Naurus, “agama” Basora, “agama” Tonaas Walian, “agama” Jawa-jawi Mulya, “agama” Sunda Wiwitan (“agama” Djawa Sunda/“agama” Cigugur), Penghayat Ajaran Mei Kartawinata, “agama” Tolottang, “agama” Kuring, “agama” Pancasila, “agama” Yakin Pancasila, “agama” Permai, “agama” Wetu Telu, dan masih banyak lagi.

Bagi Pemerintah rezim Orde Baru mereka (penganut-penganut “agama” lokal/asli/suku/etnis) dianggap tidak atau belum beragama. Jadi sudah selayaknya mereka ini diberagamakan atau dipaksa memeluk agama-agama yang telah diresmikan atau diakui oleh Pemerintah.8

Pasca jatuhnya Pemerintahan rezim Orde Baru adalah saat yang tepat yang membuka peluang untuk kembali menggali dan menulis hal-hal yang dulunya dianggap sebuah dosa di zaman Orde Baru. Ini saatnya meluruskan kembali kebenaran sejarah bangsa dan negara dan membersihkan nama, citra, dan label buruk, yang telah lama melekat “di masa kegelapan” kemarin. Seiring waktu ini kembali mencuat ke permukaan tentang berbagai permasalahan yang dulu pernah “dinetralisir” oleh pemerintah rezim Orde Baru yakni tentang suatu identitas bangsa, budaya dan keyakinan

7

Anonim, “Agama Asli Nusantara”, dalam website http://id.wikipedia.org/wiki/ Agama _Asli_Nusantara.

8

(27)

Pertama kali berdiri pemerintah rezim Orde Baru telah menetapkan terdapat lima agama resmi yang diterima atau diakui di Republik ini, (setelah sebelumnya Sukarno menetapkan ada enam). Artinya bagi mereka yang merasa berpijak di Bumi Pertiwi ini, di luar dari agama yang lima yang disebutkan di atas harus meleburkan keyakinan dirinya ke dalam agama yang lima tersebut. Usaha pengagamaan (formalisasi agama) ini gencar dilakukan oleh Pemerintah rezim Orde Baru tentu saja dengan tujuan politis (salah satunya disandarkan pada alasan pemberantasan hawa Komunis yang saat itu dipandang anti Tuhan yang kemudian ditafsirkan sebagai anti agama).9 Pemerintah rezim Orde Baru juga mempunyai tujuan agar dapat membuat pembedaan antara Orde Lama dengan Orde Baru yang dipimpinnya. Pada pemerintahan Orde Lama rakyat diperbolehkan menganut faham dan menjadi Komunis. Pemerintahan rezim Orde Baru mendoktrinasi bahwa Komunis itu salah, pengikut atau pemuja setan, tidak bertuhan (ateis), kafir, dosa besar, penyimpangan, aliran (kiri) sesat, musuh rakyat, harus dibasmi dan dibunuh, dan cap negatif lainnya. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menguatkan legitimasi bahwa Pemerintah rezim Orde Baru layak dan pantas berkuasa karena benar dan Pemerintah Orde Lama telah salah. Dalam beberapa hal (misalnya tentang persoalan faham yang berkembang di Indonesia) Pemerintah rezim Orde Baru banyak mendiskreditkan Pemerintah Orde Lama sebagai Pemerintahan yang lalai, keliru, dan jahat.

Proses pengagamaan (formalisasi agama) yang terjadi pada masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan ini berlangsung antara sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1980-1970-an d1970-an masih mempunyai dampak sosiokultural hingga sekar1970-ang

9

(28)

ini. Dari sini sudah dapat dilihat ada pemaksaan dan ketidakadilan serta ketidakmenghargainya pemerintah terhadap unsur yang sangat hakiki dalam hidup manusia, yakni keyakinan (religi). Keadaan seperti inilah yang terjadi pada masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. “Agama” mereka (Balian) dihadapkan dengan agama resmi yang dibacking-i oleh kekuatan penguasa.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Masyarakat adat suku Dayak Meratus adalah suku yang menjunjung tinggi kebudayaan mereka. Mereka sudah semenjak lama menganut Religi Balian. Religi Balian sudah turun-temurun diwariskan dari jauh generasi-generasi nenek moyang mereka terdahulu hingga anak cucu berikutnya. Religi Balian sudah sedemikian melekat dan hampir tidak mungkin dapat dilepaskan pada diri mereka.

Awalnya masyarakat adat suku Dayak Meratus sangat asing dengan pola-pola kehidupan modern, seperti misalnya bernegara, berpartai, berpolitik, bersekolah, dan lain sebagainya itu semua mereka anggap aneh. Mereka bahkan tidak tahu ada agama-agama lain yang pemeluknya tersebar di penjuru dunia. Tak ayal lagi istilah suku terbelakang dan terasing pun akhirnya melekat (dilekatkan) pada masyarakat adat suku Dayak Meratus oleh orang-orang yang mengaku dirinya berpola pikiran kehidupan modern.

(29)

Meratus berakibat matinya budaya asli dan membunuh budaya leluhur nenek moyang mereka. Secara singkat hal ini dapat disebutkan sebagai proses pengukuhan legitimasi kekuasaan, politisasi kebudayaan tanpa pandang bulu dan pertimbangan. Sebagai akibat dari program Pemerintah rezim Orde Baru ini dapat dirasakan dan dijumpai sampai sekarang, bukan saja budaya tapi juga sosial.

2. Pembatasan Masalah

Dengan kompleksitas permasalahan tentang Religi Balian pada masyarakat adat suku Dayak Meratus serta skope temporal yang cukup panjang yakni antara tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, maka agar penelitian lebih fokus lagi, permasalahan akan dibatasi pada:10

a. Masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai pemeluk “agama” Balian. Suku Dayak Meratus adalah puak dari suku Dayak. Posisi suku Dayak Meratus dalam suku Dayak sebagai suku induknya.

b. Proses pengagamaan (formalisasi agama) yang dilaksanakan oleh Pemerintah rezim Orde Baru pada masyarakat adat suku Dayak Meratus antara tahun 1970-an sampai 1980-an. Kepercayaan masyarakat adat suku Dayak Meratus, “agama” Balian tidak diakui dan dinyatakan dilarang oleh Pemerintah. Alternatif lima agama resmi secara tidak langsung ditawarkan pada masyarakat adat suku Dayak Meratus. c. Dampak yang terjadi kemudian setelah program ini dilakukan oleh Pemerintah

rezim Orde Baru. Masyarakat adat suku Dayak Meratus kehilangan identitasnya, identitas budaya asli mereka. Muncul kesepahaman bersama antara Pemerintah dengan penganut religi Balian/Kaharingan melalui konsep integrasi atau penggabungan keagamaan. Ketidakmenentuan eksistensi bagi status keagamaan

10

(30)

mereka yang menolak lima religi resmi dan pengintegrasian keagamaan dan tetap setia memeluk “agama” Balian.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang di atas terdapat beberapa pertanyaan yang muncul. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai berikut:

1. Siapa masyarakat adat suku Dayak (Meratus) itu ?

2. Apa latar belakang formalisasi agama itu dilaksanakan oleh Pemerintah rezim Orde Baru pada tahun 1970-an sampai 1980-an, dan bagaimana reaksi masyarakat adat suku Dayak Meratus?

3. Bagaimana dampaknya selanjutnya bagi masyarakat adat suku Dayak Meratus dan kelangsungan dari “agama” Balian/Kaharingan itu sendiri pasca program formalisasi agama tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Penulisan karya ini bertujuan untuk mendiskripsi dan menganalisa mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat adat suku Dayak (Meratus), yakni menyangkut tentang Identitas masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai puak atau sub suku dari suku Dayak di Kalimantan.

(31)

(budaya Dayak dengan religi Balian/Kaharingan-nya) dengan sebuah “kebudayaan baru” (formalisasi agama dengan religi-religi besar dunia-nya) yang ditunggangi kepentingan politis Pemerintah bahkan ekonomi.

E. Manfaat Penelitian

Penulisan karya ini secara umum untuk menambah dan memberi sumbangan baru pada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah, terutama sejarah lokal dan sejarah kebudayaan. Sumbangan yang dimaksud berkaitan dengan perkembangan religi Balian yang dianut oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan pada umumnya dan di Kalimantan Selatan pada khususnya pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an.

Penulisan karya ini diharapkan juga dapat mengingatkan segenap Bangsa Indonesia bahwa mereka mempunyai saudara sebangsa dan setanah air yang juga mengakui isi Sumpah Pemuda tetapi jauh dari kesejahteraan, ketentaraman, dan perhatian pihak Pemerintah. Manfaat lainnya agar menyadarkan Pemerintah sebagai pemegang kendali dan aturan-aturan formal supaya lebih menghargai keragaman, memahami Bhineka Tunggal Ika secara benar dan jangan jadikan keragaman sebagai potensi perpecahan, tapi sebagai kekuatan pemersatu untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kebanggaan Negeri yang besar ini.

Selain itu penulisan karya ini diharapkan dapat mengenalkan pada mereka yang masih asing dengan salah satu budaya saudaranya sendiri, budaya masyarakat adat suku Dayak Meratus yang menganut “agama” Balian.

F. Tinjauan Pustaka

(32)

mencoba merekonstruksi tentang masyarakat adat suku Dayak (Meratus) di Kalimantan. Beberapa ilmuwan yang pernah meneliti dan menulis tentang masyarakat Dayak Meratus di antaranya adalah:

Koentjaraningrat dengan karyanya yang berjudulManusia dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat hanya menyoroti tentang puak suku Dayak yang berada di kawasan Propinsi Kalimantan Tengah saja. Buku ini sesuai dengan judulnya, hanya melihat dari segi kebudayaannya saja dan tidak dari segi lainnya, seperti segi politik.

Buku berjudul Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak

karangan J. J. Kusni. Sesuai dengan sub judulnya, buku ini berisi gagasan-gagasan pemikiran untuk masyarakat suku Dayak. Buku ini memuat keterangan hubungan-hubungan politik Ibu kota dengan Daerah, misalnya masalah-masalah birokrasi. Akan tetapi buku ini sangat hambar dengan kebudayaan masyarakat suku Dayak, apalagi suku Dayak Meratus.

Buku kompilasi tulisan-tulisan dengan judul Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Isinya merupakan kumpulan karangan dari beberapa penulis, yakni Fridolin Ukur, Masri Singarimbun, Sandra Moniaga, dkk. Kumpulan tulisan ini kemudian diedit oleh Paulus Florus, John Bamba, Nico Andasputra, dkk. Buku kompilasi beberapa penulis ini banyak berbicara tentang Dayak di Kalimantan Barat saja, atau dengan kata lain penulisan ini lebih terfokus pada masalah-masalah yang ada pada puak suku Dayak di Kalimantan Barat. Kalaupun juga menyinggung tentang Dayak lainnya, maka tulisan ini lebih cenderung kepada masalah-masalah suku Dayak pada umumnya.

(33)

Yekti Mautanti yang menulis buku berjudulIdentitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Buku karangan Maunati ini masih terlalu umum, artinya tidak menjabarkan keterangan secara spesifik pada masyarakat puak suku Dayak tertentu. Dengan kata lain buku ini tidak menjelaskan detail tentang keadaan masyarakat adat suku Dayak Meratus.

Buku kompilasi tulisan-tulisan berjudul Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia. Buku yang isinya kumpulan dari beberapa karya tulis pengamat ini diedit oleh Budi Susanto. Salah satu penulis dalam buku ini yang mengangkat tema tentang suku masyarakat suku Dayak adalah F. Akap Pasti. Seperti yang disayangkan pada beberapa karya tulis sebelumnya, karangan ini tidak mengulas spesifik pada masyarakat adat puak suku Dayak Meratus. Tulisan Pasti hanya mengangkat pada masyarakat suku Dayak di kawasan Kalimantan Barat pedalaman.

Bernard Sellato menyunting buku karangan Cristina Eghenter yang berjudul

Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman

Kalimantan. Buku ini sangat indah memaparkan tentang kultur suku Dayak dan beberapa permasalahan di dalamnya. Akan tetapi buku ini tidak memuat keterangan tentang kehidupan masyarakat adat suku Dayak Meratus.

(34)

mewakili penulisan etnografi masyarakat adat suku Dayak Meratus pasca Pemerintahan rezim Orde Baru meskipun masih apolitis.

Di bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat

Terasing adalah judul buku yang dikarang oleh Anna Lowenhaupt Tsing. Buku ini sudah cukup banyak menjelaskan tentang masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai puak dari suku Dayak, akan tetapi buku ini tidak banyak menjelaskan tentang “agama” Balian secara mendalam.

Karya tulis Hairus Salim H. S. berjudul Masyarakat Suku Dayak Meratus: Agama dan Emansipasi. Melalui judulnya yang menarik, buku ini sedikit banyak memberikan penjelasan tentang benturan dua budaya yang terjadi pada masyarakat adat suku Dayak Meratus, hanya saja ulasannya terlalu dangkal. Artinya buku tipis yang tidak lebih dari 26 halaman (termasuk halaman biodata penulisnya) sangat singkat sekali pembahasannya terlebih pada masalah agama resmi-nya. Buku ini nampaknya juga memberikan akhir atau ending yang masih dilematis. Artinya belum ada memberikan gambaran keadaan yang terjadi setelah masyarakat adat suku Dayak Meratus berhadapan dengan lima agama resmi yang diakui Pemerintah rezim Orde Baru.

(35)

G. Landasan Teori

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi obyek penelitian adalah Masyarakat adat suku Dayak Meratus, di mana yang diamati adalah kepercayaan mereka, yakni “agama” Balian/Kaharingan, sebagai sebuah religi. Istilah religi berasal dari bahasa latin, yakni dari dua penyebutan yang keduanya merupakan kata kerja. Fridolin Ukur dalam tulisannya yang berjudul makna religi dari alam sekitar dalam Kebudayaan Dayak: Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, menyebutkan religere

berarti “melakukan sesuatu dengan bersusah payah melalui berbagai usaha danreligere

yang berarti mengikat semua.”11 Religare artinya adalah mengikat, atau ikatan hubungan antara manusia dengan Ilahi. Seterusnya Ukur mengungkapkan aspek yang berbeda dari religi, yakni:

a. Dari segi objektif, religi melibatkan perlakuan yang berulang-ulang dari kegiatan tertentu manusia dan oleh sebab itu termasuk wilayah fenomena eksternal.

b. Dari segi subyektif, religi adalah bagian yang tersembunyi dari pengalaman kehidupan batin atau psikis manusia.12

Pendapat lain juga memaknai dengan Re-eligere artinya adalah memilih kembali, atau aktifitas manusia untuk selalu memilih kembali atau berfihak kepada yang Ilahi. Terdapat banyak sekali pengertian tentang religi ataureligiondalam bahasa Inggris.

Para ahli memahami religi berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukannya terhadap suatu religi pada masyarakat tertentu. Menurut J. G. Frazer religi berasal dari sistem pengetahuan dan akal yang dimiliki manusia tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan-persoalan dalam hidupnya oleh karena sistem pengetahuan dan akal manusia tersebut ada batasnya. Hal ini juga berkaitan dengan maju tidaknya sebuah kebudayaan

11

Paulus Florus dan John Bamba,Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi,

(Yogyakarta: Grasindo, 1994), hlm. 3. 12

(36)

yang dimiliki oleh manusia tersebut, semakin terbelakang kebudayaannya, semakin pendek batas sistem pengetahuan dan akalnya.13 Frazer mengungkapkan “religi adalah segala sesuatu sistem tingkah-laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dsb.”14

Marret, seorang ahli kesusasteraan Yunani dan Roma Klasik memberikan pemaknaan terhadap asal mula religi setelah banyak membaca karya-karya dan folklore etnografi sebagai berikut:

…yaitu bahwa pangkal religi adalah suatu “emosi” atau suatu “getaran jiwa” yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa. Alam di mana hal-hal serta gejala-gejala itu berasal, oleh manusia purba dianggap sebagai dunia di mana terdapat berbagai kekuatan yang luar biasa. Artinya kekuatan yang tak dapat diterangkan dengan akal manusia biasa, dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan alamiah biasa, yaitu yang supernatural. Dalam bahasa Indonesia kekuatan yang luar biasa itu dapat disebut “kekuatan gaib” atau “kekuatan sakti”, sedangkan dunia dari mana kekuatan-kekuatan gaib itu berasal dapat disebut “dunia gaib atau alam gaib”.15

Pemahaman oleh Marret juga mempunyai kesinambungan dengan pendapat Frazer tentang religi. Ada saatnya manusia merasa sangat lemah ketika berhadapan dengan suatu kondisi dalam hidupnya, manusia tidak dapat menyelesaikan permasalahan karena keterbatasannya. Manusia kagum dan terpesona akan terjadinya sesuatu hal yang menurutnya itu hal yang luar biasa atau gaib dan tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan sang Maha Hebat. Akal manusia tidak dapat menjelaskannya. Kemudian manusia mengembalikannya kepada sesuatu yang dianggapnya Maha

13

Koentjaraningrat,op. cit., hlm. 53-54. 14

Ibid., hlm. 54. 15

(37)

Dahsyat, mempunyai kekuatan super, melebihi semua makhluk, sesuatu yang dapat mengendalikan segalanya termasuk hidupnya.

Masih terdapat beberapa lagi pengertian tentang religi dan masing-masing mempunyai argumen dan landasan yang beralasan dan mendukungnya. Seperti Edward B. Tylor yang memandang religi sebagai keyakinan kepada adanya atau percaya akan adanya makhluk halus (being in spiritual Being). Sedangkan Emile Durkheim mengartikan: “religi sebagai keterkaitan sekalian orang pada sesuatu yang dipandang sakral yang berfungsi sebagai simbol kekuatan masyarakat dan saling ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan.”16

Dalam bukunya yang berjudul Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan sosial-Ekonomi, Noerid Haloei Radam, mengambil kesimpulan bahwa:

Religi adalah konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, kosmogoni, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan sosial. Memantapkan kehidupan pribadi masksudnya membina dan mengembangkan identitas individual dan rasa aman emodional, dan mengentalkan ikatan sosial berarti menjadikan kehidupan sekelompok orang lebih utuh serta menjadi tenaga pendorong dabn pembenaran pencapaian tujuan bersama.17

Berkenaan dengan fungsi religi, Bronislaw Malinowski menyebutkan “religi memberikan tujuan dan arah keberadaan orang-orang dan selanjutnya memberikan penekanan yang kuat pada nilai kepribadian”. Jadi suatu religi bukanlah saja sekedar salahsatu unsur dari kebudayaan yang sudah ada demikian adanya, melainkan juga sebagai sebuah unsur budaya yang sifatnya aplikatif.

16

Noerid Haloei Radam,Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial–Ekonom, ( Yogyakarta: Yayasan Ambarukmo, 2001), hlm. 5.

17

(38)

Agama, menurut beberapa pakar seperti yang disunting dalam website-nya

Wikipedia memaparkan pemaknaan agama dari beberapa sudut pandang bahasa, antaralain dari bahasa Sangsekerta (berarti tradisi dan tidak bergerak); dalam bahasa Latin (berarti hubungan manusia dengan Manusia Super dan pengakuan serta pemuliaan Tuhan); dalam bahasa Eropa (berarti kepercayaan pada sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan akal atau pendidikan saja, Pengendali alam semesta serta Pemberi kodrat ruhani kepada manusia hingga sampai sesudah mati); dalam bahasa Indonesia (berarti hubungan antara manusia dengan Yang Maha Suci, sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan); dalam bahasa Arab (berarti penghambaan, taat, paksaan, tekanan, takut, adat, balasan, siasat, dan lain-lain).18

Alo Liliweri. berpendapat bahwa ”agama dalam artian klasik merupakan seperangkat aturan yang menata hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan lingkungannya”.19 Agama yang kemudian dianut oleh suatu masyarakat itu akan menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai suatu referensi dan mempunyai fungsi yang kemudian disebut dengan tugas dan fungsi agama (fungsi

manifestdanlatent).20

Penyebutan istilah “religi lokal” di sini merujuk kepada “agama” Balian yang dianut oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus, atau meminjam peristilahan Zada: agama lokal yang oleh E. B taylor disebut sebagai:

Agama dasar (kemudian disebut Deis) adalah agama yang sederhana dan dianut oleh bangsa manusia. Agama ini terdiri atas kepercayaan pada Tuhan sang Pencipta yang menjadikan dunia dan kemudian menyerahkannya pada

hukum-18

Anonim, , “Agama Asli Nusantara”.loc. cit.

19

Alo Liliweri,op. cit., hlm. 116. 20

(39)

hukum dasarnya sendiri. Yakni, suatu kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan kehidupan setelah mati, jika mereka berbuat baik dan menghindari kejahatan. Bagi kaum Deis, kepercayaan sederhana yang elegan ini merupakan keimanan makhluk manusia yang paling awal.21

Religi lokal dalam literatur lain juga disebutkan dengan istilah “agama asli”. “Agama” yang bukan datang atau muncul dari luar suku penganutnya. Oleh karena itu agama asli juga sering disebut dengan istilah “agama suku” atau “agama etnis”. “Agama” yang lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan sukunya.22

Dalam dunia kebudayaan juga dikenal istilah “agama primitif”, tetapi dalam konteks Indonesia istilah itu kemudian menjadi bernada menyindir. Istilah primitif dalam perbincangan luas masyarakat Indonesia sudah terlanjur berkonotasi negatif, seperti jauh dari kemajuan zaman bahkan tidak beradab. Literatur kebudayaan lainnya juga ada yang mengistilahkan “agama primitif” dengan “agama pagan” (menyembah berhala).

Dengan melihat beberapa penjelasan mengenai religi di atas, dapat dilihat konsep “agama” yang terdapat pada “agama” Balian/Kaharingan (sebagai sebuah religi) pada masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Pemaknaan oleh Noerid Haloei Radam tentang agama lebih dekat dengan konsep yang terdapat pada religi Balian/Kaharingan.

Religi dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Religi akan menentukan model-model interaksi individu-individu dalam masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Durkeim mengatakan bahwa “agama sebagai kekuatan

21

Khamami Zada, “Mempertimbangakan Spirit Agama Lokal,” dalam surat kabar

Suara Pembaruan, Jumat 6 September 2002. 22

(40)

pengikat di dalam masyarakat”.23 Senada dengan pendapat Robert K. Merton yang mengatakan bahwa agama bukan saja sebagai penyebab perpecahan tetapi juga bisa menjadi pemersatu. Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Beberapa Pokok Antropologi Sosial, menyebutnya dengan istilah aktivitas religi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.24 Tipe-tipe interaksi pada penganut religi ditentukan oleh ajaran-ajaran yang terdapat dalam religi tersebut. Sebenarnya maknanya menjadi luas ketika menyebut interaksi terhadap lingkungannya yang tidak terbatas pada sesama manusia saja tapi juga dengan alam. Norma-norma yang ada dalam masyarakat seluruhnya dipengaruhi dan berhubungan dengan religi yang mereka anut. Begitu pula dengan pola hirarki kepemimpinan yang ada juga berpijak pada religi itu. Sama halnya dengan hukuman atau sanksi yang digunakan dalam masyarakat adalah hukuman dan sanksi dari religi. Religi melingkupi semua bidang dalam masyarakat (bahkan ekonomi), karena masyarakat itu menjunjung tinggi religi tersebut. Penentang berarti pendosa bukan saja bagi religi, tapi juga bagi masyarakatnya.

Religi menentukan pola-pola interaksi antar penganut religi (masyarakat). Religi adalah salahsatu unsur dari kebudayaan, dengan kata lain kebudayaan itu salahsatu pembangunnya adalah religi. Manusia sebagai individu-individu dari masyarakat memiliki kebudayaan sehingga kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan itu.25Mengenai kebudayaan itu sendiri, Ralp Linton dalam tulisannya yang berjudul The Culture Background of Personality yang diterbitkan di New York pada tahun 1945, yang kemudian di sunting T. O Ilrohmi dalam bukunya yang berjudul

23

Andrew M. Greeley, Agama: Suatu Teori Sekuler, terj. Abdul Djamal Soamole, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988), hlm. 111.

24

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1977), hlm. 261.

25

(41)

Pokok-Pokok Antropologi Budaya dan kemudian dikutip oleh S. Jacobus E Frans L. dan Concordius Kayan, menyebutkan bahwa kebudayaan mencakupi lingkup yang luas kegiatan-kegiatan manusia di dunia dan tiap masyarakat mempunyai kebudayaan tertentu sesederhana apapun bentuk kebudayaan itu, dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya.26

Interaksi-interaksi yang ada pada masyarakat adat suku Dayak Meratus paling kentara dapat dilihat dari penyelenggaraan kehidupan sehari-hari mereka. Seperti dalam pelaksanaan upacara ritual keagamaan yang menyangkut bidang-bidang yang ada. Bidang ekonomi atau mata penjaharian masyarakat adat suku Dayak Meratus selalu berhubungan dengan “agama” Balian/Kaharingan yang mereka anut. Begitu pula dengan hubungan-hubungan sosial sesama makhluk termasuk manusia juga dipandang dari kacamata “agama” Balian/Kaharingan.

Kepercayaan masyarakat adat suku Dayak Meratus (“agama” Balian/Kaharingan) sebagai salah satu unsur dari budaya tiba-tiba terdesak oleh salah satu unsur budaya lain yang ditunggangi oleh kepentingan kelompok, yakni penguasa dan penguasalah akhirnya yang keluar sebagai pemenang. Inilah “Hegemoni: the moving equilibrium, situasi yang memungkinkan kelompok yang berkuasa menjadi pemenang.”27 Kultur yang lebih besar dan berkuasa akan menekan kultur yang lebih kecil dan tidak berkuasa Unsur ini yang disebut Soerjono Soekanto sebagai “unsur yang masuknya dipaksakan oleh suatu kekuatan.”28

26

Paulus Florus, Stephanus Djuweng, John Bamba, dan Nico Andasputera, op. cit., hlm. 204.

27

Muhammad Holid, “Simbol Sebagai Arena Perjuangan Kelas”, dalam majalah

Jalang, 21 Januari 2000. 28

(42)

Dari gambaran di atas maka yang perlu diperhatikan adalah subyek untuk diidentifikasi dan dinamikanya sebagai sebuah struktur-fungsi yang bergerak (dinamis). Oleh karena itu masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai subyek harus diidentifikasi identitasnya dan dinamikanya perlu diamati struktur-fungsinya. Sehingga dalam penulisan skripsi ini terdapat dua teori untuk penjelasannya, yakni teori identitas dan teori struktural-fungsional.

Teori identitas adalah teori yang menjelaskan tentang suatu identitas, ciri khas, atau tentang jati diri masyarakat adat suku Dayak Meratus itu (si subyek). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam teori identitas antaralain adalah Sigmund Freud, Talcott Parson, Geoge Herbart Mead, Jurgen Habermas, Erich Fromm, dan Erik Hamburger Erikson. Pada pembahasan kali ini akan menggunakan teori identitas oleh Erik Hamburger Erikson dengan pertimbangan kerelevanannya dengan topik.

Menurut Erik Hamburger Erikson sebenarnya masalah identitas sendiri masih dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni: identitas diri, krisis identitas, kebingungan identitas, kepanikan identitas, identitas positif, identitas positif, identitas negatif, penutupan identitas dan moratorium identitas.29 “Identitas merujuk pada keseluruhan kompleks dan multidimensi di mana individu dan masyarakat saling berkait”.30 Identitas merupakan penunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang unik pada diri seseorang dalam lingkup lingkungannya. Berarti diri seseorang itu mempunyai nilai ciri yang merupakan esensi pribadinya. Dalam bukunya, Erik H. Erikson menuliskan identitas sebagai berikut:

Identitas adalah konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa sekarang dan dari yang di dalam dan yang di luar, ke dalam suatu keseluruhan baru:

29

Erik Hamburger Erikson, Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah: Pemahaman dan Tanggung Jawab, terj. Agus Cremers, (Flores:LPBAJ, 2001), hlm. 22.

30

(43)

siapakah aku ini, siapa saya ini semenjak dahulu. Secara ilmiah identitas merupakan suatu proses, sebuah sintesis “ego” yang sebagian besar berlangsung secara tidak sadar dan yang mengintegrasikan berbagai macam diri atau aspek diri si individu ke dalam bentuk kesatuan baru, dan ke dalam perspektif diri sentral yang baru, seraya menentukan sendiri orientasi diri dengan kembali mensintesiskan sisa identifikasi…31

Erikson mengemukakan bahwa identitas adalah sesuatu yang berkembang, dinamis, tidak statis. Hal ini terjadi secara berkala, mulai dari terlahir hingga dewasa. Preses ini adalah proses pencarian identitas dirinya yang ingin merasa diakui dirinya sebagai pribadinya sendiri oleh orang lain, masyarakat dan lingkungannya.32Kemudian secara singkatnya Erik H. Erikson memaknai “identitas semacam proses pensintesisan pribadi supraordinatif yang merangkum dan menyatupadukan sebagai integrasi terutama integrasi yang pernah dilakukan oleh “ego” selama hidupnya”33.

Dalam konteks kepercayaan “agama” Balian/Kaharingan masyarakat adat suku Dayak Meratus, identitas tersebut adalah identitas yang melekat pada setiap individu dalam masyarakat yang sudah berlangsung semenjak dahulu, semenjak kepercayaan “primitif “ ini muncul, tumbuh dan berkembang. Sebuah masyarakat yang berbudaya, yang beradab, yang mempunyai pranata nilai-nilai kehidupan sendiri, meski dunia luar menganggapnya bertolak belakang dari itu semua, karena hanya dilihat dari monopoli sempitnya pemikiran dan sudut pandang penguasa yang mempunyai tujuan tertentu. Identitas mereka selebihnya diperparah oleh kesewenang-wenangan Pemerintah rezim Orde Baru dalam men-cap mereka sebagai suku terasing, terbelakang, tertinggal dan keburukan lainnya. Budi Susanto menyebutkan “identitas dan politik dari Negara dan

31

Ibid. hlm. 21. 32

Ubed Abdillah S., Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, (Magelang: Indonesiatera, 2002), hlm. 34-35.

33

(44)

bangsa Indonesia patut untuk dikaji ulang, mengingat (selama ini) rezim (orde) baru masih saja memperhantukan orang atau pihak-pihak tertentu.”34

Teori struktural-fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang fungsi dan struktur. Teori ini juga biasa disebut dengan teori struktural-fungsional. Teori struktural-fungsional ini di klaim lebih ilmiah dan empiris, di mana hipotesisnya diuji melalui penelitian-penelitian yang sistematik seperti pengamatan (observation) dan partisipasi observasi (particivation observation).35

Dalam teori struktural-fungsional terdapat banyak tokoh yang menggawanginya, seperti August Comte, Bronislaw Malinowski, Emille Durkheim, E. E. Evan Pritchard, Herbert Spencer, Ibnu Khaldun, Talcott Parsons, Radcliffle Brown, Raymond Firth, Robert K. Merton, hingga Montesquieu peletak dasar sosiologi perbandingan.36 Mereka mempunyai definisi dan pandangan sendiri-sendiri mengenai teori ini. Namun yang paling sering disebutkan dalam beberapa literatur tentang teori ini adalah pandangan Bronislaw Malinowski dan Radcliffle Brown, meskipun pemikiran mereka juga tidak akan pernah lepas dan selalu dipengaruhi dari pendahulunya, Emille Durkheim.37

Dalam penulisan skripsi ini akan mencoba menjelaskannya dengan menggunakan pandangan dari Bronislaw Malinowski dan A. R. Racliff Brown, serta pemikiran Talcott Parsons, dan Robert K. Merton karena dinilai lebih sesuai dan dekat

34

F. Akap Pasti dkk., Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), editor Budi Santoso, hlm. 8.

35

Judistira K. Gana, Ilmu-ilmu Sosial: Dasar Konsep Posisi, (Bandung: Penerbit Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 1996), hlm. 53-54.

36

Ibid., hlm. 59. 37

(45)

dengan topik yang dibahas. Dalam teori struktur dan fungsi aliran Amerika menyebutkan bahwa:

Sesuatu yang berfungsi itu ialah (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memnuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi sosial, atau berkaitan dengan hak dan tanggung jawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; seperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat, seperti agama dan poitik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai piolitik.38

Bronislaw Malinowski adalah tokoh yang memahami masyarakat melalui kebudayaan yang mengemukakan bahwa semua unsur kebudayaan (cultural straits) merupakan bagian yang penting dalam masyarakat, karena unsur tersebut memiliki fungsinya yang tertentu. Oleh karena itu setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam kebudayaan.39 Selanjutnya Bronislaw Malinowski mengatakan “Dalam mencari kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga masalah sebagai azas penting menurut pendekatan struktural fungsional, yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi; (2) bagaimana sesuatu itu berfungsi; dan (3) mengapakah sesuatu itu berfungsi.”40

(46)

Brown menambahkan bahwa berawal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib diluar manusia dan melebihi manusia itu kemudian melahirkan agama-agama dan keyakinan tertentu yang di dalamnya manusia menyandarkan dirinya untuk mendapat keselamatan dan kesejahteraan melalui melakukan serangkaian upaya pemujaan dan pemuliaan, seperti upacara-upacara ritual keagamaan.42

Talcott Parsons yang juga sealiran (aliran Amerika) dengan Bronislaw Malinowski, dalam 2 bukunya yang berjudulThe Evolusion of Societies (1977) danThe Structure of Social Action(1968) menyebutkan sebagai berikut:

Masyarakat itu adalah suatu sistem sosial, yang harus memenuhi empat syarat atau azas untuk setiap sistem itu berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan; (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu; (3) penentuan anggota masyarakat agar dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai, serta menyelesaikan konflik dalam interaksi; dan (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat,. Individu dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.43

Sumbangan pemikiran Parson untuk menjelaskan pembahasan ini adalah pada pola adaptasi dan pencapaian integrasi, yang merupakan bagian dari pemahaman Parson tentang masyarakat sebagai suatu sistem sosial.44

Pola adaptasi (adaptation) bergerak dengan tujuan untuk mencapai keadaan yang lebih baik atau usaha untuk mencapai keadaan yang disetujui. Kata kuncinya adalah azas keseimbangan (equilibrium). Parson mengambil kesimpulan kalau sistem sosial itu cenderung bergerak menuju tatanan keseimbangan atau juga disebutnya

42

A. R. Racdliff Brown, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Malaysia, 1980), hlm. 175.

43

Ibid., hlm 57. 44

(47)

dengan istilah stabilitas.45 Norma sistem yang berlaku adalah keteraturan, dengan hukum: ketika terjadi kekacauan (ketidakteraturan) dalam norma-norma itu, maka sistem akan berusaha dengan mencari jalan penyesuaian (adaptasi) untuk mencapai keadaan yang normal.46 Pada dasarnya sebuah sistem yang berlaku di masyarakat mengidealkan keharmonian, dimana terdapat keseimbangan dalam masyarakat (social equilibrium). Dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar karangan Soerjono Soekanto, Selo Soemardjan, mengatakan “Dengan keseimbangan dalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi.”47

Parson juga memaknai pola adaptasi sebagai kebutuhan fungsional, berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungannya dan mendistribusikan sumber-sumber itu keseluruh sistem.48

Menurut Parson, integrasi (penggabungan) yang juga merupakan kebutuhan fungsional yang berhubungan dengan masalah koordinasi dan penyatuan bagian-bagian sistem menjadi suatu keseluruhan yang fungsional49. Jadi intergrasi adalah hasil dari pencapaian setelah pola adaptasi berhasil. Dalam buku sanjuangannya terhadap guru besarnya, Durkheim yang berjudulDurkheim Contribution to the Theory of Integration of Social System, Parson menulis “masalah integrasi sistem sosial, yang menyatukan

45

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 174.

46

Ibid. 47

Soerjono Soekanto,Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 314.

48

Margaret M. Poloma,op. cit., hlm. 425. 49

(48)

masyarakat secara secara bersama, adalah masalah paling mengasyikkan dalam karir Durkhiem.”50

Dalam teorinya, Robert K. Merton melihat tidak semua unsur yang terdapat pada masyarakat itu berfungsi keseluruhan. Merton merujuk kepada adanya unsur yang mempunyai sisi bertahan dan berfungsi (function) pada bagian tertentu karena memelihara kokohnya struktur (ini disebut Merton sebagai fungsi positif), akan tetapi juga terdapat unsur yang mempunyai sisi rapuh dan tidak berfungsi (disfunction) karena membuat ketidakmapanan sistem atau akan menghancurkan struktur atau menceraiberaikan kemapanan keseluruhan sistem sosial.51 52 Unsur-unsur tersebut boleh jadi berfungsi (function) pada bagian tertentu tapi bisa juga sekaligus tidak berfungsi (disfunction) bagi bagian yang lain.

Pada konteks pembahasan mengenai masyarakat adat suku Dayak Meratus, teori struktural-fungsional digunakan untuk menjelaskan tentang sebuah unsur kebudayaan dan budaya itu sendiri yang tetap melekat dan dipertahankan oleh masyarakatnya karena unsur kebudayaan dan budaya itu masih berfungsi dan memang harus tetap akan ada untuk mendukung jalannya hidup dan kehidupan mereka. Meskipun demikian seperti yang dikatakan oleh Robert K. Merton, bahwa ada sesuatu yang pada akhirnya, mungkin karena beberapa faktor, terdapat nilai negatif dalam perspektif tertentu dan kemudian yang bernilai negatif itu berusaha ditinggalkan.

Terakhir sebagai pencapaian titik keseimbangan (equilibrium) adalah melalui kesepakatan bersama. Meskipun ada kecenderungan ada pihak yang dikalahkan,

50

Ibid., hlm. 174-175. 51

Ibid., hlm. 430. 52

(49)

dipaksa, dipinggirkan, tetapi tetap berusaha bertahan dengan jalan bersama tersebut (penyesuaian bagi pihak yang kalah). Seperti tertuang dalam teorisuper culture:

Super culture sebagai kebudayaan kelompok berkuasa cenderung menggilas

infer culture selaku kebudayaan kelompok yang dikuasai. Sebaliknya infer culture cenderung berusaha menyesuaikan diri dengan super culture. Tetapi pada suatu saat,infer cultureakan mengalamiculture amnesia. Oleh karenanya, para pendukung infer culture berusaha mencari identitas yang telah hilang karena prosesadjustment(penyesuaian) terhadapsuper culture.53

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga penelitian yang dilakukan untuk merekonstruksi tentang perkembangan religi Balian/Kaharingan pada masyarakat adat suku Dayak Meratus juga menggunakan metode sejarah. Dalam penulisan sejarah yang bersifat deskriptif-analisis diperlukan aspek perspektif, pendekatan, obyektivitas dan subyektivitas sebagai alat-alat analitis.54

Kalau dalam ilmu hukum kriminal dikenal istilah no evidence no witnes and then no crime, maka dalam ilmu sejarah juga dikenalno evidence no witnes, and then no history. Upaya rekonstruksi sejarah itu perlu bukti, perlu saksi untuk mendukung prosesnya, karena sejarah adalah berdasarkan fakta, baik itu fakta keras maupun fakta lunak. Kalau tidak terdapat salah satu di antaranya maka perekonstruksian sejarah akan terhambat. Sejarah perlu alasan kejelasan rasional bukan dari mitos atau legenda (meskipun mitos atau legenda tidak dapat diabaikan begitu saja). Rekonstruksi sejarah memerlukan sumber, data-data, dokumen-dokumen, tuturan saksi atau pelaku atau korban yang terlibat, rekaman pita tape (suara), rekaman video, atau dalam bentuk apapun yang dapat memberikan keterangan mengenai peristiwa yang dikaji. Singkat

53

Stephanus Djuweng, “Dayak, Dyak, Daya’, dan Daya: Cermin Kekaburan Sebuah Identitas”, dalam majalahKalimantan Review, nomer 1 tahun I Januari-Juni 1992, hlm. 9.

54

(50)

kata sejarah itu dapat diumpamakan orang yang sedang jalan yang meninggalkan bekas-bekas tapak kaki di jalan, bekas tapak-tapak kaki itu merupakan bukti dari orang jalan (sejarah). Akan tetapi tapak-tapak kaki tadi juga perlu dikritisi, perlu diteliti kebenarannya. Siapa tahu tapak-tapak kaki tersebut bukan tapak kaki, tapi tapak-tapak kaki buatan. Selanjutnya tapak-tapak kaki tersebut juga perlu untuk dimengerti dan dipahami agar diketahui arah dan tujuannya. Kemudian yang terakhir adalah menyuarakan, memberitahukan pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya bidang sejarah tentang peritiwa sejarah tadi.

Secara umum dalam kaidah penulisan sejarah terdapat tahapan-tahapan yang dilalui untuk perekonstruksian suatu peristiwa sejarah, yakni metode sejarah secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Tahap Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani heuriskein yang berarti menemukan.55 Pada tahap ini semua bentuk sumber-sumber dicari dan dikumpulkan. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumber-sumber berupa buku-buku, artikel, dan laporan hasil penelitian maupun bentuk-bentuk tulisan lain yang relevan dengan topik yang dibahas. Pengumpulan sumber-sumber tertulis tersebut akan sangat banyak dilakukan di perpustakaan-perpustakaan (perpustakaan Universitas Sanata Dharma, perpustakaan di beberapa asrama mahasiswa Kalimantan di Jogjakarta, perpustakaan pribadi milik Ibu Nila Riwut dan perpustakaan Daerah Kalimantan Selatan) maupun di internet dan media-media pustaka lainnya. Selain dari kepustakaan (tertulis), sumber-sumber juga akan digali dari hasil wawancara dengan orang-orang yang terlibat (penduduk

55

(51)

asli/masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai pemeluk religi Balian), baik itu saksi (langsung atau tidak langsung), pelaku atau korban serta penduduk sekitar seperti pemuka agama/tokoh “agama” Balian sekaligus sebagai tokoh masyarakat adat suku Dayak Meratus dan biasanya juga berkedudukan sebagai Pambakal, penganut religi Balian itu sendiri, masyarakat adat suku Dayak Meratus yang sudah meninggalkan religi Balian dan memeluk agama resmi Negara (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan), peneliti-peneliti terdahulu yang pernah mengkaji tentang kebudayaan Dayak, organ-organ Pemerintah (dalam hal ini petugas-petugas di Kantor Kecamatan dan Kantor Urusan Agama) yang berhubungan dengan kependudukan mayarakat adat suku Dayak Meratus, dan dosen-dosen di Jususan Ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma yang juga memberikan masukan keterangan-keterangan tentang kehidupan dan kebudayaan Suku Dayak. Data-data juga ada yang diperoleh dari hasil diskusi dalam pertemuan-pertemuan periodik perkumpulan mahasiswa Kalimantan Selatan di Jogjakarta.

Pada tahapan ini pencarian data-data akan dilakukan di dua tempat. Pertama, di Jogjakarta untuk menggali sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku, artikel-artikel, dan lain sebagainya serta menelusur data-data di internet. Kedua, di Kalimantan Selatan untuk memperoleh sumber-sumber lisan dan untuk melihat secara langsung skope spasial di sana. Seperti yang diungkapkan Profesor Dr. Jan Vansina dan Madison seperti yang dikutip oleh J. J. Kusni: “tradisi oral sebagai sumber sejarah, termasuk di dalamnya sumber-sumber seperti ritus, mitos, legenda, dan lambang-lambang”.56 Sumber-sumber lisan akan sangat diperlukan mengingat masyarakat adat suku Dayak Meratus (suku Dayak pada umumnya) pada masa klasik tidak mengenal budaya

tulis-56

(52)

menulis, tidak memiliki susunan abjad dan peninggalan tertulis mengenai masa lampau.57

Berkenaan dengan syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang informan penelitian, W. Lawrence Neuman mengatakan bahwa informan tersebut harus sungguh mengetahui tentang budaya dan kedudukannya (saksi) dalam peristiwa tersebut dan sudah hidup dalam budaya tersebut dalam kurun waktu yang lama (bertahun-tahun), diri informan tersebut harus terlibat secara langsung dalam peristiwa yang terjadi agar dapat dengan jelas menginformasikan peristiwa tersebut.58

2. Tahap Kritik Sumber

Setelah data-data diperoleh, langkah selanjutnya adalah melakukan kritik sumber, baik itu intern mapun ekstern. Kritik intern menelusuri tentang ke kekredibelitasan sumber, sedangkan kritik ekstern untuk menelusuri ke otentisitasan sumber.59 Dengan demikian diharapkan sumber-sumber yang diperoleh dapat diketahui bahwa sumber tersebut berisi hard fact atau fakta keras.60 Sumber-sumber tertulis seperti buku dan artikel dan lain sebagainya dicermati agar menghasilkan fakta-fakta yang jelas.

3. Tahap Interpretasi

Selanjutnya pada tahap ini akan menganalisa dan menafsirkan fakta yang telah diseleksi melalui kritik sumber yang telah tersusun. Tahapan ini dilakukan dengan memberikan penafsiran maupun tanggapan dari data tersebut sesuai dengan persoalan

57

Ibid. 58

W. Lawrence Neuman, Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Foueth Edition, (Needham Heights, 2000), hlm. 364.

59

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 99-100.

60

Gambar

Tabel 11. Beberapa penyebutan Puak Suku Dayak
Tabel 12. Profil Demografi dan Topografi Propinsi Kalimantan Selatan.
Tabel 13. Bubuhan, Wilayah, Faktor Pembentuk, Tutuha, Tempat Tinggal dan Etnis.
Tabel 14. Perincian Persyaratan dan Fungsi Masing-masing Balian.
+7

Referensi

Dokumen terkait