• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Religi Kaharingan di tengah Proses Formalisasi Agama

1) Penyebaran (Misi) Agama Kristen

Misionaris-misionaris Kristen yang tiba dii perkampungan mayarakat adat suku Dayak Meratus di tahun 1960-an pada awalnya juga tidak mudah langsung mengajarkan ajaran agama dan mengkritenkan penduduk di sana. Mereka biasanya memulainya dengan mengajak anak-anak suku Dayak Meratus untuk belajar melalui sekolah-sekolah minggu atau tempat belajar. Rumah adat balai biasanya menjadi

187

tempat penyelenggaraannya.188 Mereka juga pandai bersosialisasi dengan masyarakat sekitar melalui kegiatan-kegiatan yang mereka adakan. Seperti mengadakan kegiatan pembersihan lingkungan sekitar perumahan penduduk, pengajaran mandi bersih menggunakan sabun dan menggosok gigi dengan pasta gigi, memotong kuku dan rambut hingga cara bersikap. Masyarakat adat suku Dayak Meratus pada awalnya 100% buta huruf dan dari budayanya sendiri tidak mengenal aksara, di sini para misionaris Kristen juga megajari mereka membaca dan menulis, terutama pada anak-anak suku Dayak.

Dengan demikian hubungan di antaranya menjadi dekat dan jalan untuk menuju ruang hati mereka (masyarak adat suku Dayak Meratus) menjadi terbuka. Perlahan-lahan akhirnya ajaran-pajaran Kristen diperkenalkan pada mereka. Misalnya dengan mengawali segala sesuatu dengan doa dan membuat tanda salib secara Kristen. Mereka perlahan-lahan dapat menerima iman Kristen. Tidak sedikit masyarakat adat suku Dayak Meratus yang akhirnya memeluk agama Kristen. Gereja-gereja kemudian mulai dibangun di sekitar perkampungan mereka. Mereka mulai menghadiri misa-misa pagi, mengikuit kebaktian-kebaktian, dan sembahyangan di hari Minggu.

Masyarakat adat suku Dayak Meratus banyak yang cenderuing berkonversi ke Kristen dan meninggalkan religi Kaharingan juga dikarenakan adat kebiasaan mereka lebih cocok dengan agama Kristen. Misalnya kebiasaan memelihara dan memakan babi dan anjing. Dalam Islam adat kebiasaan itu adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.

Selain misionaris lokal dan dalam negeri, juga terdapat misionaris-misionaris asing yang di datangkan ke perkampungan-perkampungan masyarakat adat suku Dayak. Beberapa di antara mereka masih terdapat hingga sekarang. Berdasarkan

188

Bahkan ada yang di alam terbuka, di bawah-bawah pohon atau di pinggir-pinggir sungai.

Teks Resmi Laporan Kebebasan Beragama Internasional yang ditebitkan oleh Biro Demokrasi, hak-hak azasi dan perburuhan, menyebutkan bahwa paling pada tahun 1980-an setidaknya terdapat 350 misionaris asing Kristen yang mengemban misi Kristen di Indonesia dan kebanyakan ditempatkan di Papua, Kalimantan dan daerah-daerah lain yang masih menganut kepercayaan lokal atau animisme dalam jumlah besar..189

Masuknya misi Kristen lewat misionaris-misionaris lokal )dalam negeri maupun asing) memang telah berhasil membuat sekian orang Dayak meningglkan keyakinan lama mereka, tidak lagi menyembah dan memberi sesajen-sesajen terhadap roh-roh nenek moyang dan leluhur-leluhur dan menjadi Kristen, tetapi sayangnya juga berarti terkikisnya warisan-warisan nenek moyang dan leluhur yang ikut ditinggalkan. jadi Kristen meninggalkan kebiasaan menyembah roh-roh nenek moyang dan leluhur. Cristtiyati Ariani mengatakan:

Masuknya misi Kristen berhasil melepaskan mereka dari belenggu magis dan animisme. Tetapi perubahan itu membawa dampak kehilangan nilai-nilai budaya berharga yang diperoleh dari warisan para leluhurnya. Pada masa awal masuknya misionaris Kristen, dampak negatif itu mungkin sulit dihindari karena sebagian besar misionaris asing tidaklah memahami budaya Dayak secara tepat. Seandainya para misionaris cukup berwawasan budaya dalam kegiatan misinya, kepercayaan masyarakat setempat terhadap adanya penguasa alam yang telah dianut selama bertahun-tahun tidak perlu dianggap dihilangkan, bahkan sebaliknya bisa dimurnikan dan diperkaya.190

Berbagai kesulitan juga banyak dialami oleh misionaris-misionaris Kristen ini. Kendala pertama yang langsung dapat telihat adalah kondisi alam dan lingkungan yang cukup “seram”. Seperti diketahui perkampungan masyarakat adat suku Dayak Meratus terletak di sepanjang Peguungan Meratus yang terdiri atas jurang-jurang terjal, hutan

189

Anonim,loc. cit., “Kebebasan Beragama”. 190

Poltak Johansen dan Christriyati Ariani, “Mayarakat Dayak dan Lingkungannya”, dalam majalahKalimantan Review, nomer 4 tahun II Mei-Agustus 1993, hlm. 3.

rimba yang lebat, jalan-jalanyang menghubungkan ke lokasi perkampungan sangat susah dilalui bahkan beberapa perkampungan saat itu belum dihubungkan oleh jalan yang layak. Saat itu pembangunan jalan-jalan menuju ke perkampungan mayarakat adat suku Dayak Meratus tidak ada. Jalan-jalan yang menghubungkan antara kampung yang satu dengan kampung yang lain hanya jalan setapak dan tertutup rumput-rumput yang tingi-tingi. Hutan rimba yang lebat juga ditinggali oleh binatang-binatang buas dan berbisa. Sehingga bisa membahayakan bagi orang yang tidak terbiasa dengan hal demikian. Perkampungan-perkampungan mayarakat adat suku Dayak Meratus saat itu (dan beberapa sampai saat ini) juga belum ada listriknya. Sehingga penerangan di waktu gelap malam hanya seadanya dari api-api obor dan lampu-lampu minyak. Misionaris-misionaris Kristen harus tegar dan tabah menjalani itu semua.

Halangan-halangan dari penghuni setempat (masyarakat adat suku Dayak Meratus yang menganut religi Kaharingan) hakikatnya tidak ada atau tidak begitu berarti.meskipun pada awalnya misionaris-misionaris mengakui bahwa tidak mudah untuk memperoleh kepercayaan dari suku Dayak. Hanya saja kendala akan muncul ketika adanya campur tangan atau pengaruh masyarakat dari desa-desa “di bawah”.191 Penduduk Desa-desa “di bawah” (Padang Batung, Rantau, Kandangan, dan lain-lain) kebanyakan sudah memeluk agama Islam. mereka merasa tidak senang dengan kehadiran orang-orang Kristen di sana. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari hasutan-hasutan hingga teror-teror.

Kalangan dari umat Kristen Protestan menyatakan bahwa mereka mendapat kesutitan ketika ingin mendirikan tempat peribadatan (Gereja). Kendala itu dapat berupa sulitnya memperoleh persetujuan dari masyarakat sekitar untuk pendirian

191

“Desa di bawah” adalah sebutan bagi desa-desa yang terletak di daerah lain/diperkotaan.

tampat ibadah Gereja. Meskipun akhirnya masyarakat sekitar menyetujuinya, biasanya tiba-tiba datang sekelompok orang yang mengatasnamakan tetangga mayarakat sekitar (kerabat-kerabatnya) yang menentang rencana pendirian tempat ibadah Geraja itu. Mereka menyodorkan sederatan daftar tandatangan yang isi intinya menolak didirikannya tempat ibadah Gereja tersebut.192 Kesulitan-kesulitan selanjutnya masih berlapis-lapis, seperti pengurusan perizinan dari Pemerintah setempat. Tampuk Pemerintahan yang dipegang oleh warga pemeluk agama mayoritas dirasa mempersulit perizinan tersebut.

Kalau dilihat dari sudut suku Dayak secara keseluruhan maka akan ditemui sebuah identitas budaya generasi Dayak baru yang lebih terfokus kepada agama Kristen, baik Katolik mau pun Protestan sebagai hasil dari peranan Gereja yang cukup besar sekali dalam mempengaruhi identitas budaya Dayak.193 Yosep Oidillo Oendoen menyebutkan:

Inkulturasi antara Budaya Dayak dengan ritus Gereja cukup berhasil bila dilihat dari sudut ekspresi. Berbagai lukisan, arsitektur, dan lagu tradisional suku Dayak, banyak yang sudah digubah untuk kepentingan peribadatan, terutama di dalam Gereja Katolik. Lalu timbul suatu pertanyaan, bagaimana proses inkulturasi ini dapat dihayati generasi Dayak baru?misalnya, apakah dalam tradisi balian, dimana orang meminta bantuan roh halus untuk kesembuhan si sakit, juga terdapat transformasi budaya yang mendasar.194

Pada puak suku Dayak lainnya agama Kristen Katolik datang lebih awal lagi. Puak-puak suku Dayak di Kalimantan Timur sudah didatangi misionaris-misionaris

192

Anonim,loc.cit., “Kebebasan Beragama”. 193

Yosep Oidillo Oendoen, Makarius Sintong, dan Yosep Dismas Aju, “Memahami Identitas Budaya Dayak”, dalam majalah Kalimantan Review, nomer 4 tahun II Mei-Agustus 1993, hlm 21.

194

asing asal Belanda pada tahun 1907.195 mereka berdiam di kecamatan Long Iram, sekitar lima ratus kilometer dari kota Samarinda. Pada tahun 1911 didirikan sekolah Katolik pertama disini. Diceritakan mereka banyak membantu warga di sana. Mereka juga mendirikan poliklinik dimana di dalamnya juga sudah terdapat suster-suster untuk mengobati orang yang sakit orang yang sakit (mungkin dengan tujuan mengimbangi peranan atau pengaruh balian/dukun/tabib bagi penganut religi Kaharingan di sana).196