• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga penelitian yang dilakukan untuk merekonstruksi tentang perkembangan religi Balian/Kaharingan pada masyarakat adat suku Dayak Meratus juga menggunakan metode sejarah. Dalam penulisan sejarah yang bersifat deskriptif-analisis diperlukan aspek perspektif, pendekatan, obyektivitas dan subyektivitas sebagai alat-alat analitis.54

Kalau dalam ilmu hukum kriminal dikenal istilah no evidence no witnes and then no crime, maka dalam ilmu sejarah juga dikenalno evidence no witnes, and then no history. Upaya rekonstruksi sejarah itu perlu bukti, perlu saksi untuk mendukung prosesnya, karena sejarah adalah berdasarkan fakta, baik itu fakta keras maupun fakta lunak. Kalau tidak terdapat salah satu di antaranya maka perekonstruksian sejarah akan terhambat. Sejarah perlu alasan kejelasan rasional bukan dari mitos atau legenda (meskipun mitos atau legenda tidak dapat diabaikan begitu saja). Rekonstruksi sejarah memerlukan sumber, data-data, dokumen-dokumen, tuturan saksi atau pelaku atau korban yang terlibat, rekaman pita tape (suara), rekaman video, atau dalam bentuk apapun yang dapat memberikan keterangan mengenai peristiwa yang dikaji. Singkat

53

Stephanus Djuweng, “Dayak, Dyak, Daya’, dan Daya: Cermin Kekaburan Sebuah Identitas”, dalam majalahKalimantan Review, nomer 1 tahun I Januari-Juni 1992, hlm. 9.

54

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 66.

kata sejarah itu dapat diumpamakan orang yang sedang jalan yang meninggalkan bekas-bekas tapak kaki di jalan, bekas tapak-tapak kaki itu merupakan bukti dari orang jalan (sejarah). Akan tetapi tapak-tapak kaki tadi juga perlu dikritisi, perlu diteliti kebenarannya. Siapa tahu tapak-tapak kaki tersebut bukan tapak kaki, tapi tapak-tapak kaki buatan. Selanjutnya tapak-tapak kaki tersebut juga perlu untuk dimengerti dan dipahami agar diketahui arah dan tujuannya. Kemudian yang terakhir adalah menyuarakan, memberitahukan pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya bidang sejarah tentang peritiwa sejarah tadi.

Secara umum dalam kaidah penulisan sejarah terdapat tahapan-tahapan yang dilalui untuk perekonstruksian suatu peristiwa sejarah, yakni metode sejarah secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Tahap Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani heuriskein yang berarti menemukan.55 Pada tahap ini semua bentuk sumber-sumber dicari dan dikumpulkan. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumber-sumber berupa buku-buku, artikel, dan laporan hasil penelitian maupun bentuk-bentuk tulisan lain yang relevan dengan topik yang dibahas. Pengumpulan sumber-sumber tertulis tersebut akan sangat banyak dilakukan di perpustakaan-perpustakaan (perpustakaan Universitas Sanata Dharma, perpustakaan di beberapa asrama mahasiswa Kalimantan di Jogjakarta, perpustakaan pribadi milik Ibu Nila Riwut dan perpustakaan Daerah Kalimantan Selatan) maupun di internet dan media-media pustaka lainnya. Selain dari kepustakaan (tertulis), sumber-sumber juga akan digali dari hasil wawancara dengan orang-orang yang terlibat (penduduk

55

G. J. Renier, History: Its Purpose and Method, (London: George Allen and Unwin Brother, 1961), hlm. 106.

asli/masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai pemeluk religi Balian), baik itu saksi (langsung atau tidak langsung), pelaku atau korban serta penduduk sekitar seperti pemuka agama/tokoh “agama” Balian sekaligus sebagai tokoh masyarakat adat suku Dayak Meratus dan biasanya juga berkedudukan sebagai Pambakal, penganut religi Balian itu sendiri, masyarakat adat suku Dayak Meratus yang sudah meninggalkan religi Balian dan memeluk agama resmi Negara (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan), peneliti-peneliti terdahulu yang pernah mengkaji tentang kebudayaan Dayak, organ-organ Pemerintah (dalam hal ini petugas-petugas di Kantor Kecamatan dan Kantor Urusan Agama) yang berhubungan dengan kependudukan mayarakat adat suku Dayak Meratus, dan dosen-dosen di Jususan Ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma yang juga memberikan masukan keterangan-keterangan tentang kehidupan dan kebudayaan Suku Dayak. Data-data juga ada yang diperoleh dari hasil diskusi dalam pertemuan-pertemuan periodik perkumpulan mahasiswa Kalimantan Selatan di Jogjakarta.

Pada tahapan ini pencarian data-data akan dilakukan di dua tempat. Pertama, di Jogjakarta untuk menggali sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku, artikel-artikel, dan lain sebagainya serta menelusur data-data di internet. Kedua, di Kalimantan Selatan untuk memperoleh sumber-sumber lisan dan untuk melihat secara langsung skope spasial di sana. Seperti yang diungkapkan Profesor Dr. Jan Vansina dan Madison seperti yang dikutip oleh J. J. Kusni: “tradisi oral sebagai sumber sejarah, termasuk di dalamnya sumber-sumber seperti ritus, mitos, legenda, dan lambang-lambang”.56 Sumber-sumber lisan akan sangat diperlukan mengingat masyarakat adat suku Dayak Meratus (suku Dayak pada umumnya) pada masa klasik tidak mengenal budaya

tulis-56

J. J. Kusni, “Masa Depan dalam Sejarah Dayak dan Makna Pengenalannya”, dalam majalahKalimantan Review, nomer 8 tahun 03 Juli- September 1994, hlm. 2.

menulis, tidak memiliki susunan abjad dan peninggalan tertulis mengenai masa lampau.57

Berkenaan dengan syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang informan penelitian, W. Lawrence Neuman mengatakan bahwa informan tersebut harus sungguh mengetahui tentang budaya dan kedudukannya (saksi) dalam peristiwa tersebut dan sudah hidup dalam budaya tersebut dalam kurun waktu yang lama (bertahun-tahun), diri informan tersebut harus terlibat secara langsung dalam peristiwa yang terjadi agar dapat dengan jelas menginformasikan peristiwa tersebut.58

2. Tahap Kritik Sumber

Setelah data-data diperoleh, langkah selanjutnya adalah melakukan kritik sumber, baik itu intern mapun ekstern. Kritik intern menelusuri tentang ke kekredibelitasan sumber, sedangkan kritik ekstern untuk menelusuri ke otentisitasan sumber.59 Dengan demikian diharapkan sumber-sumber yang diperoleh dapat diketahui bahwa sumber tersebut berisi hard fact atau fakta keras.60 Sumber-sumber tertulis seperti buku dan artikel dan lain sebagainya dicermati agar menghasilkan fakta-fakta yang jelas.

3. Tahap Interpretasi

Selanjutnya pada tahap ini akan menganalisa dan menafsirkan fakta yang telah diseleksi melalui kritik sumber yang telah tersusun. Tahapan ini dilakukan dengan memberikan penafsiran maupun tanggapan dari data tersebut sesuai dengan persoalan

57

Ibid. 58

W. Lawrence Neuman, Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Foueth Edition, (Needham Heights, 2000), hlm. 364.

59

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 99-100.

60

yang dibahas. Pada tahapan ini hendaknya subjektivitas dari fakta-fakta yang diperoleh dapat dikurangi.

4. Tahap Historiografi

Dalam tahapan terakhir ini penulis akan menyajikan sebuah rekonstruksi suatu peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami.

I. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah penulisan maka skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu: Bab I adalah pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori atau kerangka konseptual, metode penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang gambaran umum masyarakat suku Dayak pada umumnya dan suku Dayak Meratus pada khususnya. Pada Bab ini akan dijelaskan tentang kehidupan masyarakat adat suku Dayak Meratus. Bab ini juga akan menerangkan tentang identitas suku Dayak Meratus, hubungannya dengan suku Dayak sebagai suku induknya dan hubungannya dengan suku-suku yang dekat dengannya bererta pro dan kontra identitas tentang sukunya tersebut. Selebihnya bab ini memaparkan mengenai keadaan alamnya, mata pencahariann mereka, adat-istiadat, budaya, dan tradisi yang ada pada masyarakat adat suku Dayak Meratus.

Bab III merupakan uraian mengenai kepercayaan atau religi yang dianut oleh mayarakarat adat suku Dayak Meratus, yakni religi Balian/Kaharingan. Bab ini akan menjelaskan tentang apa-apa saja yang terkandung dalam religi Balian/Kaharingan. Seperti bentuk-bentuk ajaran kepercayaannya misalnya nama-nama Ilahnya, peribadatannya, upacara-upacara ritual keagamaanya, dan lain sebagainya.

Bab IV akan membahas tentang formalisasi agama yang dilaksanakan oleh pemerintah rezim Orde Baru, pengertian formalisasi agama, tujuan-tujuan dan alasan-alasannya, proses-proses formalisasi agama itu berlangsung, serta dampak-dampak yang ditimbulkannya, dari aspek sosial-budaya, dan bagi kepercayaan itu sendiri, juga penganut-penganut setianya.

Bab V sebagai bab penutup dari skripsi ini akan memaparkan kesimpulan yang dapat diambil setelah menjabarkan Bab I hingga Bab IV. Bab V berisi tentang jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ada Selain itu pada bab terakhir ini juga akan mengisinya dengan hal-hal bijak yang dapat diambil dari topik yang ditulis kali ini, agar dapat bermanfaat bagi sekalian umat manusia. Meskipun pada bab ini berisi tentang kesimpulan/jawaban permasalahan, tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan baru yang memerlukan penelitian lebih lanjut.

BAB II

SUKU DAYAK MERATUS

Pada bab sebelumnya telah dibicarakan bahwa suku Dayak Meratus adalah puak