• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi obyek penelitian adalah Masyarakat adat suku Dayak Meratus, di mana yang diamati adalah kepercayaan mereka, yakni “agama” Balian/Kaharingan, sebagai sebuah religi. Istilah religi berasal dari bahasa latin, yakni dari dua penyebutan yang keduanya merupakan kata kerja. Fridolin Ukur dalam tulisannya yang berjudul makna religi dari alam sekitar dalam Kebudayaan Dayak: Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, menyebutkan religere

berarti “melakukan sesuatu dengan bersusah payah melalui berbagai usaha danreligere

yang berarti mengikat semua.”11 Religare artinya adalah mengikat, atau ikatan hubungan antara manusia dengan Ilahi. Seterusnya Ukur mengungkapkan aspek yang berbeda dari religi, yakni:

a. Dari segi objektif, religi melibatkan perlakuan yang berulang-ulang dari kegiatan tertentu manusia dan oleh sebab itu termasuk wilayah fenomena eksternal.

b. Dari segi subyektif, religi adalah bagian yang tersembunyi dari pengalaman kehidupan batin atau psikis manusia.12

Pendapat lain juga memaknai dengan Re-eligere artinya adalah memilih kembali, atau aktifitas manusia untuk selalu memilih kembali atau berfihak kepada yang Ilahi. Terdapat banyak sekali pengertian tentang religi ataureligiondalam bahasa Inggris.

Para ahli memahami religi berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukannya terhadap suatu religi pada masyarakat tertentu. Menurut J. G. Frazer religi berasal dari sistem pengetahuan dan akal yang dimiliki manusia tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan-persoalan dalam hidupnya oleh karena sistem pengetahuan dan akal manusia tersebut ada batasnya. Hal ini juga berkaitan dengan maju tidaknya sebuah kebudayaan

11

Paulus Florus dan John Bamba,Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi,

(Yogyakarta: Grasindo, 1994), hlm. 3. 12

yang dimiliki oleh manusia tersebut, semakin terbelakang kebudayaannya, semakin pendek batas sistem pengetahuan dan akalnya.13 Frazer mengungkapkan “religi adalah segala sesuatu sistem tingkah-laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dsb.”14

Marret, seorang ahli kesusasteraan Yunani dan Roma Klasik memberikan pemaknaan terhadap asal mula religi setelah banyak membaca karya-karya dan folklore etnografi sebagai berikut:

…yaitu bahwa pangkal religi adalah suatu “emosi” atau suatu “getaran jiwa” yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa. Alam di mana hal-hal serta gejala-gejala itu berasal, oleh manusia purba dianggap sebagai dunia di mana terdapat berbagai kekuatan yang luar biasa. Artinya kekuatan yang tak dapat diterangkan dengan akal manusia biasa, dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan alamiah biasa, yaitu yang supernatural. Dalam bahasa Indonesia kekuatan yang luar biasa itu dapat disebut “kekuatan gaib” atau “kekuatan sakti”, sedangkan dunia dari mana kekuatan-kekuatan gaib itu berasal dapat disebut “dunia gaib atau alam gaib”.15

Pemahaman oleh Marret juga mempunyai kesinambungan dengan pendapat Frazer tentang religi. Ada saatnya manusia merasa sangat lemah ketika berhadapan dengan suatu kondisi dalam hidupnya, manusia tidak dapat menyelesaikan permasalahan karena keterbatasannya. Manusia kagum dan terpesona akan terjadinya sesuatu hal yang menurutnya itu hal yang luar biasa atau gaib dan tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan sang Maha Hebat. Akal manusia tidak dapat menjelaskannya. Kemudian manusia mengembalikannya kepada sesuatu yang dianggapnya Maha

13

Koentjaraningrat,op. cit., hlm. 53-54. 14

Ibid., hlm. 54. 15

Dahsyat, mempunyai kekuatan super, melebihi semua makhluk, sesuatu yang dapat mengendalikan segalanya termasuk hidupnya.

Masih terdapat beberapa lagi pengertian tentang religi dan masing-masing mempunyai argumen dan landasan yang beralasan dan mendukungnya. Seperti Edward B. Tylor yang memandang religi sebagai keyakinan kepada adanya atau percaya akan adanya makhluk halus (being in spiritual Being). Sedangkan Emile Durkheim mengartikan: “religi sebagai keterkaitan sekalian orang pada sesuatu yang dipandang sakral yang berfungsi sebagai simbol kekuatan masyarakat dan saling ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan.”16

Dalam bukunya yang berjudul Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan sosial-Ekonomi, Noerid Haloei Radam, mengambil kesimpulan bahwa:

Religi adalah konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, kosmogoni, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan sosial. Memantapkan kehidupan pribadi masksudnya membina dan mengembangkan identitas individual dan rasa aman emodional, dan mengentalkan ikatan sosial berarti menjadikan kehidupan sekelompok orang lebih utuh serta menjadi tenaga pendorong dabn pembenaran pencapaian tujuan bersama.17

Berkenaan dengan fungsi religi, Bronislaw Malinowski menyebutkan “religi memberikan tujuan dan arah keberadaan orang-orang dan selanjutnya memberikan penekanan yang kuat pada nilai kepribadian”. Jadi suatu religi bukanlah saja sekedar salahsatu unsur dari kebudayaan yang sudah ada demikian adanya, melainkan juga sebagai sebuah unsur budaya yang sifatnya aplikatif.

16

Noerid Haloei Radam,Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial–Ekonom, ( Yogyakarta: Yayasan Ambarukmo, 2001), hlm. 5.

17

Agama, menurut beberapa pakar seperti yang disunting dalam website-nya

Wikipedia memaparkan pemaknaan agama dari beberapa sudut pandang bahasa, antaralain dari bahasa Sangsekerta (berarti tradisi dan tidak bergerak); dalam bahasa Latin (berarti hubungan manusia dengan Manusia Super dan pengakuan serta pemuliaan Tuhan); dalam bahasa Eropa (berarti kepercayaan pada sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan akal atau pendidikan saja, Pengendali alam semesta serta Pemberi kodrat ruhani kepada manusia hingga sampai sesudah mati); dalam bahasa Indonesia (berarti hubungan antara manusia dengan Yang Maha Suci, sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan); dalam bahasa Arab (berarti penghambaan, taat, paksaan, tekanan, takut, adat, balasan, siasat, dan lain-lain).18

Alo Liliweri. berpendapat bahwa ”agama dalam artian klasik merupakan seperangkat aturan yang menata hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan lingkungannya”.19 Agama yang kemudian dianut oleh suatu masyarakat itu akan menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai suatu referensi dan mempunyai fungsi yang kemudian disebut dengan tugas dan fungsi agama (fungsi

manifestdanlatent).20

Penyebutan istilah “religi lokal” di sini merujuk kepada “agama” Balian yang dianut oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus, atau meminjam peristilahan Zada: agama lokal yang oleh E. B taylor disebut sebagai:

Agama dasar (kemudian disebut Deis) adalah agama yang sederhana dan dianut oleh bangsa manusia. Agama ini terdiri atas kepercayaan pada Tuhan sang Pencipta yang menjadikan dunia dan kemudian menyerahkannya pada

hukum-18

Anonim, , “Agama Asli Nusantara”.loc. cit.

19

Alo Liliweri,op. cit., hlm. 116. 20

hukum dasarnya sendiri. Yakni, suatu kode moral yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan kehidupan setelah mati, jika mereka berbuat baik dan menghindari kejahatan. Bagi kaum Deis, kepercayaan sederhana yang elegan ini merupakan keimanan makhluk manusia yang paling awal.21

Religi lokal dalam literatur lain juga disebutkan dengan istilah “agama asli”. “Agama” yang bukan datang atau muncul dari luar suku penganutnya. Oleh karena itu agama asli juga sering disebut dengan istilah “agama suku” atau “agama etnis”. “Agama” yang lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan sukunya.22

Dalam dunia kebudayaan juga dikenal istilah “agama primitif”, tetapi dalam konteks Indonesia istilah itu kemudian menjadi bernada menyindir. Istilah primitif dalam perbincangan luas masyarakat Indonesia sudah terlanjur berkonotasi negatif, seperti jauh dari kemajuan zaman bahkan tidak beradab. Literatur kebudayaan lainnya juga ada yang mengistilahkan “agama primitif” dengan “agama pagan” (menyembah berhala).

Dengan melihat beberapa penjelasan mengenai religi di atas, dapat dilihat konsep “agama” yang terdapat pada “agama” Balian/Kaharingan (sebagai sebuah religi) pada masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Pemaknaan oleh Noerid Haloei Radam tentang agama lebih dekat dengan konsep yang terdapat pada religi Balian/Kaharingan.

Religi dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Religi akan menentukan model-model interaksi individu-individu dalam masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Durkeim mengatakan bahwa “agama sebagai kekuatan

21

Khamami Zada, “Mempertimbangakan Spirit Agama Lokal,” dalam surat kabar

Suara Pembaruan, Jumat 6 September 2002. 22

pengikat di dalam masyarakat”.23 Senada dengan pendapat Robert K. Merton yang mengatakan bahwa agama bukan saja sebagai penyebab perpecahan tetapi juga bisa menjadi pemersatu. Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Beberapa Pokok Antropologi Sosial, menyebutnya dengan istilah aktivitas religi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.24 Tipe-tipe interaksi pada penganut religi ditentukan oleh ajaran-ajaran yang terdapat dalam religi tersebut. Sebenarnya maknanya menjadi luas ketika menyebut interaksi terhadap lingkungannya yang tidak terbatas pada sesama manusia saja tapi juga dengan alam. Norma-norma yang ada dalam masyarakat seluruhnya dipengaruhi dan berhubungan dengan religi yang mereka anut. Begitu pula dengan pola hirarki kepemimpinan yang ada juga berpijak pada religi itu. Sama halnya dengan hukuman atau sanksi yang digunakan dalam masyarakat adalah hukuman dan sanksi dari religi. Religi melingkupi semua bidang dalam masyarakat (bahkan ekonomi), karena masyarakat itu menjunjung tinggi religi tersebut. Penentang berarti pendosa bukan saja bagi religi, tapi juga bagi masyarakatnya.

Religi menentukan pola-pola interaksi antar penganut religi (masyarakat). Religi adalah salahsatu unsur dari kebudayaan, dengan kata lain kebudayaan itu salahsatu pembangunnya adalah religi. Manusia sebagai individu-individu dari masyarakat memiliki kebudayaan sehingga kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan itu.25Mengenai kebudayaan itu sendiri, Ralp Linton dalam tulisannya yang berjudul The Culture Background of Personality yang diterbitkan di New York pada tahun 1945, yang kemudian di sunting T. O Ilrohmi dalam bukunya yang berjudul

23

Andrew M. Greeley, Agama: Suatu Teori Sekuler, terj. Abdul Djamal Soamole, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988), hlm. 111.

24

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1977), hlm. 261.

25

Pokok-Pokok Antropologi Budaya dan kemudian dikutip oleh S. Jacobus E Frans L. dan Concordius Kayan, menyebutkan bahwa kebudayaan mencakupi lingkup yang luas kegiatan-kegiatan manusia di dunia dan tiap masyarakat mempunyai kebudayaan tertentu sesederhana apapun bentuk kebudayaan itu, dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya.26

Interaksi-interaksi yang ada pada masyarakat adat suku Dayak Meratus paling kentara dapat dilihat dari penyelenggaraan kehidupan sehari-hari mereka. Seperti dalam pelaksanaan upacara ritual keagamaan yang menyangkut bidang-bidang yang ada. Bidang ekonomi atau mata penjaharian masyarakat adat suku Dayak Meratus selalu berhubungan dengan “agama” Balian/Kaharingan yang mereka anut. Begitu pula dengan hubungan-hubungan sosial sesama makhluk termasuk manusia juga dipandang dari kacamata “agama” Balian/Kaharingan.

Kepercayaan masyarakat adat suku Dayak Meratus (“agama” Balian/Kaharingan) sebagai salah satu unsur dari budaya tiba-tiba terdesak oleh salah satu unsur budaya lain yang ditunggangi oleh kepentingan kelompok, yakni penguasa dan penguasalah akhirnya yang keluar sebagai pemenang. Inilah “Hegemoni: the moving equilibrium, situasi yang memungkinkan kelompok yang berkuasa menjadi pemenang.”27 Kultur yang lebih besar dan berkuasa akan menekan kultur yang lebih kecil dan tidak berkuasa Unsur ini yang disebut Soerjono Soekanto sebagai “unsur yang masuknya dipaksakan oleh suatu kekuatan.”28

26

Paulus Florus, Stephanus Djuweng, John Bamba, dan Nico Andasputera, op. cit., hlm. 204.

27

Muhammad Holid, “Simbol Sebagai Arena Perjuangan Kelas”, dalam majalah

Jalang, 21 Januari 2000. 28

Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 314.

Dari gambaran di atas maka yang perlu diperhatikan adalah subyek untuk diidentifikasi dan dinamikanya sebagai sebuah struktur-fungsi yang bergerak (dinamis). Oleh karena itu masyarakat adat suku Dayak Meratus sebagai subyek harus diidentifikasi identitasnya dan dinamikanya perlu diamati struktur-fungsinya. Sehingga dalam penulisan skripsi ini terdapat dua teori untuk penjelasannya, yakni teori identitas dan teori struktural-fungsional.

Teori identitas adalah teori yang menjelaskan tentang suatu identitas, ciri khas, atau tentang jati diri masyarakat adat suku Dayak Meratus itu (si subyek). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam teori identitas antaralain adalah Sigmund Freud, Talcott Parson, Geoge Herbart Mead, Jurgen Habermas, Erich Fromm, dan Erik Hamburger Erikson. Pada pembahasan kali ini akan menggunakan teori identitas oleh Erik Hamburger Erikson dengan pertimbangan kerelevanannya dengan topik.

Menurut Erik Hamburger Erikson sebenarnya masalah identitas sendiri masih dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni: identitas diri, krisis identitas, kebingungan identitas, kepanikan identitas, identitas positif, identitas positif, identitas negatif, penutupan identitas dan moratorium identitas.29 “Identitas merujuk pada keseluruhan kompleks dan multidimensi di mana individu dan masyarakat saling berkait”.30 Identitas merupakan penunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang unik pada diri seseorang dalam lingkup lingkungannya. Berarti diri seseorang itu mempunyai nilai ciri yang merupakan esensi pribadinya. Dalam bukunya, Erik H. Erikson menuliskan identitas sebagai berikut:

Identitas adalah konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa sekarang dan dari yang di dalam dan yang di luar, ke dalam suatu keseluruhan baru:

29

Erik Hamburger Erikson, Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah: Pemahaman dan Tanggung Jawab, terj. Agus Cremers, (Flores:LPBAJ, 2001), hlm. 22.

30

siapakah aku ini, siapa saya ini semenjak dahulu. Secara ilmiah identitas merupakan suatu proses, sebuah sintesis “ego” yang sebagian besar berlangsung secara tidak sadar dan yang mengintegrasikan berbagai macam diri atau aspek diri si individu ke dalam bentuk kesatuan baru, dan ke dalam perspektif diri sentral yang baru, seraya menentukan sendiri orientasi diri dengan kembali mensintesiskan sisa identifikasi…31

Erikson mengemukakan bahwa identitas adalah sesuatu yang berkembang, dinamis, tidak statis. Hal ini terjadi secara berkala, mulai dari terlahir hingga dewasa. Preses ini adalah proses pencarian identitas dirinya yang ingin merasa diakui dirinya sebagai pribadinya sendiri oleh orang lain, masyarakat dan lingkungannya.32Kemudian secara singkatnya Erik H. Erikson memaknai “identitas semacam proses pensintesisan pribadi supraordinatif yang merangkum dan menyatupadukan sebagai integrasi terutama integrasi yang pernah dilakukan oleh “ego” selama hidupnya”33.

Dalam konteks kepercayaan “agama” Balian/Kaharingan masyarakat adat suku Dayak Meratus, identitas tersebut adalah identitas yang melekat pada setiap individu dalam masyarakat yang sudah berlangsung semenjak dahulu, semenjak kepercayaan “primitif “ ini muncul, tumbuh dan berkembang. Sebuah masyarakat yang berbudaya, yang beradab, yang mempunyai pranata nilai-nilai kehidupan sendiri, meski dunia luar menganggapnya bertolak belakang dari itu semua, karena hanya dilihat dari monopoli sempitnya pemikiran dan sudut pandang penguasa yang mempunyai tujuan tertentu. Identitas mereka selebihnya diperparah oleh kesewenang-wenangan Pemerintah rezim Orde Baru dalam men-cap mereka sebagai suku terasing, terbelakang, tertinggal dan keburukan lainnya. Budi Susanto menyebutkan “identitas dan politik dari Negara dan

31

Ibid. hlm. 21. 32

Ubed Abdillah S., Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, (Magelang: Indonesiatera, 2002), hlm. 34-35.

33

bangsa Indonesia patut untuk dikaji ulang, mengingat (selama ini) rezim (orde) baru masih saja memperhantukan orang atau pihak-pihak tertentu.”34

Teori struktural-fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang fungsi dan struktur. Teori ini juga biasa disebut dengan teori struktural-fungsional. Teori struktural-fungsional ini di klaim lebih ilmiah dan empiris, di mana hipotesisnya diuji melalui penelitian-penelitian yang sistematik seperti pengamatan (observation) dan partisipasi observasi (particivation observation).35

Dalam teori struktural-fungsional terdapat banyak tokoh yang menggawanginya, seperti August Comte, Bronislaw Malinowski, Emille Durkheim, E. E. Evan Pritchard, Herbert Spencer, Ibnu Khaldun, Talcott Parsons, Radcliffle Brown, Raymond Firth, Robert K. Merton, hingga Montesquieu peletak dasar sosiologi perbandingan.36 Mereka mempunyai definisi dan pandangan sendiri-sendiri mengenai teori ini. Namun yang paling sering disebutkan dalam beberapa literatur tentang teori ini adalah pandangan Bronislaw Malinowski dan Radcliffle Brown, meskipun pemikiran mereka juga tidak akan pernah lepas dan selalu dipengaruhi dari pendahulunya, Emille Durkheim.37

Dalam penulisan skripsi ini akan mencoba menjelaskannya dengan menggunakan pandangan dari Bronislaw Malinowski dan A. R. Racliff Brown, serta pemikiran Talcott Parsons, dan Robert K. Merton karena dinilai lebih sesuai dan dekat

34

F. Akap Pasti dkk., Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), editor Budi Santoso, hlm. 8.

35

Judistira K. Gana, Ilmu-ilmu Sosial: Dasar Konsep Posisi, (Bandung: Penerbit Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 1996), hlm. 53-54.

36

Ibid., hlm. 59. 37

dengan topik yang dibahas. Dalam teori struktur dan fungsi aliran Amerika menyebutkan bahwa:

Sesuatu yang berfungsi itu ialah (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memnuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi sosial, atau berkaitan dengan hak dan tanggung jawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; seperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat, seperti agama dan poitik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai piolitik.38

Bronislaw Malinowski adalah tokoh yang memahami masyarakat melalui kebudayaan yang mengemukakan bahwa semua unsur kebudayaan (cultural straits) merupakan bagian yang penting dalam masyarakat, karena unsur tersebut memiliki fungsinya yang tertentu. Oleh karena itu setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam kebudayaan.39 Selanjutnya Bronislaw Malinowski mengatakan “Dalam mencari kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga masalah sebagai azas penting menurut pendekatan struktural fungsional, yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi; (2) bagaimana sesuatu itu berfungsi; dan (3) mengapakah sesuatu itu berfungsi.”40

Malinowsi melihat bahwa masyarakat adalah gabungan dari sistem sosial yang sistemnya memuat unsur-unsur tentang kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi.41 Kebutuhan dasar itu meliputi aspek-aspek yang menunjang kelangsungan kehidupan masyarakat itu.

38 Ibid., hlm. 54-55. 39 Ibid., hlm 55. 40 Ibid. 41 Ibid.

Brown menambahkan bahwa berawal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib diluar manusia dan melebihi manusia itu kemudian melahirkan agama-agama dan keyakinan tertentu yang di dalamnya manusia menyandarkan dirinya untuk mendapat keselamatan dan kesejahteraan melalui melakukan serangkaian upaya pemujaan dan pemuliaan, seperti upacara-upacara ritual keagamaan.42

Talcott Parsons yang juga sealiran (aliran Amerika) dengan Bronislaw Malinowski, dalam 2 bukunya yang berjudulThe Evolusion of Societies (1977) danThe Structure of Social Action(1968) menyebutkan sebagai berikut:

Masyarakat itu adalah suatu sistem sosial, yang harus memenuhi empat syarat atau azas untuk setiap sistem itu berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan; (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu; (3) penentuan anggota masyarakat agar dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai, serta menyelesaikan konflik dalam interaksi; dan (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat,. Individu dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.43

Sumbangan pemikiran Parson untuk menjelaskan pembahasan ini adalah pada pola adaptasi dan pencapaian integrasi, yang merupakan bagian dari pemahaman Parson tentang masyarakat sebagai suatu sistem sosial.44

Pola adaptasi (adaptation) bergerak dengan tujuan untuk mencapai keadaan yang lebih baik atau usaha untuk mencapai keadaan yang disetujui. Kata kuncinya adalah azas keseimbangan (equilibrium). Parson mengambil kesimpulan kalau sistem sosial itu cenderung bergerak menuju tatanan keseimbangan atau juga disebutnya

42

A. R. Racdliff Brown, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Malaysia, 1980), hlm. 175.

43

Ibid., hlm 57. 44

Konsep keseimbangan sistem (equilibrium) Parson meneruskan fungsionalis pendahulunya, sosiolog-engineer Vilfredo Pareto, sedangkan konsep integrasi sistem Parson berkat jasa besar Durkheim.

dengan istilah stabilitas.45 Norma sistem yang berlaku adalah keteraturan, dengan hukum: ketika terjadi kekacauan (ketidakteraturan) dalam norma-norma itu, maka sistem akan berusaha dengan mencari jalan penyesuaian (adaptasi) untuk mencapai keadaan yang normal.46 Pada dasarnya sebuah sistem yang berlaku di masyarakat mengidealkan keharmonian, dimana terdapat keseimbangan dalam masyarakat (social equilibrium). Dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar karangan Soerjono Soekanto, Selo Soemardjan, mengatakan “Dengan keseimbangan dalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi.”47

Parson juga memaknai pola adaptasi sebagai kebutuhan fungsional, berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungannya dan mendistribusikan sumber-sumber itu keseluruh sistem.48

Menurut Parson, integrasi (penggabungan) yang juga merupakan kebutuhan fungsional yang berhubungan dengan masalah koordinasi dan penyatuan bagian-bagian sistem menjadi suatu keseluruhan yang fungsional49. Jadi intergrasi adalah hasil dari pencapaian setelah pola adaptasi berhasil. Dalam buku sanjuangannya terhadap guru besarnya, Durkheim yang berjudulDurkheim Contribution to the Theory of Integration of Social System, Parson menulis “masalah integrasi sistem sosial, yang menyatukan

45

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 174.

46

Ibid. 47

Soerjono Soekanto,Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 314.

48

Margaret M. Poloma,op. cit., hlm. 425. 49

masyarakat secara secara bersama, adalah masalah paling mengasyikkan dalam karir Durkhiem.”50

Dalam teorinya, Robert K. Merton melihat tidak semua unsur yang terdapat pada masyarakat itu berfungsi keseluruhan. Merton merujuk kepada adanya unsur yang