• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses formalisasi agama atau “pengagamaan” termasuk salah satu di antara banyak program-program Pembangunan oleh Pemerintah Pemerintah rezim Orde Baru yang ditujukan pada masyarakat adat suku Dayak Meratus dapat diandaikan seperti keping mata uang. Formalisasi agama yang tergabung dalam program Pembangunan lainnya mempunyai 2 sisi, yakni sisi baik dan juga sekaligus sisi buruk. Alasannya mudah ditebak, karena tujuan-tujuannya tidak murni demi kemanusiaan atau sosial, akan tetapi sudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan lain oleh pihak tertentu (misalnya politis atau bahkan ekonomis). Sebut saja langsung Pemerintah itu sendiri, sebagai sponsor utamanya program ini. Semuanya sudah sedemikian dipolitisir, sehingga tidak mustahil di sana-sini muncul “kebiadaban” di tengah proses “pemberadaban”. Contohnya seperti halnya efek marjinalitas atau peminggiran status identitas (identitas budaya) maupun marjinalisasi di bidang pendidikan, keikutsertaan berpolitik membangun negara, peluang pekerjaan, hingga pengembangan diri pribadi yang dialami oleh masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (juga puak suku Dayak lainnya di pulau Kalimantan). Korbannya adalah nilai-nilai luhur budaya tradisional bangsa, kearifbijakan adat lokal divonis sebagai faktor penyebab keterbelakangan dan penghambat kemajuan disingkirkan tanpa pertimbangan matang.

1. Alasan dan Tujuan dalam Konteks (Situasi Politik)Nasional.

Secara umum terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi adanya “penaklukan” atau “penjinakan” masyarakat “terasing” atau “terbelakang” atau

suku-suku terpencil dengan seluruh aspek kehidupan mereka yang kesemuanya didukung kuat oleh semangat modernisme sebagai dampak dari globalisasi yang menggebu-gebu. Alasan pertama karena kuatnya peran negara dalam mewujudkan pembangunan dan konsep budaya bangsa Indonesia alasan kedua adalah karena semangat penyebaran agama terutama agama Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan yang secara teologis adalah agama dakwah atau misi (mission sacre/misi suci) yang tugas umatnya adalah menyiar atau menyebarkan ajaran agamanya tersebut kepada manusia sebanyak mungkin.148

Alasan dan tujuan gencarnya formalisasi agama pada masa Pemerintah rezim Orde Baru berkuasa setidaknya dikarenakan oleh:

a. Alasan Kriteria (Syarat) Suatu Agama.

Ketika Pemerintah rezim Orde Baru berdiri atau sekitar pasca tahun 1965, Negara membuat peraturan atau ketentuan bahwa hanya ada lima macam agama yang diakui oleh Negara. Kelima agama tersebut kemudian disebut sebagai agama resmi atau agama yang diakui oleh Negara. Kelima agama resmi itu adalah Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan. Landasan penetapan diakuinya suatu agama sebagai agama resmi Negara adalah agama tersebut harus mempunyai kitab suci yang berisi tentang ajaran agama tersebut, harus mempunyai nabi sebagai pembawa ajaran agama tersebut, harus dalam kategori monoteistik atau bertuhan yang satu atau Esa, agama tersebut harus membawakan semangat kemajuan dan harus mempunyai komunitas internasional.149

148 Paulus Mujiran, “Dialog Penyebaran Agama dan Kebudayaan”, dalam surat kabar

Suara Merdeka,Senin 13 Januari 1997, hlm. 18. 149

Hairus Salim H. S., Mayarakat Dayak Meratus: Agama Resmi dan Emansipasi, ( Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo (PSPB), 2001), hlm. 12.

Pemerintahan Negara di bawah Pemerintah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto mempunyai andil yang sangat besar dalam formalisasi agama terhadap masyarakat adat suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan dan Indonesia secara umum. Hal ini dikarenakan Pemerintah rezim Orde Baru juga banyak mengambil keuntungan dari program formalisasi agama ini. Sehingga sudah dapat dipastikan dalam proses formalisasi agama ini sudah kental dengan tujuan-tujuan politis (dan juga ekonomi) meskipun hal itu tidak langsung jelas kentara. Ungkapan yang sering didentumkan pada masa ini adalah “Pembangunan”. “Pembangunan” yang dimaksud bukan saja pembangunan secara fisik melainkan juga meliputi pembanguan spiritualis mayarakat Indonesia agar dapat menunjuang kelancaran jalannya Pemerintahan. Atau dengan istilah yang lebih mengena, agar dapat melegalkan berkuasanya Pemerintah rezim Orde Baru dan juga menduduukng Pemerintahannya.

b. Alasan Bahaya (Laten) Komunis atau Politik Pembeda antara Pemerintah Orde Lama dengan Orde Baru.

Semenjak Pemerintah Orde Lama dijatuhkan dan Pemerintah rezim Orde Baru berkuasa, aliran Komunis dilarang keras oleh Pemerintah untuk hidup dan berkembang. Komunis dicap Pemerintah rezim Orde Baru sebagai penghianat dan penjahat negara, oleh karena itu harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Pemerintah rezim Orde Baru sukses memonopoli opini publik saat itu akan kebiadaban Komunis, salah satunya lewat peristiwa G 30 S PKI yang terkenal itu. Anggota-anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) diberantas habis. Organisasi-organisasi yang terkait dengan Komunis juga ikut dihancurkan.150 Orang-orang yang terlibat di dalamnya (Komunis) menjadi kambing hitam G 30 S PKI. Tak ayal lagi mereka langsung diburu, ditangkap,

150

disiksa dan dibunuh oleh Pemerintah rezim Orde Baru bersama masyarakat yang sudah dipengaruhi dan terprovokasi.

Mayarakat adat suku Dayak menjadi sasaran empuk program pengagamaan pasca peristiwa 65, di mana tidak beragama versi pemerintah diimplikasikan dengan aliran komunis. Dalam majalahDesantaradisebutkan:

Orang Dayak ditakdirkan lain. Kemampuan resistensi yang kreatif itu musnah tertimbun merasuknya kekuatan-kekuatan politik yang menumpang peristiwa 1965. Tragedi kemanusiaan untuk menghabisi komunisme Indonesia dan tentu tidak ada kaitannya dengan soal agama dimanfaatkan dengan sempurna oleh birokrasi dan militer setempat untuk mengancam siapapun yang tidak mau masuk salah satu agama resmi.151

“Peristiwa 65 dan naik tahtanya Soeharto membuyarkan impian orang Dayak mendeklarasikan agamanya sendiri, Kaharingan.”152

Komunis dan semua yang terkait dengannya dipandang sebagai aliran atau faham yang mengesampingkan dan meremehkan agama. Hal ini kemudian ditafsir sebagai aliran yang anti agama atau tidak beragama. Anggapan ini seterusnya berkembang pesat menjadi anti Tuhan atau tidak bertuhan atau ateis. Jadi tidak beragama disamakan dengan tidak bertuhan. Hasilnya adalah Komunis merupakan ateis. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan komuinis akhirnya resmi dilarang Pemerintah dengan keluarnya Ketetapan (Tap) No. XXV/ MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Dalam website http://Exploitz.com/FREE Indepth report Dayak -Indonesia.htmmenyebutkan:

151

Bisri Effendi, op. cit., hlm 10. 152

The abortive coup of 1965 proved that independence to be fragile. With the unity of the Republik at stake, indigenous religions were viewed as threats and labelled atheistic and, by implication, communist. Caught in a no-win situation, the Dayak also were told that they did not have an agama and thus became suspect in the anticommunist fever of the late 1960s.153

(Kegagalan kudeta 65 membuktikan bahwa kebebasan dirapuhkan. Dengan persatuan republik dicanangkan, religi lokal/asli ditampilkan sebagai bentuk dan label ateis, dan dengan implikasi komunis. Terperangkap dalam situasi yang kalah, orang Dayak juga dikatakan tidak mempunyai agama dan dengan demikian menjadi tersangka dalam wabah anti komuinis diakhir tahun 1960-an).

Gigih Nusantara menambahkan :

Sebelum tahun 1965, orang Indonesia tidak mempunyai ketakutan terhadap agama. Setelah peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan sebutan G 30 S/PKI, Orde Baru membuat peraturan bahwa masyarakat harus memilih untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui oleh Negara. Di luar pilihan agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha, Negara tidak mengakuinya termasuk terhadap berbagai aliran kepercayaan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Peraturan ini diberlakukan tahun 1967. Sejak saat itu dimulailah tertib beragama seperti yang dikehendaki oleh Negara.154

Doktrin yang disebarkan oleh Pemerintah rezim Orde Baru ini sukses di kalangan masyarakat karena Pemerintah gencar mengusahakannya, antara lain dengan menguasai meda-media informasi dan komunikasi atau pelarangan penerbitan tulisan yang berkaitan tentang Komunis hingga Marxis bahkan perlakuan diskriminatif terhadap ex PKI atau Komunis dan keluarganya hingga keturunannya. Dengan ini Pemerintah rezim Orde Baru ingin menunjukkan pembedaan politik Orde Baru dengan politik Orde Lama.155

153

Anonim, “Dayak”, dalam websitehttp://www.Exploitz.com/FREE Indepth report -Dayak - Indonesia.htm.

154

Gigih Nusantara, “Belajar Bersama Toleransi Beragama”, dalam website

http://www. polarhome.com /pipermail / nusantara /2002 -December/000706.htm.

155

c. Alasan Pengalihan Medan Konflik Massa.

Pada saat Pemerintah rezim Orde Baru berdiri terdapat beberapa masalah yang muncul di dalam Negeri sendiri, salah satunya adalah adanya konflik-konflik yang berkenaan tentang agama-agama besar yang berkembang di Indonesia. Seperti konflik antara kelompok muslim dengan Kristen yang menoreh pedih sejarah negeri. Penyerangan dan pembakaran tempat-tempat ibadah menjadi ramai di berbagai pelosok Nusantara. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan mengungsi meninggalkan kampung halaman. Bom meledak di sana-sini. Muncul penyebutan kota-kota rawan konflik dan kerusuhan. Dari sini Pemerintah mengambil kesimpulan bahwa isu penyebaran agama besar (dakwah dan misi) menjadi penyebabnya, karena berlomba-lomba untuk memperbanyak umat agamanya.156 Meskipun terdapat dugaan bahwa kekacauan-kekacauan sekarang ini sengaja diciptakan oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari situ (Pemerintah sendiri?).157

Konflik-konflik seperti kerusuhan-kerusuhan yang berlatarbelakang (salahsatunya adalah) agama dinilai dapat mengamcam stabilitas politik Negara. Oleh karena itu Pemerintah perlu meredamnya dengan berbagai upaya. Salah satunya dengan mengalihkan pemicu konflik tersebut pada sasaran lain.

Sasaran berikutnya adalah pada orang-arang yang tidak atau belum “beragama”. Jadi penyebaran agama (dakwah atau misi) hanya boleh dilakukan oleh agama-agama yang diakui oleh Negara tadi terhadap mereka yang atau belum “beragama”. Berarti menurut Pemerintah rezim Orde Baru mereka yang tidak atau belum “beragama”

156

Tidak dipungkiri agama-agama Samawi (kecuali agama Yahudi) adalah agama Dakwah dan misi.

157

Seperti kasus konflik di Maluku yang ternyata TNI dari Battalion 731, 732, dan 733 yang telah menyewakan senjata mereka kepada pejuang muslim militan atau geng-geng Kristen yang persenjataannya difasilitasi oleh anggota-anggota Komando Pasukan Khusus (Kopasus).

adalah mereka yang tidak atau belum menganut agama yang diakui Negara, termasuk kepercayaan-kepercayaan atau “agama-agama” lokal/suku/asli.158

d. Alasan Pemerintah Sebagai “Nabi Perubahan” untuk Kemajuan.

Religi-religi atau kepercayaan dan keyakinan lokal yang dianut oleh suku-suku tertentu yang kemudian disebut sebagai belum atau tidak beragama adalah tidak modern, masih terbelakang, primitif, ketinggalan zaman, bodoh, dan kolot. Mereka kemudian disebut Pemerintah rezim Orde Baru sebagai “masyarakat terasing”. Berbagai cemoohan yang bernada menyinggung ditujukan pada mereka. Oleh karena itu mereka sudah selayaknya dimodernkan dan dimajukan kehidupannya. Program Pemerintah rezim Orde Baru saat itu yang kerap didengar adalah “Pembangunan di segala bidang”. Dengan demikian citra Pemerintah sebagai agen untuk kemaajuan masyarakat menjadi terangkat.

Akan tetapi “pembangunan” disadari atau tidak (karena dicanangkan dalam banyak cara dan bentuk) juga telah banyak merugikan masyarakat itu sendiri. Dapat dimaklumi karena tujuan-tujuan yang terdapat di dalamnya kental dengan nuansa politis. Lebih jauh kemudian menilik pada sisi ekonomi di mana kekayaan alam daerahnya yang dikuras hingga “proses pembudayaan” yang berujung pada marjinalisasi penduduk asli atau pedalaman.

Kemajuan-kemajuan seperti yang dielu-ulukan pemerintah untuk alam Dayak seperti perpindahan orientasi pemukiman dari pinggiran sungai ke dekat jalan yang dibangun pemerintah, industrialisasi di berbagai sektor, modernisasi politik dan

158

Susan Rodgers dan Rita Smith Kipp, Indonesia Religions in Transition, (Arizona: Arizona Press, 1987), hlm. 85.via Hairus Salim H. S.,op. cit., hlm. 12.

birokrasi, dan kapitalisasi serta modernisasi yang ditawarkan harus membuat masyarakat adat Dayak siap dengan proyekresetlement dan pengagamaan resmi.159

e. Alasan “Agama” Lokal Merupakan Wadah Gerakan Mesianistik dan Populistik.

Di Indonesia terdapat ratusan jenis kepercayaan atau religi lokal yang terdapat di penjuru Nusantara, seperti di Irian Jaya, Kalimantan, Jawa dan di banyak daerah lainnya. Berkembangnya ajaran kepercayaan atau religi lokal ini dinilai Pemerintah rezim Orde Baru dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung jalannya Pemerintahan. Hal ini dikarenakan pemerintah yang menyebut bebarapa ajaran kepercayaan atau religi lokal tersebut bersifat mesianistik dan populistik. Mesianistik hampir sama konsepnya dengan kemunculan sang “Ratu Adil”, yakni menyengkut tentang pengharapan akan datangnya seorang tokoh yang dianggap pemercayanya sebagai tokoh yang atas nama Ilahi yang mampu membuat keadaan menjadi lebih baik sesuai kehendak Ilahi.160 Sedangkan Populistik maknanya adalah gerakan yang menitikberatkan kekuatan pada basis partisipasi massa yang besar. Gerakan ini biasanya muncul pada tahap-tahap perubahan masyarakat yang cepat misalnya karena ketidakmerataan peluang politik, sosial dan ekonomi pada masyarakat tersebut dan cenderung akan menghancurkan struktur kekuasaan yang ada, setidaknya menyebabkan timbulnya krisis hegemoni.161 Kesimpulannya adalah jika dibiarkan begitu saja atau tidak segera dijinakkan akan dapat mengancam kekuasaan politik Pemerintah.162

159

Bisri Effendi,op. cit., hlm. 15. 160

Save M. Dacun, Kamus Besar Ilmu pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Golo Riwu, 2006), hlm 648.

161

Dieter Nolan,Kamus Dunia Ketiga, terj. Titi Soentoro, Aan Effendi, HArdi Ilham, Godjadi Harun, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm 638.

162

Menurut data dari Panitia Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung di Indonesia marak sekali terdapat gerakan yang bersumber dari kelompok-kelompok Aliran Kepercayan seperti di Jawa Tengah setidaknya terdapat 103 gerakan dan sekitar 96 gerakan di Sumatera Timur dan ada kecenderungan terus bertambah yang juga berarti bertambah kuat dan terorganisir dengan baik.163

2. Dalil-dalil tentang Kebebasan Beragama (Sikap Pemerintah Terhadap Agama dan Aliran Kepercayaan).

Di dalam perudang-undangan Republik Indonesia sebenarnya sejak diproklamirkan kemerdekaannya Negeri ini dari penjajahan kolonial sudah diatur tentang kebebasan beragama. Salahsatunya termuat dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, dan ayat (2) “ Sertiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya”.

Dalam Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1969 junto Undang-Undang No.5/1969 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa agama-agama yang di anut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Konghuchu.164 Akan tetapi bukan berarti bahwa agama-agama

163

Rachmat Basuki Soeropranoto, “Aliran Kepercayaan”, dalam website

http://www.indopubs. com/darchives.

164

atau kepercayaan lain dilarang tumbuh dan berkembang di Indonesia oleh Pemerintah. Pemerintah bahkan dituntut untuk membantu, melindungi, perkembangan agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan tersebut. Lebih jauh Pemerintah seharusnya juga berkewajiban untuk menjamin tiap-tiap pemeluknya untuk dapat beribadah dan menjalankan aktifitas kehidupannya.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1969 yang berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor. 1 Tahun 1965 sebenarnya telah juga ditetapkan bahwa terdapat enam agama di Indonesia, yaitu Buddha Hindu, Islam, Katolik, Khonghuchu dan Kristen. Seharusnya ini sudah cukup mempunyai kekuatan hukum. Dalam penjelasan Penetapan Presiden (Penpres) itu pun menyatakan bahwa “ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Shinto, Taoisme, Zararustrian dilarang di Indonesia, agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pada pada 29 ayat 2 dan agama-agama tersbut dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain”.165 Namun pemikiran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya mengakui secara resmi terdapat lima agama yakni Buddha Hindu, Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan masih dipegang teguh hingga zaman reformasi yang diklaim sudah ada kebebasan ini.166

Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa agama Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Konghuchu, adalah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia.

165

Weinata Sairin, “Minggu Advent: Menanti dan Introspeksi”, dalam surat kabar

Suara Pembaruan23 Desember 2005. 166

Pada tahun 1974 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang berkenaan tentang Kartu Tanda Penduduk (KTP). Salahsatu komposisi keterangan penduduk dalam kartu identitas ini adalah “baris agama”. Dalam ketentuan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut hanya menyebutkan Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan, sebagai option pada “baris agama” yang dicantumkan di sana.167Masyarakat adat suku Dayak yang dituntut mendata diri melalui registrasi identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) merasa dipinggirkan ketika dihadapkan dengan kolom agama, yang harus mengisi dengan memilih salah satu agama resmi.168

Pada tanggal 18 November 1978 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor 477/74054 yang menghapus agama Konghuchu dan menegaskan kembali bahwa hanya ada lima agama resmi yang diakui Negara (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan). Senada dengan dalil pendahulunya yang yakni dalam Ketetapan (TAP) MPR No. XXVI/II/MPRS/1966 yang berkenaan dengan agama yang diakui oleh Negara.169

Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia selanjunya adalah mengatur tentang kewajiban agama-agama resmi (penganut individu, organisasi dan perkumpulan-perkumpulan agama lainnya) untuk mentaati peraturan dari Departemen Agama Republik Indonesia dan departemen-departemen terkait lain dalam pencatatan dan kegiatan mereka. Seperti keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

167

Selanjutnya surat keputusan (SK) ini dianulir oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur karena dinggap bertentang dengan pasal 29 Undang-Undang 1945 tentang kebebsan beragama dan hak azasi manusia (HAM).

168

Bisri Effendi,op. cit.,hlm. 4. 169

Perubahan yuridis kemudian terjadi pada saat K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diangkat sebagai presiden Republik Indonesia, yakni dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 tahun 2000 yang mencabut larangan terhadap agama Konghuchu lalu mengakuinya juga sebagai agama resmi Negara.

Negeri No. 1/1969 yang mengatur maslah pembangunan tempat ibadah, Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No.70/1978 yang mengatur tentang pedoman penyiaran agama, dan Surat Keputusan No.77/1978) yang mengatur tentang bantuan luar negeri untuk lembaga keagamaan di Indonesia.170

Terkait dengan upaya “pemberagamaan” orang-orang yang tidak atau belum beragama yang disponsori besar oleh Negara, padahal pelarangan penyebaran agama atau pemaksaan memeluk agama terhadap pemeluk agama lain sudah ada ketentuannya pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1979 yang melarang pemeluk satu agama mencoba mengubah keyakinan umat agama lain, termasuk melalui suap, bujuk rayu, atau distribusi materi keagamaan. Walaupun begitu negara tetap memperbolehkan warga negaranya untuk berganti agama.171 Penyebaran agama hanya boleh dilakukan pada kalangan mereka yang tidak atau belum beragama.172 Di tahun yang sama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang dijabat bukan dari kalangan sipil, melainkan militer, Jenderal Amir Machmud, membuat keslahan fatal dengan mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan komposisi keterangan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang menyatakan bahwa untuk “baris agama” bagi yang bukan beragama Buddha, Hindu, Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan di bubuhkan dengan tanda Strip (-).173

Meskipun sebenarnya juga dikenal istilah “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, akan tetapi kedudukannya kemudian menjadi kabur di mata

170

Anonim, “Kebebasan Beragama”, dalam website http://www. usembassyjakarta.org/ press_rel/ kebebasan_beragama1.htm.

171

Ibid. 172

Hairus Salim H. S.op. cit. hlm 13. 173

Rangkap I Nau, “Agama Kaharingan Menurut Sejarah”, dalam website

perundang-undangan dan hukum Indonesia (padahal mempunyai kekuatan hukum/landasan yuridisnya). “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” menjadi perbincangan sekitar tahun 1977 pada saat diajukannya Rancangan Garis-garis Besar Haluan Negara (RGBHN) oleh Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ada yang menyebutkan bahwa “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” itu adalah "Aliran Kebatinan". Sebenarnya Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sudah mempunyai kekuatan hukum dan juga merupakan cerminan dalam Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Ketetapan (TAP) MPR Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga sudah disebut. Dalam Ketetapan (TAP) MPR No. IV/MPR/1978 dan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 tahun 1978.174

Dengan melihat pranata-pranata di atas sejatinya tidak ada istilah “agama resmi” dan “agama tidak resmi” atau “agama yang diakui” dan “agama yang tidak diakui.” Pernyataan tersebut seolah perwujudan dari ketidakbebasan rakyat dalam masalah hakiki hidup dan keyakinannya. Ini sebuah pelanggaran HAM. Dengan pernyataan tersebut pemerintah juga terkesan telah melecehkan “agama-agama” lain di luar agama resmi atau yang diakui oleh negara. Dampak jangka panjangnya adalah rakyat Indonesia sudah dikondisikan demikian lewat berbagai cara dan bentuk selama Pemerintah rezim Orde Baru berkuasa, dan pemikiran seperti itu masih tetap terpelihara hingga sekarang, seperti halnya pengeliruan peristiwa-peristiwa sejarah negeri ini.

174

Sekarang ini Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sudah dicantumkan pada Ketetapan Sidang Tahunan (ST) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002.

Kenyataan di lapangan, di berbagai segi dan bidang di masyarakat termasuk di kancah politik selain agama resmi (atau juga bahkan beberapa dari agama-agama resmi itu sendiri, terutama yang minoritas) tersebut masih sulit bernafas apalagi