GAMBARAN KETAKUTAN PADA KAUM MUDA
DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Selvister Lucky Mery Diliantoro NIM: 059114052
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv MOTTO
“Kegagalan merupakan proses menuju
v
Dipersembahkan untuk:
Diriku, Keluarga, dan Sahabat-sahabatku
vii
GAMBARAN KETAKUTAN PADA KAUM MUDA DI YOGYAKARTA
Selvister Lucky Mery Diliantoro
ABSTRAK
Dalam dekade terakhir, masyarakat dunia tampaknya menjadi lebih takut dan lebih khawatir tentang keselamatan, keamanan, penerimaan sosial, dan kesehatan lingkungan daripada masa lalu (Handayani, 2010). Di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang tingkat kesejahteraannya tergolong rendah, kasus gangguan kesehatan jiwa, bunuh diri, dan rendahnya ikatan sosial yang terjadi akibat ketakutan ternyata juga terus menunjukkan peningkatan. Kondisi ini tidak terlepas dari kehidupan kaum muda di Yogyakarta. Kaum muda dalam perkembangannya menjadi golongan yang paling rentan terhadap perubahan sosial. Perubahan yang terjadi di Yogyakarta dari waktu ke waktu disinyalir telah menumbangkan pola-pola kerja, komunitas, dan pertalian keluarga yang sudah dikenal, serta menumbangkan juga cara-cara yang dikuasai dalam memahami dunia sekitarnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran ketakutan yang dialami oleh kaum muda di Yogyakarta saat ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik wawancara semi terstruktur sebagai alat pengambilan data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil 5 kaum muda sebagai responden penelitian. Responden penelitian adalah kaum muda yang berdomisili di Yogyakarta. Usia para responden yang digunakan berkisar dari 22-24 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta terdiri dari 2 kategori utama yaitu ketakutan terhadap kematian dan ketakutan akan kegagalan. Ketakutan terhadap kematian para responden muncul karena adanya bayang-bayang kematian yang dilingkupi dengan rasa sakit, penyiksaan, dan perasaan tertekan. Ketakutan terhadap kematian juga muncul karena adanya ikatan sosial yang cukup kuat dan ketidaksiapan dari para responden dalam menjalani kehidupannya secara individu. Ketakutan akan kegagalan muncul karena adanya kekhawatiran terhadap target yang dimiliki para responden tidak terealisir, terulangnya pengalaman yang dinilai buruk dimasa lalu, dan menghadapi situasi di luar kebiasaan.
viii
OVERVIEW OF FEAR IN YOUTH IN YOGYAKARTA Selvister Lucky Mery Diliantoro
ABSTRACT
In the last decade, people seem to be more afraid and concerned about their safety, security, social acceptance, and environmental health than in the past (Handayani, 2010). In Indonesia, as a developing country which has low welfare level, cases of mental health disorders, suicide, and low social bonding that occurs that happened because of the fear factor also increasing continuously. This condition can not be separated from the life of young people in Yogyakarta. Youngsters on its development become the most vulnerable groups of social changes. The changes that occurred in Yogyakarta from time to time allegedly had uprooted work patterns, community and family ties are already known, as well as ways to subvert the well-controlled in understanding the world around them. Therefore, researchers interested in studying about the picture of the fear experienced by youth in Yogyakarta today. This study uses descriptive qualitative method using semi-structured interview technique as a means of collecting data. In this study, researchers took five young people as research respondents. The respondents were young people who live in Yogyakarta. The age of the respondents were ranged from 22-24 years. The results of this study indicate that the image of fear which is faced by youngsters in Yogyakarta were consist of two main categories: the fear of death and fear of failure. Fear of death due to the respondents appeared by the shadow of death are covered with pain, torture, and feeling depressed. Fear of death also appeared by appear because of the strong social bonding and unpreparedness of the respondents to run their life individually. Fear of failure arose because of the concerns over the target possessed by the respondents did not realized, repetition of bad experiences, and facing an unusual situation.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Selvister Lucky Mery Diliantoro
Nomor Mahasiswa : 059114052
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Ketakutan pada Kaum Muda di Yogyakarta
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti Kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikan pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 29 September 2010
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga peneliti
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Gambaran Ketakutan Kaum Muda di Yogyakarta.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan
dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus
kepada orang-orang yang telah menginspirasi peneliti selama kuliah dan
melakukan penelitian ini :
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Sanata
Dharma sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah dengan tulus
merelakan energi, waktu, dan fasilitas secara total dalam membimbing dan
membagikan ilmu kepada peneliti.
2. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik
peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan Ibu.
3. Ibu Dr. Tjipto Susan, M.Si. dan Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen
penguji.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pendidik dan
panutan bagi peneliti.
5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung, Mbak
Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu peneliti selama studi,
xi
6. Keluargaku tercinta dan Elisabeth Galih lokajati atas cinta kasih, dukungan,
dan canda tawa selama ini.
7. Ibu Risa Permanadeli atas pengalaman penelitian dan dukungannya.
8. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2005 untuk kebersamaan selama
ini.
9. Teman-teman Kontraksi’05 (Tristan, Hanes, Aan, Arya, Bagus, Bayu, Tesi,
Budi “kempol”, Renda “kriwil, dll.) untuk pengalaman yang tak terlupakan
selama ini.
10. Teman-teman “Repsos & Taman Cemara” (Bella, Arya, Shinta, Tiwi, Lilo,
Alma, dan Wida), Baka, Wandan, dan Nur untuk semua dukungan dan
perjuangan bersama yang luar biasa.
11. Teman-teman “MAGiS & Sr. FCJ” atas doa dan dukungannya selama ini.
12. Teman-teman “Dragadoel Vespa”, “Retroland Rip” (Lukas, Masteng, dkk.),
OMK Salam, dan Tim ADT (Bora, Sutaboy, Dita, dll.) atas kebersamaannya.
13. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah
membantu peneliti.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 7
xiii
1. Pengertian Ketakutan ... 7
2. Sumber Ketakutan ... 8
B. Kaum Muda ... 9
C. Gambaran Ketakutan Kaum Muda di Yogyakarta ... 11
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13
A. Jenis Penelitian ... 13
B. Desain Penelitian ... 14
C. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 16
1. Lokasi Penelitian ... 16
2. Subyek Penelitian ... 17
D. Batasan Istilah ... 18
E. Metode Pengumpulan Data ... 18
1. Wawancara ... 18
2. Observasi ... 19
F. Metode Analisis Data ... 19
1. Organisasi Data ... 20
2. Koding dan Kategorisasi ... 21
3.Penafsiran Data ... 22
xiv
1. Kredibilitas ... 22
2. Confirmability ... 23
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 24
A. Hasil Penelitian ... 24
1. Penelitian Pendahuluan ... 24
2. Pelaksanaan Penelitian ... 26
B. Hasil Penelitian ... 27
1. Gambaran Ketakutan pada Kaum muda di Yogyakarta ... 27
2. Gambaran Ketakutan Masing-masing Responden Penelitian ... 33
3. Integrasi Ketakutan Para Responden Penelitian ... 52
C. Pembahasan ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Keterbatasan Penelitian... ... 63
C. Saran... ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan dunia sekitar, baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan manusia.
Setiap terjadi perubahan lingkungan, manusia harus mengambil keputusan
pribadi sebagai konsekuensi interaksi manusia dengan dunia sekitarnya.
Kegagalan manusia dalam menemukan orientasi di tengah berbagai
kemungkinan yang tak terhitung banyaknya berpotensi menimbulkan
ketakutan yang menjadi salah satu ancaman terhadap kebermaknaan hidup
manusia. Sebaliknya, keberhasilan menemukan orientasi dan membuat
keputusan pribadi dalam mengatasi krisis mendatangkan
pengalaman-pengalaman emosi positif (Sumanto, 2006).
Dalam dekade terakhir, masyarakat dunia tampaknya menjadi lebih takut
dan lebih khawatir tentang keselamatan, keamanan, penerimaan sosial, dan kesehatan
lingkungan daripada masa lalu (Handayani, 2010). Kondisi ini menghasilkan
pengalaman emosi negatif berupa ketakutan yang lebih tinggi. Berbagai macam
ancaman terhadap diri seseorang dinilai semakin meningkat. Beberapa di antaranya
adalah acaman kejahatan dan kekerasan, perang nuklir, berbagai penyakit seperti
AIDS, ketakutan akan serangan terorisme, kekhawatiran akan serangan flu babi,
hingga pemanasan global.. Untuk menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakutan,
beberapa ahli memberi label abad ini sebagai abad ketakutan, meski ketakutan itu
sendiri sesungguhnya sudah ada sejak manusia ada (Handayani, 2010).
Di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang tingkat
kesejahteraannya tergolong rendah, kasus gangguan kesehatan jiwa yang
terjadi akibat ketakutan ternyata juga terus menunjukkan peningkatan.
Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2007 yang diadakan Departemen
Kesehatan, gangguan mental emosional (depresi dan kecemasan) dialami
sekitar 11,6 persen dari seluruh populasi Indonesia yang usianya di atas 15
tahun. Sementara data tahun 2009 menunjukkan jumlah masyarakat yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stress, depresi, cemas berlebihan,
ketakutan, hingga kasus parah schizophrenia mencapai angka 20-30 persen
(Bararah, 2009). Dari jumlah itu, 2-3 persennya mengalami gangguan jiwa
kronis kegilaan dan schizophrenia. Bahkan, setiap tahun tercatat, lima puluh
ribu orang Indonesia melakukan tindakan bunuh diri.
Sebagai perbandingan, kota besar seperti Jakarta, angka gangguan
mental emosional dan gangguan jiwa berat jauh lebih tinggi dibandingkan
kota lain. Untuk angka kematian karena bunuh diri saja, di Jakarta, mengalami
peningkatan sepanjang tahun 2009. Khususnya untuk kota besar, salah satu
penyebab tingginya angka depresi adalah gaya hidup yang individual. Ikatan
sosial yang terbentuk antar individu bukan lagi menjadi sebuah prioritas
utama. Hubungan yang terjalin antar individu hanya tampak di permukaan
saja dengan tingkat keterikatan yang cenderung rendah. Korelasi dengan
menunjukkan bahwa penurunan keterikatan sosial dan peningkatan bahaya
lingkungan tampaknya bertanggung jawab atas meningginya tingkat ketakutan
(Twenge, 2000). Penurunan ikatan sosial juga tidak lepas dari meningkatnya
kebebasan masyarakat. Masyarakat yang memiliki tingkat keterikatan sosial
yang rendah menghasilkan sosok-sosok pribadi yang mudah takut (Fukuyama,
1999).
Ketakutan adalah reaksi manusia saat mengidentifikasikan bahaya
eksternal secara objektif yang dapat membuat seseorang merasa diserang
pertahanan dirinya (Zimbardo, 2002). Pendapat tersebut diperkuat dengan
pendapat Seligman (1975) dan Schwartz (1989) (dalam Gleitman, 1991) yang
menyatakan bahwa ketakutan adalah kondisi emosional yang berasal dari
objek spesifik. Ketakutan juga merupakan emosi dasar manusia yang akan
selalu ada pada setiap individu. Menurut Darwin (1872) (dalam Twenge,
2000), ketakutan juga berfungsi untuk memperingatkan potensi bahaya dan
defensif yang memicu reaksi fisiologi dan psikologis.
Kaum muda dalam perkembangannya menjadi golongan yang paling
rentan terhadap perubahan sosial. Tahap perkembangan kaum muda dalam
pencarian jati diri saat ini justru dihadapkan dengan banyaknya persaingan dan
pilihan hidup yang beraneka ragam. Kota Yogyakarta sendiri sebagai kota
yang tergolong didominasi oleh kaum muda saat ini sedang mengalami
perubahan ke arah industrialisasi urban sehingga dikhawatirkan dapat
berdampak pada meningkatnya tingkat ketakutan bagi masyarakat terkhusus
cultural shock. Perubahan yang terjadi di Yogyakarta dari waktu ke waktu
telah menumbangkan pola-pola kerja, komunitas, dan pertalian keluarga yang
sudah dikenal, serta menumbangkan juga cara-cara yang dikuasai dalam
memahami dunia sekitarnya. Sebagai contoh, relasi yang tumbuh pada kaum
muda cenderung mengarah kepada hal-hal yang berbau materialistis.
Hubungan pertemanan antar kaum muda terjadi bukan lagi karena ada
kedekatan emosional diantara mereka tapi lebih pada apa yang mereka
gunakan, seperti gaya berpakaian yang sama, gaya rambut yang sama,
kendaraan yang sama, dan lain sebagainya.
Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta telah berubah.
Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala yang muncul seperti
perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai
utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang menekankan kebersamaan
masyarakat, saat ini mulai luntur akibat meningkatnya kedudukan nilai
ekonomi dalam masyarakat.
Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan adalah gaya hidup
konsumsi. Hal ini dapat terlihat dari perubahan wajah kota Yogyakarta, jalan
kota Yogyakarta dipenuhi billboard, spanduk-spanduk yang mengiklankan
barang-barang konsumsi. Penampilan luar menjadi penting sebagai cara
ekspresi yang baru (Miles, 1998), demikian pula bagi masyarakat Yogyakarta.
Hal ini terlihat dari menjamurnya toko-toko yang menjual barang-barang yang
mencerminkan gaya hidup materialis seperti pakaian serta alat-alat
mengerjakan tugas ataupun browsing internet di tempat-tempat nongkrong
seperti kafe ataupun mall tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.
Keberadaan kaum muda di Yogyakarta dalam hal ini sebenarnya
berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi prinsip hidup Jawa yang telah
tertanam dalam masyarakat menjadi pegangan yang mau tak mau harus
dimiliki kaum muda sebagai penerus di masa yang akan datang. Namun di lain
hal, kehidupan modern yang telah merambah kota Yogyakarta juga menjadi
sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Pergulatan dalam menjalani kehidupan
tersebut yang disinyalir dapat menimbulkan kebingungan dan mengarah pada
ketakutan kaum muda di Yogyakarta saat ini.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
gambaran ketakutan yang dialami oleh kaum muda di Yogyakarta saat ini.
Usia para responden yang digunakan berkisar dari 22-24 tahun. Penelitian ini
penting dilakukan untuk mengetahui ketakutan apa yang muncul pada kaum
muda di Yogyakarta. Hal ini dapat membantu menentukan pendekatan yang
sesuai bagi kaum muda di Yogyakarta. Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual terkait
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran ketakutan pada
kaum muda di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang gambaran
ketakutan yang dialami oleh kaum muda di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini berguna untuk memperoleh gambaran ketakutan pada kaum
muda di Yogyakarta. Dalam dunia psikologi, penelitian ini dapat
memperkaya kajian di bidang psikologi perkembangan, klinis, dan sosial.
b. Manfaat Praktis
Sebagai bahan evaluasi bagi pihak pemerintahan, lembaga-lembaga
terkait, dan orangtua sehingga mampu mengambil tindakan pendampingan
7
BAB II
LANDASAN TEORI
Berikut ini merupakan landasan teori yang mendasari penelitian
‘Gambaran Ketakutan pada Kaum Muda di Yogyakarta’. Dalam landasan teori ini
akan dibahas mengenai pengertian ketakutan, kaum muda, dan deskripsi
ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta.
A. Ketakutan
1. Pengertian Ketakutan
Seligman (1975) dan Schwartz (1989) (dalam Gleitman, 1991)
mengungkapkan bahwa ketakutan adalah kondisi emosional yang berasal
dari objek spesifik. Ketakutan juga merupakan emosi dasar manusia yang
akan selalu ada pada setiap individu. Respon fight or flight yang terdapat
pada sistem syaraf simpatetik mengijinkan individu untuk merespon secara
cepat ketika menghadapi beberapa ancaman yang akan hadir segera
(Carson, 2000). Ketakutan secara subjektif juga bisa berubah seketika dari
ketakutan yang normal menjadi ketakutan yang sangat kuat (Carson,
2000).
Ketakutan mempunyai 3 komponen. Komponen yang pertama
adalah kognitif atau subjektif yang terjadi saat seseorang mengatakan
bahwa dirinya takut. Komponen yang kedua adalah fisiologis yang bisa
ditunjukkan dengan detak jantung yang meningkat atau nafas yang berat.
Komponen yang ketiga adalah perilaku yang ditunjukkan dengan
keinginan kuat untuk melarikan diri (Lang dalam Carson, 2000). Ketiga
komponen ini bisa muncul secara tidak bersamaan, maksudnya adalah
bahwa seseorang mungkin hanya memperlihatkan indikator ketakutan
secara fisiologis dan perilaku tanpa memperlihatkan komponen subjektif
(Lang dalam Carson, 2000).
2. Sumber Ketakutan
Ketakutan sendiri atau hakikat rasa takut menurut Moreno (1985)
memiliki dua sumber utama: pertama, penglihatan adanya ancaman yang
nyata, dan yang kedua, hilangnya simbol-simbol atau tanda-tanda
keselamatan, dimotivasi oleh adanya kebutuhan akan rasa aman dari
kondisi-kondisi eksternal, antara lain kematian.
Sama seperti Dister (1988) yang mengatakan bahwa harus
dibedakan antara ketakutan yang ada objeknya, seperti takut pada musuh,
takut pada anjing, takut pada dosen penguji, dan seterusnya di satu pihak,
dan ketakutan yang tidak ada objeknya, takut begitu saja, cemas hati:
orang memang takut, tetapi tidak tahu kenapa ia takut atau apa saja yang ia
takuti. Ketakutan tanpa objek itu dapat bersifat patologis (neorosis atau
malah psikosis), namun sama sekali tidak harus bersifat demikian.
Ketakutan tanpa objek itu bukan selalu gejala penyakit mental, tetapi dapat
Ketakutan ada bersama manusia karena itu sungguh-sungguh
memanusiakan manusia, ketakutan menjadi berbeda karena ada objek dan
tanpa objek. Di dalam jenis perasaan takut karena ada objek, kita
merasakan takut yang dihubungkan secara khusus dengan bahaya tertentu
yang jelas-jelas ada di hadapan kita. Ada hubungan langsung antara
bahaya atau ancaman yang langsung dengan keutuhan fisik serta rasa takut
tersebut. Sedangkan rasa takut tanpa objek bersumber dari perasaan dalam
jiwa seseorang yang merasa keberadaan hidupnya terancam, namun di
mana letak sebenarnya ancaman tersebut sulit diketemukan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka ketakutan dapat diartikan sebagai
kondisi emosional dasar pada individu saat mengidentifikasikan bahaya
eksternal yang berasal dari objek spesifik yang dapat membuat seseorang
merasa diserang pertahanan dirinya. Ketakutan merupakan emosi dasar
manusia yang bisa berubah dari keadaan normal ke ketakutan yang sangat
kuat. Tiga komponen dari ketakutan adalah kognitif, fisiologis, dan perilaku.
Ketiganya bisa hadir secara tidak bersamaan. Ketakutan dapat bersumber dari
penglihatan terhadap ancaman yang nyata dan lenyapnya simbol-simbol
keselamatan berupa kebutuhan akan rasa aman dari kondisi eksternal.
B. Kaum muda
Kaum muda adalah golongan yang baru saja meninggalkan masa
remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal. Pada tahap dewasa awal,
pembentukan jati diri menjadi penting karena pada masa ini perkembangan
dan mensintesiskan jati dirinya pada masa kanak-kanak untuk membangun
suatu jalan untuk menuju kematangan kaum dewasa (Santrock, 2005). Pada
masa ini, menurut Erikson (dalam Larsen & Buss, 2005), kaum muda berjuang
untuk melepaskan dirinya dari orangtuanya, berhenti bersandar pada
orangtuanya, dan memutuskan nilai-nilai apa yang akan dipegangnya dan apa
tujuan yang ingin dicapainya di masa depan.
Di samping itu, saat memasuki masa dewasa awal, kaum muda juga
memiliki tugas perkembangan untuk berelasi dalam masyarakat sosial.
Mereka memandang diri mereka termasuk dalam satu atau lebih kelompok
dalam masyarakat, keluarga, pekerjaan, pendidikan, etnik atau ras, dan
komunitas lainnya (Brym & Lie, 2007). Mereka mengembangkan identitas
yang sesuai dengan kategori sosial di mana mereka tergabung, karena itu
perilaku dan keyakinannya pun sesuai dengan aturan yang berlaku dalam
kategori sosial ini (Brym & Lie, 2007). Ketegori sosial ini terus berubah
seiring perkembangan waktu, jadi kaum muda pun terus berusaha mengikuti
perkembangan tersebut. Dengan demikian, identitas kaum muda pun
fluktuatif, belum stabil, terus berkembang hingga sepanjang hidupnya (Brym
& Lie, 2007; Santrock, 2005). Kaum muda terus membangun identitas dirinya
melalui diskursus sosial dan budaya di mana ia berada.
Berdasarkan uraina tersebut, maka kaum muda dapat diartikan sebagai
golongan yang sedang mengalami transisi dari masa remaja menuju masa
terhadap orangtua, membuat keputusan-keputusan pribadi, dan mulai
mengembangkan relasi dengan lingkungan sekitar.
C. Gambaran Ketakutan Kaum Muda di Yogyakarta
Ketakutan merupakan kondisi emosional dasar pada individu saat
mengidentifikasikan bahaya eksternal yang berasal dari objek spesifik yang
dapat membuat seseorang merasa diserang pertahanan dirinya. Ketakutan
merupakan emosi dasar manusia yang bisa berubah dari keadaan normal ke
ketakutan yang sangat kuat. Tiga komponen dari ketakutan adalah kognitif,
fisiologis, dan perilaku. Ketakutan bersumber dari penglihatan terhadap
ancaman yang nyata dan lenyapnya simbol-simbol keselamatan berupa
kebutuhan akan rasa aman dari kondisi eksternal.
Yogyakarta sendiri sebagai lokasi penelitian telah mengalami
perubahan ke arah industrialisasi dengan lebih mementingkan nilai ekonomi
dalam masyarakat. Sebagai contoh, hampir jarang kita temui lagi di kota
Yogyakarta kegiatan seperti “sambatan” yang sebenarnya menjadi tradisi
Jawa yang tumbuh dalam masyarakat di kota ini. Justru sikap
tolong-menolong kini telah dinilai dengan uang, ketika orang yang dibantu mampu
membayar maka dorongan untuk membantu dari orang lain atau masyarakat
disekitarnya akan semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat kota Yogyakarta sendiri sedang berada pada keterasingan.
Kehidupan sosial yang pada mulanya dibentuk dari sesuatu yang diketahui,
anonim (Handayani, 2005). Kehidupan masa ini menuntut individu untuk
selalu siap berubah dan mengikuti perubahan tanpa arah yang bisa saja
menimbulkan ketakutan pada diri individu untuk menghadapinya.
Perkembangan kehidupan kaum muda di Yogyakarta sendiri
menunjukkan adanya indikasi untuk selalu mengikuti perubahan jaman tanpa
terlalu memperdulikan nilai-nilai sosial yang telah ada di lingkungannya.
Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah gaya hidup kaum muda di
Yogyakarta saat ini. Kaum muda di kota ini lebih tampak berlomba-lomba
untuk selalu berpenampilan trendi sesuai dengan mode yang sedang marak
dipasaran dengan sekmentasi kaum muda. Hal ini berdampak pula pada relasi
yang mereka jalani. Kaum muda cenderung akan berelasi dengan
rekan-rekannya yang memiliki gaya hidup atau penampilan yang sama, sehingga
pertemanan akan cenderung tampak karena adanya nilai material saja bukan
lagi karena kedekatan emosional. Nilai komunal yang menjadi tradisi budaya
Jawa pun tampak perlahan-lahan mulai menghilang. Kondisi demikian
tentunya akan menimbulkan ketakutan bagi kaum muda, karena bila mereka
tidak dapat berpenampilan sesuai dengan rekan-rekan sebayanya maka mereka
akan merasa tidak diterima oleh lingkungan sebayanya.
Dengan demikian, gambaran ketakutan pada kaum muda di
Yogyakarta merupakan pengalaman-pengalaman yang muncul pada kaum
muda dari kondisi emosional ketika mengidentifikasi ancaman eksternal yang
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut
Bogdan dan Tylor (dalam Moleong, 2006), metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang atau perilaku yang diamati, selanjutnya Poerwandari (2005)
menyatakan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan
mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara dan
catatan laporan.
Definisi penelitian kualitatif menurut Creswell (2007) adalah proses
pencarian data untuk memahami masalah sosial yang diperoleh dari situasi
yang alamiahnya. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali dan
memahami inti sebuah masalah sosial atau fenomena yang dialami individu
secara alamiah dalam suatu konteks khusus dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah (Creswell, 2007; Moleong, 2006). Dalam penelitian ini,
peneliti memberikan pertanyaan yang luas dan umum kepada responden,
mengumpulkan pandangan secara detail berdasarkan kata-kata dan kesan
partisipan, kemudian menganalisis informasi tersebut untuk menentukan tema
utamanya dan mendeskripsikannya. Berdasarkan data tersebut, peneliti
menginterpretasikan makna informasi yang menggambarkan refleksi personal.
Penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta
dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2002). Menurut
Peshkin (dalam Leedy & Ormrod, 2005) penelitian bersifat deskriptif dapat
mengungkap situasi, seting, proses, hubungan, sistem, dan orang-orang secara
alami. Dengan pendekatan ini, berbagai dimensi gejala-gejala psikologi dapat
digali dan diuraikan secara intensif (Suwignyo, 2002). Kekuatan dari penelitian
ini adalah pada kekayaan interpretasi data. Pendekatan ini menekankan pada
analisa data melalui pemetaan data ke dalam kategori-kategori yang dasar
pembentukannya jelas, sistematis, dan logis (Suwignyo, 2002). Bobot data
pertama ditentukan oleh kedalaman interpretasi dan pemaknaan data oleh
peneliti, bukan mutu objektif (mutu empiris) data tersebut. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini peneliti harus memiliki kepekaan untuk mencatat,
merekam, dan menangkap detil-detil fakta diamati selama obeservasi dan
kemampuan merefleksikan detil-detil fakta tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan pemahaman ketakutan pada kaum muda
di Yogyakarta.
B. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif memilki
merupakan studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry) yaitu: desain yang
bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi seting
penelitian. Menggunakan analisis induktif, dalam artian peneliti mencoba
memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri.
Kontak personal langsung peneliti di lapangan, agar peneliti memperoleh
pemahaman secara jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan
sehari-hari. Penelitian kualitatif menekankan pada perspektif holistik, perspektif
dinamis, dan perspektif perkembangan yaitu: keseluruhan fenomena perlu
dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan bahwa yang menyeluruh.
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis
dan berkembang, bukan sebagai suatu hal yang statis dan tidak berubah dalam
perkembangan kondisi dan waktu. Peneliti mengamati dan melaporkan objek
yang diteliti dalam konteks perkembangan atau perubahan tersebut. Dikatakan
berorientasi pada kasus unik, karena dalam penelitian kualitatif akan
menampilkan kedalaman dan detil, karena fokusnya memang penyelidikan
yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Netralitas empatik, mengacu pada
sikap peneliti terhadap subjek yang dihadapi dan diteliti, sementara netralitas
mengacu pada sikap peneliti yang tanpa dugaan tentang hasil-hasil yang harus
didukung atau ditolak (bersikap netral). Mengacu pada fleksibilitas desain,
yaitu: desain penelitian yang bersifat luwes, akan berkembang sejalan dengan
bekembangnnya pekerjaan lapangan dan peneliti sebagai instrumen kunci,
memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data hingga
menganalisis dan menginterpretasikannya.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka pendekatan kualitatif deskriptif
adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan utama penelitian ini yaitu
mengetahui atau melakukan penggalian, faktual, akurat mengenai fakta-fakta
dan sifat-sifat pada populasi atau daerah tertentu. Peneliti mencoba
memberikan gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta.
C. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi penelitian
Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan
tradisi yang masih sangat kuat (Subanar, 2007). Namun saat ini
Yogyakarta tidak lepas dari arus perubahan perkembangan jaman
(Subanar, 2007). Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta
telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala
yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi
(Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang
menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat
meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat.
Keberadaan kaum muda di Yogyakarta dalam hal ini sebenarnya
berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi prinsip hidup Jawa yang telah
tertanam dalam masyarakat menjadi pegangan yang mau tak mau harus
lain hal, kehidupan modern yang telah merambah kota Yogyakarta juga
menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Pergulatan dalam
menjalani kehidupan tersebut yang disinyalir dapat menimbulkan
kebingungan dan mengarah pada ketakutan kaum muda di Yogyakarta saat
ini.
2. Subjek Penelitian
Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu
menetapkan satuan kajian. Moleong (2006) mengemukakan bahwa
keputusan tentang penentuan subjek, besarnya dan strategi sampling itu
bergantung pada penetapan satuan kajian yang dalam penelitian ini bersifat
perorangan. Peneliti menentukan subjek penelitian dengan metode
purposive sampling. Pemilihan metode ini lebih didasarkan pada
pertimbangan bahwa suatu kajian penelitian itu tidak homogen, sehingga
tidak semua dapat dijadikan subjek penelitian. Subjek dipilih dengan
pertimbangan bahwa ia dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
berkaitan dengan tujuan penelitian dan diperkirakan mewakili
(penghayatan terhadap) penelitian secara intens. Oleh karena itu,
kemudian peneliti membuat beberapa kriteria antara lain untuk membatasi
subjek yang akan digunakan :
1) Responden adalah kaum muda yakni berusia 22 sampai 24 tahun.
2) Responden adalah kaum muda yang bertempat tinggal di daerah
D. Batasan Istilah
Penelitian ini hendak mengungkap tentang gambaran ketakutan
menurut kaum muda di Yogyakarta. Peneliti membatasi istilah ketakutan
sebagai pengalaman-pengalaman yang muncul dari kondisi emosional ketika
mengidentifikasi ancaman eksternal yang berasal dari objek spesifik di
lingkungan. Jadi, penelitian ini hendak mengungkap gambaran kondisi
emosional ketika mengidentifikasi ancaman eksternal yang berasal dari objek
spesifik pada orang yang berumur 22-24 tahun di Yogykarta.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif terdapat beragam metode pengumpulan
data yang dapat digunakan. Dalam penelitian ini terdapat dua metode yang
digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data penelitian. Metode-metode
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Wawancara
Poerwandari (Banister et al., seperti dikutip Poerwandari, 1998)
menjelaskan bahwa wawancara kualitatif adalah percakapan tanya Jawab
yang dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang
makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang
diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan pedoman umum. Menurut Poerwandari (1998), bentuk
yang mencantumkan isu-isu yang diliput tanpa harus menentukan urutan
pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Metode
wawancara ini dinilai efektif bagi peneliti karena wawancara yang
dilakukan peneliti adalah wawancara terfokus mengenahi hal-hal khusus
yaitu tentang pandangan tentang ketakutan.
Adapun panduan umum wawancara yang teah direvisi dalam
penelitian ini adalah :
1. Ketakutan apa yang anda rasakan saat ini?
2. Mengapa ketakutan tersebut bisa terjadi?
2. Observasi
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan keadaan yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam
aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif responden
(Poerwandari, 2005). Metode ini dilakukan dengan mengamati ekspresi
kaum muda saat menceritakan pengalaman ketakutan mereka. Melalui
metode observasi, diharapkan dapat diperoleh data mengenai ekspresi
responden terhadap pertanyaan peneliti. Metode observasi ini dilakukan
dengan membuat catatan lapangan selama proses peneleitian berlangsung.
F. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
(dalam Moleong, 1988). Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh
data yang terdiri dari berbagai sumber, kemudian langkah selanjutnya adalah
menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan terebut kemudian
dikategorisasikan, langkah berikutnya pembuatan koding dan yang terakhir
penafsiran data. Langkah-langkah untuk menganalisis data verbatim hasil
wawancara, observasi, dan crosscheck dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Organisasi data
Dalam proses penelitian organisasi data merupakan tahap awal
dalam kegiatan mengolah dan menganalisis data. Organisasi data
dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat
mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Melalui
Tahap ini, peneliti mengumpulkan dan menyusun secara cermat berbagai
data yang diperoleh dilapangan yang berupa transkrip wawancara dan
catatan observasi (catatan lapangan).
Poerwandari (1998) menjelaskan organisasi data dilakukan agar
peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat
mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini, kemudian
hal-hal penting yang disimpan dan diorganisasikan adalah catatan
lapangan, transkrip wawancara dan catatan refleksi peneliti, dokumentasi
serta data-data yang sudah diberi kode-kode tertentu guna kemudahan
dalam mencari data.
2. Koding dan Kategorisasi
Tahap ini peneliti sudah melakukan klarifikasi data melalui
pengkodingan sehingga pada akhirnya data-data lapangan akan dapat
dipisahkan berdasarkan kategorinya masing-masing. Menurut Poerwandari
(1998) agar lebih efektif, koding dapat dilakukan dengan cara:
1) Peneliti menyusun transkripsi verbatim atau catatan, sehingga ada
kolom kosong yang besar disebelah kanan dan kiri transkrip.
2) Peneliti melakukan penomoran secara urut dan kontinyu pada
transkrip verbatim
3) Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan
kode tertentu.
Poerwandari menyatakan pembuatan kolom 1 dan 3, yaitu: kolom
kiri dan kanan memang dibiarkan kosong untuk pencatatan berbagai
komentar peneliti maupun tema-tema khusus yang dibuat peneliti.
Sedangkan kolom 2 (kolom yang berada di tengah) merupakan tempat
menuliskan verbatim wawancara penelitian.
Peneliti menemukan banyak tema dalam proses pengkodingan ini.
Peneliti kemudian membuat tema yang lebih umum sesuai dengan konsep
ketakutan yang muncul. Keseluruhan proses koding dan kategorisasi
dengan merangkum dan memilih tema-tema pokok yang fokus pada tujuan
3. Penafsiran data
Setelah melakukan proses organisasi, koding dan kategorisasi,
peneliti kembali membaca hasilnya berulang-ulang untuk semakin
mempertajam pemahaman terhadap hasil penelitian sementara tersebut.
Kemudian peneliti melakukan interpretasi data atau yang distilahkan
Moleong (1988) sebagai penafsiran data yang bertujuan untuk
mendeskripsikan.
G. Keabsahan Data Penelitian
Penelitian kualitatif seringkali diragukan keabsahannya, karena
dianggap yang berpegang pada paradigma subjektifitas penelitinya. Agar
penelitian kualitatif dianggap ilmiah maka, para ahli menyarankan digunakan
istilah alternatif yang lebih merefleksikan paradigma penelitian kualitatif.
1. Kredibilitas
Credibility (kredibilitas) merupakan istilah yang paling banyak
dipilih untuk menggantikan konsep validitas dalam penelitian kualitatif.
Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas
penelitian kualitatif. Validitas dicapai dengan menggunakan metode yang
paling cocok untuk pengambilan dan analisa data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi untuk
menjaga validitas penelitian. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan
(dalam Maleong, 2006) menyebutkan empat macam triangulasi sebagai
teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode,
penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini peneliti melakukan triangulasi
dengan metode, yaitu dengan melakukan beberapa teknik pengumpulan
data yang berbeda, yaitu wawancara, observasi dan crosscheck dengan
mengkonfirmasikan hasil transkrip wawancara kepada responden
penelitian.
2. Confirmability
Konstruk terakhir menurut Poerwandari (1998) adalah
confirmability atau konformabilitas menggantikan konsep objektivitas.
Dalam hal ini menekankan bahwa temuan penelitian dapat
dikonfirmasikan, dalam artian penelitian kualitatif yang lebih penting
adalah objektivitas dalam pengertian transparansi, yaitu kesediaan peneliti
mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen penelitiannya,
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data
sementara yang digunakan sebagai objek kajian penelitian dan
menentukan alat yang tepat dalam pengambilan data. Peneliti melakukan
penelitian awal dengan mengambil 3 responden penelitian. Ketiga
responden tersebut adalah kaum muda yang berada di Yogyakarta.
Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur.
Metode yang digunakan adalah wawancara dengan pertanyaan pembuka
“ketakutan apa yang muncul dalam hidup anda saat ini?”, “mengapa
ketakutan tersebut terjadi?”. Adapun pertanyaan tersebut diikuti dengan
probing.
Responden 1 adalah seorang wanita berumur 21 tahun. Saat ini ia
masih menjadi mahasiswa di sebuah Universitas swasta di Yogyakarta.
Responden 1 merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Selain kuliah
responden 1 mengisi hari-harinya dengan berlatih menari, karena menari
sudah menjadi hobinya sejak kecil. Responden 1 mengungkapkan
ketakutan yang muncul dalam hidupnya saat ini ialah takut gagal. Takut
gagal tersebut muncul karena adanya harapan yang tidak bisa diperoleh.
Selain itu, takut gagal yang dimaksud responden 1 ialah takut gagal dalam
memilih pasangan. Responden 1 juga mengungkapkan bahwa ia memiliki
ketakutan kehilangan orang yang dicintainya karena ada ikatan emosional
yang telah terjalin.
Responden 2 adalah seorang laki-laki berumur 23 tahun. Saat ini ia
sedang menyelesaikan studi jurusan pendidikan bahasa Inggris di sebuah
Universitas swasta di Yogyakarta. Responden merupakan anak pertama
dari dua bersaudara. Hobi yang dimiliki responden 2 dalam bidang
fotografi ternyata cukup menyita masa studinya hingga saat ini. Responden
2 mengungkapkan ketakutan yang muncul dalam dirinya saat ini ialah
ketakutan akan kegagalan. Hal tersebut dikarenakan dirinya sampai saat ini
masih berjuang dalam bangku perkuliahan, ia takut gagal dalam
perkuliahannya tersebut.
Responden 3 adalah seorang laki-laki berumur 24 tahun. Ia masih
aktif menjadi mahasiswa fakultas Psikologi di salah satu Universitas swasta
di Yogyakarta. Responden 3 merupakan anak kedua dari tiga bersaudara,
dan ia merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Responden 3
mengungkapkan ketakutan yang muncul dalam dirinya saat ini ialah takut
tidak berguna. Ia menjelaskan ketakutan tersebut didorong karena adanya
rasa khawatir tidak mampu melayani orang lain sehingga hanya akan
menjadi beban orang lain. Responden 3 juga merasa takut kehilangan orang
yang dicintainya. Hal tersebut dikarenakan orang-orang yang dicintainya
lainnya ialah ketakutan akan bencana alam. Responden 3 menjelaskan
bahwa adanya pengalaman mengalami bencana gempa beberapa tahun
yang lalu membuatnya merasa tidak tahan melihat para korban dan hal itu
sangat mengerikan baginya.
Setelah melakukan penelitian pendahuluan, peneliti menambahkan
3 pertanyaan dalam panduan umum wawancara. Pertanyaan yang
ditambahkan tersebut adalah : Bagaimana anda mengatasi ketakutan yang
anda alami?; Apa yang menjadi penting atau utama dalam hidup anda?;
Apa harapan anda terhadap hidup anda kedepan? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut ditambahkan untuk melihat secara lebih mendalam terkait
ketakutan yang muncul dan bagaimana ketakutan tersebut berproses dalam
diri kaum muda.
2. Pelaksanaan Penelitian
Tahap pengambilan data dilakukan dengan teknik-teknik yang
telah dipaparkan pada bab III. Teknik yang digunakan dalam memperoleh
data atas bahan kajian penelitian meliputi wawancara dan observasi
(selama proses wawancara). Peneliti melibatkan 5 orang responden. Para
responden merupakan teman atau kenalan peneliti, sehingga hal ini
mempermudah dalam melakukan rapport.
Di awal pertemuan, peneliti menjelaskan gambaran umum proses
penelitian dan apa yang harus responden lakukan. Kemudian peneliti
penelitian. Setelah responden bersedia, lalu peneliti membuat janji kepada
responden untuk melakukan wawancara.
Proses wawancara dilakukan di tempat tinggal peneliti dan
beberapa dilakukan di tempat tinggal responden. Wawancara dilakukan
untuk memperoleh data terkait gambaran ketakutan pada kaum muda yang
diteliti oleh peneliti. Waktu yang dibutuhkan dalam wawancara tergantung
dari keterbukaan responden menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh peneliti. Secara umum wawancara dilakukan selama 15
sampai 60 menit untuk masing-masing responden.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama
adalah gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta, ketakutan
masing-masing responden, dan integrasi ketakutan yang muncul.
1. Gambaran Ketakutan pada Kaum Muda di Yogyakarta
Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti menjabarkan ketakutan
secara umum dari para responden yang telah diwawancarai menjadi dua
kategori. Kedua kategori tersebut ialah ketakutan terhadap kematian dan
ketakutan akan kegagalan. Dari kategori-kategori tersebut, kemudian
peneliti membagi lagi menjadi beberapa sub kategori. Kategori ketakutan
terhadap kematian terdiri dari dua sub kategori, yaitu ketakutan kematian
kegagalan terdiri dari sub kategori mengulang kesalahan yang sama, tidak
bisa mencapai target, dan menghadapi situasi baru. Berikut ini adalah tabel
data ketakutan yang muncul dari para responden :
Tabel ketakutan yang muncul pada para responden
a. Ketakutan akan kematian
1) Ketakutan mati secara pribadi (Responden 3 dan 5)
Ketakutan akan kematian dimaknai sebagai sebuah situasi
di mana responden merasa terancam karena ketidaksiapannya
menghadapi kematian. Ketakutan ini muncul di antaranya karena
ada pengalaman sakit yang pernah dirasakan oleh responden
sehingga terlintas rasa takut akan kematian. Ketakutan akan
kematian ini juga dianggap sebagai bahaya yang di luar kontrol diri
responden, sehingga ia sendiri tidak tahu harus bagaimana
takut mati ini timbul karena ia memiliki bayang-bayang kematian
itu dilingkupi dengan rasa sakit, penyiksaan, dan perasaan tertekan.
(Lk, L, 22th) : “..takut banget kalau sampai mati gitu sih..kenapa
ya…karena gak tau ya…badan sudah sakit banget entah gimana pikiran
adanya itu…ya gak tau juga sih tiba-tiba seperti itu, badan tiba-tiba gak
bisa apa-apa…kejang…gak bisa apa…saya gak percaya sampai seperti
itu..”
(Pr, L, 23th) : “..saya membayangkan berada di dalam situasi, ancaman,
dan rasa sakit. Ancaman dari..tahu bahwa besok seakan-akan aku mati
atau sewaktu-waktu mati dalam situasi yang seperti ini..”
2) Ketakutan kehilangan orang lain (Responden 1, 2, 3)
Ketakutan akan kematian dalam hal ini tidak hanya dialami
responden terhadap kondisi yang akan ia alami saja, tetapi
berkaitan juga dengan kehilangan orang lain terlebih orang-orang
yang mereka cintai baik itu keluarga, sahabat, atau orang-orang
terdekat. Ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai ini
disebabkan karena responden masih merasa butuh akan keberadaan
orang yang dicintai tersebut sehingga ia belum siap bila suatu saat
ia ditinggalkan. Responden juga merasa mempunyai banyak
kesalahan terhadap anggota keluarga dan saudara. Bagi responden
kesalahan ini masih bisa diperbaiki ketika orang yang bersangkutan
masih hidup, namun ia merasa bila orang berkaitan telah
Selain itu, responden juga merasa belum bisa membahagiakan
orang-orang yang mereka cintai sejauh ini, terlebih bagi orangtua
mereka.
(Tr, P, 24th) : “..mungkin tidak siap saja..tidak siap untuk
ditinggalkan..ya itu mungkin ketakutan terbesarnya sekarang..”
(Dm, L, 23th) : “..yang terbesar ya katakanlah..itu sebuah..emm..ketidak
siapan saya ketika saya harus kehilangan saudara dalam artian
kehilangan disini mungkin dia tidak hidup lagi..itu..itu yang memang
saya belum siap..”
(Lk, L, 22th) : “Ya yang saya rasakan ya saya gak mau mati dulu gitu
kan. Saya belum bisa...intinya saya belum memenuhi keinginan saya ya
saya jangan mati dulu..bisa membahagiakan orangtua terus sampai ee
istilahnya pokoknya masa depan yang saya rancang itu terwujud. Dan
saya harus melakukan itu sebelum mati saya makanya jangan..gak mau
mati dulu sebelum itu gitu..”
b. Ketakutan akan kegagalan
1) Takut mengulangi kesalahan yang sama (Responden 2)
Ketakutan akan kegagalan yang dialami responden muncul
karena adanya rasa takut untuk mengulangi peristiwa yang pernah
dinilai kurang berhasil atau kesalahan pada masa lalu. Walaupun
peristiwa tersebut dapat memberi sebuah pengalaman untuk
peristiwa itu tidak diharapkan untuk muncul kembali karena dapat
menjadi penghalang untuk keberlangsungan hidupnya.
(Tr, P, 24th) : “..jadi kayak lingkaran..kembali ke titik-titik itu-itu saja
dan seperti pengulangan..rupa-rupanya saya menyadari akhirnya..saat
pengulangan-pengulangan yang berbeda bentuk sih, tapi saat itu dilihat
itu mejadi sebuah pengulangan..pengulangan..entah itu melakukan
kesalahan yang sama, entah itu menghadapi sesuatu dengan pola yang
sama..”
2) Takut tidak bisa mencapai target (Responden 4 dan 5)
Dalam menjalani kehidupan responden memiliki target atau
rencana yang ingin dicapainya. Kegagalan dalam mencapai apa
yang telah menjadi target atau perencanaan akan menimbulkan
perasaan takut bagi responden karena akan mengubah perencanaan
lainnya yang telah dibuat. Ketakutan ini juga tidak lepas dari
kehadiran pihak lain yang ternyata juga memiliki target atau
perencanaan yang sama. Bila pihak lain tersebut telah mencapai
target atau perencanaan terlebih dahulu, tentunya hal ini juga dapat
menambah rasa takut dan cemas bagi responden untuk mencapai
targetnya tersebut.
(El, P, 22th) : “..saat ini ketakutan yang sedang saya alami..saya
takut..saya masang target gitu mas..saya takut aja dengan apa yang saya
lakukan sekarang tetap aja tidak bisa mencapai target itu. Misalkan saya
(El, P, 22th) : “..kalau teman saya sudah lulus itu takut banget. Sejauh
ini belum sih, tapi kalau denger ada teman yang mau lulus itu yang jadi
semakin takut. Tapi termotivasi juga karena takut itu..”
(Pr, L, 23th) : “..pernah mengalami ketakutan ketika aku berada pada
situasi yang tidak aku inginkan. Misal’e..aku telah membuat
gambaran-gambaran idea tentang hidupku, pencapaian-pencapaianku misalkan
target bulan ini dan bulan depan aku harus seperti apa..dan ketika aku
tidak mencapai target itu aku kayak seolah-olah dalam hidupku
selanjutnya akan mengalami seperti itu dan aku merasa takut seandainya
dalam hidupku situasinya akan seperti itu terus kayak gitu itu. Paling
ndak ada dua hal yang aku sadari atau yang aku lihat selama ini itu
tentang ketakutan..”
3) Takut menghadapi situasi baru (Responden 3)
Ketakutan menghadapi situasi atau kondisi baru ini muncul
karena adanya rasa takut dan kekhawatiran responden dalam
melakukan penyesuaian terhadap situasi di luar kebiasaannya.
Untuk menghadapi hal tersebut, maka dibutuhkan sebuah proses.
Ketidakmampuan dalam menjalani proses akan menjadi sebuah
kegagalan yang harus diterima responden sebagai sebuah
konsekuensinya. Tentunya hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak
dihendaki oleh responden sehingga muncul ketakutan dalam
(Lk, L, 22th) : “..menurut saya ya itu sih…tapi ketakutan-ketakutan yang
biasa seperti berada di daerah yang asing..ya ketakutan biasa jadi cuma
bentar aja kalau sesudah itu ya sudah gak lagi..”
2. Gambaran Ketakutan Masing-masing Responden Penelitin Responden 1
Responden adalah seorang laki-laki yang berumur 24 tahun.
Responden merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini ia sedang
menyelesaikan studinya di fakultas pendidikan bahasa Inggris di sebuah
Universitas di Yogyakarta. Kehidupan sehari-harinya selain kuliah, ia juga
mengembangkan bakatnya dibidang musik yaitu bermain gitar. Berkat
kerja kerasnya, responden sering tampil di beberapa event musik di
Yogyakarta bersama teman-temannya. Ketakutan yang dimiliki responden
saat ini ialah ketakutan akan kehilangan anggota keluarga (saudara
/orangtua). Hal ini disebabkan karena responden merasa mempunyai
banyak kesalahan terhadap anggota keluarga dan saudara. Bagi responden
kesalahan ini masih bisa diperbaiki ketika orang yang bersangkutan masih
hidup, namun ia merasa bila orang berkaitan telah meninggal maka
kesalahan tersebut tidak bisa ditebus kembali. Hal inilah yang
menyebabkan responden takut kehilangan anggota keluarganya. Oleh
karena itu, responden memiliki harapan untuk cepat lulus sehingga bisa
sebagai modal besar responden untuk mewujudkan cita-citanya seseorang
yang berguna bagi teman, keluarga, dan negara.
“..yang terbesar ya katakanlah..itu sebuah..emm..ketidak siapan saya ketika saya
harus kehilangan saudara dalam artian kehilangan disini mungkin dia tidak
hidup lagi..itu..itu yang memang saya belum siap..”
“..iya..mati..kematian..itu yang memang saya belum siap. Dulu memang
prosesnya sempat menghantui saya gitu, jadi pikiran saya kok..waduh ibu saya
mati..ibu saya mati..ibu saya mati..itu yang sangat menakutkan..”
”..nah banyak kesalahan-kesalahan yang saya lakukan ya mungkin terhadap dia
dan secara pribadi kepada keluarganya..”
“..hidup saya..apa ya..lulus cepat..lulus cepat..hehehe..”
“..ya bisa berguna bagi teman, keluarga, dan negara..”
Dalam menghadapi ketakutan tersebut, usaha yang dilakukan
responden ialah mempersiapkan diri sejak dini dalam menghadapi
kehilangan anggota keluarga. Responden mempunyai kepercayaan bahwa
semua orang akan meninggal pada waktunya. Kepercayaan ini lah yang
menimbulkan sikap pasrah dalam diri responden ketika harus menghadapi
situasi kehilangan tersebut. Pasrah dalam hal ini tidak hanya menerima
keadaan saja, namun juga mampu dan mau mengubah keadaan itu menjadi
lebih baik. Ketika menghadapi situasi yang paling buruk, responden selalu
“..yang saya lakukan itu ya..apa ya..selalu waspada. Dalam artian selalu
waspada itu mengingatkan pada diri kita sendiri bahwa hidup dan mati itu nggak
tau kapan terjadi..mati itu nggak tahu kapan terjadi makanya siap terus, dalam
artian siap itu untuk kalau memang..ya secara batin sendiri lah maksud’e
gitu..mempersiapkan secara batin sendiri lah seperti itu. Sekalipun kalau
memang itu harus terjadi nggak cukup untuk persiapan semacam ini..nggak
cukup..”
“Sebenarnya kalau memang itu sudah terjadi pun maksud’e itu ya sudah, saya
pun akan..maksud’e punya banyak hal di belakang saya dalam otak saya itu yang
bisa membesarkan hati saya tu..saya punya..tapi itu saya tidak menjamin dalam
artian opo yo..tetep takut gitu loh..murni takut gitu loh..”
Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui ketakutan yang
dimiliki responden 1 adalah ketakutan kehilangan orang lain dalam hal ini
keluarga. Ketakutan ini muncul karena adanya perasaan belum siap untuk
ditinggalkan, meskipun responden 1 menyadari bahwa setiap orang akan
mati dan mau tidak mau kita harus mensyukuri itu. Kesalahan-kesalahan
yang dimilki responden 1 terhadap keluarga atau orang-orang yang
dicintainya juga menjadi sumber timbulnya ketakutan ini. Kondisi tersebut
menjadikan responden 1 saat ini selalu berusaha melakukan sesuatu yang
terbaik bagi mereka. Sejauh ini responden 1 berusaha mempersiapkan diri
bila suatu saat kematian yang akan dialami keluarga atau orang-orang
terdekatnya terjadi. Responden 1 juga mencoba pasrah, menyerahkan
mengatur semua. Responden 1 juga berusaha dapat segera menyelesaikan
tugas akhir kuliah yang sedang ia jalani untuk mewujudkan harapan dari
keluarga dan dirinya sendiri.
Hasil observasi menunjukkan bahwa ketakutan yang dimiliki oleh
responden 1 kurang ia sadari secara langsung. Hal ini tampak ketika ia
membutuhkan beberapa waktu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan
peneliti berupa ketakutan apa yang ia alami saat ini? Kondisi demikian
juga terjadi karena pertanyaan mengenai ketakutan tidak biasa muncul
pada diri responden 1 dalam kesehariannya. Ketakutan terhadap
kehilangan keluarganya tampak benar-benar menjadi ketakutan yang
sebenarnya ia hadapi, karena responden 1 tampak bersemangat dan serius
ketika mengungkapkan ketakutan tersebut. Responden 1 juga tampak
memiliki kesungguhan untuk mengatasi ketakutan yang ia hadapi dengan
mempersiapkan dirinya sejak dini bila suatu saat ia ditinggalkan. Hal
tersebut tampak dari ekspresi responden 1 dengan memejamkan mata pada
saat mengungkapkan usaha untuk mengatasi ketakutannya. Responden
juga menunjukkan adanya keinginan untuk lepas dari beban akibat adanya
tuntutan atau kewajiban yang harus ia jalani saat ini. Hal ini tampak dari
ekspresi tersenyum responden 1 ketika menjawab ia harus segera
menyelesaikan tugas kuliah yang sedang dijalani untuk membahagiakan
orangtuanya.
Responden adalah seorang wanita yang berusia 24 tahun.
Responden adalah anak kedua dari dua bersaudara. Saat ini ia telah bekerja
staf pengajar bahasa Inggris di sebuah lembaga bahasa di Yogyakarta.
Ketakutan yang dimiliki responden ini adalah takut kehilangan orang yang
dicintai. Hal ini disebabkan karena responden masih merasa butuh akan
keberadaan orang yang dicintai tersebut sehingga ia belum siap bila suatu
saat ia ditinggalkan. Menurut responden, kehilangan dalam hal ini ialah
terkait dengan kematian. Responden juga memiliki ketakutan untuk
mengulangi kesalahan yang sama.
“kehilangan orang yang aku cintai..”
“..mungkin tidak siap saja..tidak siap untuk ditinggalkan..ya itu mungkin
ketakutan terbesarnya sekarang..”
“..maksudnya kalau dalam hal ini ditinggalkan itu meninggal lo..dalam konteks
meninggal..”
“..jadi kayak lingkaran..kembali ke titik-titik itu-itu saja dan seperti
pengulangan..rupa-rupanya saya menyadari akhirnya..saat
pengulangan-pengulangan yang berbeda bentuk sih, tapi saat itu dilihat itu mejadi sebuah
pengulangan..pengulangan..entah itu melakukan kesalahan yang sama, entah itu
menghadapi sesuatu dengan pola yang sama..”
Usaha yang dilakukan responden untuk mengatasi ketakutan
tersebut ialah dengan bersikap pasrah dalam menghadapi kehilangan
keadaan saja, namun ada kepercayaan bahwa semua situasi tersebut akan
terjadi dan tidak bisa dihindari sehingga ia harus siap. Responden juga
berusaha mengatasi ketakutan yang ada dengan berrefleksi. Dirinya
mencoba menggali pengalaman-pengalaman hidup yang telah ia lalui
kemudian mencoba memahami mengapa bisa terjadi sehingga dapat
menjalani hidup yang lebih baik. Hal inilah membantu ia untuk melakukan
peziarahan dalam hidupnya dengan belajar mengerti banyak hal dan
memaknai peristiwa-peristiwa yang ia alami. Dan harapan responden
untuk masa yang akan datang ialah mampu hidup nyaman, tenang, dan
bahagia.
“..aku akhirnya bisa pasrah juga..maksudnya..yah pasti ada waktunya untuk
itu..dan saat itu ada mau nggak mau aku harus siap, tapi untuk solusi aku harus
bagaimana..aku belum ada sekarang..”
“..dibantu dengan mungkin refleksi..refleksi ya..merenung..akhirnya kembali
misalnya menemukan kembali sesuatu yang salah ni..akhirnya mungkin karena
itu sering..akhirnya kan selalu berpikir..apa sih ini..apa sih ini..selalu
berpikir..apa sih ini..apa sih ini..dan ternyata saat mulai berpikir-berpikir atau
merenung-renung itu akhirnya menemukan bahwa oh dulu aku mengalami hal
yang sama dan aku melakukan ini. dan ternyata saat itu terjadi lagi dengan
bentuk yang lain ternyata aku melakukan hal yang sama..rupa-rupanya seperti
itu. Mulai tahu karena mungkin sering terjatuh di lubang yang sama jadi mulai
“..apa ya..peziarahan..untuk belajar mengerti banyak hal..ee..bahwa setiap
peristiwa pasti ada artinya dan untuk memberi arti setiap peristiwa itu. Hehe..”
Berdasarkan hasil tersebut, maka ketakutan yang dimiliki
responden 2 adalah ketakutan kehilangan orang yang dicintainya dalam
hal ini keluarga. Ketakutan ini muncul karena responden 2 merasa butuh
akan keberadaan orang yang dicintainya tersebut. Responden 2 juga
merasa dirinya belum siap bila suatu saat ia ditinggalkan. Situasi ini yang
membawa responden 2 bersikap pasrah terhadap ketakutannya tersebut.
Responden 2 berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk selalu siap jika
benar-benar kondisi tersebut terjadi. Ketakutan lain yang dimiliki
responden 2 adalah ketakutan mengulang kesalahan yang sama. Meskipun
terkadang kesalahan yang terjadi tersebut memberi sebuah pembelajaran
dan penyadaran bagi responden 2 untuk menerima kesalahan yang telah ia
perbuat. Pengulangan kesalahan yang terjadi juga membantu responden
dalam merefleksikan dirinya secara pribadi. Responden 2 kemudian
memaknai hidupnya sebagai sebuah peziarahan di mana banyak hal yang
bisa didapatkan dan dipelajari untuk kehidupan kita.
Hasil observasi menunjukkan bahwa responden 2 benar-benar
mengalami ketakutan terhadap kehilangan orang yang ia cintai. Hal
tersebut tampak dari ekspresi responden 2 yang mengangguk-anggukkan
kepalanya ketika menjawab. Responden 2 juga menunjukkan ekspresi
yang serius ketika menjawab pasrah menjadi cara untuk mengatasi