• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kota Pontianak merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 107,82 km2. Secara geografis Kota Pontianak terletak pada 0°02’24” LU-0°01’37” LS dan 109°16’25”BT - 109°23’04” BT dan berada pada ketinggian antara 0,10 meter sampai 1,50 meter di atas permukaan laut. Wilayah penelitian adalah Sungai Kapuas yang merupakan bagian dari wilayah Kota Pontianak dengan sempadan 100 meter di kiri kanan sungai (Gambar 3).

Ket: = Sungai Kapuas di batas wilayah penelitian

(2)

Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pontianak, yaitu :

Bagian Utara : Kecamatan Siantan

Bagian Selatan : Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap dan

Kecamatan Siantan

Bagian Barat : Kecamatan Sungai Kakap

Bagian Timur : Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang.

Adapun batas wilayah penelitian adalah:

Bagian Utara : areal/kawasan industri, perdagangan dan pemukiman Bagian Selatan : areal/kawasan industri, perdagangan dan pemukiman Bagian Barat : areal/kawasan perdagangan, jasa dan pemukiman Bagian Timur : areal/kawasan pemukiman dan industri.

Sejak Tahun 2002 Kota Pontianak dibagi menjadi lima kecamatan dengan Peraturan Daerah Kota Pontianak No.5 tahun 2002, di mana hampir seluruh kelurahan di lima kecamatan tersebut berada di tepian Sungai Kapuas. Terdapat 16 kelurahan (67%) dari 24 kelurahan Kota Pontianak, dan sekitar 25,40% bagian wilayah Kota dialiri Sungai Kapuas. Secara administratif dan geografis terlihat besarnya peran dan kontribusi Sungai Kapuas terhadap kota dan masyarakat, baik sebagai sarana transportasi, pemukiman, industri, mata pencaharian serta sebagai sumber air bersih kota yang dikelola oleh PDAM. Penggunaan lahan yang terdapat di tepian sungai didominasi oleh kegiatan industri, bangunan umum dan pemukiman penduduk serta kegiatan jasa dan perdagangan pada Tabel 4.

(3)

Tabel 4 Kecamatan dan kelurahan di Kota Pontianak yang berada di tepian Sungai Kapuas Luas Panjang No Kecamatan/ Kelurahan (km2 ) (%) Sungai Kapuas/Landak (km) (%) 1. Pontianak Selatan 1. Bangka Belitung 2. Benua Melayu Laut 3. Benua Melayu Darat 4. Parit Tokaya 29,37 6,10 0,56 4,74 7,79 27,24 14,90 0,52 4,39 7,39 S. Kapuas Kecil S. Kapuas Kecil - - 4,40 2,20 2,20 - - 16,06 8,03 8,03 - - 2. Pontianak Timur 5. Parit Mayor 6. Banjar Serasan 7. Saigon 8. Tanjung Hulu 9. Tanjung Hilir 10.Dalam Bugis 11.Tambelan Sampit 8,78 1,06 1,14 2,80 1,09 0,30 1,98 0,41 8,14 0,98 1,05 2,59 1,01 0,28 1,83 0,38 S. Kapuas Kecil S. Kapuas Kecil - Sungai Landak Sungai Landak S. Kapuas Besar S. Kapuas Kecil 7,95 1,15 1.40 - 1,20 1,68 1,26 1,26 29,03 4,19 5,12 - 4,38 6,14 4,60 4,60 3. Pontianak Barat 12. Pal Lima

13. Sungai Jawi Dalam 14. Sungai Jawi Luar 15. Sungai Beliung 20,11 10.06 4,46 2,96 2,64 18,65 9,33 4,14 2,75 2,45 - - S. Kapuas Besar S. Kapuas Besar 4,20 - - 1,80 2,40 15,33 - - 6,57 8,76 4. Pontianak Kota 16. Mariana 17. Tengah 18. Darat Sekip 19. Sungai Bangkong 20. Sungai Jawi 12,34 0,50 0,95 1,31 7,58 2.00 11,45 0,46 0,88 1,21 7,03 1,85 S. Kapuas Besar - S. Kapuas Besar - - 1,88 0,62 - 1,26 - - 6,86 2,26 - 4,60 - - 5 Pontianak Utara 21. Batu Layang 22. Siantan Hilir 23. Siantan Tengah 24. Siantan Hulu 37,22 9,20 13,70 7,87 6,45 34,52 8,53 12,71 7,29 5,98 S. Kapuas Besar S. Kapuas Besar S. Kapuas Besar Sungai Landak 8,96 2,40 2,52 1,94 2,10 32,71 8,76 9,20 7,08 7,67 Total 107,82 100 27,39 100

Bagian Kota yang dialiri Sungai Kapuas

(4)

4.1.1 Jumlah Penduduk

Penduduk Kota Pontianak pada tahun 2003 mencapai 492.990 jiwa dengan tingkat kepadatan 4.572 jiwa/km2 (Tabel 5).

Tabel 5 Kepadatan penduduk berdasarkan Luas (km2)

No Kecamatan/Keluraha n Luas (km2) Jumlah penduduk Kepadatan (jiwa/km2) 1. Pontianak Selatan 01. Bangka Belitung 02. Benua Melayu Laut 03. Benua Melayu Darat 04. Parit Tokaya 29,37 16,10 0,56 4,74 7,97 118.194 38.242 9.290 21.938 48.724 4.024 2.375 16.589 4.628 6.113 2. Pontianak Timur 05. Parit Mayor 06. Banjar Serasan 07. Saigon 08. Tanjung Hulu 09. Tanjung Hilir 10. Dalam Bugis 11. Tambelan Sampit 8,78 1,06 1,14 2,80 1,09 0,30 1,98 0,41 66.803 2.157 7.976 9.133 14.574 9.967 16.226 6.790 7.608 2.035 6.996 3.262 13.371 33.223 8.195 16.561 3. Pontianak Barat 12. Pal lima

13. Sei Jawi Dalam 14. Sei Jawi Luar 15. Sungai Beliung 20,11 10,06 4,46 2,95 2,64 106.406 16.094 16.653 35.559 38.100 5.291 1.600 3.734 12.054 14.432 4. Pontianak Kota 16. Sungai Bangkong 17. Darat Sekip 18. Tengah 19. Mariana 20. Sei.Jawi 10,34 7,58 1,31 0,95 0,50 2.00 98.801 41.822 10.477 7.855 8.334 30.313 9.555 5.517 7.998 8.268 16.668 15.157 5. Pontianak Utara 21. Batu Layang 22. Siantan Hilir 23. Siantan Tengah 24. Siantan Hulu 37,22 9,20 13,70 7,87 6,45 102.786 16.405 24.727 28.662 32.992 2.762 1.783 1.805 3.642 5.115 KOTA PONTIANAK 107,82 492.990 4.572

(5)

Konsentrasi penduduk berada pada Kecamatan Pontianak Barat dan Pontianak Selatan. Selama periode 2000-2003 populasi mengalami pertumbuhan rata-rata 2% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi terjadi pada Kecamatan Pontianak Timur dan Kecamatan Pontianak Barat bila dibandingkan dengan Kecamatan Pontianak Selatan dan Kecamatan Pontianak Utara, namun secara detil ada wilayah kelurahan di kecamatan tersebut yang padat dan ada yang longgar. Hal ini disebabkan oleh peranan dua kecamatan tersebut sebagai pusat administrasi, perdagangan dan jasa antara lain dengan banyaknya kantor-kantor pemerintahan dan swasta serta area perdagangan.

4.1.2 Iklim

Kota Pontianak beriklim tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 26,2 - 27,5 °C, kelembaban udara rata-rata 86,17%, lama penyinaran matahari rata-rata

59,16%, serta curah hujan rata-rata pertahun 3101 mm/tahun. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson kawasan Sungai Kapuas termasuk ke dalam tipe iklim B dengan jumlah curah hujan pertahun 3096 mm/tahun, kecepatan angin rata-rata 4,833 knot/jam. Berdasarkan data iklim pada Tabel 6 menunjukkan bahwa Kota Pontianak termasuk kota yang memiliki suhu dan kelembaban yang cukup tinggi.

Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari sampai dengan Agustus, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari. Kota Pontianak sering mengalami hujan dengan jumlah yang besar, sehingga menyebabkan timbulnya permasalahan banjir dan erosi untuk bulan-bulan tertentu pada daerah-daerah yang peka seperti daerah bantaran sungai. Pengaruh suhu, penyinaran dan kelembaban relatif juga berperan dalam kenyamanan manusia.

Suhu udara pada siang hari relatif tinggi yaitu berkisar antara 26°C–27°C dan penyinaran matahari berkisar antara 53%-62%. Kelembaban udara berkisar antara 83%– 89% dan kecepatan angin rata-rata sebesar 4,8 knots/jam menunjukkan kecepatan yang cukup lembut. Kecepatan angin juga berguna untuk mengimbangi terik matahari pada siang hari.

(6)

Tabel 6 Data iklim Kota Pontianak Tahun 1995-2004

Unsur Tahun bulanan (mm) Curah Hujan Suhu Udara (o

C) Kelembaban Udara (%) Penyinaran Matahari (%) Tekanan Udara (mb) Kec.Angin rata-rata (knots) 1995 253,8 26,6 85,5 56,1 1011,0 4,8 1996 256,3 26,4 83,7 57,4 1010,7 4,9 1997 225,3 26,3 82,9 53,2 1012,0 4,6 1998 325,7 26,9 87,4 56,9 1011,1 5,3 1999 243,3 26,3 87,3 62,6 1009,9 5,3 2000 262,9 26,5 89,0 61,8 1009,9 4,9 2001 264,9 26,5 86,2 61,3 1010,1 5,0 2002 228,4 26,9 86,7 61,4 1010,8 4,3 2003 265,6 26,8 86,1 59,6 1010,6 4,5 2004 258,8 26,7 86,9 61,3 1010,5 4,8 Rata-rata 258,5 26,6 86,2 59,2 1010,6 4,8

Sumber : Stasiun BMG Supadio Pontianak, 2005.

4.1.3 Hidrologi

Kota Pontianak terletak diantara dua buah sungai yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak dengan lebar bervariasi berkisar antara 170 – 1.400 m. Badan air Sungai Kapuas terdiri dari 3 bagian yaitu ; (1) Sungai Kapuas Besar dengan panjang 5,7 Km, lebar 600 -1150 m dan lebar rata-rata 8,3 m, (2) Sungai Kapuas Kecil dengan panjang 4,8 Km, lebar 190 – 245 m dan rata-rata 16 m, (3) Sungai Landak dengan panjang 4,6 Km lebar sungai 210 – 220 m, lebar rata-rata 253 m, kedalaman sungai antara 7 – 12 m atau rata-rata 8,3 m. Sungai Kapuas berfungsi sebagai sarana transportasi, mata pencaharian masyarakat, sumber air bersih, River Cathment dan sebagai drainase kota.

Pada Sungai Kapuas dan Sungai Landak terdapat sungai-sungai serta parit-parit yang terletak tersebar di beberapa wilayah kecamatan, fungsinya antara lain sebagai drainase kota dan tranportasi. Parit-parit tersebut yaitu Parit Sungai Jawi yang terletak di Kecamatan Pontianak Kota dan Kecamatan Pontianak Barat, Parit Tokaya di

(7)

Kecamatan Pontianak Selatan, Parit Sungai Selamat dan Parit Malaya di Kecamatan Pontianak Utara. Penyebaran parit dan sungai di Kota Pontianak tertera pada Tabel 7.

Tabel 7 Sungai dan Parit di Kota Pontianak

No. Kecamatan Kelurahan Sungai/Parit Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Pontianak Utara Batu Layang - SungaiKapuas Besar - Parit Sungai Kunyit

Sungai Utama - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Makmur

- Parit Sungai Pulut

- Parit Sungai Selamat - Panjang 6 Km Siantan Hilir

- Parit Sungai Sahang

Sinatan Tengah - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Wan Salim

- Parit Pekong - Parit Makmur - Parit Banseng

Siantan Hulu - Sungai Landak Sungai Utama - Parit Jawa

- Parit Malaya - Panjang 5.96 Km - Parit Nenas

- Parit Pengeran

2. Pontianak Selatan BangkaBelitung - Sungai Kapuas Kecil Sungai Utama - Parit Sungai Raya

- Parit H. Husin - Parit Bangka - Parit Bansir

Benua Melayu Laut - Sungai Kapuas Kecil Sungai Utama - Parit Bansir

- Parit Tokaya - Parit Setia Budi - Parit Besar Benua Melayu

Darat

- Sungai Kapuas Kecil Sungai Utama - Parit Tokaya - DAS > 1.00 Ha - Parit Besar

Parit Tokaya - Parit Tokaya - Panjang 7,5 Km 3. Pontianak Timur Parit Mayor - Sungai Kapuas Kecil Sungai Utama

- Parit Mayor

Banjar Serasan - Sungai Kapuas Kecil - Parit H. Yusuf Karim Saigon - Parit H. Yusuf Karim

- Parit Semerangkai

Tanjung Hulu - Sungai Landak Sungai Utama - Parit Daeng Lasibe

- Parit Langgar

Tanjung Hilir - Sungai Landak Sungai Utama - Parit Kongsi

- Parit Jepon - Parit Beting

(8)

(1) (2) (3) (4) (5)

Dalam Bugis - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Semerangkai

- Parit Wan Bakar Kapur - Parit Beting

- Parit Tembelan - Parit Kongsi - Parit Pangeran Pati

Tembelan Sampit - Sungai Kapuas Kecil Sungai Utama - Parit Tembelan

- Parit Wan Bakar Kap - Parit Pangeran Pati 4. Pontianak Barat Pal Lima - Parit Sungai Jawi

- Parit Nipah Kuning Sungai Jawi Dalam - Parit Sungai Jawi

Sungai Jawi Luar - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Sungai Jawi

- Sungai Beliung

5. Pontianak Kota Mariana - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Sungai Jawi - DAS > 1.00 Ha - Parit Syahbandar - Panjang 7,11 Km - Parit Mariana

Tengah - Parit S. Bangkong

Darat Sekip - Sungai Kapuas Besar Sungai Utama - Parit Besar

Sungai Bangkong - Parit S. Bangkong Sungai Jawi - Parit Sungai Kakap Sumber : BPS Kota Pontianak, 2003

Tabel 7 diatas dapat dijelaskan bahwa parit Tokaya dengan panjang 7,5 Km dan Parit Sungai Jawi dengan panjang 7,11 Km ( panjang keseluruhan 19,68 Km mencakup Kabupaten Pontianak), merupakan saluran drainase perkotaan dengan kategori besar, DAS lebih dari 1,00 Ha. Kedua parit ini merupakan saluran drainase induk dan daerah tangkapan air dari hulu kawasan ini didominasi oleh jenis tanah gambut yang mudah tererosi. Parit-parit ini sebelumnya dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana transportasi, dan sampai sekarang kadang-kadang masih dijumpai untuk membawa produksi pertanian dari daerah lain ke Kota Pontianak, sehingga pada kawasan sepanjang parit kadang-kadang terjadi abrasi.

(9)

Parit Sungai Selamat panjang 6 Km dan Parit Malaya panjang 5,96 Km di Kecamatan Pontianak Utara merupakan drainase yang meliputi kawasan tangkapan air lahan gambut di bagian hulu. Parit-parit ini juga kadang-kadang dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana transportasi namun alat angkut yang digunakan jenis perahu (sampan) yang kecil, sehingga tidak menimbulkan abrasi sepanjang bantaran sungai.

Pada bantaran Sungai Kapuas Besar yang terdapat di Kecamatan Pontianak Utara (Kelurahan Batu Layang, Kelurahan Siantan Hilir) dan Kecamatan Pontianak Barat (Kelurahan Sungai Jawi Luar, Kelurahan Sungai Beliung) sepanjang bantaran sungai yang bervegetasi mangrove sebagai kawasan konservasi berubah menjadi kawasan pergudangan, pelabuhan dan permukiman (Bappeda Kota Pontianak, 2004). Bantaran sungai ini telah terabrasi akibat gelombang dan kikisan ombak, karena sungai merupakan sarana transportasi air.

4.2 Kualitas Air Sungai Kapuas

Hasil analisis kualitas air di perairan Sungai Kapuas di Kota Pontianak (Tabel 8) menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Kapuas telah tercemar secara fisika, kimia dan biologi. Tercemarnya perairan Sungai Kapuas tersebut disebabkan oleh adanya berbagai macam aktivitas kegiatan seperti kegiatan domestik, transportasi laut (kapal-kapal nelayan, kapal angkutan), industri dan kegiatan penambangan emas tanpa izin dari daerah perhuluan yang bermuara ke Sungai Kapuas. Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi merkuri (Hg) berkisar antara 16,41 – 27,01 ppb yang terdapat pada semua stasiun pengamatan telah melebihi baku mutu Kelas I, II, III dan IV.

Konsentrasi TDS (Padatan terlarut total) sebesar 1233 mg/L pada Stasiun Muara Jungkat telah melebihi baku mutu Kelas I, II dan III, sedangkan konsentrasi TSS (Padatan tersuspensi total) sebesar 250 mg/L yang juga terdapat pada Stasiun Muara Jungkat telah melebihi baku mutu Kelas I dan II. Konsentrasi ammoniak pada Stasiun Muara Jungkat sebesar 0,98 mg/L, Stasiun Depan Korem sebesar 0,75 mg/L dan Stasiun Simpang Landak Hilir sebesar 0,68 mg/L telah melebihi baku mutu Kelas I.

Konsentrasi BOD berkisar antara 3,06 – 3,9 mg/L dan konsentrasi COD berkisar 15 – 25 mg/L telah melebihi baku mutu Kelas I dan II. Hasil analisis untuk parameter biologi (Fecal Coliform), menunjukkan selain pada Stasiun Simpang Landak Hilir yaitu

(10)

Stasiun lainnya telah melebihi baku mutu Kelas I, bahkan untuk Stasiun Muara Jungkat, TPI dan Sudarso telah melebihi baku mutu Kelas II sampai dengan Kelas IV.

Nilai konsentrasi polutan tertinggi umumnya terdapat pada stasiun Muara Jungkat. Hal ini dikarenakan pengaruh yang sangat besar dari daerah hulu terhadap daerah hilir aliran sungai. Perubahan yang terdapat pada daerah aliran sungai di bagian hulu, tidak hanya berdampak pada tempat kegiatan berlangsung (daerah hulu), tetapi juga berdampak pada daerah hilir diantaranya dalam bentuk perubahan/fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air sungai. Untuk kosentrasi polutan pada stasiun TPI, Korem, Simpang Landak Hilir dan Sudarso secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis kualitas air Sungai Kapuas di Pontianak

Baku Mutu

LOKASI PENGAMBILAN SAMPLE No. Parameter Satuan Kls.

I Kls. II Kls. III Kls. IV Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang

Landak Hilir Sudarso

FISIKA

1 Suhu oC dev. 3 dev.

3

dev. 3 dev. 5 27,8 28,1 27,8 27,7 29,2

2 TDS mg/L 1000 1000 1000 2000 1223 38 21 27 24

3 TSS mg/L 50 50 400 400 250 18 16 26 19

4 DHL µmhos/cm t.a t.a t.a t.a 2,175 0,032 0,012 0,020 0,020 KIMIA AN ORGANIK . 5 pH - 6 – 9 6 – 9 6 – 9 5 – 9 6,5 6,3 6,2 6,1 6,2 6 Hg ppb 1 2 2 5 23,36 25,57 16,41 20,61 27,01 7 Cl mg/L 600 (-) (-) (-) 179 20 11 20 15 8 Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-) 0,0185 0,0168 0,0125 0,0235 0,0150

9 Ammoniak mg/L 0,5 t.a t.a t.a 0,98 0,40 0,57 0,68 0,43

10 Pb mg/L 0,03 0,03 0,03 1 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001

11 Fenol ug/L 1 1 1 t.a 0,348 0,365 0,365 0,255 0,209

12 BOD mg/L 2 3 6 12 3,99 3,55 3,06 3,55 3,25 13 COD mg/L 10 25 50 100 25,00 15,00 18,75 21,25 24,00 Biologi 14 Fecal Coliform MPN/100 mL 100 1000 2000 2000 8 x 10 7 7 x 10 6 470 1 12 x 10 6 Sumber : Laboratorium Kesehatan Prop. Kalbar, 2007 dan analisis data

(11)

Dalam hubungannya dengan pencemaran air sungai, aliran air mempunyai peranan yang sangat penting, karena aliran air (baik dalam bentuk aliran permukaan/surface run-off maupun aliran bawah permukaan/sub surface runoff) merupakan agen/media utama pengangkutan, pemindahan dan penyebaran bahan-bahan pencemar. Pencemaran di daerah aliran sungai selain ditentukan oleh jumlah (ada tidaknya) bahan pencemar, juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar persentase air yang jatuh dalam daerah aliran sungai yang berubah. Oleh karena itu diperkirakan pada Stasiun Muara Jungkat merupakan daerah bertemunya arus Sungai Kapuas sehingga terjadinya akumulasi penumpukan limbah cair/zat beracun yang berasal dari kegiatan yang terdapat pada bagian hulu sungai ke bagian hilir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air Sungai Kapuas yang dilakukan oleh Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat tahun 2003-2005 menunjukkan terjadinya peningkatan konsentrasi beberapa paramater kualitas air Sungai Kapuas. Parameter-parameter kualitas air yang telah melebihi baku mutu antara lain fisik ( TDS dan TSS ), Kimia ( Nitrat, Nitrit, Ammoniak, Total fosfat, BOD dan COD ) dan Biologi ( Coliform

dan Colitinja ) seperti terlihat pada Lampiran 3. Hal ini, mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas air dan meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke dalam badan Sungai Kapuas (Lampiran 3).

4.2.1 Parameter fisika 4.2.1.1 Suhu air

Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang di serap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan. Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan (Odum, 1993).

Suhu air sungai dipengaruhi oleh komposisi substrat, kekeruhan air hujan, luas permukaan perairan yang langsung mendapat sinar matahari, serta suhu perairan yang

(12)

menerima air limpasan. Kemudian suhu air sungai memperlihatkan perbedaan yang nyata antara lapisan permukaan dan dasar perairan, suhu air di permukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu air di lapisan dasar. Selain itu topografi juga akan mempengaruhi suhu sungai, suhu di daerah hulu yang topografinya lebih tinggi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di bagian hilir (Nybakken, 1988).

Hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan empat kali ulangan menunjukkan bahwa suhu air yang terendah terjadi pada stasiun 3 yaitu depan Korem sebesar 24,7 oC (ulangan I), dan suhu tertinggi pada Stasiun Soedarso sebesar 33 oC (ulangan III), seperti terlihat pada Gambar 4. Tabel 8 menunjukkan bahwa suhu air Sungai Kapuas berkisar 27,7 – 29,2 o C. Suhu terendah terdapat pada Stasiun Simpang Landak Hilir sedangkan suhu tertinggi pada Stasiun Sudarso.

Catatan:

Baku mutu menurut Kls. I, Kls. II, dan Kls. III: deviasi 3 oC dari keadaan alaminya Baku mutu menurut Kls. IV: deviasi 5oC dari keadaan alaminya

Gambar 4 Hasil pengukuran suhu air (o C) Sungai Kapuas di Pontianak

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan S u h u ( o C )

(13)

Gambar 5 Curah hujan Kota Pontianak Tahun 2003 – 2007

Kisaran suhu ini sesuai dengan keadaan yang terdapat di perairan Sungai Kapuas yaitu bulan Januari sampai dengan bulan April (Gambar 5), yang merupakan musim hujan. Dimana pada kisaran suhu ini terdapat curah hujan yang tidak menentu dan intensitas penyinaran matahari masih tinggi sehingga akan mempengaruhi suhu air Sungai Kapuas. Menurut Wetzel (2001), bahwa perubahan suhu air sungai yang tinggi pada ekosistem perairan di daerah tropika dengan arus yang cukup deras dan permukaan air yang meningkat menunjukkan perubahan yang cepat dalam metabolisme hewan akuatik, sehingga dapat menyerap/melarutkan senyawa kimia yang berasal dari buangan limbah cair.

Selanjutnya di perjelas oleh pendapat Klein (1972) dalam Yusuf (1994), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik. Suhu yang tinggi ini juga

0 100 200 300 400 500 600 700 C U R A H H U J A N ( m m )

DATA CURAH HUJAN KOTA PONTIANAK PERIODE TAHUN 2003 - 2007 2003 349 297 202 614 146 134 213 213 132 302 334 257 2004 384 163 216 312 386 113 249 249 309 182 351 422 2005 291 166 222 256 410 168 152 152 229 538 309 141 2006 184 345 173 260 228 218 41 41 171 130 297 477 2007 281 91.7 202.5 314.2 JAN FEB

MAR APR MEI JUN JUL AGS T

SEP T

OKT

(14)

dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.

Daerah pasang surut memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pada saat pasang surut, kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat. Di samping itu, bentos juga dapat mati disebabkan oleh kehabisan air. Di sisi lain, pasang-surut dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak ( Ardi, 2002).

4.2.1.2 Padatan Terlarut Total

Padatan Terlarut Total (TDS) adalah partikel terlarut dan partikel koloid yang tidak tertahan pada kertas saring millipore berdiameter pori 0,45 µm. Partikel terlarut terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik (molekul dan ion) yang berasal dari proses peluruhan batuan dan tanah, selain itu padatan terlarut juga dapat berasal dari proses peluruhan bahan-bahan organik sisa tanaman dan hewan yang terdekomposisi. Penentuan TDS dapat lebih cepat dilakukan dengan mengukur daya hantar listrik (konduktivitas) suatu contoh air. Derajat konduktivitas air sebanding dengan padatan terlarut total dalam air itu (Sastrawijaya, 2000).

Hasil pengukuran TDS yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan empat ulangan menunjukkan hasil TDS air Sungai Kapuas pada ulangan I berkisar 16 – 97 mg/L, ulangan II berkisar 12 – 24 mg/L, ulangan III berkisar 44 – 4740 mg/L dan ulangan IV berkisar 18 – 86 mg/L untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 6. Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata TDS tertinggi terdapat pada stasiun Muara Jungkat sebesar 1.223 mg/L, di mana hasil tersebut telah menunjukkan ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan, sedangkan untuk stasiun yang lainnya masih berada di bawah baku mutu air.

Stasiun Muara Jungkat merupakan daerah yang paling hilir dari Sungai Kapuas dimana pada daerah ini merupakan tempat bertemunya muara air sehingga terjadi akumulasi ion-ion terlarut dari akibat buang limbah cair yang berada pada daerah hulu Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Peningkatan nilai TDS dari hulu ke hilir disebabkan

(15)

oleh adanya surface run-off, pelepasan ion-ion dari dasar dan tepi perairan, serta masukan zat-zat terlarut dari limbah cair industri, di mana keseluruhan zat-zat terlarut tersebut pada akhirnya terakumulasi pada hilir sungai.

Catatan:

Baku mutu menurut Kls. I, Kls. II, dan Kls. III: 1000 mg/L Baku mutu menurut Kls. IV: 2000 mg/L

Gambar 6 Hasil analisis TDS (mg/L) air Sungai Kapuas di Kota Pontianak

Menurut Mays (1996), nilai TDS pada perairan alami umumnya < 100 mg/L. Menurut Nemerow (1991), nilai TDS bagi keperluan domestik sebaiknya < 500 mg/L. Secara umum dapat di lihat bahwa nilai TDS air Sungai Kapuas Tahun 2007 pada Stasiun Muara Jungkat ini berada pada nilai diatas 1.000 mg/L, hal ini menunjukkan bahwa nilai TDS air sungai cukup besar, nilai tersebut berada di atas baku mutu, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, namun masih memenuhi baku mutu Kelas. IV, tetapi untuk stasiun lainnya masih memenuhi baku mutu air Kelas I.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan T D S ( m g /L )

Ul angan I Ul angan II Ulangan III Ul angan IV

Baku Mutu Kls I, II, III Baku Mutu

(16)

4.2.1. 3 Padatan Tersuspensi total

Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi koloid (Canter dan Hill, 1979 dalam Wardoyo, 1975). Selain itu juga padatan tersuspensi terdiri dari bahan anorganik dan organik. Bahan anorganik seperti liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik diantaranya sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi lainnya sel alga, bakteri dan sebagainya.

Air buangan industri yang mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya (Saeni, 1991). Menurut Mays 1996, padatan tersuspensi total (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada kertas saring millipore berdiameter pori 0,45µm. Berdasarkan hasil analisis TSS air Sungai Kapuas di Kota Pontianak menunjukkan bahwa nilai TSS pada ulangan I berkisar 17– 19 mg/L, ulangan II berkisar 21 – 838 mg/L, ulangan III berkisar 10 – 22 mg/L dan ulangan IV berkisar 17 – 38 mg/L (Gambar 7).

Hasil analisis TSS air Sungai Kapuas tertinggi terdapat pada Stasiun Muara Jungkat sebesar 249,72 mg/L dengan nilai analisis rata-rata sebesar 250 mg/L. Hasil tersebut telah melewati batas ambang baku mutu air yang telah ditetapkan, sedangkan untuk stasiun yang lainnya masih berada di bawah batas ambang baku mutu air yang telah ditetapkan (Tabel 8). Stasiun Muara Jungkat merupakan daerah yang paling hilir dari Sungai Kapuas, dimana pada daerah ini merupakan tempat bermuaranya dari sumber-sumber pencemar baik industri maupun rumah tangga pada daerah hulu dan juga diperkirakan akibat adanya proses erosi tanah lainnya yang menghasilkan sedimen dan mengendap di dasar sungai sehingga nilai TSS di stasiun ini tinggi.

Nilai TSS ini dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran sungai dan ukuran partikel sedimen (kurang dari 0,0039 mm, seperti liat, pasir dan lain sebagainya), maka dapat terjadi perpindahan sedimen dalam bentuk padatan terlarut. Hasil pengamatan nilai TSS (mg/L) air Sungai Kapuas di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 - 2005 berdasarkan hasil analisis air Sungai Kapuas dari hulu ke hilir masih memenuhi batas baku mutu Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV yang tetapkan melalui PP No. 82 Tahun 2001 (Lampiran 3).

(17)

Catatan:

Baku mutu menurut Kls. I dan Kls. II: 50 mg/L Baku mutu menurut Kls III dan Kls. IV: 400 mg/L

Gambar 7 Hasil analisis TSS (mg/L) air Sungai Kapuas Tahun 2007 di Kota Pontianak TSS dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Erosi tanah akibat hujan lebat dapat mengakibatkan naiknya nilai TSS secara mendadak (Sastrawijaya, 2000). TSS dapat memberikan pengaruh yang luas dalam ekosistem perairan. Banyak makhluk hidup memperlihatkan toleransi yang cukup tinggi terhadap kepekatan TSS, namun TSS dapat menyebabkan penurunan populasi tumbuhan dalam air, hal ini disebabkan oleh turunnya penetrasi cahaya ke dalam air (Connel dan Miller, 1995). -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1000 1050

M uara Jungkat TPI Korem Si mpang Landak Hil i r Sudarso Stasiun Pengamatan T S S (m g /L )

Ul angan I Ul angan II Ulangan III Ul angan IV

Baku Mutu Kls III, IV

Baku Mutu Kls I, II

(18)

4.2.2 Parameter kimia 4.2.2.1 pH

Nilai pH air sungai mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hydrogen dalam larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktivitas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil

respirasi, gas CO2 inilah yang membentuk ion buffer atau penyangga untuk menyangga

kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod ,1978 dalam Irwen, 2005).

Hasil pengukuran pH air Sungai Kapuas menunjukkan nilai pH air terendah terdapat pada Stasiun IV Simpang Landak sebesar 4,94 dan tertinggi pada Stasiun Muara Jungkat sebesar 7,18. Pada ulangan I didapat nilai pH berkisar 4,94 – 5,42, ulangan II berkisar antara 6,41 – 6,90, ulangan III berkisar 6,26 – 6,98 dan ulangan IV berkisar 6,67 – 7,18 (Gambar 8). Kisaran nilai pH rata-rata hasil pengukuran pada penelitian ini berkisar 6,1 - 6,5, dimana pH terendah terdapat pada Stasiun Simpang Landak Hilir dan tertinggi pada Stasiun Muara Jungkat (Lampiran 2).

Menurut Wetzel (1975) dan Hickling (1971) dalam Sumarsini (1985), pH sangat mempengaruhi kelarutan ion logam dalam perairan. Disamping itu pH dapat mempengaruhi produktivitas perairan, air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam. Ambang batas pH untuk baku mutu air ( PP No. 82 Tahun 2001) adalah 5 - 9.

Jika dibandingkan dengan baku mutu ini maka keadaan perairan saat penelitian berada dalam keadaan baik, dalam arti masih dalam batas toleransi kehidupan organisme air. Begitu juga dengan hasil pengukuran pH rata-rata air Sungai Kapuas di Pontianak selama Tahun 2003 – 2005 berkisar 5,5 - 6,5 (Lampiran 3). Pescod (1973)

dalam Ardi (2002) menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme daerah pasang surut memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas.

(19)

Catatan:

Baku mutu pH menurut Kls. I ,Kls. II dan Kls III : 6 - 9 Baku mutu Kls. IV: 5 – 9

Gambar 8 Hasil pengukuran pH air Sungai Kapuas Tahun 2007 di Kota Pontianak

4.2.2.2 Merkuri

Merkuri (Hg) merupakan elemen alami, oleh karena itu sering mencemari lingkungan. Merkuri adalah unsur renik pada kerak bumi, yakni hanya sekitar 0,08 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Komponen merkuri banyak tersebar di karang-karang, tanah, udara, air dan organisme hidup melalui proses fisik, kimia, dan biologi yang kompleks (Hardjojo, 2005).

Gambar 9 menunjukkan bahwa hasil analisis merkuri air Sungai Kapuas di Kota Pontianak pada ulangan I konsentrasi Hg berkisar 4,01 – 42,06 ppb, ulangan II rata-rata 0,2 ppb, ulangan III berkisar 39,38 – 56,83 ppb dan ulangan IV berkisar 0,89 – 25,33 ppb. Konsentrasi Hg pada semua stasiun pengamatan telah melewati ambang batas baku mutu air untuk Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV (PP No. 82 Tahun 2001).

0 1 2 3 4 5 6 7 8

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan H a s il P e n g u k u ra n p H

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

(20)

Berdasarkan hasil survey di wilayah Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 1999 menunjukkan bahwa luas areal PETI (Penambangan emas tanpa izin) yaitu seluas 6.715,25 Ha yang berada menyebar hampir di seluruh Kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Menurut Dinas Pertambangan tahun 2007 areal PETI di Kalimantan Barat sekitar 12.412 hektar yang tersebar pada 333 lokasi. Jumlah kelompok penambang PETI di Kalbar mencapai 1.480 kelompok, dengan jumlah mesin dongpeng mencapai 2.444 unit dan jumlah tenaga kerja mencapai 11 ribu. Jumlah ini mampu menghasilkan emas setiap harinya sebanyak 8.164 gram, tidak kurang 9 ribu liter per hari merkuri yang dipergunakan pelaku-pelaku PETI tersebut (Pontianak Post, 2007).

Tingginya merkuri yang masuk ke dalam lingkungan, termasuk didalamnya ekosistem perairan akan berdampak buruk pada ekosistem perairan tempat membuang merkuri tersebut. Akibat kegiatan PETI ini yang paling dirasakan oleh sebagian masyarakat Kabupaten adalah pencemaran pada Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh lumpur dari penambangan liar tersebut, seperti terjadinya pencemaran pada DAS Kapuas, Pawan, dan DAS Sambas-Mempawah. Pencemaran lainnya akibat penambangan ini adalah pada saat proses amalgamasi dengan penggunaan teknologi yang tidak terkontrol untuk memproduksi emas sehingga terjadinya pencemaran merkuri.

Palar (1994), menyatakan logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan sungai pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi racun bagi kehidupan aliran sungai. Meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat menjadinya terputusnya satu mata rantai kehidupan. Pada tingkat lanjutnya, keadaan tersebut tentu saja dapat menghancurkan satu tatanan suatu eksosistem perairan.

(21)

Catatan:

Baku mutu Hg menurut Kls. I : 1 ppb , Kls. II dan Kls. III: 2 ppb Baku mutu menurut Kls. IV: 5 ppb

Gambar 9 Hasil analisis Hg (ppb) air Sungai Kapuas Tahun 2007 di Kota Pontianak

Menurut Mays (1996), Merkuri (Hg) ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil pada perairan alami. Kadar merkuri pada perairan alami umumnya kurang dari 0,01 mg/L. Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi manusia dan hewan. Merkuri pada perairan umumnya berasal dari kegiatan pertambangan, kegiatan industri, dan kegiatan metalurgi. Kadar merkuri bagi keperluan air baku air minum, rekreasi, perikanan, dan pertanian sebaiknya kurang dari 0,2 µg/L(= 0,0002 mg/L) (Nemerow, 1991). Senyawa merkuri digunakan pada amalgam, industri cat, komponen listrik, baterai, ekstraksi emas, perak, gigi palsu, senyawa anti karat, fotografi, dan elektronik (Eckenfelder, 1989). 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan H g ( p p b )

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Baku Mutu Kls Kls I Baku Mutu Kls IV Baku Mutu Kls II, III

(22)

4.2.2.3 Ammoniak (NH3 – N)

Ammoniak (NH3 -N) adalah salah satu bentuk senyawa nitrogen yang ditemukan

di perairan. Ion ammonium (NH4+) adalah bentuk transisi dari ammoniak. Ammoniak

di perairan berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen an organik yang terdapat dalam tanah dan air, selain itu ammoniak juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Ammoniak yang terukur pada perairan alami adalah ammoniak total (NH3 dan NH4

+

) ( Boyd 1990)

Berdasarkan hasil analisis ammoniak air Sungai Kapuas di Kota Pontianak pada ulangan I kandungan ammoniak berkisar 0,5 – 2,0 mg/L, ulangan III berkisar 0,15 – 0,3 mg/L dan ulangan IV berkisar 0,4 – 0,8 mg/L (Gambar 10). Rata-rata pada Stasiun Muara Jungkat kandungan ammoniak sebesar 0,98 mg/L, Stasiun TPI sebesar 0,4 mg/L, Stasiun Korem sebesar 0,57 mg/L, Stasiun Simpang Sungai Landak Hilir sebesar 0,68 mg/L dan Stasiun Sudarso sebesar 0,43 mg/L.

Hasil analisis rata-rata ammoniak tertinggi terdapat pada Stasiun Muara Jungkat sebesar 0,98 mg/L (Tabel 8). Hal ini diduga karena pada Muara Jungkat merupakan tempat bertemunya sungai sehingga terjadi akumulasi dari limbah yang berasal dari kegiatan industri, domestik yang terdapat pada bagian hulu Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Pada Stasiun Simpang Sungai Landak Hilir nilai ammoniak ditemukan juga tinggi, hal ini diduga karena didekat daerah ini terdapat beberapa kegiatan industri pabrik triplek (playwood) dan permukiman penduduk serta pasar.

Kadar ammoniak bebas pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L (Effendi, 2003). Toksisitas konsentrasi ammoniak bebas terhadap ikan air tawar bervariasi antara 0,7 - 2,4 mg/L (Boyd, 1990). Kadar ammoniak bebas bagi keperluan air minum, rekreasi, dan perikanan sebaiknya kurang dari 0,02 mg/L (Nemerow, 1991). Ammoniak banyak digunakan pada proses produksi urea, bahan kimia (asam nitrat, ammonium fosfat, ammonium nitrat, dan ammonium sulfat), dan industri pulp dan kertas (Eckenfelder, 1989).

(23)

Catatan:

Baku mutu Amonaik menurut Kls. I : 0.5 mg/l Baku mutu menurut Kls II, Kls III dan Kls. IV: (-) Ulangan II : Nilai konsentrasi ammoniak = 0 mg/L

Gambar 10 Hasil analisis ammoniak air Sungai Kapuas (mg/L) di Kota Pontianak

4.2.2.4 Kebutuhan Oksigen Biologi

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD, 1973). Parameter BOD secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke hilir (muara).

Pada stasiun pengamatan Muara Jungkat sampai Sudarso, menunjukkan nilai BOD di perairan Sungai Kapuas mengalami fluktuasi. Pada Stasiun Muara Jungkat nilai BODsebesar 15,96 mg/L dengan rata-rata 3,99 mg/L merupakan nilai BOD yang

-0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan A m m o n ia k ( m g /L )

Ulangan I Ulangan III Ulangan IV

Baku Mutu Kls I

(24)

tertinggi. Pada Stasiun Sudarso didapat dari hasil analisis laboratorium Kesehatan sebesar 3,87 mg/L yang merupakan nilai BOD kedua tertinggi.

Jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 bahwa hasil analisis BOD air Sungai Kapuas telah melewati ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan, baik kriteria kualitas air Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV. Berdasarkan kriteria kualitas perairan sungai yang dinyatakan oleh Lee et al (1978) terhadap nilai BOD, kualitas air Sungai Kapuas telah berada pada kondisi tercemar. Hasil analisis laboratorium Kesehatan dan hasil kajian Bapeldalda Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa nilai BOD pada tahun 2003 nilai BOD rata-rata sebesar 2,87 mg/L, tahun 2004 sebesar 2,15 mg/L, dan tahun 2005 sebesar 13,13 mg/L (Lampiran 3).

Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa Sungai Kapuas di Kalimantan Barat telah tercemar BOD dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 dengan nilainya telah melewati ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan. Tingkat pencemaran menurut Wirosarjono, 1974 dalam Salmin, 2005 bahwa nilai BOD dan COD di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2003- 2005 menunjukkan nilai tercemar dengan kategori tercemar sedang. Adapun tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO dan BOD seperti terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO dan BOD

Parameter

NO. Tingkat Pencemaran

DO (ppm) BOD (ppm)

1. Rendah > 5 0 – 10

2. Sedang 0 - 5 10 - 20

3. Tinggi 0 20

(25)

Catatan:

Baku mutu BOD menurut Kls. I : 2 mg/l ; Kls II : 3 mg/l Baku mutu menurut Kls III : 6 mg/l dan Kls. IV: 12 mg/l

Gambar11 Hasil analisis BOD (mg/L) air Sungai Kapuas Tahun 2007 di Kota Pontianak

4.2.2.5 Kebutuhan Oksigen Kimia

Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)adalah ukuran banyaknya oksigen total dalam satuan milligram per liter yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Berdasarkan hasil analisis Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) air Sungai Kapuas di Kota Pontianak diketahui bahwa nilai COD pada ulangan I berkisar 23 - 46 mg/L, ulangan II berkisar 18 - 23 mg/L, ulangan III berkisar 9 - 37 mg/L dan ulangan IV berkisar 10 - 22 mg/L (Lampiran 2). Nilai konsentrasi COD setiap stasiun pengambilan sampel diketahui bahwa nilai COD tertinggi terdapat pada Stasiun Muara Jungkat dan nilai COD tertinggi kedua terdapat pada Stasiun Sudarso (Gambar 12).

Hasil analisis Kebutuhan Oksigen Kimia air Sungai Kapuas di Kota Pontianak menunjukkan bahwa peningkatan nilai BOD dan COD hampir sama. Nilai konsentrasi

-2 0 2 4 6 8 10 12

Muara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun pengamatan B O D ( m g /L )

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Baku Mutu Kls II Baku Mutu Kls III Baku Mutu Kls I Baku Mutu Kls IV

(26)

COD tertinggi terletak pada Stasiun Muara Jungkat dan tertinggi kedua pada Stasiun Sudarso. Menurut Saeni (1989) bahwa terdapat hubungan antara BOD dan COD, hal ini didasarkan karena adanya jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan oksidasi secara biologis.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium Kesehatan dan kajian dari Bappedalda Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2003 - 2005 bahwa nilai COD telah melewati baku mutu air yang telah ditetapkan. Pada tahun 2003 nilai COD rata-rata sebesar 27,64 mg/L, tahun 2004 sebesar 20,9 mg/L, dan tahun 2005 sebesar 30,22 mg/L pada Kota Pontianak (Lampiran 3). Hal ini dapat dikatakan bahwa air Sungai Kapuas di Provinsi Kalimantan Barat nilai COD telah melewati ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan.

Catatan:

Baku mutu COD menurut Kls. I : 10 mg/l ; Kls II : 25 mg/L Baku mutu menurut Kls III : 50 mg/l dan Kls. IV: 100 mg/L

Gambar 12 Hasil analisis COD (mg/L) air Sungai Kapuas di Kota Pontianak

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

M uara Jungkat TPI Korem Simpang Landak

Hilir Sudarso Stasiun Pengamatan C O D ( m g /L )

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Baku Mutu Kls I Baku Mutu Kls II Baku Mutu Kls III Baku Mutu Kls IV

(27)

4.2.3 Parameter Mikrobiologi 4.2.3.1 Fecal coliform

Fecal Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produkproduk susu. Coliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobik fakultatif yang memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35oC. Adanya bakteri coliform dalam makanan/minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan.

Bakteri coliform dapat dibedakan menjadi 2 grup yaitu : (1) coliform fekal

misalnya Escherichia coli dan ( 2 ) coliform nonfekal misalnya Enterobacter aerogenes.

Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1993 ). Adanya Escherichia coli dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi feses manusia dan mungkin dapat mengandung patogen usus. Oleh karena itu, standar air minum mensyaratkan

Escherichia coli harus nol dalam 100 ml.

Hasil analisis Fecal coliform yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan empat kali pengamatan menunjukan bahwa kandungan fecal coliform rata-rata pada Stasiun Muara Jungkat sebesar 8 x 108 MPN/100 mL, pada Stasiun TPI sebesar 7 x 106 MPN/100 mL, Stasiun Korem sebesar 4,7 x 102 MPN/100 mL, Stasiun Simpang Sungai Landak Hilir sebesar 1 MPN/100 mL dan Stasiun Sudarso sebesar 12 x 106 MPN/ 100 mL. Ketiga stasiun pengambilan sampel (Muara Jungkat, TPI dan Sudarso) dapat dikatakan bahwa kandungan fecal coliform telah melewati ambang batas baku mutu air untuk Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV. Untuk Stasiun Korem kandungan fecal coliform melewati ambang batas baku mutu kelas I ( Tabel 8).

Kandungan Fecal coliform rata-rata di Provinsi Kalimanatan Barat dari hulu ke hilir berdasarkan hasil analisis laboratarium Kesehatan dan kajian Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2003 dan 2004 telah melewati ambang batas baku mutu air Kelas I yaitu sebesar 4 x 105 MPN/100mL dan 3 x 105 MPN/100 mL (Lampiran 3).

(28)

Hal ini dikarenakan pemanfaatan terhadap perairan Sungai Kapuas semakin meningkat seperti adanya kegiatan domestik sehingga parameter mikrobiologi bervariasi peningkatannya. Perairan Sungai Kapuas dimanfaatkan untuk air baku minum, pembuangan limbah rumahtangga, industri, kegiatan rumah sakit, dan transportasi. Kondisi ini diperkirakan dapat mencemari perairan, baik secara fisik, kimiawi maupun mikrobiologi.

Mikroorganisme yang biasanya terdapat pada limbah domestik dalam jumlah banyak yaitu bakteri kelompok Coliform, Escherichia coli dan Streptococcus faecalis

(Schaechter (1992) dalam Manik dan Ristiati (2004)). Bakteri yang merupakan indikator kualitas suatu perairan adalah coliform, fecal coli, salmonella dan fecal streptococcus. Secaramikrobiologi bakteri indikator pencemaranyaitu bakteri coliform, fecal coli dan fecal steptococcus, diantara ketiga bakteri tersebut yang utama adalah

Escherichia coli (E. coli).

Esherichia coli ditemukan hampir pada badan-badan air seperti danau, sungai dan lautyang berasal dari tinja manusia dan hewan berdarah panas serta perairan yang terkontaminasi oleh limbah yang bersifat organik. Esherichia coli merupakan bakteri

fecal dari genus Escherichia, familia Enterobacteriaceae yang mampu hidup dalam saluran manusia dan hewan berdarah panas. Bakteri ini bersifat fakultatif aerobik. E.

coli jika masuk ke dalam saluran pencernaan dalam jumlah banyak dapat membahayakan kesehatan.

Pengujian mikrobiologi dengan hasil mikroorganisme tersebut merupakan indikator adanya mikroorganisme patogen dan pencemaran pada suatu ekosistem (World Health Organization (1982) dalam Feliatra (2002)). Dari jumlah bakteri E. coli

di dapat, kondisi suatu perairan yang tercemar dapat diketahui karena bakteri tersebut merupakan indikator pencemaran. Jumlah E. coli lebih besar terjadi saat surut dibandingkan saat pasang. Hal ini terutama dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan bakteri dari daratan. Semakin banyak pengaruh dari daratan semakin tinggi jumlah bakteri.

Effendi (2003), menyatakan bahwa arus dan gelombang dapat membawa bakteri dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan menurut Kuswandi (2001) dalam

(29)

hujan sehingga kelimpahan bakteri akan semakin tinggi pada saat hujan. Keadaan yang demikian disebabkan oleh konsentrasi materi organik, perubahan salinitas, suhu maupun intensitas cahaya.

Ruyitno & Soeminarti (1994) dalam Manik dan Ristiati (2004), menyatakan bahwa derajat kematian kelompok bakteri coli yang berada di lingkungan laut maupun estuarin makin berkurang dengan naiknya salinitas, suhu maupun intensitas cahaya matahari. World Health Organization (1982) dalam Feliatra (2002), menyatakan bahwa bakteri kelompok coli mempunyai resistensi yang makin menurun pada salinitas yang tinggi. Buangan domestik merupakan terpenting terhadap densitas bakteri E. coli, hal ini dibuktikan dengan 1) tingginya densitas bakteri pada stasiun yang terdekat dengan aktivitas manusia dibandingkan dengan stasiun lainnya, dan 2) densitas bakteri lebih tinggi pada saat surut dari pada saat pasang. Pada saat surut pengaruh air tawar lebih dominan jika dibandingkan saat pasang.

4.3 Daya Tampung Sungai Kapuas

Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu badan air untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi tercemar. Bahan-bahan pencemar yang masuk ke perairan melalui sungai, oleh karena itu perhitungan nilai bahan pencemar dilakukan terhadap parameter-parameter kualitas perairan di sekitar aliran sungai. Beberapa parameter indikator pencemaran yang ditinjau untuk dilihat beban pencemar adalah TDS, TSS, Hg, Cl, Ammoniak, Pb, BOD dan COD (Tabel 10 - 13).

Penentuan daya tampung beban pencemaran dihitung dengan menggunakan metode neraca massa mengacu kepada Keputusan Men-LH No. 110 Tahun 2003. Perhitungan daya tampung pada Stasiun Muara Jungkat untuk TDS sebesar -222,75 mg/L atau setara -260,17 kg/bulan, TSS sebesar -199,75 mg/L atau setara -233,31 kg/bulan, serta Hg sebesar -22,36 mg/L atau setara -30 kg/bulan. Konsentrasi BOD dan COD untuk setiap stasiun pengamatan menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan air sungai untuk menerima masukan pencemar sudah tidak ada

(30)

Daya tampung TDS, TSS pada Stasiun Muara Jungkat bernilai negatif jika dibandingkan dengan baku mutu Kelas I, hal ini dikarenakan Muara Jungkat merupakan daerah yang paling hilir dari Sungai Kapuas dimana pada daerah ini merupakan tempat bertemunya muara air sehingga terjadi akumulasi ion-ion terlarut dari akibat buang limbah cair yang berada pada daerah hulu Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Daya tampung Hg, BOD dan COD jika dibandingkan dengan baku mutu Kelas I, dan II bernilai negatif (Tabel 10-13).

4.4 Status Mutu Air Sungai Kapuas di Kota Pontianak

Pengukuran status mutu air Sungai Kapuas dilakukan dengan menggunakan metode STORET ( Storage and Retrieval). Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Lampiran 4 menunjukkan bahwa penentuan Status Mutu IKA-STORET (Indeks Kualitas Air-Storage and Retrieval) air Sungai Kapuas di Kota Pontianak dilakukan pada lima stasiun pengamatan yaitu Stasiun Muara Jungkat, TPI, Korem, Simpang Sungai Landak Hilir, dan Sudarso. Hasilnya dibandingkan dengan standar baku mutu yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan indeks ini adalah dan baku mutu air Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan Kelas IV (berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001). Adapun parameter yang digunakan dalam perhitungan IKA-STORET dalam penelitian ini adalah berjumlah 14 parameter, yaitu: pH, TDS, TSS, Suhu, DHL, Hg, Cl, BOD, COD, Nitrit, Ammoniak, Pb, Fenol dan Fecal Coliform.

(31)

5

1

Tabel 10 Daya tampung perhitungan konsentrasi (mg/L) dan beban (kg/bulan) Sungai Kapuas untuk baku mutu Kelas I

KONSENTRASI (mg/l) BEBAN (kg/bln)

No. Parameter Satuan

Baku Mutu

Kls. I Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang

Landak Hilir SUDARSO

Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang

Landak Hilir Sudarso

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 FISIKA 1 TDS mg/L 1000 -222,75 962,5 979,5 973,5 976,25 -260,17 850,88 693,49 774,92 843,46 2 TSS mg/L 50 -199,75 32,5 34,5 24,25 30,75 -233,31 28,73 24,43 19,30 26,57 KIMIA AN ORGANIK 3 Hg ppb 1 -22,36 -24,57 -15,41 -19,61 -26,01 -30 -20 -10 -20 -20 4 Cl mg/L 600 421,25 580 588,75 580 585 492,02 512,74 416,84 461,69 505,43 5 Nitrit sebagai N mg/L 0.06 0,0415 0,04325 0,0475 0,0365 0,045 0,05 0,04 0,03 0,03 0,04 6 Amonia mg/L 0.5 -0,48 0,2 0,075 -0,012 0,175 -0,56 0,18 0,05 -0,01 0,15 7 Pb mg/L 0.03 0,029 0,02875 0.029 0,029 0,02875 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 8 BOD mg/L 2 -1,99 -1,545 -1,0625 -1,545 -1,25 -2,32 -1,37 -0,75 -1,23 -1,08 9 COD mg/L 10 -15 -5 -8,75 -11,25 -14 -17,52 -4,42 -6,20 -8,96 -12,10 Ket :

Konsentrasi Daya Tampung (mg/L) = Konsentrasi Baku Mutu Kelas ke –i - Konsentrasi parameter ke –i (persamaan 1) Beban Daya Tampung (kg/bulan) = Konsentrasi Daya Tampung ( mg/L) x debit sungai (m3/s) (persamaan 2)

(32)

5

2

KONSENTRASI (mg/l) BEBAN (kg/bln)

No. Parameter Satuan

Baku Mutu

Kls. II Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak

Hilir

Sudarso Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak Hilir Sudarso 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 FISIKA 1 TDS mg/L 1000 -222,75 962,5 979,5 973,5 976,25 -260,173 850,879 693,491 774,916 843,459 2 TSS mg/L 50 -199,75 32,5 34,5 24,25 30,75 -233,309 28,731 24,426 19,303 26,567 KIMIA AN ORGANIK 3 Hg ppb 2 -21,36 -23,57 -14,41 -18,61 -25,01 -25 -21 -10 -15 -22 4 Cl mg/L (-) - - - - 5 Nitrit sebagai N mg/L 0.06 0,0415 0,04325 0,0475 0,0365 0,045 0,048 0,038 0,034 0,029 0,039 6 Amonia mg/L (-) - - - - 7 Pb mg/L 0.03 0,029 0,02875 0,029 0,029 0,02875 0,034 0,025 0,021 0,023 0,025 8 BOD mg/L 3 -0,99 -0,545 -0,0625 -0,545 -0,25 -1,156 -0,482 -0,044 -0,434 -0,216 9 COD mg/L 25 0 10 6,25 3,75 1 0,000 8,840 4,425 2,985 0,864 Ket :

Konsentrasi Daya Tampung (mg/L) = Konsentrasi Baku Mutu Kelas ke –i - Konsentrasi parameter ke –i (persamaan 1) Beban Daya Tampung (kg/bulan) = Konsentrasi Daya Tampung ( mg/L) x debit sungai (m3/s) (persamaan 2)

(33)

5

3

KONSENTRASI (mg/L) BEBAN (kg/bln)

No. Parameter Satuan

Baku Mutu

Kls. III Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak

Hilir

Sudarso Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak Hilir Sudarso 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 FISIKA 1 TDS mg/L 1000 -222,75 962,5 979,5 973,5 976,25 -260,173 850,879 693,491 774,916 843,459 2 TSS mg/L 400 150,25 382,5 384,5 374,25 380,75 175,493 338,142 272,228 297,907 328,960 KIMIA AN ORGANIK 3 Hg ppb 2 -21,36 -23,57 -14,41 -18,61 -25,01 -25 -21 -10 -15 -22 4 Cl mg/L (-) - - - - 5 Nitrit sebagai N mg/L 0.06 0,0415 0,04325 0,0475 0,0365 0,045 0,048 0,038 0,034 0,029 0,039 6 Amonia mg/L (-) - - - - 7 Pb mg/L 0.03 0,029 0,02875 0,029 0,029 0,02875 0,034 0,025 0,021 0,023 0,025 8 BOD mg/L 6 2,01 2,455 2.9375 2,455 2,75 2,348 2,170 2,080 1,954 2,376 9 COD mg/L 50 25 35 31,25 28,75 26 29,200 30,941 22,125 22,885 22,463 Ket :

Konsentrasi Daya Tampung (mg/L) = Konsentrasi Baku Mutu Kelas ke –i - Konsentrasi parameter ke –i (persamaan 1) Beban Daya Tampung (kg/bulan) = Konsentrasi Daya Tampung ( mg/L) x debit sungai (m3/s) (persamaan 2)

(34)

5

4

KONSENTRASI (mg/L) BEBAN (kg/bln)

No. Parameter Satuan

Baku Mutu

Kls. IV Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak

Hilir

Sudarso Muara

Jungkat TPI Korem

Simpang Landak Hilir Sudarso 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 FISIKA 1 TDS mg/L 2000 777,25 1962,5 1979,5 1973,5 1976,25 907,832 1734,910 1401,496 1570,927 1707,437 2 TSS mg/L 400 150,25 382,5 384,5 374,25 380,75 175,493 338,142 272,228 297,907 328,960 KIMIA AN ORGANIK 3 Hg ppb 5 -18,36 -20,57 -11,41 -15,61 -22,01 -21 -18 -8 -12 -19 4 Cl mg/L (-) - - - - 5 Nitrit sebagai N mg/L (-) - - - - 6 Amonia mg/L (-) - - - - 7 Pb mg/L 1 0,999 0,99875 0,999 0,999 0,99875 1,167 0,883 0,707 0,795 0,863 8 BOD mg/L 12 8,01 8,455 8,9375 8,455 8,75 9,356 7,474 6,328 6,730 7,560 9 COD mg/L 100 75 85 81,25 78,75 76 87,600 75,143 57,525 62,686 65,662 Ket :

Konsentrasi Daya Tampung (mg/L) = Konsentrasi Baku Mutu Kelas ke –i - Konsentrasi parameter ke –i ( persamaan 1) Beban Daya Tampung (kg/bulan) = Konsentrasi Daya Tampung (mg/L) x debit sungai (m3/s) ( persamaan 2)

(35)

Tabel 14 menunjukkan bahwa skor IKA-STORET yang dihitung berdasarkan ke lima standar baku mutu yang digunakan menunjukkan nilai yang berfluktuasi dari hulu ke hilir. Skor IKA-STORET yang dihitung berdasarkan baku mutu Kelas I menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Kapuas pada seluruh stasiun tergolong cemar berat. Skor IKA-STORET yang di hitung berdasarkan baku mutu Kelas II menunjukkan bahwa status mutu air sungai pada Stasiun Muara Jungkat, TPI, Simpang Sungai Landak Hilir, dan Sudarso tergolong cemar berat, sedangkan untuk Stasiun Depan Korem tergolong sedang (cemar sedang).

Skor IKA-STORET yang dihitung berdasarkan baku mutu Kelas III menunjukkan bahwa status mutu air Sungai Kapuas tergolong cemar berat pada Stasiun Muara Jungkat, TPI dan Sudarso. Untuk Stasiun Korem dan Simpang Sungai Landak Hilir tergolong sedang (cemar sedang). Skor IKA-STORET yang di hitung berdasarkan baku mutu Kelas IV menunjukkan bahwa status mutu air sungai tergolong sedang (Stasiun Muara Jungkat, TPI, Korem dan Landak Hilir), sedangkan Stasiun Sudarso tergolong cemar berat.

Secara umum semakin rendah tingkatan kelas baku mutu semakin besar skor IKA-STORET status mutu air semakin mengarah ke baik, hal ini dikarenakan nilai-nilai baku mutu yang ditetapkan semakin longgar. Berdasarkan baku mutu Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, skor perhitungan IKA-STORET terendah terdapat pada Stasiun Muara Jungkat dan Sudarso, sedangkan berdasarkan baku mutu Kelas IV skor tertinggi terdapat pada Simpang Sungai Landak Hilir namun nilai terendah terdapat pada Stasiun Sudarso.

Skor hasil perhitungan IKA-STORET terendah ditemukan pada Stasiun Muara Jungkat dan Sudarso. Hal ini diduga karena pada stasiun tersebut terjadi akumulasi bahan pencemar dari daerah hulunya, mengingat pada daerah hulu dekat stasiun tersebut banyak terdapat kegiatan industri. Selain itu di sekitar Stasiun Sudarso tersebut juga terdapat pemukiman, kegiatan industri, kegiatan domestik dan kegiatan perkotaan.

(36)

Tabel 14 Nilai status mutu IKA-STORET air Sungai Kapuas di Kota Pontianak

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

No. Stasiun

Sampling Parameter yang tidak memenuhi Skor Parameter yang tidak memenuhi Skor Parameter yang tidak memenuhi Skor Parameter yang tidak memenuhi Skor 1. Muara Jungkat TDS,TSS, Hg, Cl, BOD, COD, Fecal Coliform & Total Coli -67 (TB) TDS,TSS, Hg, Cl, BOD,COD, Fecal Coliform & Total Coli -52 (TB) TDS,TSS, Hg, Cl, BOD, Fecal Coliform & Total Coli -35 (TB) TDS,TSS, Hg, Cl, Fecal Coliform -30 (TS) 2. TPI TSS,Hg, Cl, BOD, COD & Fecal Coliform -49 (TB) TSS,Hg, Cl, BOD,COD & Fecal Coliform -39 (TB) Hg, Cl, BOD & Fecal Coliform -32 (TB) Hg, Cl & Fecal Coliform -30 (TS) 3. Korem Hg, Cl, BOD, COD & Fecal Coliform -46 (TB) Hg, Cl, BOD, COD, & Fecal Coliform -36 (TB) Hg,Cl & Fecal Coliform -26 (TS) Hg, Cl & Fecal Coliform -26 (TS) 4. Landak Hilir Hg, Cl,Amonia, BOD, COD -50 (TB) Hg, Cl, BOD & COD -32 (TB) Hg & Cl -20 (TS) Hg & Cl -20 (TS) 5. Sudarso Hg, Cl, Amonia, BOD, COD, Fecal Coliform & Total Coli -68 (TB) Hg, Cl, BOD, COD, Fecal Coliform & Total Coli -54 (TB) Hg,Cl , Fecal Coliform & Total Coli -44 (TB) Hg, Cl, Fecal Coliform & Total Coli -44 (TB) Ket:

Kelas I : baik sekali, skor = 0 ( memenuhi baku mutu) : Kelas II, baik, skor = -1 s/d -10 ( Tercemar ringan/TS) Kelas III, sedang, skor = -11 s/d -30 ( Tercemar sedang/TS) : Kelas IV, buruk, skor ≥ -31 (Tercemar berat/TB)

4. 5 Kajian Pencemaran Limbah cair Industri.

4.5.1 Kualitas limbah cair

Kualitas effluent limbah cair industri karet yang terdapat pada air Sungai

Kapuas, berdasarkan hasil analisis diketahui rata-rata untuk parameter BOD5

(72,223 mg/L), COD (40 mg/L) dan TSS ( 17 mg/L) seperti tertera pada Tabel 15. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, hasil kualitas effluen limbah dari kegiatan industri yang bermuara di Sungai Kapuas berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Adapun baku mutu limbah cair industri untuk parameter BOD5 ( 60 mg/L), COD ( 200 mg/L) dan TSS ( 100 mg/L).

(37)

Tabel 15 Karakteristik limbah cair industri yang ada di sepanjang Sungai Kapuas di Kota Pontianak

Effluen (mg/L)

NO. Nama Perusahaan Q (m3/bulan)

BOD 5 COD TSS

1. PT. Giat Usaha Dieng 372 15,44 50,21 20,68

2. PT.Hok Tong 1692 164,29 106,35 33,58

3. PT. Sumber Alam 34 31,97 89,78 87,18

4. PT.Sumber Djantin 17 10,74 42,55 18,83

Jumlah 2117

Sumber data: Kantor Bapedal Kota Pontianak,2007 4.5.2 Beban Pencemaran Limbah Cair

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Pontianak (Bapedalda Kota Pontianak, 2007), menunjukkan debit rata-rata limbah cair yang dikeluarkan oleh industri karet yang berada di sepanjang Sungai Kapuas di Kota Pontianak sebanyak 529 m3/ bulan. Hasil perhitungan diketahui rata-rata konsentrasi pencemaran industri karet untuk BOD5 (17,51 Kg/bulan), COD

(56,823 Kg/bulan) dan TSS (19,38 Kg/bulan) yang dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa konsentrasi polutan limbah cair industri tertinggi pada perusahaan PT. Hok Tong dimana nilai BOD5 sebesar 63,33 Kg/bulan, COD sebesar 197,35 Kg/bulan dan TSS sebesar 63,15 Kg/bulan.

Rata-rata konsentrasi masukan polutan ke badan Sungai Kapuas yang berasal dari industri karet masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan (KepMenLH No. 51 Tahun 1991). Sedangkan konsentrasi BOD, COD dan TSS dari hasil analisis yang dilakukan telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan (PP No. 82 Tahun 2001). Hal ini menunjukkan adanya masukan bahan pencemar dari sumber-sumber lainnya, selain dari industri.

Tabel 16 Beban pencemaran limbah cair industri yang ada di sepanjang Sungai Kapuas di Kota Pontianak

Beban ( Kg/bulan)

NO. Nama Perusahaan Q (m3/bulan)

BOD 5 COD TSS

1. PT. Giat Usaha Dieng 372 5,06 25,04 10,34

2. PT.Hok Tong 1692 63,33 197,35 63,15

3. PT. Sumber Alam 34 1,33 3,82 3,53

4. PT.Sumber Djantin 17 0,32 1,08 0,50

Rata-Rata 529 17,51 56,823 19,38

(38)

4.5.3. Debit aliran sungai

Pengukuran debit air Sungai Kapuas pada saat penelitian di lima titik pengambilan sampel air Sungai Kapuas diketahui bahwa debit air yang nilainya tertinggi sebesar 2556 m3/detik dan debit terendah sebesar 600 m3/detik (Gambar 13). Debit limbah cair terbesar terdapat pada perusahaan PT. Hok Tong (1.692 m3/bulan) dan debit limbah cair terendah terdapat pada PT. Sumber Djantin (17 m3/bulan). Debit limbah cair total yang dikeluarkan oleh kegiatan industri di sepanjang Sungai Kapuas di Kota Pontianak adalah sebesar 2.117 m3/bulan.

Gambar 13 Hasil pengukuran debit Sungai Kapuas (m3/detik).

Debit limbah cair total yang dikeluarkan oleh kegiatan industri ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan besarnya debit air pada badan air penerima. Menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Pontianak kualitas effluent dan beban pencemaran limbah cair yang dikeluarkan ke badan sungai masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri), sedangkan kondisi mutu Sungai Kapuas dalam keadaan tercemar.

Melihat kondisi ini maka diperlukan suatu strategi pengelolaan sumberdaya air yang harus diarahkan kepada pelestarian atau peningkatan daya dukung Sungai Kapuas

2000 2222.3 2333.3 1066.7 933.3 866.67 600 1133.3 1422 1600 2556 2111.1 1333.3 1066.7 1688.9 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800

Muara Jungkat TPI Korem Landak Hilir Sudarso

Stasiun Pengamatan D e b it S u n g a i (m 3 /d e ti k )

(39)

tersebut. Hasil analisis penelitian air Sungai Kapuas menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Kapuas mengalami penurunan sehingga diperlukan suatu upaya mempertahankan fungsi air dari segi ekologi, ekonomi dan sosial.

Gambar

Gambar 3   Peta kondisi administrasi di kawasan Sungai Kapuas
Tabel  4        Kecamatan  dan    kelurahan  di  Kota  Pontianak  yang  berada  di  tepian  Sungai Kapuas  Luas   Panjang  No Kecamatan/ Kelurahan  (km 2  )  (%)  Sungai  Kapuas/Landak  (km)  (%)  1
Tabel  5    Kepadatan penduduk berdasarkan Luas (km 2 )  No  Kecamatan/Keluraha n  Luas (km 2 )  Jumlah  penduduk  Kepadatan (jiwa/km2)  1
Tabel 6    Data iklim Kota Pontianak Tahun 1995-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

, TSS, dan Hg telah melampaui ambang batas KMA kelas 1 sebagai sumber air baku air minum. Hal tersebut juga mengindikasikan, bahwa pencemaran bahan organik dari limbah industri

mendiskripsikan kondisi Sungai Gede yaitu dengan membandingkan hasil pengujian laboratorium dan hasil perhitungan daya tampung dengan baku mutu standart kelas II

Pada bagian timur dari lintasan D dari hasil penampang D-D’ juga terdapat nilai suseptibilitas kecil yaitu bernilai negatif diindikasi pada daerah sekitar batuan

Dari hasil simulasi daya tampung beban cemaran BOD pada debit maksimum yang dibandingkan dengan baku mutu BOD PP Nomor 82 Tahun 2001 didapatkan bahwa Sungai

Pada stasiun 1 yang dibandingkan dengan baku mutu kelas 1 sebagai air baku air minum, ternyata termasuk kedalam tercemar sedang, hal ini dapat diduga pencemaran

(2) Apabila hasil analisis penetapan daya tampung beban pencemaran menunjukkan bahwa penerapan baku mutu air limbah yang telah ditetapkan menyebabkan daya tampung

Gambar 22 menunjukkan bahwa kepadatan makrozoobentos pada setiap ulangan pengamatan terbanyak di stasiun 1 ulangan ke 3 yang nilainya sangat bervariasi dibandingkan dengan ulangan

Harga bahan baku untuk media fermentasi dari ekstrak jagung dan ekstrak mengkudu merupakan produk pertanian yang memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan harga bahan baku