• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ONAN RUNGGU. atas permukaan laut. Wilayah Onan Runggu memiliki luas sekitar 60,89 Km 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ONAN RUNGGU. atas permukaan laut. Wilayah Onan Runggu memiliki luas sekitar 60,89 Km 2"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ONAN RUNGGU

2.1 Letak Geografis

Onan Runggu adalah satu wilayah di Kabupaten Samosir yang terletak diantara

2o 26’ – 2o 33’ LU dan 98o 54’ – 99o 01’ BT dengan ketinggian 904 – 1.355 meter di

atas permukaan laut. Wilayah Onan Runggu memiliki luas sekitar 60,89 Km2

sedangkan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo.

2. Sebelah Selatan : Danau Toba.

3. Sebelah Barat : Kecamatan Nainggolan.

4. Sebelah Timur : Danau Toba.11

Daerah Onan Runggu adalah daerah dengan kondisi tanah yang lebih menguntungkan dibanding dengan kecamatan tetangganya seperti Simanindo, Pangururan dan daerah Palipi. Hal ini dipengaruhi oleh lebih banyaknya curah hujan dalam satu tahunnya. Selain itu lahan pertanian yang ada jumlahnya juga lebih banyak di daerah tersebut sebab Kecamatan Onan Runggu merupakan daerah yang landai sehingga sangat mudah untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

11 Pemda Tingkat II Tapanuli Utara Kantor Sensus dan Statistik Tarutung, Onan Runggu Dalam

(2)

TABEL I

Curah Hujan Rata-Rata Di Beberapa Daerah Di Samosir

No. Tempat Observasi Angka Tahun

Rata-rata Jumlah Hari Hujan Rata-rata Jumlah Curah Hujan 1. Onan Runggu 1921 – 1941 116,8 1.914 2. Pangururan 1908 – 1941 109,9 1.500 3. Ambarita 1918 – 1941 103,3 1.747 4. Palipi 1921 – 1941 132,5 1.770

Sumber: OHS Purba, 1998 : 46

Dari hasil pemantauan beberapa stasiun pencatat hujan ternyata curah hujan di Samosir bervariasi dari bulan ke bulan. Pada umumnya curah hujan terkecil jatuh pada bulan Juni-Juli dan terbesar jatuh pada Oktober, November dan Desember. Jumlah curah hujan bervariasi dari 1500 mm sampai 3000 mm per tahun dan hari hujan rata-rata antara 100 hari sampai 200 hari per tahun. Jumlah curah hujan terendah terdapat di daerah Pangururan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1 di atas.

2.2 Keadaan Alam dan Penduduk

Lahan yang terdapat di Kecamatan Onan Runggu adalah 300 ha dimanfaatkan untuk sawah dan 562 ha berupa lahan kering sedangkan 5.052 ha merupakan lahan

(3)

lainnya. Lahan lainnya yang dimaksudkan adalah berupa pemukiman penduduk dan

lahan kosong yang masih belum dimanfaatkan oleh masyarakat.12

TABEL II

Pertumbuhan Penduduk Pulau Samosir Tahun 1930 – 1961

No Kecamatan 1930 1961 Pertumbuhan 1930 – 1961 1 Onan Runggu 21.284 25.130 0.54 2 Palipi 21.982 17.711 -0..69 3 Pangururan 21.934 32.015 1.23 4 Simanindo 21.789 19.426 -0.37

Sumber: Pemda Tk II Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Dalam Angka 1980,

Tarutung: Kantor Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, hlm 24. Jumlah penduduk Onan Runggu seperti yang ditunjukkan dalam tebel di atas adalah 21.284 jiwa pada tahun 1930 dan 25.130 jiwa pada tahun 1961. Pertumbu nhan julah penduduk di Onan Runggu memang tidak begitu tinggi jumlahnya hanya 0.54, namun jumlah ini tergolong lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitar Onan Runggu seperti Palipi dan juga Simanindo.

Masyarakat Samosir khususnya Onan Runggu pada periode pra-kolonial merupakan kelompok terpencil. Alamnya merupakan daerah perbukitan tanpa jalan keluar. Keadaan ini tentu saja membuat masyarakat Onan Runggu menjadi terisolasi. Menurut beberapa ahli antropologi dan sosiologi, latar belakang daerah ini menyebabkan masyarakat setempat tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar,

12 Ketut Wiradnyana dan Lucas Partanda Koestoro, Berita Penelitian Arkeologi, Medan: Dok.

(4)

bersifat eksklusif dan berjiwa keras, serta berjiwa independen. Mereka sesungguhnya

cenderung bersifat heterogen dibanding homogen. Hal ini terlihat dari ragam kesatuan

yang dimiliki oleh penduduk setempat, mulai dari banyaknya marga sampai dengan

pemisahan huta. Akibatnya antara satu huta dengan huta lain akan merasa berbeda,

misalnya huta Sosor Pasir akan menganggap lain huta Sitinjak, dan huta Sipira akan

menganggap lain huta Nainggolan walaupun hanya berjarak ratusan meter.

Ditambah lagi pada masa itu belum adanya suatu kesatuan ataupun rasa persatuan seperti yang ada setelah masa kemerdekaan. Sehingga mereka beranggapan orang-orang yang berada di luar wilayah mereka adalah orang lain ataupun kelompok lain yang benar-benar berbeda dengan mereka, hanya bahasa saja yang sama yaitu bahasa Batak.

Setiap huta mempuyai raja huta. Setiap huta ditandai dengan satu marga

pemilik huta, yang pada akhirnya menciptakan sifat harga diri yang tinggi sebagai

keturunan raja. Dari aspek sosiologis setiap huta biasanya tidak mempunyai

hubungan yang dekat karena ketertutupan lingkungan serta ketiadaan jalan yang

memadai antar huta. Hal inilah yang turut menciptakan keeksklusifan tersendiri bagi

penduduk setempat. Alhasil muncullah istilah yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan raja-raja Toba. Walaupun satu desa dengan desa lain saling berdekatan,

bahkan hanya berjarak hanya puluhan meter, tidak jarang antar kampung (huta)

terjadi konflik yang bahkan menjadi konflik turun temurun.

Dalam kampung masyarakat Toba di Samosir khususnya Onan Runggu,

mempunyai ciri yang sama dalam membangun sebuah kampung atau huta yaitu

(5)

rumpun-rumpun bambu yang ditanam secara berbaris sesuai dengan batas tanah marga atau

huta. Pagar-pagar ini selain berfungsi sebagai pembatas antar huta juga berfungsi

sebagai benteng pertahanan dari musuh-musuh. Masa sebelum datangnya peradaban Barat ke tanah Toba masyarakat selalu berkonflik merebut tanah untuk perluasan kampung, areal pertanian maupun hanya untuk memperluas wilayah kekuasaan raja. Dalam kebudayaan Toba kuno daerah siapa yang kuat maka merekalah yang berkuasa

atas tanah tersebut. Hal ini merupakan bagian dari sebuah perilaku primus interparis.

Namun setelah pengaruh zending masuk ke daerah Samosir, konflik tersebut berangsur-angsur mereda.

Daerah Onan Runggu merupakan daerah yang sangat berbeda dengan desa-desa tetangganya. Daerah Onan Runggu merupakan daerah yang memiliki banyak mata air sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Pada awalnya bentuk pertanian di daerah ini adalah bersawah. Hal ini karena didukung oleh aliran sungai yang bemuara ke danau sehingga aliran sungai tersebut dapat digunakan sebagai irigasi. Lambat laun pengetahuan masyarakat semakin bertambah dan lahan pertanian juga dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman lain seperti bawang, kacang, pisang, dan cabai.

Selain sektor pertanian usaha yang banyak dijumpai dalam masyarakat Onan

Runggu yaitu menenun ulos dan menganyam tikar. Kedua hal ini dilakukan oleh

ibu-ibu disela-sela waktu sebelum panen atau baru menanam padi. Kegiatan tersebut tidak dilakukan di dalam rumah masing-masing melainkan di sebuah tempat yang sudah disediakan dan biasanya posisi bangunan tersebut ada di tengah-tengah kampung dengan bentuk lantai tanah dan atap yang terbuat dari jerami ataupun ijuk.

(6)

Bangunan ini tidak memakai dinding ataupun penyekat sehingga sangat terbuka dan

sejuk yang dalam bahasa Toba disebut partukkoan. Kegiatan ini dilakukan hingga

menjelang malam hari di mana mereka hanya diterangi lampu-lampu yang bentuknya seperti obor.

Selain sebagai kegiatan ibu-ibu rumah tangga, kegiatan ini juga berfungsi untuk pengajaran bagi anak-anak perempuan sehingga ilmu menganyam dan menenun dapat diajarkan secara turun temurun. Ini merupakan bentuk pendidikan tradisional dalam masyarakat Toba yaitu dengan cara terjun langsung dalam praktek. Sedangkan untuk anak laki-laki, pengajaran untuk mereka lebih condong terhadap hal-hal yang lebih keras seperti mengolah lahan pertanian untuk nafkah sehari-hari sehingga konsep untuk anak laki-laki lebih tergambar sebagai tulang punggung keluarga. Masyarakat

Onan Runggu menggunakan ulos yang ditenun sebagai pelapis tubuh atau pakaian,

sedangkan tikar tersebut selain digunakan untuk keperluan rumah tangga juga untuk dijual dipekan mingguan untuk menambah pendapatan mereka.

Masyarakat Onan Runggu juga dikenal dengan ternaknya seperti kerbau, babi dan ayam. Kegiatan memelihara kerbau merupakan kegiatan yang sangat mudah dilakoni sebab kerbau-kerbau tersebut dapat dilepaskan di ladang-ladang rumput yang banyak terdapat di Onan Runggu. Kegiatan menggembala kerbau ini disebut

marmahan sehingga pada siang hari ladang rumput tersebut akan dipenuhi

kerbau-kerbau yang merumput. Sebenarnya usaha peternakan kerbau-kerbau sudah ada sejak lama sehingga terkadang kita dapat menemui kandang-kandang besar yang dimanfaatkan

(7)

Ternak seperti babi dan ayam merupakan ternak rumahan yang harus diurus di pekarangan belakang rumah sehingga tidak dapat dilepas seperti halnya kerbau. Kerbau dan babi merupakan ternak wajib yang harus dimiliki oleh setiap keluarga karena ternak ini sangat penting dalam upacara adat istiadat dan merupakan tabungan keluarga yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang mendesak seperti untuk perobatan keluarga. Tidak jarang juga ternak-ternak masyarakat dijual untuk menambah pendapatan keluarga.

Tentang sistem religi penduduknya, masih terdapat berbagai macam kepercayaan. Para missionaris Eropa telah melakukan penginjilan sebelum abad ke-20 akan tetapi tidaklah sepenuhnya berhasil. Para penduduk yang berdiam di pedalaman masih banyak menganut kepercayaan Batak Toba tua. Di samping kepercayaan kuno animisme dan dinamisme, dalam masyarakat Toba terdapat juga

kepercayaan parbaringin dan parmalim.

Kepercayaan parbaringin merupakan milik kelompok tertentu. Kelompok ini

merupakan pimpinan suatu upacara pada pesta bius yang bersifat sakral. Bius itu

sendiri hanyalah suatu daerah geografis baik yang besar maupun yang kecil, serta semua penghuninya. Hal ini berawal dari pembagian Harajaon Batak bagi Raja

Marempat. Akibat pembagian ini raja-raja daerah tidak memiliki hak mutlak di

daerahnya dan wilayah Raja Marempat yang kecil itulah yang disebut bius. Bius juga

dapat diartikan sebagai suatu wilayah pemerintahan yang bersatu dengan agama dan adat.13

13 J.C Vergowen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 1986, hlm. 82

Tidak semua anggota masyarakat dapat menjadi kelompok parbaringin.

(8)

bius. Mereka merupakan utusan dari tiap-tiap horja yang termasuk dalam kelompok bius.

Kepercayaan lain yang dianut oleh penduduk Onan Runggu dan cukup

berpengaruh adalah Parmalim. Parmalim atau kepercayaan ugamo malim adalah

kepercayaan yang dianut oleh para leluhur suku Batak. Parmalim merupakan

identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut ugamo malim. Parmalim

meyakini Debata Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Nabi di

parmalim disebut Nabi Ugamo Malim yaitu Sisingamangaraja.14

Selain kepercayaan tersebut di atas, pengaruh zending Kristen menyebabkan timbulnya agama baru. Lahirnya agama Kristen Protestan merupakan salah satu pengaruhnya. Belakangan Missionaris Katholik mengadakan penginjilan di daerah Toba pada tahun 1933 dan ini melahirkan agama Kristen Katholik. Agama Kristen Katholik inilah yang kemudian memberikan dampak yang cukup berarti bagi masyarakat Onan Runggu. Baik dalam bidang sosial kemasyarakatan ataupun dalam bidang perekonomian.

Kedatangan agama Kristen memberikan dampak yang cukup baik terhadap perkembangan pola pikir masyarakat. Bagaimanapun agama Kristen yang dibawa oleh bangsa Barat ke daerah Samosir tidak hanya sekedar menyebarkan agama Kristen itu sendiri yang dalam hal ini adalah Kristen Katholik. Penginjilan yang dilakukan oleh para missionaris Kristen Katholik secara tidak langsung melahirkan proses perubahan dari konsep pemikiran tradisional menjadi modern. Transportasi air yang selama ini menjadi faktor penting penunjang perekonomian masyarakat di

(9)

daerah Samosir benar-benar mengalami perubahan besar semenjak digunakannya kapal motor oleh para missionaris Kristen Katholik dalam melakukan penginjilan. Sebenarnya cukup banyak aspek yang berubah semenjak digunakannya kapal motor di daerah Samosir. Perubahan yang terjadi mungkin porsinya lebih terlihat di bidang ekonomi. Namun yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini adalah perubahan dibidang ekonomi sebab yang terlihat nyata perubahannya dalam mayarakat Onan Runggu adalah dibidang ekonomi.

Gambar

TABEL II

Referensi

Dokumen terkait

PANITIA PENGADAAN PEKERJAAN KO PENGADAAN BARANG SELAKU KELO PEKERJAAN JALAN DAN JEMBATAN PROVI PADA BALAI PELAKSANA TEKNIS BINA MARGA. DANA APBD TAHUN

Surat undangan ini akan ditempatkan dalam pojok berita website LPSE Propinsi Jawa Tengah, oleh karenanya Panitia Pengadaan tidak dapat menerima dalih Saudara tidak dapat hadir

Kegiatan Pendampingan Kegiatan DAK Infrastruktur Irigasi Pekerjaan Paket 24 Rehabilitasi Sarana Irigasi DI Gunden Ds Balak Kec Cawas.

Surat undangan ini ditempatkan dalam pojok berita website LPSE Propinsi Jawa Tengah, oleh karenanya Panitia Pengadaan tidak dapat menerima dalih Saudara tidak dapat

Peserta yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 170 (seratus tujuh puluh orang); c. Peserta yang tidak memenuhi syarat {TMS) sebanyak 12 (dua belas) orangM. Demikian

4.1 Mempraktikkan pola gerak dasar lokomotor sesuai dengan dimensi anggota tubuh yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan dan usaha, dalam

“minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau

Konsep tentang fotosintesis yang hanya dapat terjadi pada tumbuhan memiliki efek berantai terhadap konsep lain yang berhubungan, misalnya adanya klorofil adalah