PERANAN
JOB INVOLVEMENT
DAN
WORK VALUE
TERHADAP
KESIAPAN BERUBAH PADA KARYAWAN
PT. INALUM (PERSERO)
(The Role ofJobInvolvementandWorkValue Toward Employees ReadinessforChange at PT.Inalum)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi
Oleh
Mestika Retina Tampubolon 127029010
MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
Nama : Mestika Retina Tampubolon
Nim : 127029010
Kekhususan : Psikologi Industri dan Organisasi
Judul Tesis : Peranan Job Involvement dan Work Value terhadap Kesiapan Berubah pada Karyawan PT.Inalum (Persero)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Universitas Sumatera Utara pada hari Januari 2014
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I/Penguji I :
(Zulkarnain, Ph.D, Psikolog) NIP. 19731214 200012 1 001
Pembimbing II/Penguji II :
(Vivi Gusrini Rahmadai Pohan, MA, M.Sc, Psikolog)
NIP. 19780816 200312 2 002
Penguji III :
(FerryNovliadi, M.Si)
NIP. 19741111 200604 1 001)
Medan 16 Januari 2015
Koordinator Program Dekan
Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Fakultas Psikologi USU Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis saya yang
berjudul “Peranan job involvement dan Work value terhadap Kesiapan Berubah
pada Karyawan PT.Inalum (Persero)” yang saya susun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister Psikologi Profesi
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara merupakan hasil karya saya
sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Medan. 16 Januari 2015.
Peranan Job Involvement dan Work Value terhadap Kesiapan Berubah pada Karyawan PT.Inalum (Persero)
Mestika Retina Tampubolon, Zulkarnain,Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
Abstrak
Kesiapan individu untuk berubah merupakan hal yang penting dalam keberhasilan
organisasi untuk melakukan perubahan. Apabila karyawan siap maka mereka akan
mampu mengikuti perubahan organisasi yang terjadi. Kesiapan karyawan untuk
berubah akan membawa dampak positif bagi perubahan organisasi. Ada berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan berubah pada karyawan diantaranya
job involvement dan work value. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peranan job involvement dan work value terhadap kesiapan berubah pada
karyawan PT. Inalum. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
kesiapan berubah, job involvement serta skala work value. Penelitian ini
melibatkan 302 karyawan PT.Inalum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peranan job involvement dan work value berpengaruh positif terhadap kesiapan
berubah pada karyawan PT. Inalum (R=0,165, R2
=0,149, F= 346.177; p<0.05).
Job involvement dan work value memberikan kontribusi terhadap kesiapan
berubah sebesar 69,8% (R-square=0.698). Implikasi dari penelitian ini diharapkan
kepada pihak manajemen agar dapat mempertahankan pemahaman akan nilai-nilai
dan tujuan organisasi serta melibatkan karyawan dalam membuat keputusan
organisasi.
.
The Role of Job Involvement and Work Value Toward Employees Readiness for Change at PT. Inalum
Mestika Retina Tampubolon, Zulkarnain, Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
Abstract
Employee readiness for change is essential in the success of organizational changes. If the employees are ready, they will be able to deal with the organizational changes. Employee readiness for change has a positive impact on organizational change. There are various factors can affect on employee readiness for change such as job involvement and work values. The purpose of this study is to identify and examine the role of job involvement and work value toward employee readiness for change at PT. INALUM. The instruments used in this study were scale of readiness for change, scale of job involvement and scale of work value. The study involved 302 employees PT.Inalum. The multiple reggresion analysis results showed that role of job involvement and work values influenced to employee readiness for change (R=0.165, R2=0.149, F = 346.177; p <0.05). Job involvement and work values positively influenced to employees readiness for change at PT.Inalum. Job involvement and work values contributed to increasing of employee readiness for change 69,8% (R-square=0.698). The implications of this study are expected to management in order to increasing the understanding of values and goals of the organization and also involve employees in organizational decision.
Untuk Suamiku, anak-anaku dan cucu-
cucuku ….. Tesis ini aku persembahkan
Walau tubuhku dihempas dengan badai waktu ….
Tapi semangatku tetap menderu …
Walau Panas gurun hidup membakar
wajahku ….
Ku tau ada mata air melimpah dijalanku …
Aku mulai dengan semangat …
Dan aku jalani dengan airmata …
Entah apa maksud sang pemberi Hidup …
Dia menitipkan duri pada hidupku ….
Mungkin untuk mengingatkan aku …
Bahwa aku Ibu istimewa bagi
keluargaku….
Disaat aku
hancur ….. aku punya kekuatan untuk memperbaiki
Disaat aku
putus asa ….. aku punya kekuatan bangkit kembali
Disaat aku marah dan kecewa
…. Aku sanggup mencintai lagi ….
Perjalananku ini indah penuh suka dan duka bergelombang ...
Selayaknya sebuah pembuktian, bahwa hidup adalah perjuangan
…
Suatu saat nanti ku rindu mengenang ini semua dengan bahagia ..
Sambil menikmati Wine di S
antorini ,…
Sambil mengecap manisnya coklat Belgia, disaat musim semi
Sambil memandang indahnya Aurora di Nerwegia, di malam hari
Dan berdoa khusyuk di Jerusalem di saat sepi ….
Semoga ……
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Pengasih
atas berkat dan kasihNYA sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini dengan
judul “ Peranan job involvement dan work value terhadap Kesiapan Berubah pada
Karyawan PT.Inalum (Persero)”. Tesis ini diajukan dalam rangka memenuhi
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada suami Wilson F
Siagian, SE dan anak-anakku tercinta serta menantu Choky, SE, dr.Theresia,
Ivonne, S.Kom, Novita, B.Ba, William, Lami, SE, Bryan, MM Boby, ST, dan
teristimewa buat cucuku Raynard dan Cley, atas kasih sayang, pengertian,
dukungan, pengorbanan dan doa yang diberikan sehingga peneliti dapat melewati
semua tantangan dan rintangan dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog selaku Koordinator Program
3. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan, arahan, dan masukan untuk penyelesaian tesis
ini.
4. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, MA, M.Sc, Psikolog selaku dosen pembimbing II
dan Koordinator Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini
5. Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan
kritikan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Ibu Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, Psikolog selaku dosen penasehat akademik
peneliti yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada peneliti dalam
menyelesaikan pendidikan.
7. Seluruh dosen Magister Psikologi Profesi yang telah memberikan ilmu dan
pendidikan kepada peneliti selama mengikuti pendidikan Magister Psikologi
Profesi.
8. Seluruh pegawai sekretariat Magister Psikologi Profesi yang telah banyak
memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti selama mengikuti
pendidikan Magister Psikologi Profesi.
9. Manajement perusahaan PT.Inalum (Persero) yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian di lingkungan
perusahaan yang tersebut diatas.
10. Teman-teman seperjuangan di kekhususan PIO Arti, Techa, Dea, Dita, Helva,
Eka, Desta, Linda, Ika banyak canda dan air mata yany menjadi kenangan dan
tidak terlupakan. Demikian juga teman-teman MP2 Angkatan VII, Bu Quartini,
untuk kebersamaan kita selama pendidikan ini, banyak suka duka yang kita
lewati bersama.
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata peneliti berharap semoga Tuhan yang penuh Kasih berkenan
membalas segala kebaikan dan bantuan yang telah peneliti terima. Peneliti
menyadari keterbatasan diri, ilmu dan pengalaman sehingga tesis ini masih jauh
dari sempurna. Untuk itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya
membangun dari semua pihak demi kesempurnaannya. Harapan peneliti semoga
karya ini bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, 16 Januari 2015
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ………... . iii
ABSTRAK ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ……… ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Kerangka Berpikir ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Rumusan Masalah ………... 10
E. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesiapan Berubah ... 13
B. Job Involvement…….. ... 21
C. Work Value………... ... 26
D. Profil Perusahan ... 29
E. Pengaruh Job Involvement Terhadap Kesiapan Berubah... 32
F. Pengaruh Work Value Terhadap Kesiapan Berubah ... 35
G. Pengaruh Job Involvement Dan Work Value Terhadap Kesiapan Berubah ... 38
H. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41
C. Subyek Penelitian ... 44
D. Metode Pengumpulan Data... 44
BAB IV. HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 58
B. Uji Asumsi ……….. . 62
C. Uji Hipotesis ... 67
D. Interpretasi … ... 68
E. Hasil Penelitian ……….. .. 70
F. Pembahasan ... 76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……. ... 84
B. Saran ………..………….. ... 85
DAFTAR PUSTAKA 87
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Definisi Operasional Kesiapan Berubah... 42
Tabel 2. Definisi Operasional Dimensi Job Involvement... 42
Tabel 3. Definisi Operasional Work Value... 43
Tabel 4. Distribusi Item Skala Kesiapan Berubah... 46
Tabel 5. Distribusi Item Skala Job Involvement... 47
Tabel 6. Distribusi Item Skala Work Value... 48
Tabel 7. Distribusi Item Skala Kesiapan Berubah Setelah Uji Coba... 51
Tabel 8. Distribusi Item Skala Job Involvement Setelah Uji Coba... 51
Tabel 9. Distribusi Item Skala Work Value Setelah Uji Coba... 52
Tabel 10. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58
Tabel 11 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 59
Tabel 12 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jabatan ... 60
Tabel 13 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan ... 60
Tabel 14 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 61
Tabel 15 Hasil Uji Normalitas ... 62
Tabel 16 Hasil Uji Linieritas Job Involvement Dengan Kesiapan Berubah 63
Tabel 17 Hasil Uji Linieritas Work Value Dengan Kesiapan Berubah... 64
Tabel 18 HasilUji Multikolinieritas... 65
Tabel 19 Hasil Uji Autokorelasi ... 65
Tabel 20 Hasil Uji Heterokedastisitas ……… 66
Tabel 21 Hasil Uji Pengaruh Serempak (Uji-F) ... 67
Tabel 22 Hasil Uji-t Secara Parsial ... 68
Tabel 23 Hasil Uji Determinasi R... 69
Tabel 24 Norma Kategorisasi... 70
Tabel 25 Descriptive statistics Job Involvement... 71
Tabel 27 Kategorisasi Skor Job Involvement Subjek
Penelitian Berdasark Skor Hipotetik... 72
Tabel 28 Norma Kategorisasi ... 72
Tabel 29 Descriptive statistics Work Value... 73
Tabel 30 Deskriptif Skor Work Value Berdasarkan Nilai Empirik dan
Hipotetik ... 73
Tabel 31 Kategorisasi Skor Work Value Subjek Penelitian
Berdasarkan Skor Hipotetik ... 73
Tabel 32 Norma Kategorisasi... 74
Tabel 33 Descriptive statistics Kesiapan Berubah ... 74
Tabel 34 Deskriptif Skor Kesiapan Berubah Berdasarkan
Nilai Empirik dan Hipotetik ... 74
Tabel 35 Kategorisasi Skor Kesiapan Subjek
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
1. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data
2. Surat Izin Melaksanakan Penelitian
3. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
4. Surat Pemberitahuan Pengambilan Data di Lingkunagn Perusahaan
LAMPIRAN B
1. Alat Ukur Penelitian
2. Data Uji Coba Skala Job Involvement
3. Data Uji Coba Skala Work Value
4. Data Uji Coba Skala Kesiapan Berubah
5. Hasil Uji Coba
LAMPIRAN C
1. Data Hasil Penelitian
2. Uji Asumsi
3. Hasil Pengolahan Data.
Peranan Job Involvement dan Work Value terhadap Kesiapan Berubah pada Karyawan PT.Inalum (Persero)
Mestika Retina Tampubolon, Zulkarnain,Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
Abstrak
Kesiapan individu untuk berubah merupakan hal yang penting dalam keberhasilan
organisasi untuk melakukan perubahan. Apabila karyawan siap maka mereka akan
mampu mengikuti perubahan organisasi yang terjadi. Kesiapan karyawan untuk
berubah akan membawa dampak positif bagi perubahan organisasi. Ada berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan berubah pada karyawan diantaranya
job involvement dan work value. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peranan job involvement dan work value terhadap kesiapan berubah pada
karyawan PT. Inalum. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
kesiapan berubah, job involvement serta skala work value. Penelitian ini
melibatkan 302 karyawan PT.Inalum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peranan job involvement dan work value berpengaruh positif terhadap kesiapan
berubah pada karyawan PT. Inalum (R=0,165, R2
=0,149, F= 346.177; p<0.05).
Job involvement dan work value memberikan kontribusi terhadap kesiapan
berubah sebesar 69,8% (R-square=0.698). Implikasi dari penelitian ini diharapkan
kepada pihak manajemen agar dapat mempertahankan pemahaman akan nilai-nilai
dan tujuan organisasi serta melibatkan karyawan dalam membuat keputusan
organisasi.
.
The Role of Job Involvement and Work Value Toward Employees Readiness for Change at PT. Inalum
Mestika Retina Tampubolon, Zulkarnain, Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
Abstract
Employee readiness for change is essential in the success of organizational changes. If the employees are ready, they will be able to deal with the organizational changes. Employee readiness for change has a positive impact on organizational change. There are various factors can affect on employee readiness for change such as job involvement and work values. The purpose of this study is to identify and examine the role of job involvement and work value toward employee readiness for change at PT. INALUM. The instruments used in this study were scale of readiness for change, scale of job involvement and scale of work value. The study involved 302 employees PT.Inalum. The multiple reggresion analysis results showed that role of job involvement and work values influenced to employee readiness for change (R=0.165, R2=0.149, F = 346.177; p <0.05). Job involvement and work values positively influenced to employees readiness for change at PT.Inalum. Job involvement and work values contributed to increasing of employee readiness for change 69,8% (R-square=0.698). The implications of this study are expected to management in order to increasing the understanding of values and goals of the organization and also involve employees in organizational decision.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan telah menjadi suatu kebutuhan primer bagi kehidupan
organisasi dan merupakan salah satu aspek yang paling kritis untuk menciptakan
manajemen yang efektif (Hussey, 2000; Wibowo, 2005). Perubahan organisasi
selain dapat meningkatkan kinerja, juga dapat meningkatkan efektivitas organisasi
dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
(Robbins, 2008). Penyebab perubahan yang terus menerus dapat dikarenakan laju
perkembangan global yang pesat, resiko bisnis yang baru ditemukan, kesempatan
yang mengairahkan, inovasi dan sistem kepemimpinan yang baru (Madsen, Miller
& John, 2005). Ada beberapa faktor yang menyebabkan organisasi melakukan
perubahan yaitu, perubahan teknologi terus meningkat, persaingan yang intensif
dan globalisasi, tuntutan pelanggan, perubahan demografis negara, privatisasi
bisnis (Hussey, 2000; Zulkarnain & Hadiyani, 2014).
Setiap perubahan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu
organisasi tergantung pada sejauh mana organisasi dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan tersebut. Pada dasarnya semua perubahan yang dilakukan
mengarah pada peningkatan efektifitas organisasi dengan tujuan mengupayakan
perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2008). Lebih
struktur yang mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik dan sumber
daya manusia.
Fenomena perubahan berlaku terutama untuk organisasi dan kehidupan
didalamnya. Kelangsungan hidup, eksistensi dan pertumbuhan masyarakat untuk
melakukan inovasi, re-organisasi, pengenalan teknologi baru, perubahan metode,
prosedur dan praktik (Thoha, 1983).Karyawan yang kinerjanya rendah dan tidak
produktif cenderung menolak perubahan karena kekhawatiran perubahan dapat
menimbulkan ketidakpastian dan berdampak negatif terhadap kelangsungan masa
depannya (Senge, Smithson & Lewis, 2000). Penolakan atau resistensi karyawan
terhadap perubahan merupakan salah satu faktor yang dilaporkan paling sering
menyebabkan perubahan organisasi gagal (Kotter & Cohen, 2002).
Kesiapan individu untuk berubah merupakan faktor yang penting dalam
keberhasilan organisasi untuk melakukan perubahan (Berneth, 2004; Madsen,
2005). Kesiapan berubah merefleksikan keyakinan, sikap dan intensi perilaku
terhadap usaha perubahan (Desplaces, 2005). Organisasi yang akan melakukan
perubahan sangat memerlukan dukungan karyawan yang terbuka dan
mempersiapkan diri dengan baik dan siap untuk berubah ( Eby, Adams, Russel &
Gaby, 2000). Apabila karyawan tidak siap maka mereka tidak mampu mengikuti
dan merasa kewalahan dengan perubahan organisasi yang terjadi. Ketidaksiapan
karyawan tersebut akan membawa dampak negatif bagi perubahan organisasi
(Desplaces, 2005).
Holt (2007) menjelaskan kesiapan untuk berubah adalah hal yang perlu
ditinjau sebelum melakukan perubahan organisasi. Kesiapan untuk berubah
1993) hal ini dapat ditunjukkan bahwa ketika perubahan dilakukan akan muncul
dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif ditunjukan dengan
adanya kesiapan untuk berubah dan sikap negatif ditunjukan dengan adanya
penolakan terhadap perubahan. Kesiapan untuk berubah merefleksikan keyakinan,
sikap, dan sejauh mana organisasi memerlukan perubahan. Kesiapan merupakan
suatu tanda kognitif untuk memilih antara tingkah laku menahan (resistensi) dan
mendukung usaha perubahan. Untuk mengurangi resistensi anggota organisasi
maka perlu dibentuk kesiapan untuk berubah (Madsen, Miller & John, 2005)
Untuk meraih keberhasilan dalam mengelola perubahan organisasi harus
mengarah pada peningkatan kemampuan dalam menghadapi tantangan dan
peluang yang timbul. Artinya perubahan organisasi harus diarahkan pada
perubahan perilaku manusia dan proses organisasional, sehingga perubahan
organisasi yang dilakukan dapat lebih efektif dalam upaya menciptakan organisasi
yang lebih adaptif dan fleksibel. Demikian juga halnya jika kebiasaan manusia
dan budaya organisasinya tidak diubah, perubahan organisasi tidak akan berhasil
(Klandermans & Van Vuuren, Hartley, Probst,2003, Chirumbolo, 2005).
Perubahan organisasi tidak akan berhasil tanpa mengubah individunya.
Mengelola perubahan organisasi sesungguhnya adalah mengelola karyawan yang
terlibat dalam proses perubahan organisasi karena karyawan merupakan sumber
dan alat dalam perubahan (Smith, 1997). Pentingnya peran karyawan dalam
proses perubahan, maka karyawan perlu dipersiapkan agar lebih terbuka terhadap
perubahan yang akan dilakukan dan lebih siap untuk berubah. Jika karyawan tidak
siap untuk berubah maka mereka tidak akan dapat mengikuti dan akan merasa
(Hanpachern, Morgan & Griego, 1998). Kesiapan berubah merupakan dasar
apakah karyawan akan menolak atau mengadopsi perubahan (Holt, Armenakis,
Field, & Harris, 2007). Kesiapan berubah dapat diperoleh melalui usaha proaktif
agen perubahan dengan cara mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku target
perubahan untuk meningkatkan motivasi mereka untuk berubah (Applebaum &
Wohl, 1999).
Untuk mempersiapkan karyawan agar siap berubah, diperlukan
pemahaman mengenai cara-cara yang dapat digunakan dalam menumbuhkan
kesiapan untuk berubah. Ada dua hal yang dapat dilakukan oleh organisasi yaitu
membentuk kesiapan karyawan untuk berubah dan menyelesaikan masalah
resistensi untuk berubah (Cummings & Worley, 1997). Untuk mencapai
keberhasilan dalam melakukan perubahan, organisasi harus senantiasa berada
dalam keadaan yang siap untuk berubah. Namun kesiapan organisasi untuk
berubah juga perlu didukung oleh karyawan yang terbuka, mempersiapkan diri
dengan baik, dan siap untuk berubah (Eby, 2000).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa karyawan yang terbuka,
mempersiapkan diri dengan baik, dan siap untuk berubah dapat mendukung
kesiapan organisasi untuk berubah (Madsen 2005; Eby, Adams, Russell, & Gaby,
2000). Kesiapan untuk berubah merupakan faktor penting bagi kesuksesan usaha
untuk perubahan (Berneh, 2004; Madsen, 2005). Apabila karyawan tidak siap
untuk berubah, maka mereka tidak akan dapat mengikuti dan merasa kewalahan
dengan perubahan organisasi yang sedang terjadi (Hanpachern, Morgan, &
Kesiapan individu untuk berubah merupakan sebuah sikap komprehensif
yang secara simultan dipengaruhi oleh proses, konteks, dan individu yang terlibat
didalam suatu perubahan, yang merefleksikan sejauh mana kecenderungan
individu untuk menyetujui, menerima dan mengadopsi rencana spesifik yang
bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini (Holt, Armenakis, Field, & Harris,
2007, Ciliana & Mansoer, 2008). Dengan job involvement dari karyawan, akan
dapat mendorong peningkatan work value, bahkan kesuksesan organisasi dalam
melakukan perubahan (Robbins, 2008).
Cascio (2003) mengemukakan bahwa keterlibatan secara penuh terhadap
pekerjaan membuat karyawan akan menciptakan kinerja yang baik dan akan
berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan pekerjaan atau tugasnya karena hal ini
dianggap penting. Karyawan akan lebih merasa puas dan senang jika bisa
menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaannya
Job involvement dalam sebuah organisasi menjelaskan kekuatan relatif
dari sebuah identifikasi individu, hal ini meliputi suatu hubungan yang aktif
dengan organisasi dimana individu bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka
untuk membantu keberhasilan organisasi (Steers,1997). Karyawan dengan tingkat
job involvement yang tinggi dengan kuat aktif mengaitkan dirinya ke jenis
pekerjaan yang dilakukannya dan benar-benar antusias dalam pengerjaannya.
Karyawan yang aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya menunjukkan kemauan
dan keinginan karyawan untuk ikut terlibat langsung dalam pekerjaan. Ketika
karyawan mempunyai job involvement yang rendah maka dia akan menjadi
karyawan sepenuhnya terlibat dalam karyanya, energi dan fokus yang ditujukan
langsung pada keterlibatannya (Woodward & Buchholz, 1987)
Job involvement dapat menunjukkan secara signifikan integrasi karyawan
terhadap perusahaan, karena semakin menyatu dengan pekerjaannya karyawan
akan lebih melibatkan diri dan menghabiskan waktu lebih banyak dalam
pekerjaannya (Yekty, 2006). Hal ini dapat terlihat dari karyawan jarang datang
terlambat, bersedia untuk kerja lembur, melakukan inovasi terhadap
perusahaannya, berperilaku positif dalam pekerjaannya, kreatif, semangat dalam
setiap program dan kegiatan perusahaan dan bangga menjadi bagian dari
perusahaaan. Karyawan menjadi aset organisasi dan tidak akan mungkin berpikir
meninggalkan organisasi ketika mempunyai job involvement yang tinggi
sedangkan job involvement yang rendah menambah perasaan karyawan dari
keterasingan dalam organisasi atau perasaan adanya pemisahan antara apa yang
dilihat karyawan sebagai kehidupan dan pekerjaan yang mereka lakukan (Hafer
& Martin, 2006; Akinbobola, 2011)
Studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan adanya
hubungan antara job involvement dengan kesiapan individu untuk berubah (Yoon
& Thye, 2002; Zangaro, 2001). Studi yang dilakukan Madsen (2005)
menunjukkan bahwa job involvement dalam organisasi memiliki hubungan yang
bermakna dengan kesiapan individu untuk berubah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi, memiliki kesiapan
untuk berubah yang lebih tinggi daripada individu yang terlibat secara pasif,
individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi akan memiliki keterlibatan
Ketidakpastian merupakan salah satu hal yang mempengaruhi sikap
individu terhadap perubahan. Untuk itu dalam menghadapi ketidakpastian setiap
individu memiliki cara yang berbeda dan dipengaruhi oleh work value (Hofstede,
1980). Salah satu dimensi work value adalah penghindaran ketidakpastian,
ketakutan terhadap ketidakpastian ini membuat seseorang memiliki
kecenderungan untuk menolak perubahan. Berdasarkan hal tersebut tidak semua
individu mau menerima perubahan, karena mereka menganggap bahwa
ketidakpastian dapat mengancam hidup mereka. Setiap perubahaan pada awalnya
mendatangkan ketidakpastian. (Judson, 2000).
Salah satu cara untuk menjalankan perubahan adalah dengan menanamkan
work value yang baru, yang dapat menjadi sebuah katalis untuk memberi “ warna
baru “ pada manajemen perusahaan. Dengan adanya warna baru dalam perusahaan
tersebut maka karyawan tersebut dapat mengadaptasi kebijakan-kebijakan
perubahan yang biasanya di bawa oleh manajemen baru (Kasali, 2007). Work
value dapat merefleksikan tujuan utama dari kepuasan kerja bukan hanya
pekerjaan yang mereka lakukan sekarang tetapi untuk potensi kerja di masa depan
(Malka & Chatman, 2003).
Nilai merupakan satu petunjuk ke arah kesejahteraan setiap individu. Nilai
yang digunakan ditempat kerja merupakan work value bersama, yaitu komponen
penting dari setiap hubungan kerja. Work value yang positif dapat mempengaruhi
sikap dan pandangan individu terhadap sesuatu tindakan. Work value merujuk
pada sikap individu terhadap kerja dan berkaitan dengan makna yang diberikan
oleh individu terhadap kerjanya (Hofstede, 1980). Work value penting karena
organisasi. Kecemerlangan organisasi sangat tergantung pada work value individu
dalam organisasi. Work value yang dimiliki individu akan menentukan prestasi
kerjanya. Prestasi kerja yang cemerlang merupakan hasil daripada work value
yang positif dan akan dapat meningkatkan produktivitas organisasi (Hofstede,
1980).
Work value merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu organisasi
karena kecemerlangan sebuah organisasi sangat bergantung pada work value
individu. Work value merujuk pada sikap individu terhadap kerja dan berkaitan
dengan makna yang diberikan oleh individu terhadap kerja. (Kinicki dan Kreiner
2008)
Keterbukaan pada perubahan akan menghasilkan work value yang
tercermin dari semangat kerja yang berbeda dari yang sebelumnya, perbedaan itu
akan menjadi faktor penentu keberhasilan dan keunggulan perusahaan di masa
depan karena keterbukaan terhadap hal-hal yang baru adalah modal awal yang
penting dalam sebuah proses perubahan (Kasali, 2007). Setiap perusahaan yang
unggul sangat jelas selalu menjunjung work value yang tercermin dalam perilaku
kerja mereka, work value sebagai dasar semangat dan pengerak dan juga faktor
tunggal dalam merespon dan memasuki dimensi perubahan organisasi (Peters,
2009).
Tahun 2013 adalah tahun bersejarah bagi perusahaan PT. Indonesia
Asahan Aluminium (Inalum). Melalui perundingan yang panjang, pengalihan PT.
Inalum dari PMA ke BUMN akhirnya tercapai. Direncanakan bahwa seluruh
saham akan menjadi milik negara Indonesia. Jadi perusahaan yang tadinya
(www.inalum.co.id). Sejalan dengan hal ini telah dimulai menyesuaikan hal-hal
yang berkaitan dengan perubahan status tersebut, dan akan dilaksanakan secara
bersama-sama, bertahap dan terukur dan akan disesuaikan dengan budaya dan
nilai korporasi PT Inalum, antara lain memelihara operasional PLTA dan pabrik
peleburan Aluminium yang aman, stabil dan berwawasan lingkungan,
memprioritaskan pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan yang
produktif, sinergi dengan kebijakan pembangunan pemerintah dan kebutuhan
masyarakat dengan tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan pemangku
amanah lokal dan nasional guna mendukung operasional perusahaan
(inspirasibangsa.com). Pengalihan Inalum dari PMA menjadi BUMN sudah
dipastikan ada perubahan manajemen dan etos kerja dari suasana Jepang menjadi
suasana BUMN.
B. Kerangka Berpikir
JOB INVOLVEMENT
1. Performance self-esteem contingency.
2. Psychological identification.
KESIAPAN BERUBAH 1. Appropriatness.
2. Change Specific Efficacy. 3. Management Support. 4. Personal benefit. WORK VALUE
1. Intrinsik
2. Kenyamanan. 3. Keuangan.
4. Hubungan dengan rekan-rekan kerja.
5. Karir.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti
sejauhmana peranan job involvement dan work value terhadap kesiapan berubah
pada karyawan PT. Inalum yang tengah dalam masa transisi perubahan dari PMA
ke BUMN
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menguji peranan job
involvement dan work value terhadap kesiapan berubah pada karyawan PT
Inalum (Persero)
D. Perumusan Masalah
“ Apakah job involvement dan work value memiliki peranan yang
signifikan terhadap kesiapan berubah pada karyawan PT Inalum ( Persero )?”
E. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis :
1. Memberikan referensi kepada pihak manajemen terlebih HRD, agar
mereka dapat memberikan pengarahan maupun pelatihan kepada
karyawan perihal pentingnya job involvement dan work value
terhadap kesiapan berubah yang direncanakan maupun yang sedang
terjadi dalam organisasi.
Manfaat Praktis :
1. Setelah dilakukan pengukuran akan diketahui apakah ada pengaruh job
involvement terhadap kesiapan berubah pada karyawan PT.Inalum
(Persero).
2. Setelah dilakukan pengukuran akan diketahui apakah ada pengaruh
work value terhadap kesiapan berubah pada karyawan PT.Inalum
(Persero).
3. Setelah dilakukan pengukuran akan diketahui apakah ada pengaruh job
involvement dan work value terhadap kesiapan berubah pada karyawan
PT.Inalum (Persero).
F. Sistimatika Penulisan
Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, kerangka
berpikir, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistimatika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari
masalah yang yang menjadi objek penelitian. Landasan
teori yang diuraikan adalah mengenai job involvement,
work value dan kesiapan berubah, pengaruh job
dan work value terhadap kesiapan berubah. Bab ini juga
mengemukakan hipotesis penelitian sebagai jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan
pengaruh job involvement dan work value terhadap
kesiapan berubah.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional variabel penelitian, populasi dan
sampel penelitian, metode pengambilan data, uji validitas,
uji reliabilitas, uji coba alat ukur, prosedur penelitian dan
metode analisa data
BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi gambaran umum subjek penelitian, uji
asumsi, hasil penelitian yang disertai analisa data dan
pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban
permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil
penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran prktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kesiapan Berubah
1. Definisi Kesiapan Berubah
Holt, Armenakis, Field & Harris (2007) mendefinisikan kesiapan individu
untuk berubah sebagai sikap konprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh
isi (apa yang berubah), proses (bagaimana perubahan di implementasikan),
konteks (lingkungan dimana perubahan terjadi), dan individu (karakteristik
individu yang diminta untuk berubah) yang terlibat didalam suatu perubahan.
Kesiapan individu untuk berubah secara kolektif merefleksikan sejauh mana
individu atau kelompok individu cendrung untuk menyetujui, menerima, dan
mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
Holt (2007) mendefinisikan kesiapan adalah kepercayaan karyawan
bahwa mereka mampu melaksanakan perubahan yang diusulkan (self efficacy),
perubahan yang diusulkan tepat untuk dilakukan organisasi (appropiateness),
pemimpin berkomitmen dalam perubahan yang diusulkan (management support),
dan perubahan yang diusulkan akan memberikan keuntungan bagi anggota
organisasi (pesonal benefit). Dari penjelasan Holt (2007) seorang karyawan yang
dinyatakan siap untuk berubah akan menunjukkan perilaku menerima, merangkul,
dan mengadopsi rencana perubahan yang dilakukan. Sebelum karyawan berada
individu untuk mempersepsikan dan mempercayai perubahan yang akan
dilakukan organisasi.
Hanpachern, Morgan & Griego (1998) mendefinisikan bahwa kesiapan
untuk berubah merupakan sejauh mana karyawan siap secara mental, fisik, sedia
untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengembangan organisasi. Terutama lebih
merujuk pada kondisi dimana karyawan akan memiliki skor yang tinggi pada
dukungan dan partisipasi dalam perubahan.
Berneth (2004) mendefinisikan bahwa kesiapan adalah lebih dari
pemahaman akan perubahan, lebih dari keyakinan pada perubahan tersebut, dan
merupakan kumpulan dari pemikiran dan intensi pada usaha perubahan yang
spesifik. Backer (1995) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah
melibatkan kepercayaan, sikap dan intensi karyawan terhadap sejauh mana tingkat
perubahan dibutuhkan dan persepsi karyawan serta kapasitas organisasi untuk
melakukan perubahan tersebut dengan sukses.
Armenakis, Harris & Mosshlder, (1993) menyatakan bahwa karyawan
yang siap untuk berubah akan percaya bahwa organisasi akan mengalami
kemajuan apabila organisasi melakukan perubahan, selain itu mereka memiliki
sikap positif terhadap perubahan organisasi dan memiliki keinginan untuk terlibat
dalam pelaksanaan perubahan organisasi. Hanpacern (1998) menyatakan, apabila
karyawan tidak siap untuk berubah, maka mereka tidak akan dapat mengikuti dan
merasa kewalahan dengan kecepatan perubahan organisasi yang terjadi.
Wibowo (2005) mendefinisikan bahwa kesiapan untuk berubah adalah
mempersiapkan segenap sumber daya manusia untuk menerima perubahan,
mempunyai sifat resisten terhadap perubahan. Oleh karena itu, perubahan sumber
daya manusia perlu dimulai dengan melakukan pencairan terhadap pola perilaku
lama yang cendrung mempertahankan status quo untuk diubah agar bersedia
menerima pola pikir baru yang berkembang secara dinamis.
Kesiapan untuk berubah didefinisikan sebagai sekumpulan pemikiran dan
kemauan individu untuk menghadapi perubahan tertentu, dan perubahan yang
terjadi akan membawa dampak kepada karyawan, bagi yang siap dengan
perubahan akan bersemangat mengikuti perubahan. (Madsen 2005, Jelpa &
Mansoer 2008).
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa kesiapan untuk berubah adalah sikap komprehensif yang
secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks dan karakteristik individu,
merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cendrung untuk
menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk
mengubah keadaan saat ini. Setiap individu perlu menyadari dan memahami arti
pentingnya perubahan, serta bersedia untuk berubah.
2. Dimensi Kesiapan untuk Berubah
Holt (2007) mengemukakan ada 4 dimensi kesiapan karyawan untuk
berubah, yaitu sebagai berikut:
a. Appropriateness ( Ketepatan untuk melakukan perubahan )
Dimensi ini menjelaskan tentang aspek keyakinan individu bahwa perubahan
yang diajukan akan tepat bagi organisasi dan organisasi akan mendapat
keuntungan dari penerapan perubahan. Individu akan meyakini adanya alasan
serta berfokus pada manfaat dari perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang
diperoleh dari perubahan dan kongruensi tujuan perusahaan dengan tujuan
perubahan.
b. Change specifik efficecy (Rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk
berubah )
Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuannya untuk
menerapkan perubahan yang diinginkan, dimana ia merasa mempunyai
ketrampilan serta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan
perubahan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa ia memiliki kemampuan
dan dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan
pelaksanaan perubahan yang diusulkan.
c. Management support ( Dukungan manajemen)
Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para
pemimpin atau manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap
perubahan yang diusulkan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa pemimpin
dan manajemen dalam organisasi memiliki komitmen dan mendukung
pelaksanaan perubahan yang diusulkan. Ketika organisasi memberikan dukungan
kepada karyawan, maka karyawan pun akan siap memberikan dukungan kepada
organisasi, salah satunya adalah siap mendukung perubahan (Fuller, 2006;
Periantalo & Mansoer, 2008)
d. Personal benefit ( Manfaat bagi individu)
Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan mengenai keuntungan yang dirasakan
diimplementasikan. Dengan kata lain karyawan merasa bahwa ia akan
memperoleh manfaat dari pelaksanaan perubahan yang diusulkan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dimensi kesiapan untuk berubah adalah
appropriateness, change specific efficecy, management support dan personal
benefit.
2. Pengukuran Kesiapan untuk Berubah
Holt (2007) mengemukakan bahwa dalam mengukur kesiapan berubah
dapat menggunakan empat dimensi kesiapan berubah. Pengukuran kesiapan
berubah dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif, namun metode
kuantitatif merupakan suplemen yang sesuai dan memberikan keuntungan yang
unik bagi manager, konsultan pengembangan organisasi dan peneliti dalam
lingkungan atau suasana tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh efisiensi yang
diperoleh dari pendistribusian instrumen kuantitatif yang memiliki daerah
cakupan yang luas dalam periode waktu yang relatif singkat (Holt, 2007).
Armenakis, (1993) membuktikan bahwa kesiapan individu untuk berubah dapat
diukur dengan metode kuesioner, wawancara , dan observasi.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan untuk Berubah
Armenakis & Holt (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan
untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama, yaitu:
a. Change content, merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi ( misalnya perubahan sistem administrasi, perubahan manajemen, prosedure
karena perubahan dapat memenuhi kebutuhannya untuk terus bertumbuh dan berkembang dalam melakukan prosedure pekerjaannya. (Lodahl & Kejnar,1965; Robbins, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Willian (2011) menemukan bahwa para sales manager yang memiliki prestasi (achievement) baik yang merupakan dimensi work value akan memiliki kesiapan berubah yang tinggi, dan perubahan manajemen cendrung menguntungkan para sales manager yang memiliki prestasi baik. Dengan kata lain bahwa achievement mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah. Dalam penelitian ini juga didapati bahwa para karyawan yang berumur 47 tahun keatas memiliki masalah dalam kepastian pekerjaan mereka (security) dibandingkan dengan karyawan yang berumur dibawah 40 tahun.
b. Change process, meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang
telah direncanakan sebelumnya. Studi-studi yang dilakukan Cunningham at all (2002) menunjukkan bahwa terdapat kaitan adanya kebutuhan untuk berubah dengan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk melaksanakan perubahan dengan sukses (Cunningham, Woodward, Shannon, MacIntosh, Lendrum, Rosenbloom,& Brown, 2002), dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan. Cunningham et al., (2002); Eby et al., (2000); Weber & Weber., (2001), Job Involvement memiliki kontribusi terhadap kesiapan individu untuk menghadapi proses perubahan dalam organisasi
bahwa kesiapan individu untuk berubah diawali oleh adanya persepsi terhadap manfaat dari perubahan (Prochaska, Velicer, Rossi, Goldstein, Marcus, Rakowski, Fiore, Harlow, Redding, Rosenbloom,& Rossi, 1994), adanya risiko untuk gagal dalam perubahan (Armenakis et al., 1993), dan adanya tuntutan dari luar organisasi untuk melakukan perubahan (Pettigrew, 2002).
Selain faktor diatas, hasil penelitian Zangaro (2001) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan tidak langsung antara komitmen organisasi, dukungan
organisasi, kepuasan, job involvement dan kesetiaan dengan kesiapan individu
untuk berubah.
Hanpacern (1998) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan
antara kesiapan untuk berubah dengan hubungan sosial dalam tempat kerja,
budaya organisasi dan hubungan manajemen kepemimpinan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Madsen, Miller & John (2005) bahwa persepsi dari
adanya relasi sosial yang baik atau positif, juga berkaitan secara positif dengan
kesiapan terhadap perubahan organisasi. Dalam penelitian Madsen et all (2005)
juga ditemukan bahwa identifikasi keterlibatan serta loyalitas terhadap organisasi
berkaitan secara positif dengan kesiapan terhadap perubahan organisasi.
Studi yang dilakukan oleh Madsen (2005) menunjukkan bahwa
keterlibatan dalam organisasi memiliki hubungan yang bermakna dengan kesiapan
individu untuk berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang terlibat
secara aktif dalam organisasi memiliki kesiapan untuk berubah yang lebih tinggi
dalam organisasi, akan memiliki keterlibatan yang cukup tinggi pula terhadap
pekerjaannya.
Beberapa peneliti juga menemukan ada beberapa faktor psikologis yang
mempengaruhi kesiapan karyawan untuk berubah diantaranya, iklim psikologis,
komitmen organisasi (Madson, 2005), keadilan organisasi, dukungan organisasi
(Krause, 2008). Dalam perubahan, organisasi membutuhkan karyawan yang
berkomitmen dengan organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi terhadap
organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja organisasi serta
memiliki produktivitas kerja yang tinggi (Minner, 1992).
Penelitian yang dilakukan oleh Pramadani & Fajrianthi (2012)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara komitmen organisasi
dengan kesiapan untuk berubah. Selanjutnya dalam penelitian tersebut
diungkapkan beberapa konstruk yang mempengaruhi kesiapan individu untuk
berubah yaitu, dimilikinya work value dan sikap baru yang sesuai dengan
perubahan, iklim kerja yang kondusif, dan adanya dukungan organisasi. Dalam
kajiannya juga diungkapkan bahwa derajat kesiapan individu untuk berubah
diasumsikan berkaitan erat dengan work value.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
kesiapan berubah adalah change content, change process, organizational context,
komitmen organisasi, dukungan organisasi, kesetiaan, job involvement, kepuasan
kerja, hubungan sosial ditempat kerja, budaya organisasi, hubungan manajemen
kepemimpinan, iklim psikologis, keadilan organisasi, work value dan iklim kerja.
B. Job Involvement
1. Definisi Job Involvement
Cohen (2003) mendefinisikan job involvement sebagai sejauh mana
performansi kerja seseorang mempengaruhi dirinya dan sejauh mana seseorang
secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya
pekerjaan dalam kehidupannya. Schultz & Schultz (1990) mendefinisikan job
involvement merupakan intensitas dan identifikasi psikologis seseorang terhadap
pekerjaannya. Robbins (2003) mendefinisikan bahwa job involvement adalah
derajat di mana seseorang mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya,
berpartisipasi secara aktif, dan menyadari bahwa performa yang ia tampilkan
merupakan hal yang penting bagi harga dirinya.
Rabinowitz, Hall, Kanungo (1981) mendefinisikan job involvement ke
dalam dua kategori. Pertama job involvement dipandang sebagai suatu
“performance self esteem contingency”, menurut definisi ini job involvement adalah tingkat sampai sejauh mana harga diri individu dipengaruhi oleh tingkat
performansinya ketika bekerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa job involvement
yang lebih tinggi, yang diperoleh ketika bekerja. Kedua, job involvement sebagai
suatu identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang.
Davis & Newstrom (1997) mendefinisikan job involvement adalah
tingkatan sampai seberapa besar seseorang menekuni serta menggunakan waktu
dan tenaga untuk pekerjannya dan memandang pekerjaan sebagai satu hal penting
bagi kehidupannya. Hal ini dapat dilihat dari kesediaan karyawan untuk mematuhi
peraturan dan melaksanakan prosedur perusahaan yang telah ditetapkan,
menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan tepat waktu, serta memanfaatkan potensi
keahliannya secara maksimal untuk pekerjaannya.
Brwon (1996) mengemukakan bahwa job involvement merujuk pada
tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan
pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Seseorang yang memiliki job
involvement yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjannya. Hal ini didukung
oleh Robbins (2003) bahwa karyawan yang memiliki tingkat job involvement
yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli serta akan melebur dengan
bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Namun pada seseorang yang terlibat
dalam pekerjaannya belum tentu senang dengan pekerjaannya karena pada
kenyataannya seseorang yang tidak merasa senang dengan pekerjaannya juga
dapat memiliki derajat job involvement yang sama dengan orang yang menyukai
pekerjaannya (Ciliana & Mansoer, 2008).
Srivastava (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki job
involvement yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi
akan memiliki job involvement yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang
rendah.
Menurut Sashkin (2003) definisi dari job involvement adalah suatu proses
partisipasi yang menggunakan seluruh kapasitas karyawan yang dirancang untuk
meningkatkan komitmen bagi kesuksesan organisasi. Selanjutnya Hiriyappa
(2009) mendefinisikan job involvement sebagai tingkat sampai sejauh mana
individu mengidentifikasikan dirinya kepada pekerjaannya, secara aktif
berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya
penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat job involvement yang tinggi akan
menurunkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri dalam suatu organisasi.
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan
bahwa job involvement merupakan intensitas dimana seorang karyawan
mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan adanya
kepedulian yang tinggi dan terlibat secara aktif dalam pekerjaannya, adanya
perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang dilakukan dan
keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan
tersebut.
2. Dimensi Job Involvement
Millmore (2007) mengemukakan bahwa job involvement memiliki dua
dimensi, yaitu sebagai berikut:
1. Performance self-esteem contingency
Dimensi ini merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi
oleh performansi kerjanya. Aspek ini memcakup tentang seberapa jauh hasil kerja
(self-esteem). Job involvement muncul ketika ada kemungkinan (contingency).
Kanungo (1982) mengatakan bahwa job involvement muncul ketika performansi
yang baik meningkatkan harga diri seseorang. Harga diri didefinisikan sebagai
suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup
dan berharga ( Harris,1996; Hartman, 2000).
2. Psychological identification.
Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan
dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi
gambaran diri secara total (Kanungo,1982). Dubin (1982) mengatakan bahwa
orang yang memiliki job involvement adalah orang yang menganggap pekerjaan
sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya.
Berdasarkan uraian tersebut maka dimensi job involvement adalah
performance self-esteem contigency dan psychological identification
3. Karakteristik Job Involvement
Menurut Mathis & Jackson (2008) ada beberapa karakteristik dari
karyawan yang memiliki job involvement yang tinggi maupun yang rendah, yaitu:
Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement yang tinggi adalah
sebagai berikut:
a. Menghabiskan waktu untuk bekerja.
b. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan
organisasi.
c. Merasa puas dengan pekerjaannya.
d. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesi, karir dan
e. Memberi usaha yang terbaik untuk organisasi.
f. Tingkat absensi dan intensi turnover yang rendah.
g. Memiliki motivasi yang tinggi.
Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement yang rendah adalah
sebagai berikut:
a. Tidak berusaha keras untuk kemajuan organisasi.
b. Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan.
c. Tidak puas dengan pekerjaan.
d. Tidak berkomitmen dengan pekerjaan maupun organisasi.
e. Tingkat absensi dan intensi turnover tinggi.
f. Motivasi kerja rendah.
g. Kurang bangga dengan pekerjaan maupun organisasi.
4. Pengukuran Job Involvement.
Menurut Millmore (2007) pengukuran job involvement dapat dilakukan
dengan mengunakan dua dimensi yang dikemukakannya. Holt (2007)
mengemukakan bahwa metode yang dapat digunakan dalam mengukur job
involvement adalah menggunakan metode kuantitatif dan dapat diukur dengan
menggunakan skala, kuesioner, wawancara dan observasi.
5. Dampak Job Involvement
Dalam suatu perusahaan ataupun organisasi job involvement timbul
sebagai respon terhadap suatu pekerjaan atau situasi tertentu dalam lingkungan
kerja. Dengan kata lain suatu jenis pekerjaan atau situasi dalam lingkungan
pekerjaannya (Robbins, 2006). Beberapa dampak dari job involvement
menurutnya adalah sebagai berikut :
a. Individu akan memperlihatkan citra dirinya dengan tingkat keterlibatan
kerja yang tinggi sehingga bentuk kinerja terdorong menjadi lebih positif,
baik dalam sikap dan perilaku.
b. Individu akan memperlihatkan efektifitas kerja dalam tim berada pada tingkat
tinggi sehingga menghasilkan kinerja yang baik.
C. Work Value
1. Definisi Work Value
Rokeach (1973) dan Kinicki & Kreitner (2008) mendefinisikan work value
sebagai keyakinan individu mengenai cara-cara bertingkah laku yang dipilih dan
kondisi akhir yang diinginkan dan dibawa ke dalam situasi kerja. Hal ini juga
menggambarkan work value sebagai standard evaluatif yang berkenaan dengan
pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang mana individu mendiskusikan apa yang
benar atau menilai pentingnya pilihan.
Cherington (1995) mendefinisikan bahwa work value merupakan suatu
refleksi sikap seseorang terhadap aspek-aspek pekerjaannya seperti aktivitas
ataupun job involvement dalam perusahaan dan jenjang karir yang lebih tinggi.
Work value itu penting karena mempengaruhi perilaku organisasional, performa
kerja, produktivitas dan komitmen organisasi. Hofstede, (1980); Matsumoto &
Juang (2004) memberi definisi work value sebagai orientasi individual dan sikap
tehadap pekerjannya sendiri, terhadap hubungan personalnya dengan anggota
Sementara Wollack (1971) memberi definisi work value sebagai sikap
individu terhadap pekerjaannya secara umum, bukan pada posisi atau spesifikasi
dari pekerjannya di perusahaan.
Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007) definisi work value adalah
keyakinan-keyakinan dasar akan suatu perilaku dan meresap di dalam prakarsa
individual, serta mengandung suatu unsur pertimbangan, dalam arti mengemban
gagasan-gagasan seorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau
diinginkan. Work value mempunyai atribut isi maupun intensitas dan
diidentifikasikan oleh kepentingan relatif seperti kebebasan, hormat diri,
kejujuran, kepatuhan dan kesamaan. Work value merupakan nilai bersama seluruh
karyawan dari setiap hubungan pekerjaan, dan kesuksesan organisasi tergantung
pada work value nya. Work value yang dimiliki oleh individu akan menentukan
prestasi kerja, maka prestasi kerja yang cemerlang adalah hasil daripada work
value yang positif. Selanjutnya dikatakan work value merupakan petunjuk untuk
menilai sejauh mana penilaian pekerja terhadap pekerjaannya dan bagaimana rasa
tanggung jawab, kesungguhan, cara bekerja, dan akhinya prestasi kerja yang
dihasilkannya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka diambil kesimpulan bahwa work
value dapat diartikan sebagai suatu keyakinan dan sikap individu mengenai
cara-cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu terhadap
pekerjaannya yang digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya dalam
melakukan pekerjaan.
2. Dimensi Work Value
a. Intrinsik : yang berhubungan dengan tugas serta kemampuan diri dari
setiap individu untuk mengembangkan kemampuan serta job involvement
nya dalam organisasi.
b. Kenyamanan : karakteristik pekerjaan yang memberikan kenyamanan,
seperti nyaman untuk bekerja dan lingkungan kerja yang menyenangkan.
c. Keuangan : meliputi gaji, manfaat dan keamanan kerja, dimana ada
kesesuaian antara pekerjaan serta gaji yang diberikan.
d. Hubungan dengan rekan-rekan kerja : termasuk perubahan suasana kerja,
dimana peran rekan kerja sangat berpengaruh terhadap kondisi kerja
sehingga ada semangat tolong menolong dalam menyelesaikan pekerjaan.
e. Karir : terkait dengan nilai pekerja serta kemajuan karir dan pengakuan
dari organisasi atas pencapaian yang dicapai.
f. Sumber daya : memberdayakan pekerja untuk saling menghargai sumber
daya yang ada dan sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja.
Berdasarkan uraian diatas maka dimensi dari work value adalah, intrinsik,
kenyamanan, keuangan, hubungan dengan rekan-rekan kerja, karir dan sumber
daya yang berkecukupan.
3. Pengukuran Work Value
Pengukuran work value dapat dilakukan dengan menggunakan dimensi
yang dikemukakan oleh Kalleberg (1997). Ia mengatakan pengukuran work value
dapat dilakukan dengan metode kuantitatif dan dapat diukur dengan metode skala,
4. Dampak Work Value
Work value terkait langsung dengan kredibilitas yang merupakan suatu
tindakan yang sesuai dengan apa yang diucapkan (credibility).Work value
merupakan jembatan antara lingkungan dalam dan lingkungan luar dalam
organisasi. Sementara proses dalam organisasi itu sendiri dilakukan sesuai
dengan work value yang dianut sebagai penuntunnya (Kouzes dan Posner, 1993).
Menurutnya work value memiliki dampak kepada individu, adapun dampaknya
adalah sebagai berikut :
a. Dapat berpikir secara positf, adil, cerdas dan bijaksana.
b. Bekerja dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan dan berusaha
mencapai visi organisasi.
c. Memiliki pengabdian, kerja keras serta loyal kepada organisasi.
d. Memiliki ketekunan, kompeten dan keselarasan dalam bekerja
e. Memiliki kreativitas dan selalu konsisten.
f. Memiliki rasa persahabatan dan perdamaian dalam tindakan dan perilaku.
D. Profil Perusahaan
Setelah upaya memanfaatkan potensi sungai Asahan yang mengalir dari
Danau Toba di Propinsi Sumatera Utara untuk menghasilkan tenaga listrik,
mengalami kegagalan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah
Republik Indonesia bertekad mewujudkan pembangunan pembangkkit listrik
tenaga air (PLTA) di sungai tersebut. Tekad ini semakin kuat ketika tahun 1972
pemerintah menerima dari Nippon Koei, sebuah perusahaan konsultan Jepang
tersebut menyatakan bahwa PLTA layak untuk dibangun dengan sebuah
peleburan aluminium sebagai pemakai utama listrik yang dihasilkannya.
Pada tanggal 7 Juli 1975 di Tokyo, setelah melalui
perundingan-perundingan yang panjang dan dengan bantuan ekonomi dari pemerintah Jepang
untuk proyek ini, pemerintah Republik Indonesia dan 12 perusahaan penanam
modal Jepang menandatangani Perjanjian Induk untuk PLTA dan pabrik
peleburan aluminium Asahan yang kemudian dikenal dengan sebutan Proyek
Asahan. Kedua belas perusahaan penanam modal Jepang tersebut adalah,
Sumitomo Chemical company Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light
Metal Company Ltd.,C itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co.,Ltd., Nichimen Co.,
Ltd.,m Showa Denko K.K., Marubeni Corpotation, Mitsubihi Chemical Industries
Ltd., Mitsubshi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., Mitsui & Co., Ltd.
Selanjutnya untuk penyertaan modal pada perusahaan yang akan didirikan di
Jakarta, kedua belas perusahaan penanam modal tersebut bersama pemerintah
Jepang membentuk sebuah perusahaan dengan nama Nippon Asahan Aluminium
Co., Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada tanggal 25 Nopember 1975
Pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium, sebuah
perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium
Co., Ltd, didirikan di Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan
mengoperasikan proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk. Perbandingan
saham antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd pada
saat perusahaan didirikan adalah 10% dengan 90%. Pada bulan Oktober 1978
41,13% dengan 58,87%. Dan sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dengan
58,88%.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian induk, Pemerintah
Indonesia kemudian mengeluarkan SK Presiden No. 5/1976 yang melandasi
terbentuknya otorita pengembangan proyek Asahan sebagai wakil pemerintah
yang bertanggung jawab atas lancarnya pembangunan dan pengembangan proyek
Asahan
PT Inalum dapat dicatat sebagai pelopor dan perusahaan pertama di
Indonesia yang bergerak dalam bidang industri peleburan aluminium dengan
investasi sebesar 411 milyar Yen. Kontrak kerjasama antara Indonesia dan Jepang
didalam perusahaan ini akan segera berakhir,yaitu pada tanggal 31 Oktober 2013,
maka direncanakan pada 1 November 2013 perusahaan akan diambil alih
sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Perusahaan yang tadinya PMA akan
berubah menjadi BUMN.
PT Inalum membangun dan mengoperasikan PLTA yang terdiri dari
stasiun pembangkit listrik Siguragura dan Tangga yang dikenal dengan Asahan 2
yang terletak di Paritohan, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
Stasiun pembangkit ini dioperasikan dengan memanfaatkan air sungai Asahan
yang mengalirkan air Danau Toba ke Selat Malaka. Oleh karena itu total listrik
yang dihasilkan sangat bergantung pada kondisi permukaan air Danau Toba.
Pembangunan PLTA dimulai pada tanggal 9 Juni 1978. Pembangunan stasiun
pembangkit listrik bawah tanah Siguragura dimulai pada tanggal 7 April 1980
dan di resmikan oleh Presiden RI, Soeharto dalam acara peletakan batu pertama
Pembangunan seluruh PLTA memakan waktu 5 tahun dan diresmikan oleh Wakil
Presiden Umar Wirahadikusuma pada tanggal 7 Juni 1983. Total kapasitas tetap
426 MW dan output puncak 513 MW. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk
pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung.
Desain produksi aluminium ingot PT. Inalum adalah 225.00 ton
aluminium per tahun. Namun dengan adanya Technology Improvement yang
dilakukan oleh karyawan PT. Inalum, kini produksi PT. Inalum jauh diatas
desain produksinya ( 260.00 ton/tahun). Tingkat efisiensi penggunaan arus listrik
juga meningkat lebih dari 92%. Kapasitas produksi aluminium batangan PT.
Inalum sangat bergantung kepada jumlah listrik yang dihasilkan oleh PLTA PT.
Inalum. Sedangkan PLTA PT. Inalum sangat bergantung pada kondisi permukaan
air danau Toba sebagai sumber air utama sungai Asahan. Jumlah seluruh
karyawan pada saat ini sebanyak 1940 orang pertanggal 1 November 2013.
E. Pengaruh Job Involvement terhadap Kesiapan Berubah.
Conner & Patterson (1982) mengatakan bahwa faktor penting yang
mengakibatkan tidak suksesnya perubahan organisasi adalah kurangnya komitmen
dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Penelitian yang dilakukan Zangaro
(2001), menun