• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PERKARA NO. 201/PID.B/2011/PN.GTLO TENTANG PENGANIAYAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN HAKIM PERKARA NO. 201/PID.B/2011/PN.GTLO TENTANG PENGANIAYAAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PERKARA NO. 201/PID.B/2011/PN.GTLO TENTANG PENGANIAYAAN

Sri Endang Papendang

Pembimbing I: Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH Pembimbing II: Suwitno Y. Imran, SH.,MH

Jurusan Ilmu Hukum

ABSTRAK

Penulisan ini meneliti Putusan Hakim Perkara No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan. Alasan penulis mengangkat penelitian ini karena pertimbangan-pertimbangan yang tercantum dalam konsideran putusan serta penjatuhan pidana pada putusan tersebut terdapat beberapa permasalahan.Penjatuhan pidana yang diberikan oleh hakim hanya pidana penjara selama 4 (empat) bulan yang memiliki selisihyang sangat jauh dari ancaman pidana pada rumusan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan proposal ini yakni jenis penelitian Normatif.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelusuran literatur-literatur yang berhubungan dengan penulisan.Tehnik analisis data yang digunakan adalah tehnik analisis secara normatif deskriktif, evaluasi, dan perspektif. Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa unsur-unsur dalam pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi sebagai dasar pemidanaan bagi terdakwa, seperti unsur barang siapa dimana terdakwa Halid Daud Liko adalah subjek hukum yang mampu bertanggungjawab dan unsur melakukan penganiayaan dengan sengaja. Selain memenuhi unsur terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara yang sama. Namun disisi lain terdakwa mengakui kesalahan dan sopan selama persidangan serta korban sudah tidak keberatan lagi. Dalam hal akibat hukum terhadap putusan Hakim Perkara No. 201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan merupakan hal yang menjadi tolak ukur menilai profesionalitas hakim dalam memutus perkara, hal ini dapat dilihat masih banyaknya tindakan penganiayaan yang terjadi dalam kehidupan sosial serta tidak sedikit

perkara penganiayaan yang dilakukan berulang kali (Residifis) yang di putus oleh hakim

dalam persidangan hal ini menegaskan dalam perkara penganiayaan akibat hukum putusan hakim belum membawa pada keadaan yang dapat membuat pelaku jera.

(3)

3 1. Pendahuluan

Hakim telah lama diakui sebagai profesi yang terhormat dimana Hakim berperan penting dalam menentukan baik atau buruknya potret penegakan hukum dinegara itu, Oleh karena itu pada prinsipnya Hakim bertujuan menjaga martabat dan keluhuran profesi Hakim tersebut. Hakim sebagai profesi yang

juga disebut sebagai paling mengetahui hukum (ius curia novit) serta berperan

sebagai menemukan hukum (rechtsvinding) dan membentuk hukum

(rechtsvorming).1

Melalui putusannya Hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan Warga Negara dan semua itu dilakukan untuk menegakan hukum dan keadilan.Besarnya tanggungjawab hakim ditunjukan melalui putusan pengadilan yang selalu di ucapkan Hakim “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” hal ini menegaskan oleh seorang hakim dimana setiap putusannya bukan hanya di pertanggung jawabkan sesama manusia tapi juga dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga Hakim merupakan salah satu objek dalam pengadilan oleh karena itu posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital dimana mengingat tanggung jawab dan kewenangan hakim tersebut. Oleh sebab itu, hakim sebagai titik sentral penegak hukum dan keadilan harus mampu menyerap dan menyelesaikan semua perkembangan kasus dalam pertimbangan putusannya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, termaksud dari berbagai sumber hukum dan peraturan yang

berlaku serta menurut hati nuraninya.Menyangkut “standardisasi” penjatuhan

hukuman terahadap terdakwa pun tergantung kepada sang Hakim. Hakim tidak terikat dengan terhadap berat ringannya tuntutan jaksa di persidangan, hakim dapat saja menghukum terdakwa lebih berat dari tuntutan jaksa berdasarkan

hal-hal yang memberatkan dan meringankan perbuatan terdakwa.2Dengan

1

Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim, Jakarta. PT Gramedia, 2012, hlm.1. 2

(4)

4

demikian, putusan hakim itu menjadi solusi terbaik bagi penyelesaian tanpa menyulut gejolak di masyarakat.

Perilaku Hakim yang tidak sesuai dengan asas-asas yang di amanatkan Pasal 2 Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengakibatkan banyak masyarakat yang kecewa atas putusan hakim yang seakan berbanding terbalik dengan asas penyelenggaraan kehakiman (kontrofersi), dan tidak efektifitas dalam putusannya yang mengakibatkan tidak ada efekjera bagi para pelaku untuk berbuat kejahatan sehingga kasus tersebut seakan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat karena kurangnya ketegasan dari putusan hakim tersebut.

Berkaitan dengan fenomena yang sering terjadi dimasyarakat yaitu tentang tindak pidana penganiayaan yang seakan taklepas dari penyakit masyarakat tetapi juga dapat merugikan masyarakat itu sendiri dimana tindakan penganiayaan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas korban pelaku penganiayaan terebut.

Rumusan Pasal 351 ayat (KUHP) tentang penganiayaan dapat dinyatakan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap orang lain, seseorang dapat dijatuhkan pidana yang telah melakukan dan memenuhi

unsur yaitu kesengajaan (Opzetelijk) yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit,

luka pada tubuh orang lain atau merugikan kesehatan orang lain.Dari uraian tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut (1) Bagaimana Analisis Hukum Putusan Hakim Perkara No. 201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan?(2) Apa akibat Hukum terhadap putusan Hakim Perkara No. 201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan?

2. Metode Penulisan

Penelitian tentang Analisis Putusan Hakim Perkara No.

201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan adalah penelitian hukum Normatif Empiris. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer. Penelitian hukum normatif atau penelitan

(5)

5

hukum kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, sejarah hukum.Sebelum data dianalisis diadakan terlebih dahulu pengorganisasian terhadap data sekunder yang didapat melalui studi dokumen, dan data primer yang didapat melalui studi pedoman wawancara.Data tersebut kemudian diklasifikasi dan dicatat secara sistematis dan konsisten untuk memudahkan analisisnya. Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, sehingga dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kaedah-kaedah yang berkaitan dengan materi permasalahannya

3. Hasil dan Pembahasan

1. Analisis Hukum Putusan Hakim Perkara No. 201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan?

Hukum pidana adalah hukum yang bersifat Publik, hukum pidana merupakan suatu kaidah hukum penting yang menjadi wacana hukum di Indonesia. Di dalam hukum pidana itu terkandung Aturan-aturan yang menentukan Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa), dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat Publik yang memiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat Nasional. Dengan demikian, maka hukum

pidana Indonesia diberlakukan diseluruh wilayah Negara Indonesia.3

Hukum pidana bertujuan menegakan nilai kemanusian, namun disisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Hal ini juga didukung oleh Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana pada umumnya dibagi menjadi dua bagian , yaitu hukum pidana materiil dan hukuman pidana formal. Sedangkan menurut Moelyatno Pengertian Hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur tentang ketentuan yang tidak boleh dilakukan dan dilanggar disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

3 Tata Wijayanta, Hery Firmansyah,Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, yogyakarta. Pustaka yustisia, hlm.37.

(6)

6

melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana penanganan pidana itu dapat dilaksanakan.

Hukum pidana materiil mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan, sedankan hukum pidana formal mengatur tentang kaitan dengan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar itu dapat dikenakan sangsi pidana dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, atau dengan pengertian lainnya, hukum podana formal berfungsi untuk menegakkan hukum pidana materil (hukum pidana formal biasanya disebut sebagai hukum acara pidana didalam sistim peradilan pidana).

Adapun beberapa asas yang dikenal dalam hukum pidana formal atau hukum acara pidana yaitu:

1. Asas legalitas yaitu setiap perbuatan pidana harus di tuntut.

2. Asas oportunitas artinya demi kepentingan umum, jaksa agung dapat

mengesampingkan penuntutan perkara pidana.

3. Asas lexcripta yang artinya bahwa hukum acara pidana yang mengatur

proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis.

4. Asas lexstricta yang artinya bahwa aturan hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.

5. Asas diferensiasi fungsional yang artinya setia aparat penegak hukum dalam

sistim peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah

antara satu dengan yang lain.4

Berdasarkan penjelasan di atas dengan dikaitkan dengan putusan perkara No. 201/Pid.B/2011/PN.GTLO dalam putusan ini merupakan suatu bentuk Implementasi dari Asas Legalitas bahwa tindakan penganiayaan dalam putusan tersebut mendapatkan suatu penuntutan secara hukum, sehingganya dalam setiap perbuatan pidana haruslah dituntut berdasarkan aturan yang ada.

Perkara tindak pidana penganiyaan merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman dua tahun delapan bulan sebagaimana yang dijelaskan

4

(7)

7

pada pasal 351 KUHP yang berbunyi barang siapa Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut:

1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua

tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupia.

2. Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersala dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum

penjara selama-lamanya tujuh tahun.

4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan

sengaja.

Dalam putusan tersebut terdakwa di jatuhkan putusan 4 bulan penjara, dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.Dari tuntutan dan putusan tersebut dapat diuraikan bahwa putusan tersebut jauh dari rasa keadilan.Keadilan yang dilamksud adalah keadilan masyarakat, keadilan dimana korban mendapatkan perlindungan dengan putusan yang sesuai dengan perbuatan terdakwa tersebut. Bila dilihat dari materi tuntutan jaksa penuntut umum dapat diuraikan bahwa:

1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan

yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP sebagaimana yang telah kami dakwakan dalam surat dakwaan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6

(enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan;

3. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-

(seribu rupiah);

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa. Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bawa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

(8)

8

Berdasarkan rumusan Pasal di atas, sistem pembuktian yang dianut dalam KUHP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara gabungan antara sistem pembuktian positif dan negatif. Sistem pembuktian tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu (1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (2) Keyakinan hakim harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1)KUHAP terdiri dari:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Dalam perkara ini alat bukti yang sah untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim, yakni keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Selain itu, juga dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Penulis menganggap bahwa keseluruhan alat bukti yang diajukan di persidangan berupa keterangan saksi, alat bukti surat dalam hal ini visum et repertum, dan keterangan terdakwa menunjukkan kesesuaian satu sama lain. Selain itu, juga terdapat kesesuaian antara alat bukti dan barang bukti yang diajukan di persidangan sehingga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah di hadapan persidangan.

Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan dalam penerapan aspek yuridis sangatlah jelas, ketentuan pasal 351 menjadi rujukan utama. Bila di lihat lebih rinci lagi maka dapat di uraikan bahwa unsur yang terdapat dalam pasal 351 KUHP antaralain :

(9)

9

Didalam setiap rumusan pasal-pasal KUHP maupun tindak pidana, unsur (bestitelen) “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.Sebagai sebuah kata “barang siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian.

Namun dalam upaya pembuktian, unsur “barang siapa/setiap orang” tidak serta merta langsung menunjuk kepada perseorangan (naturalijk persoon).Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando) untuk membuktikan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana didalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, maka harus melihat teori pemidanaan, pertanggungjawaban dan kesalahan dan pembuktian dimuka persidangan.

Menurut Lamintang, untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsure-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, maka dengan tindakan itu seseorang telah melakukan

sesuatu tindakan yang terlarang oleh UU.5

Menurut ilmu pengetahuan hokum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”.

Menurut SIMONS,“strafbaar feit” harus dirumuskan karena :

1. untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh UU, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

2. agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus

memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan didalam UU;

5

(10)

10

3. setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut UU itu pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hokum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”

Dengna demikian maka unsure “barang siapa/setiap orang” ialah orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi unsure tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Unsure “barang siapa/setiap orang” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan sebagaimana manusia pribadi atau subyek hukum yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini, akan tetapi yang dimaksud setiap orang dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure

dari tindak pidana. Jadi untuk membuktikan unsure “barang siapa/setiap orang

harus dibuktikan dulu unsure lainnya.

Karenanya unsure “barang siapa/setiap orang” masih tergantung pada unsure lainnya. Apabila unsure itu telah terpenuhi maka unsure “barang siapa/setiap orang” menunjuk kepada terdakwa, tetapi sebaliknya apabila unsure-unsur yang lain tidak terpenuhi maka unsure “barang siapa/setiap orang” tidak terpenuhi pula.

Dengan demikian dalam praktek yang sering terjadi dimana unsure “barang siapa/setiap orang” sebagaimana sering didalam surat tuntutan maupun dalam putusan hakim langsung menunjuk kepada terdakwa tanpa melihat teori

yang telah disampaikan memang menimbulkan persoalan hukum.6

Berdasarkan analisis hakim yang memutus perkara Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan menguraikan bahwa barang siapa yang dimaksud adalah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya, yang dalam perkara ini adalah terdakwa Halid Daud alias Liko.Sebagai subjek hukum pribadi kodrat. Selain dari pada itu maksud dimutnya unsur ini adalah untuk menghindari adanya kesalahan subjek dalam suatu perkara pidana.

Dalam penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa unsur barang siapa menempatkan orang/pelaku dalam subuah tindak pidana berdasarkan fakta-fakta

6

(11)

11

yang terungkap di persidangan sehingga unsur barang siapa tersebut menyakinkan hakim dalam putusannya.Majelis dalam persidangan berdasarkan fakta hukum terdakwa sebagai subjek hukum yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam perkara ini tidak terdapat kesalahan subjek hal ini

berdasarkan analisis hakim perkara Putusan hakim

No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo.

4. Unsur Melakukan Penganiayaan

Penganiayaan adalah suatu perbuatan dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka. Menurut Memorie Van Toelichting bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah perbuatan harus menghendaki melakukan perbuatan tersebut dan juga harus mengerti akan akibat dari perbuatan tersebut.

Sifat kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang).Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya

perbuatan.Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja

untuk berbuat jahat.Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang.

Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan. Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana

Unsur ini telah terpenuhi bahwa perbuatan tersangka dengan memukul orang lain telah menimbulkan rasa sakit dan luka terhadap korban. Unsur ini dikuatkan dengan keterangan Saksi dan hasil visum.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum

pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Sengaja berarti

membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini

(12)

12

menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. Apabila di hubungkan dengan uraian pertimbangan hakim dalam putusan perkara pidana Nomor No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo anatar lain bahwa menimbang uraian pengertian serta fakta-fakta huku majelis hakim menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang mengayunkan pisau adalah merupakan pelaksanaan kehendak (willen) serta setidaknya terdakwa mengerti (wetten) bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengharapkan atau sekurang-kurangnya terdakwa dapat menduga bahwa perbuatannya tersebut dapat menyebabkan atau menimbulkan

rasa sakit pada saksi korban.7

Lebih lanjut di uraikan mejelis hakim dalam putusan tersebut bahwa unsur pasal yang terdapat dalam dakwaan tunggal penuntut umum telah terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan tunggal penuntut umum.

Uraian diatas menunjukkan bahwa mejelis hakim dalam memutus suatu perkara pidana sangatlah hati-hati.Pertimbangan hakim dalam putusan haruslah berdasarkan pada fakta-fakta persidangan dan keyakinan dari majelis hakim itu sendiri.Mencapaian keadilan dalam putusan ini sangat jelas tidak dapat diterima oleh pihak korban. Keluarga korban tidak dapat menerima putusan tersebut, hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang keluarga korbanNanang Buyung, kami berharap putusan hakim dalam perkara ini dapat memenuhi unsur keadilan, harapan kami putusan hakim sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan tetapi. Konsep keadilan yang selama ini di dengung-dengungkan hanya sebatas perkataan dan materi saja penegak hukum sering kali tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan itu sendiri.Hal ini di akibatkan oleh karena hakim dalam hal memutus suatu perkara tidak mempertimbangkan keadilan masyarakat, hakim seringkali hanya bergantung pada ketentuan hukum tertulis tidak menafsirkan hukum pada sisi sosiologis.Karena akibat dari Putusan

7

(13)

13

tersebut saksi Korban mengalami Luka pada bagian lengan kanan serta mengalami trauma akibat luka tersebut saksi korban tidak dapat melakukan aktifitas saksi korban sehari-hari.

5. akibat Hukum terhadap putusan Hakim Perkara No. 201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan

Seiring dengan perkembangan peradaban, dimana masyarakat luas mulai sedikit demi sedikit mampu mengerti akan hak dan kewajibannya, memahami makna keadilan, serta mampu menempatkan dirinya pada fungsi kontrol terhadap pelaksanaan peran hakim dalam proses peradilan. Setiap penyimpangan, kesalahan prosedur,serta hal-hal yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan dalam proses peradilan akan diikuti dengan reaksi-reaksi sosial dengan berbagai bentuk, dari yang reaksi halus sampai reaksi yang keras.

Fakta dilapangan misalnya pada Putusan hakim

No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan telah meruntuhkan propesional hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sekiranya para hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masih didukung oleh moral atau akhlak yang mulia, berbagai rayuan dan godaan yang datang tidak akan mampu merubah sikap hakim itu sendiri. Kenyataan dilapangan masih banyak putusan hakim dalam proses peradilan yang justru menciptakan polemik baru dan tidak menyelesaikan masalah. Padahal idealnya putusan hakim yang dilahirkan tersebut harus mampu menyelesaikan perkara.

Hasil survei Transparency International realitas praktik hukum dilapangan ternyata ditandai dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan-putusan peradilan yang dinilai tidak adil, tidak jujur, memihak, tidak sesuai dengan hukum yang ada atau dengan kata lain peradilan bukan lagi sebagai tempat yang dapat memberi perlindungan bagi para pencari keadilan. Menurut mantan Ketua Komisi III DPR periode 2004-2009 Trimedya Panjaitan. Hasil survey Transparency International tersebut menunjukan cita penegak hukum (Hakim,Jaksa,Advokad,Polisi) dan peradilan dimata masyrakat tampak buruk dan masih menunjukan praktik korupsi.

(14)

14

Idealnya sebagai salah satu pilar perwujudan kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri, dan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meneggakan hukum dan keadilan, maka diperlukan adanya keterbukaan dan tanggungjawab hakim dalam melahirkan putusan yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.Sebaiknya putusan hakim yang tidak mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan pada akhirnya turut mempengaruhi citra lembaga pengadilan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja setidaknya ada 6 (enam) faktor-faktor yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan selama ini. Faktor-faktor tersebut yakni, sebagai berikut:

1. Lambatnya penyelesaian perkara;

2. Adanya kesan hakim kurang berusaha memutuskan perkara dengan

sungguh-sungguh yang didasarkan pada pengetahuan hukumnya;

3. Sering kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap hakim tidak

dapat dibuktikan;

4. Perkara yang diperiksa di luar pengetahuan hakim yang bersangkutan,

karena kompleksitas permasalahaan maupun kemalasan hakim yang bersangkutan untuk membuka buku referensi;

5. Para pengacara yang tidak profesional bertindak demi klien;

Pencari keadilan sendiri tidak profesional bertindak demi klien; sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk menenangkan perkaranya dengan jalan apapun

6. SIMPULAN

Perkara tindak pidana penganiyaan merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman dua tahun delapan bulan sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 351 KUHP.Dalam putusan tersebut terdakwa di jatuhkan putusan 4 bulan penjara, dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.Dari tuntutan dan putusan tersebut dapat diuraikan bahwa putusan tersebut jauh dari rasa keadilan.Keadilan yang dilamksud adalah keadilan masyarakat, keadilan dimana korban mendapatkan perlindungan dengan putusan yang sesuai dengan perbuatan terdakwa tersebut.

(15)

15 SARAN

Untuk meningkatkan kualitas putusan dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat maka dalam tulisan ini penulis akan menguraikan saran demi terciptanya peradilan yang sempurna. Adapun saran yang hendak di sampaian antara lain : (1) Bagi penegak hukum hendaknya melakukan proses penegakan hukum yang baik. Artinya menegak hukum mulai dari proses penyidikan sampai pada putusan hendaknya berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. (2) Bagi pemerintah hendaknya membuat regulasi di bidang hukum tidak menimbulkan banyak penapsiran sehingga penegak hukum tidak keliru dalam menjalankannya. (3) Bagi masyarakat hendaknya dapat menghargai putusan hakim. Masyarakat hendaknya memahami prosedur penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Binsar M Gultom,2012,Pandangan Kritis Seorang Hakim,Gramedia Pustaka

Utama,Jakarta.

Djisman Samosir,2012,Sekelumit tentang Penelogi dan pemsayarakatan,

Nuansa Aulia,Bandung.

Fence M Wantu,2011,Idee Des Recht Kepastian Hukum,Keadilan,dan

Kemanfaatan implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata,Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Fence M Wantu,Mutia Cherawaty Thalib,Suwitno Y Imran,2010,Cara Cepat

Belajar Hukum Acara Perdata,Reviva Cendekia,Yogyakarta.

Leden Marpaung,2005,Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh,Sinar

Grafika,Jakarta.

Rony Hanitijo Soemitro, Mukti Fajar, Yulianto Ahmad,2010, Dualisme

Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,Pustaka Pelajar,Yogyakarta

Soerjono Soekanto,Sri Mamudji,2011,Penelitian Hukum Normative,Raja

Grafindo Persada,Jakarta.

Tata Wijayanta,Hery Firmansyah,2011,Perbedaan Pendapat Dalam Putusan

Pengadilan,Pustaka Yustisia,Yogyakarta. Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Asal ibu dan bapak memberikan kesempatan yang berimbang untuk anak berlatih berbahasa dengan orang lain maupun orangtuanya, maka tidak ada yang perlu

Pada tahun 2014 (Jan s/d Mei) daerah yang terjadi kasus HPAI antara lain : Kab. Padang Pariaman sebanyak 1 kasus di bl Feb

Hasil pengujian terhadap lapisan nickel-chromium di atas menunjukkan, bahwa unsur nikel sebagai anoda terlihat lebih mudah melepaskan elektron dari pada unsur chromium, dan sifat lain

Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman

Ukuran kinerja yang digunakan untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan dapat memberikan hasil yang cukup bagi bank untuk menambah modal (baru)

Algoritma K-Nearest Neighbor dapat diterapkan dalam sistem pendukung keputusan seleksi Paskibraka untuk melakukan klasifikasi dalam menentukan status diterima atau tidak

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini