• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Rheumatoid Factor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemeriksaan Rheumatoid Factor"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERIKSAAN RHEUMATOID

PEMERIKSAAN RHEUMATOID

FACTOR (rf)

FACTOR (rf)

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

 Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif, ang mengenai jaringan luna dan cenderung untuk menjadi kronis , yang ditandai dengan adanya inflamsi pada sendi. Inflamasi ini menyebabkan hilangnya bentuk dan fungsi dari sendi, sehingga mengakibatkan nyeri, kaku dan bengkak, yang mengarah pada terjadinya 77 kerusakan dan kehilangan fungsi sendi yang permanen, ciri khusus  Rheumatoid Arthritis (RA) adalah kemerahan, nyeri dan terbatasnya gerakan sendi di tangan , kaki, siku, lutut, dan leher.

Pada kasus yang lebih berat, RA dapat menyerang mata, paru  –  paru atau pembuluh darah, RA juga bias memperpendek harapan hidup dengan menyerang system organ. (FKUI, 1982).

Penyebab penyakit ini masih belum banyak diketahui, ada yang mengatakan karena mycoplasma, virus, dan sebagainya. Penyakit RA lebih banyak mengenai wanita daripada  pria, usia antara 30 –   40 tahun merupakan jumlah yang terbanyak yang menderita RA dan

sering di jumpai dan di derita oleh lebih dar 6 juta orang di seluruh dunia. I.2  Tujuan

Uji Rheumatoid Arthritis ini bertujuan untuk membantu menegaka diagnosa dan menentukan prognosa penyakit  Rheumatoid Arthritis  dengan menemukan adanya faktor Rheumatoid (suatu auto antibody IgM atau IgG), dalam serum penderita.

I.3 Manfaat

Agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan uji Rheumatoid Arthritis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(3)

 Arthritis  adaalah istilah medis ntuk penyakit dan kelainan yang menyebaban  pembengkakan atau radang atau kerusakan pada sendi. Arthritis sendiri merupakan keluarga  besar inflammatory degenerative disease, di mna bentuknya sangat beragam, lebi dari 100  jenis arthritis. (www.kalbefarma.com)

Ciri –  ciri umumnya adalah kesulitan melakukan kegiatan sehari  –  hari (seperti naik tangga dan membuka pintu), kaku –  kaku, rasa sakit pada send, rasa pegel linu, embengkakan di sekitar sendi dan rasa nyeri yang muncul setelah beristirahat atau berdiam diri beberapa waktu. Kadng kala pada beberapa jenis arthritis peradangan dapat mempengaruhi organ tubuh selain sendi, seperti otot, dan kulit. (www.kalbefarma.com)

II.2 Jenis

 – 

 Jenis Arthritis

Dari 100 lebih jenis arthritis yang ada, para ahli Arthritis menggolongkan menjadi  beberapa golongan besar :

a. Osteoarthritis

 b. Inflammatory arthritis, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, juvenile arthritis,  polymyalgia rheumatica,n psoriatic rthritis, reactive arthritis, seronegative arthritis. c. Infections arthritis, hyme disease

d. Rheumatica disease lain, gout

e. Kondisi lain yang menyerupai arthritis : bausitis, campal tunnel syndrome, fibromylgia, tendonitis. (www.mediterm.com)

Sebagaimna penyakit  –   penyakit serius lainnya seperti penyakit jantung dan kanker, arthritis juga terbentuk karena gabungan kompleks dari factor keturunan, biologis, dan lingkungan (www.mediterm.com).

II.2.1 Faktor Keturunan

Bila didalam keluarga ada tyang menderita Arthritis maka resiko menderitua arthritis menjadi lebih besar di banding dengan mereka yang tidak apalagi untuk kasus osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. (www.mediterm.com)

II.2.2 Faktor biologis

Ini adalah istilah luas yang meliputi: umur, jenis kelamin, hormone, berat tubuh, keaktifan atau kegiatan sehari  –   hari, dan profil genetik. Beberapa dari faktor ini dapat di rubah, perpaduan dari keseluruhan faktor inilah yang membuat karakterisitik khusus untuk

(4)

tubuh kita untuk rentan terhadap penyakit  –   penyakit tertentu, termasuk rentan terhadap arthritis.

II.2.3 Faktor Lingkungan

Istilah ini berbeda arti dengan lingkungan sehari  –  hari. Di dalam istilah kesehatan, lingkungan ini berarti apapun yang berada atau berasal dari luar tubuh, seperti diet, kecelakaan sendi terdahulu, infeksi yang pernah diderita, jenis pekerjaan yang pernah dilakukan, dan kegiatan di waktu senggang. Kesemuanya adalah faktor yang sangat mempengaruhi berkembangnya arthritis, terutama bila seara keturunan dan biologis kita mempunyai resiko tinggi. Mereka tyang bekerja di antor mengetik, menerima telepon dengan menjepit di sisi kepala sambil menulis, duduk sepanjang hari dengan posisi yang sama, atau hampir tak beranjak dari kursi untuk menjangkau notebook, atau telepon, mempuntyai resiko tyang tinggi untuk meneriuta muscle steun atau tegang otot atau salah urat yang bias terjadi  berkali –  kali dapat menjadi pencetus timbulnya arthritis. Namun ini adalah factor yang bias kita ubah menjadi lingkungan yang lebih ramah dalam menghinari arthritis. (www.mediterm.com)

II.3 Rheumatoid Arthritis

 Arthritis rheumatoid  adalah penyakit sistemik, radang kronis terutama merusa sendi tulang dan kadang  –   kaddang juga merusak banyak jaringan dan organ  –   organ lainnya diseluruh tubuh. Lebih spesifik lagi penyakit ini ditandai oleh adanya sinovitis prodiferatif yang nonsupuratif, yang pada saatnya akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan arthritis kelumpuhan yang progresif. Bila organ di luar sendi ikut terlibat. Contohnya kulit,  jantung, pembuluh darah, otot paru. RA tidak hanya ada kemiripan dengan penyakit  –   pentyakit ini kadang  –  kadang di sebut sebagai “penyakit jaringan ikat“. (Robbins dan

Kumar, 1995)

Penyakit rheumatoid merupakan penyakit jaringan ikat yang paling sering ditemukan dan merupakan pentyebab yang penting dari ketidakmampuan bergerak. Meskipun gambaran utama adalah dekstruksi polliarthritis yang di tandai dengan infiltrasi dalam sinovial oleh limfosit, sel plasma dan makrofag. Penyakit merupakan efek multi system karenanya kemudian “ penyakit “ rheumatoid merupaka nama yang lebih baik dari rheumatoid “ Arthritis “ karena memberi penekanan bahwa penyakit ini melibatkan multi system. (Underwood, 1999)

(5)

AR merupakan suatu penyakit auto imun yang timbul pada individu  –  individu yang rentan setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak di ketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mycoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigen. Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme di perantai oleh IgG, walaupun respon ini berhasil menghncurkan mikroorganisme, namun individu yang mengdap AR mulai membentuk antibody lain, biasanya IgG atau IgM, terhadap antibody IgG semula. Antibody yang ditujukan komplemen tubuh ini sendiri ini di sebut Factor Rheumatoid (FR). FR menetap di kapsul sendi dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan. AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun, wanita lebih sering terkena daripada pria. (Corwin, 2003)

Arthritis rheumatoid di sebabkan oleh keradangan berkepanjangan yang diakibatkan oleh proses imunologi yang terjadi pada sendi seperti halnya pada hampir semua penyakit autoimun, pencetus yang memulai reaksi imun tidak di ketahui dalam sebagian besar  penderita, infeksi pencetus adalah Faringitis Streptococcus (sakit tenggorokan). (Robins dan

Kumar, 1995)

Reaksi imun humoral maupun yang di perantai sel, keduanya terlibat pada patogenesis arthritis Rheumatoid. Hampir semua pasien memiliki peninngkatan kadar Imunoglobulin serum dan sebenarnya semua pasien memiliki suatu antibodi yang di sebut faktor rheumatoid atau RF yang ditujukan pada FC kepada IgG autolog. IgM merupakan keas immunoglobulin utama yang terdapat pada F, IgG dapat di identifikasi dalam serum sekitar 80 % pasien (penderita seropositif).

Di samping IgM, aktivitas RRF juga dapat di temukan dalam hubungan dengan immunoglobulin IgG dan immunoglobulin IgA. Walaupun peranan yang tepat faktor rheumatoid IgM dalam sirkulasi untuk patogenesis suatu arthritis belum di definisikan, karena tidak di temukan di dalam sendi, terdapat korelasi antara titernya dalam serum dengan derajat gambaran klinis. Faktor Rheumatoid IgG sebaliknya, di temukan di alam rongga sendi yang sakiut dan diperlkirakan terlibat dalam patogenesis arthritis. Karena bentuk RF ini sendiri merupakan sebagai molekul IgG maka RF dapat berlaku baik sebagai antigen maupun anti bodi. Ini mengakibatkan pengelompokan diri dari molekul RF dan pembentukan kompleks imun yang dapat mengikat komplemen.

Ini mengikuti rangkaian kejadian yang sangat umum terjadi pada hipersensitivitas tipe III dan tipe Arthritis. Fagositosis suatu kompleks oleh poliomorf yang di tarik, sel pelapis sinovia dan makrofag mengakibatkan pelepasan enzim lisosom temasuk protease dan koagenase yang netral. Enzim  –   enzim ini merusak pelapisan sinovia dan tentu saja tulang

(6)

rawan sendi. Beberapa observasi mendukung mekanisme jejas sendi, kompleks IgG anti IgG secara tetap ditemukan pada ruang sinovia. Kompleks imun dapat di temukan dalam membran sinovia dan konsentrasi komplemen dalam cairan sinovia rendah. Faktor genetik mempengaruhi terjadinya rheumatoid arthritis. (Robbins dan Kumar, 1995)

Pemeriksaan penunjang tidak banyak berperan dalam diagnosis rheumatoid namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien, pada  pemeriksaan laboratorium terdapat :

1. Test faktor rheumatoid biasanya bositif lebih dari 75 % pasien arthritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya masih dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infektiosa, lues, endocarditis bacterialis,  penyakit kolagen, dan sarkadosis.

2. Protein C –  reaktif biasanya positif. 3. LED meningkat.

4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.

5. Anemia normositik hipokrom akbat adanya inflamasi yang kronik. 6. Trombosit meningkat.

7. Kadar albumin serum menurun dan globulin naik. (FKUI, 2000)

Diagosa RA dan sekitarna 75 % individu yang mengalami RA juga memiliki nilai RF yang positif. Kelemahan RF antara lain karena nilai RF positif juga terdapat pada kondisi  penyakit auto imun lainnya, infeksi kronik dan bahkan terdapat pada 3  –  5 % populasi sehat

(terutama individu usia lanjut). Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang timbul pada awal penyakit sangat di butuhkan. Anti  –  cyclic citrulinated antibodi (anti –  CCP antibodi), merupakan penanda baru yang berguna dalam dia gnosis RA.

Walaupun memiliki keterbatasan, RF tetap banyak di gunakan sebagai penanda RA dan penggunaan RF bersama –  sama anti CCP antibodi sangat berguna dalam diagnosis RA. Anti CCP IgG merupakan penanda RA yang baru dan banyak di gunakan dalam kondisi RA antara lain :

a. Anti CCP IgG dapat timbul jauh sebelum gejala klinik RA muncul. Dengan adantya  pengertian bahwa pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah

(7)

kerusakan sendi, maka penggunaan anti CCP IgG untuk diagnosa RA sedini mungkin sangat bermanfaat.

 b. Anti CCP IgG sangat spesifik untuk kondisi RA. Anti bodi ini terdeteksi pada 80 % individu RA dan memiliki spesifitas 98 %. Antibodi ini juga bersifat spesifik karena dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut.

c. Anti CCP IgG dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut individu dengan nilai anti CCP IgG positif umumnya di perkirakan akan mengalami kerusakan radiologis yyang lebih buruk bila di bandingkan individu tanpa anti CCP IgG.

(8)

BAB III

METODE DAN CARA KERJA

III.1 Waktu dan tempat praktikum

Praktikum uji Rheumatoid Faktor ini di laksanakan pada hari Jumat, tanggal 07 Mei 2010 dan bertempat di Laboratorium Kesehatan Kalimantan Timur.

III.2 Prinsip

Latex polisteren dicoated gamma globulin di reaksikan dengan serum penderita rheumatoid, maka akan terbentuk aglutinasi.

III.3 Alat a. Slide  b. Sentrifuge

c. Rotator d. Yellow tape

e. Pipet tetes atau mikro 50 mikron liter f. Tabung reaksi dan raknya

g. Batang pengaduk III.4 Reagen

a. RF Latex

 b. Kontrol Positif Latex c. Kontrol Negatif Latex III.5 Bahan pemeriksaan

Bahan yang di gunakan adalah serum dari saudari Aniek Rosalita dan Ami Yudhita.

III.6 Cara kerja a. Kualitatif

(9)

1. Dibiarkan sampel dan reagen hingga suhu kamar, lalu di ambil sampel 50 mikron liter, di taruh di dalam slide latr belakang hitam.

2. Latexs di campur hingga homogen, kemudian di taruh satu tetes. 3. Di campur hingga homogen antara sampel dan latexs.

4. Di rotator dengan kecepatan 100 rpm selama 2 menit.  b. Kuantitatif

1. Hasil pemeriksaan sampel positif di lanjutkan dengan pengenceran ber Seri.

2. Diambil NaCl 0,85 % pada tanda lingkaran slide

3. Pada ingkaran pertama di tambah serum 50 μl, dicampur (2x) 4. Lalu ambil 50 μl, ditambah pada lingkaran kedua, di campur (4x) 5. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ketiga, dicampur (8x) 6. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke empat, (16x)

7. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke lima, di campur (32x) dan seterusnya 8. Di tambah masing –  masing 1 tetes reagen latexs, rotator 100 rpm selama 2 menit 9. Hasil posituif terakhir di kalikn 8 IU/ ml adala di laporkan sebagai titer

(10)

III.7 Interpretasi hasil

Positif (+) Negatif (-) Positif (+) : Positif control berisi serum RF > 30 IU/ml Negatif (-) : Negatif control bersi serum RF < 30 IU/ml

(11)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Dari hasil praktikum yang di lakukan di dapatkan hasil dari serum pasien : 1. Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Aniek Rosalita adalah negatif. 2. Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Ami Yudhita adalah negatif. IV.2 Pembahasan

Dalam membantu menegakan diagnosa dan menentukan prognosa dari penyakit rheumatioid arthritis dapat digunakan rose –  wealer atau dengan tes aglutinasi latex. Tes rose wealer atau aglutinasi latex adalah suatu tes aglutinasi pasif (suatu antigen yang larut yang di kaitkan pada partikel  –   partikel besar atau sel di camur dengan anti bodi terhadap antigen tersebut). Untuk menentukan adantya faktor rheumatoid (RF) didalam serum penderita rheumatoid arthritis. RF adalah suatu auto antibodi (IgG / IgM) yang di tujukan terhadap IgGU (anti IgG) dan terbentuk dalam stadium yang agak lanjut. Peyakit rheumatoid arthritis  biasanya stelah menderita lebih dari setengah tahun. Walaupun faktor rheumatoid dapat  berupa IgG maupun IgM tetapi di dallam tes rose wealer atau aglutinasi latexs, hingga IgM

saja yang di tentukan. (Handojo, 1982)

Antigen menyebabkan penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan tepat oleh karena itu sering di sebut dengan antigen x. Namun belakangan ini sering di kemukakan  bahwa ada hubungan tyang positif antara rheumatoid arthritis dengan infeksi oleh Epstein

Barr Virus (EBV). Antigen x yang masuk ke dalam senai akan di proses oleh sel  –   sel immunokompeten dari synovia sendi sehingga merangsang pembentukan anti bodi terhadap antigen x tersebut. (Handojo, 1982)

Antibodi yang di bentuk di dalam sendi ini terutama dari kelas IgG walaupun kelas  –  kelas antibodi yang lain juga terbentuk. Pada penderit  –   penderita rheumatoid arthrituis ternyata secara genetik di dapatkan adanya kelainan dari sel  –   sel limfosit I  –   supresornya sehingga tidak dapat menekan sel  –   sel limfosit T  –   Helperdengan akibatnya timbulnya rangsangan yang berlebih –  lebihan pada plasma sehingga terbentuk antibodi yang berlebihan  pula. Pada dalam jangka waktuyang lama hal ini dapat menimbulkan terjadinya auto antibodi

(12)

Umumnya faktor rheumatoid baru terbentuk setelah penderitua menderitua penyakit selama 6 bulan tetapi dapat pula terjadi lebih awal atau sesudah waktu yang lama. (Handojo, 1982)

Sumber kesalahan yang terjadi pada tes aglutinasi late, adalah :

1. Hasil dari tes harus segera dibaca setelah di rotator, sebab dapat terjadi aglutinasi non spesifik bila campuran mengering.

2. Serum yang amat lipemik dapat memberi hasil tyang positif semu.

3. Botol reagensia harus ditutup engan rapat untuk mencegah penguapan dan auto flokulasi.

4. R eagensia harus di simpan dalam 4˚ C dan harus dikocok dengan baik se belum dipakai.

5. Pencampuran di rotator tidak boleh lebih dari 1 menit. (Handojo, 1982)

(13)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum pemeriksaan RAF di dapatkan hasil bahwa dalam serum tersebut :

a. Serum dari saudari Aniek Rosalita umur 19 tahun nilai RFnya adalah negatif.  b. Serum dari saudari Ami Yudhita umur 20 tahun nilai RFnya adalah negatif .

V.2` Saran

1. Sebaiknya di lakukan pemeriksaan pembanding seperti CRP dan ASTO, jika di dapatkan hasil negatif, karena pada pemeriksaan RF, belum tentu pasien tersebut  bebas dari rheumatoid arthritis karena antibodi baru terbentuk setelah 6 bulan.

2. Hasil tes harus di baca dlam waktu 5 menit. Sebab akan terjadi aglutinasi non spesifik  bila campuran mengerig.

3. Hindari penggunaan serum yang amat lipemik karena dapat memberi hasil yang  positif semu.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasi penelitian yang telah dilakukan pada pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan yaitu pada Poliklinik Rematik, dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas tidur dengan gangguan tidur pada klien dengan rheumatoid arthritis di Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat dengan

Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS ANKLE BILLATERAL DI RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO” telah disetujui

1 PENGARUH TERAPI BACK MASSAGE TERHADAP PENURUNAN TINGKAT NYERI PADA PENDERITA RHEUMATOID ARTHRITIS DI DESA RAJADESA1. KECAMATAN RAJADESA KABUPATEN CIAMIS

Judul : Pola Aktivitas dan Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia di Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat.. Nama : Dendi

Hasil Uji Wilcoxon antara variabel self regulation terhadap kekambuhan penyakit rheumatoid arthritis pada lansia di Dusun Sendangrejo Desa Banjardowo Kecamatan

Table 1 Atherogenesis in rheumatoid arthritis: traditional risk factors and disease-related risk factors16 Risk factors Traditional Age, smoking, dyslipidemia, insulin resistance /

Hasil analisa Ada Hubungan Pengetahuan Lansia dengan Upaya Pencegahan Rheumatoid Arthritis Di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Siantar Marihat Kota Pematang Siantar Tahun 2023 dimana