• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intensitas Nyeri Dan Perilaku Nyeri Pada Pasien Rheumatoid Artritis Di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Intensitas Nyeri Dan Perilaku Nyeri Pada Pasien Rheumatoid Artritis Di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

INTENSITAS NYERI DAN PERILAKU NYERI PADA PASIEN RHEUMATOID ARTRITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI Sari Amalyah Siregar

121121064

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, berkat, bimbingan, dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada pasien Rheumatoid Artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan”.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak ini tidak akan terlaksana penulisannya tanpa ada dukungan, doa, kasih sayang, semangat dan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNS selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta member masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan juga memberi motivasi, dukungan dan semangat kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini. 3. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp. KMB selaku penguji I yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan masukan demi kelancaran skripsi ini.

4. Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan demi kelancaran skripsi ini.

(5)

memperhatikan dan memberikan dukungan penuh baik secara material dan non material serta memberikan dukungan, doa, kasih sayang, semangat dan motivasi yang tiada henti pada penulis. Dan adik-adikku tercinta Adek, Ucok, Dedek dan Dendy yang menjadi penyemangat dan memberi do’a serta

dukungan kepada penulis. Serta tante Tirama Simbolon, M.Si dan seluruh keluarga besar yang selalu mendukung, mendo’akan dan memotivasi.

6. Teman-teman seperjuangan Wenny, Wardah, Hizrah, Nuna, Desy, Yunita, Ihsan, dan Ahmad yang memberi dukungan dan motivasi serta seseorang yang telah memberi do’a, semangat, dukungan, dan motivasi.

7. Teman-teman Se-Angkatan Keperawatan Ekstensi Tahun 2012 yang sama-sama berjuang menuntut ilmu di Fakultas Sumatera Utara dan saling memberikan dukungan semangat dalam menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan profesi keperawatan.

Medan, Januari 2014 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Prakata ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Skema ... x

Abstrak ... xi

Bab 1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

Bab 2. Tijauan Pustaka ... 9

2.1 Nyeri ... 9

2.1.1 Defenisi... 9

(7)

2.1.2.1 Stimulus Nyeri ... 11

2.1.2.2 Reseptor Nyeri ... 12

2.1.2.3 Neuroregulator Nyeri ... 14

2.1.3 Klasifikasi Nyeri ... 15

2.1.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan... 15

2.1.3.2 Klasifikasi berdasarkan Lokasi ... 18

2.1.3.3 Klasifikasi berdasarkan Organ ... 20

2.1.4 Respon Tubuh Terhadap Nyeri ... 22

2.1.4.1 Respon Fisik ... 22

2.1.4.2 Respon Psikologis ... 23

2.1.4.3 Respon Perilaku ... 23

2.1.5 Teori-teori Nyeri ... 25

2.1.5.1 Teori Spesifik ... 25

2.1.5.2 Teori Pola ... 25

2.1.5.3 Teori Pengontrol Nyeri ... 26

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 27

2.2 Intensitas Nyeri ... 33

2.2.1 Defenisi... 33

(8)

2.3 Perilaku Nyeri ... 37

2.3.1 Defenisi... 37

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Nyeri... 38

2.3.4 Instrumen Perilaku Nyeri ... 41

2.4 Rheumatoid artritis ... 42

2.4.1 Defenisi... 42

2.4.2 Etiologi ... 44

2.4.3 Patofisiologi ... 45

2.4.4 Klasifikasi ... 45

2.4.5 Manifestasi ... 47

2.4.6 Kriteria Diagnosa... 49

2.4.7 Pemeriksaan Laboratorium ... 49

2.4.8 Komplikasi ... 50

2.4.9 Penatalaksanaan ... 51

2.5 Nyeri Rheumatoid Artritis ... 53

2.5.1 Ciri Khas Nyeri Rheumatoid Artritis ... 53

2.5.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Rheumatoid Artritis ... 54

Bab 3. Kerangka Penelitian ... 56

3.1 Kerangka Konsep ... 56

3.2 Defenisi Operasional ... 57

Bab 4. Metodologi Penelitian ... 59

4.1 Desain Penelitian ... 59

(9)

4.2.1 Populasi ... 59

4.2.2 Sampel ... 59

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 60

4.4 Pertimbangan Etik Penelitian ... 60

4.5 Instrumen Penelitian ... 61

4.6 Pengumpulan Data ... 62

4.7 Analisa Data ... 64

Bab 5. Hasil dan pembahasan ... 65

5.1 Hasil ... 65

5.2 Pembahasan ... 68

Bab 6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 77 Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 2. Instrumen Penelitian

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Mekanisme Pintu Gerbang ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel.2.1.2.1 Stimulus Nyeri... 11

Tabel 2.1.2.2 Perbedaan Serabut Saraf nyeri tipe delta A dan C ... 13

Tabel.2.1.3.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis ... 17

Tabel.2.1.3.2.1 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam ... 18

Tabel.2.1.3.2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Nyeri Viseral ... 19

Tabel.2.1.4.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri ... 22

Tabel. 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik demografi dan riwayat penyakit responden (n=37) ... 66

Tabel. 5.1.2 Distribusi Frekuensi Intensitas Nyeri Responden ... 67

Tabel. 5.1.3.1 Distribusi Frekuensi Perilaku Nyeri Responden ... 67

(12)

DAFTAR SKEMA

(13)

Judul Penelitian : Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Rheumatoid Artritis Di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

Nama : Sari Amalyah Siregar

NIM : 121121064

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2014

ABSTRAK

Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium. Nyeri merupakan gejala penyakit rheumatoid artritis yang paling sering menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis. Oleh karena nyeri bersifat subjektif, maka diperlukan kemampuan perawat dalam mengidentifikasi nyeri yang dirasakan pasien. Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, sampel diambil dengan consecutive

sampling dengan jumlah sampel sebanyak 37 orang. Instrumen yang digunakan

berupa data demografi, lembar intensitas nyeri (The Pain Numerical Rating Scale) dan Lembar observasi perilaku nyeri (Pain Behavioral Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapat lebih dari setengah responden merasakan nyeri sedang (54,1%) kemudian yang selebihnya merasakan nyeri berat (45,9%), dan ditemukan perilaku responden mayoritas adalah perilaku sedang (81,1%) diikuti perilaku nyeri rendah (5,4%) dan selebihnya mengekspresikan perilaku nyeri berat (13,5%). Pada parameter perilaku nyeri yang terukur guarding (menjaga area yang sakit) adalah perilaku yang terkontribusi terhadap perilaku yang diekspresikan responden (M=2,00, SD= .000) sedangkan rubbing (meraba atau menyentuh area yang sakit) dan sighing (menghela napas) adalah perilaku nyeri yang kontribusinya paling rendah terhadap perilaku nyeri yang diekspresikan responden (M= .86, SD= .419, .315). Terkait nyeri maka perawat harus benar-benar mengkaji nyeri yang dirasakan oleh pasien karena memang nyeri ini sangat bersifat subjektif.

(14)

Title : The Pain Intensity and Pain Behavior in Rheumatoid Arthritis Patients In General Hospital of Dr. Pirngadi Medan

Name of student : Sari Amalyah Siregar Student Number : 121121064

Department : Bachelor of Nursing

Year : 2014

__________________________________________________________________

ABSTRACT

Rheumatoid arthritis (RA) is a chronic disease, usually characterized by inflammation on layer of joints or also called synovium. Pain is a symptom of rheumatoid disease that most often cause a person to seek medical treatment. Because pain is subjective, it would require the ability of nurses to identify patients perceived pain. A person who is experiencing pain will exhibit certain behaviors. This study aims at determining pain intensity and pain behavior in rheumatoid arthritis patients in general hospital of Dr. Pirngadi. This study used a descriptive design, the sample is taken with consecutive sampling with a sample size of 37 people. An instrument which is used in the form of demographic data, pain intensity sheet (The Numerical Pain Rating Scale) and pain behavior observation sheet (Pain Behavioral Observation Protocol). From the research results obtained more than half of the respondents felt moderate pain (54%) and then the rest of severe pain (45%), and found a majority of respondents behavior is the behavior of moderate (81%) followed by low pain behavior (5.4%) and the rest expressing behavior severe pain (13.5%). On measurable parameters of pain guarding (behavior keeping the affected area) is the behavior that is contributed to the respondents expressed by attitudes (M = 2:00, SD = .000) while rubbing (touching or touching the affected area) and sighing (sigh) is a behavioral pain which give the lowest contribution to the behavior of the respondents expressed pain (M - .86, SD = .419, .315). Related to the pain then the nurses should really assess pain experienced by the patients because the pain is very subjective nature.

(15)

Judul Penelitian : Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Rheumatoid Artritis Di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

Nama : Sari Amalyah Siregar

NIM : 121121064

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2014

ABSTRAK

Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium. Nyeri merupakan gejala penyakit rheumatoid artritis yang paling sering menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis. Oleh karena nyeri bersifat subjektif, maka diperlukan kemampuan perawat dalam mengidentifikasi nyeri yang dirasakan pasien. Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, sampel diambil dengan consecutive

sampling dengan jumlah sampel sebanyak 37 orang. Instrumen yang digunakan

berupa data demografi, lembar intensitas nyeri (The Pain Numerical Rating Scale) dan Lembar observasi perilaku nyeri (Pain Behavioral Observation Protocol). Dari hasil penelitian didapat lebih dari setengah responden merasakan nyeri sedang (54,1%) kemudian yang selebihnya merasakan nyeri berat (45,9%), dan ditemukan perilaku responden mayoritas adalah perilaku sedang (81,1%) diikuti perilaku nyeri rendah (5,4%) dan selebihnya mengekspresikan perilaku nyeri berat (13,5%). Pada parameter perilaku nyeri yang terukur guarding (menjaga area yang sakit) adalah perilaku yang terkontribusi terhadap perilaku yang diekspresikan responden (M=2,00, SD= .000) sedangkan rubbing (meraba atau menyentuh area yang sakit) dan sighing (menghela napas) adalah perilaku nyeri yang kontribusinya paling rendah terhadap perilaku nyeri yang diekspresikan responden (M= .86, SD= .419, .315). Terkait nyeri maka perawat harus benar-benar mengkaji nyeri yang dirasakan oleh pasien karena memang nyeri ini sangat bersifat subjektif.

(16)

Title : The Pain Intensity and Pain Behavior in Rheumatoid Arthritis Patients In General Hospital of Dr. Pirngadi Medan

Name of student : Sari Amalyah Siregar Student Number : 121121064

Department : Bachelor of Nursing

Year : 2014

__________________________________________________________________

ABSTRACT

Rheumatoid arthritis (RA) is a chronic disease, usually characterized by inflammation on layer of joints or also called synovium. Pain is a symptom of rheumatoid disease that most often cause a person to seek medical treatment. Because pain is subjective, it would require the ability of nurses to identify patients perceived pain. A person who is experiencing pain will exhibit certain behaviors. This study aims at determining pain intensity and pain behavior in rheumatoid arthritis patients in general hospital of Dr. Pirngadi. This study used a descriptive design, the sample is taken with consecutive sampling with a sample size of 37 people. An instrument which is used in the form of demographic data, pain intensity sheet (The Numerical Pain Rating Scale) and pain behavior observation sheet (Pain Behavioral Observation Protocol). From the research results obtained more than half of the respondents felt moderate pain (54%) and then the rest of severe pain (45%), and found a majority of respondents behavior is the behavior of moderate (81%) followed by low pain behavior (5.4%) and the rest expressing behavior severe pain (13.5%). On measurable parameters of pain guarding (behavior keeping the affected area) is the behavior that is contributed to the respondents expressed by attitudes (M = 2:00, SD = .000) while rubbing (touching or touching the affected area) and sighing (sigh) is a behavioral pain which give the lowest contribution to the behavior of the respondents expressed pain (M - .86, SD = .419, .315). Related to the pain then the nurses should really assess pain experienced by the patients because the pain is very subjective nature.

(17)

BAB l PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkat tertentu. Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri yang dirasakannya itu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual, tidak ada dua individu mengalami nyeri yang sama dan tidak ada dua kejadian nyeri yang sama mengambil respon atau perasaan yang identik pada seseorang individu. Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu (Potter & Perry, 2006).

Di dalam area praktek keperawatan, nyeri mungkin salah satu fenomena klinik yang sering dihadapi. Nyeri adalah konsep yang kompleks untuk didefenisikan dan dipahami. Nyeri bukan hanya pengalaman sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan komponen afektif individunya (Montes-Sandoval, 1999 diambil dari Harahap, 2007). International

Association for the Study of Pain, (IASP) mendefenisikan nyeri sebagai “suatu

(18)

Nyeri adalah alasan utama seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun. Walaupun merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi di bidang medis, nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami. Individu yang merasa tertekan atau menderita akan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri yang dirasakannya. Nyeri merupakan sumber penyebab frustasi, baik klien maupun bagi tenaga kesehatan (Brunner & Suddart, 2002).

Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya (Daud R., 2006). Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat berlangsung selama bertahun-tahun, pasien mungkin mengalami waktu yang lama tanpa gejala. Rheumatoid arthritis merupakan penyakit progresif biasanya yang memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan fungsional. Penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan ras dan kelompok etnik. Rheumatoid artritis lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1 (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).

(19)

telah lama dicurigai, tak satu pun telah terbukti sebagai penyebabnya. Penyebab rheumatoid arthritis merupakan masalah yang sangat aktif diteliti diseluruh dunia. Hal ini diyakini bahwa kecenderungan untuk terkena penyakit rheumatoid arthritis dapat diwariskan secara genetik. Hal ini juga diduga infeksi tertentu atau lingkungan yang mungkin memicu pengaktifan sistem kekebalan tubuh pada individu yang rentan (Shiel, 2010). Serangan rheumatoid arthritis sering terjadi pada orang diantara umur 25 sampai 55 tahun. Penyakit ini memungkinkan membuat kelemahan dan sangat menyakitkan diantara penyakit arthritis yang lain (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).

(20)

menimbulkan nyeri. Serangan nyeri juga dapat menganggu tidur pasien sehingga mempengaruhi tingkat keadaan mudah lelah (Brunner & Suddart, 2002).

Nyeri pada rheumatoid artritis merupakan nyeri yang disebabkan oleh inflamasi. Nyeri rheumatoid artritis ini akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur membaik pada siang hari dan lebih berat pada malam hari. Nyeri ini akan bertambah berat seiring dengan beratnya penyakit dan ambang nyeri dari penderita. Makin bertambah berat penyakitnya maka akan semakin bertambah pula rasa nyerinya. Bila perjalanan penyakitnya dihentikan pada rheumatoid artritis maka rasa nyeri akan berkurang (Isbagio, 2006). Nyeri pada pasien rheumatoid artritis tergolong nyeri chronic non malignant yaitu nyeri yang tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasan nyeri (Prasetyo, 2010).

(21)

mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri, apabila seseorang merasakan nyeri maka perilakunya akan berubah (Potter & perry, 2006).

Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk mengatasi nyeri. Penggunaan instrumen untuk menghitung luas dan derajat nyeri bergantung kepada klien sadar secara kognitif dan mampu memahami instruksi perawat. Laporan tunggal klien tentang nyeri yang dirasakan merupakan indikator tunggal yang paling dapat dipercaya tentang keberadaan dan intensitas nyeri dan apapun yang berhubungan dengan ketidaknyamanan (NIH, 1986 dalam Brunner & Suddart, 2001).

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan individu. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tekhnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu. Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur nyeri seperti visual analog, skala nyeri numerik, skala nyeri deskriptif atau skala nyeri Wong-Bakers untuk anak-anak (Tamsuri, 2007).

(22)

pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat dilihat dan diobservasi. Perilaku ini adalah cara pasien berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri (Fordyce, 1976). Perilaku nyeri merupakan suatu aspek yang menyangkut tentang pengalaman nyeri. Ini adalah keadaan yang tampak jelas kelihatan seperti gerakan anggota badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976) dikutip dari Harahap ( 2007).

Menurut Harahap (2007) pada prakteknya, perilaku nyeri tidak umum digunakan dalam mengkaji nyeri pasien. Akan tetapi bagi pasien yang tidak dapat melaporkan atau mengeluhkan nyerinya dengan mengobservasi perilaku yang diperlihatkan oleh pasien pada saat pasien mengalami nyeri dapat memberikan pemahaman tentang nyeri yang dialaminya.

Perilaku nyeri ini meliputi berbagai perilaku yang dapat diobservasi ketika seseorang mengalami nyeri. Perilaku nyeri yang dapat dinilai ketika seseorang mengalami nyeri meliputi 5 parameter yaitu, (1) guarding yaitu menjaga area yang sakit, (2) braching yaitu pergerakan anggota tubuh yang kaku, (3) rubbing yaitu meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit, (4) grimacing yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5) sighing yaitu menghela napas (Harahap, 2007).

(23)

sering menyebabkan cacat (Isbagio, 2011). Sementara itu prevalensi rheumatoid artritis di Sumatera Utara sebanyak 20,2% dari total penduduk wilayah daerah (Nainggolan,2011).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien rheumatoid artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan.

2. Tujuan Penelitian

2.1 Mengkaji intensitas nyeri pada pasien reumatoid artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

2.2 Mengkaji perilaku nyeri pasien reumatoid artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

3. Pertanyaan Penelitian

3.1 Berapa intensitas nyeri pasien rheumatoid artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

3.2 Bagaiman perilaku nyeri pasien rheumatoid artritis di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

4. Mamfaat Penelitian

4.1 Bagi Praktek Keperawatan

(24)

tentunya agar dapat memberi intervensi sesuai dengan bagaimana nyeri yang dirasakan pasien.

4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini berupa data objektif dan subjektif dari pasien rheumatoid artritis, maka dapat menjadi pengkajian awal bagi mahasiswa sebagai bahan dasar dalam pembentukan intervensi keperawatan untuk menurunkan intensitas nyeri dan manajemen perilaku nyeri pasien rheumatoid artritis.

4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP,1979 dikutip

dari Potter & Perry, 2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan. Perasaan yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan (1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.

(26)

berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin, 1984).

Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri,2012).

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 1997). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor & Priccila, 1997 ). Menurut Shweder & Sullivan, 1993 nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi dalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dan semuanya itu dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa.

Mouncastle mendefenisikan nyeri pengalaman sensori yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan jaringan, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika seseorang terluka secara fisik. Sedangkan menurut Arthur C. Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri

(27)

2.1.2 Fisiologi Nyeri 2.1.2.1 Stimulus Nyeri

Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010). Terdapat beberapa stimulus nyeri, diantaranya:

Tabel.2.1.2.1 Stimulus Nyeri

Faktor Penyebab Contoh

Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, dll)

Meningitis

Kimia Tersiram air keras

Tumor Ca Mamae

Iskemia jaringan Jaringan miokard yang mengalami iskemia karena gangguan aliran darah pada arteri koronaria

Listrik Terkena sengatan listrik

Spasme Spasme otot

Obstruksi Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus

Panas Luka bakar

Fraktur Fraktur femur

Salah urat Keseleo, terpelintir

Radiasi Radiasi untuk pengobatan kanker

Psikologis Berduka, konflik

(dikutip dari Prasetyo, 2010)

(28)

jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

2.1.2.2 Reseptor Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis nosiseptor ini ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalambeberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada daerah viseral. Kerna letaknya yang berbeda inilah nyeri yang timbul memiliki sensasi yang berbeda-beda (Tamsuri,2012).

(29)

bernosiseptorkan serabut A delta. Dalam beberapa detik, nyeri menjdi lebih difus dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena dinosiseptori oleh serabut C ( Potter dan Perry, 2006).

Tabel 2.1.2.2 Perbedaan Serabut Saraf nyeri tipe delta A dan C Serabur saraf tipe delta A Serabut saraf tipe C Daya hantar sinyal relatif cepat

Bermielin halus Diameter 2-5 mm

Membawa rangsangan nyeri yang menusuk

Serabut saraf tipe ini berakhir di kornu dorsalis dan lamina I

Daya hantar sinyal relatif lambat Tidak bermielin

Diameter 0,4-1,2

Membawa rangsangan nyeri terbakar dan tumpul

Serabut saraf tipe ini terakhir di lamina II, III dan IV

(dikutip dari Asmadi, 2008)

(30)

Menurut Prasetyo (2010), reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan-perubahan partikular disekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka reseptor-reseptor inilah yang menangkap stimulus-stimulus nyeri. Reseptor ini dapat dibagi menjadi: (1) exteroreseptor, (2) telereseptor, (3) propioseptor dan (4) interoreseptor. Exteroreseptor yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap perubahan pada lingkungan eksternal, antara lain: corpusculum miessineri dan corpus merkel untuk merasakan stimulus taktil (rabaan dan sentuhan), corpusculum krausse untuk merasakan dingin sedang corpusculum ruffini untuk merasakan rangsangan panas. Telereseptor merupakan reseptor yang sensitif terhadap stimulus yang jauh. Propioreseptor merupakan reseptor yang menerima impuls primer dari organ otot, spindle dan tendon golgi. Dan interoseptor merupakan reseptor yang sensitif terhadap perubahan pada organ-organ visceral dan pembuluh darah.

2.1.2.3 Neuroregulator Nyeri

(31)

meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu ( Potter dan Perry, 2006).

Neurotransmiter terdiri dari (1) Substansi P ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptida ektisator), diperlukan untuk mentransmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri, (3) Prostaglandin dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dan dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel. sedangkan neuromodular terdiri dari (1) endorfin ( morfin endogen) merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh, diaktivasi oleh daya stress dan nyeri serta terdapat di otak, spinal dan traktus gastrointestinal serta dapat memberi efek analgetik, (2) bradikinin yang dilepaskan dari plasma dan pecah di sekitar pembuluh darah yang mengalami cedera, bekerja pada reseptor syaraf perifer yang dapat meningkatkan stimulus nyeri dan bekerja pada sel yang menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).

2.1.3 Klasifikasi Nyeri

Tamsuri (2012) membagi klasifikasi nyeri berdasarkan 3 bagian, yaitu:

2.1.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan

(32)

umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat). Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengindikasikan adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri jenis ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksikan meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Brunner&Suddart, 2003).

Menurut Prasetyo (2010), Cronic acut pain dapat dirasakan setiap harinya dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau tahun). Luka bakar yang parah, kanker yang diderita merupakan keadaan yang dapat menyebabkan nyeri kronis akut. Nyeri yang diakibatkan luka bakar yang parah dan kanker di atas akan terus dirasakan oleh klien sepanjang harinya sampai kondisi yang mendasari timbulnya nyeri tersebut hilang atau terkontrol. Pada kasus tertentu , nyeri berakhir hanya dengan berakhirnya hidup klien (kematian), seperti contoh pada kasus klien dengan stadium terminal.

(33)
[image:33.595.110.516.307.736.2]

(dalam Prasetyo, 2010), terdapat tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non malignan, yaitu: nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam kehidupan, tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasab nyeri dan dapat berlanjut pada sisa kehidupan. Contoh dari berbagai patofisiologi yang dapat mengakibatkan nyeri kronis nonmaligna yaitu: berbagai bentuk dari neuralgia, low back pain, rheumatoid artritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom dan myofascial pain syndrom.

Tabel.2.1.3.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis

Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis

Tujuan/keuntungan Memperingati adanya cedera atau masalah

Tidak ada

Awitan Mendadak Terus-menurus atau

intermiten

Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat

Durasi Singkat (dari beberapa

detik sampai enam bulan)

Lama (enam bulan lebih)

Respon otonom Konsisten dengan respon stress simpatis

Volume sekuncup meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastro intestinal menurun, aliran saliva menurun

(mulut kering)

Tidak terdapat respon otonom

Komponen psikologis Ansietas Depresi, mudah marah, menarik diri dari dunia luar, menarik diri dari persahabatan

Respon jenis lainnya Tidur terganggu, libido

menurun, nafsu makan menurun

(34)

2.1.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu:

a. Nyeri Superfisial

Nyeri Superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini mempunyai waktu penyembuhan yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam (Tamsuri, 2012). Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit klien (Prasetyo, 2010).

b. Nyeri Somatik Dalam (Deep Somatik Pain)

[image:34.595.109.519.654.749.2]

Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan iskemik (Tamsuri, 2012). Nyeri somatik dalam biasanya bersifat difus (menyebar) berbeda dengn nyeri superfisial yang mudah untuk dilokalisir. Bagian yang mempunyai sensitifitas terhadap nyeri antara lain: tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang periesteum dan nervus-nervus. Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemia dan peregangan. Tulang dan kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan yang ekstrim atau stimulasi kimia, misal: rheumatoid artritis, osteomielitis ( Prasetyo,2010)

Tabel.2.1.3.2.1 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam Karakteristik Nyeri Kutaneus Nyeri Somatis Dalam Kualitas Tajam, sensasi terbakar Biasanya bersifat tumpul,

berdenyut

Durasi Berdurasi pendek Biasanya lebih lama

(35)

Lokasi Cenderung dapat dilokalisir, nyeri dapat dirasakan pada suatu titik area, pada permukaan

Cenderung difus dan sulit untuk dilokalisir Tanda gejala yang

menyertai

Rasa terbakar, gatal, hyperalgesia

Berhubungan dengan respon otonom: mual, muntah, berkeringat, muka pucat, bradikardit, penurunan tekanan darah, sinkop

(dikutip dari Prasetyo,2010) c. Nyeri Viseral

[image:35.595.110.517.111.279.2]

Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul (Tamsuri, 2012). Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut dapat berupa iskemia jringan visceral, spasme suatu viscera berongga, rangsang kimia dan distensi suatu organ viscera. Contoh dari nyeri visceral yaitu : apendiksitis, cholecystitis, penyakit kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lain-lain.

Tabel.2.1.3.2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Nyeri Viseral

Karakteristik Somatik Viseral

Superfisial Dalam Kualitas Tajam, menusuk Tajam atau tumpul,

difus

Tajam,tumpul, difus, kejang

Lokalisasi Terpusat Menyebar Menyebar

Mengabar Tidak Tidak Ya

Stimulus penyebab Cedera, abrasi, Panas/dingin Cedara, panas, Iskemia, pergeseran Distensi, iskemia, Spasme, iritasi, kimiawi

Reaksi autonom

Tidak Ya Ya

Refleks kontraksi otot

Dalam Ya Ya

(36)

d. Nyeri Sebar (Radiasi)

Nyeri sebar adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan atau bergerak dari daerah asal nyeri ke sepanjang tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan (Tamsuri, 2012). Nyeri ini terasa pada bagian tubuh yang lain, umumnya karena terjadinya kerusakan pada organ dalam (Asmadi, 2008).

e. Nyeri Fantom

Nyeri pantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan pada organ yang mengalami amputasi seolah-olah organnya masih ada (Tamsuri, 2012). Nyeri ini umumnya terjadi sebab adanya ekstremitas diamputasi (Asmadi, 2008).

f. Nyeri Alih

Nyeri alih nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke orang lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul. Karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medulla spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri timbul biasanya pada beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Tamsuri, 2012).

2.1.3.3 Berdasarkan Organ

(37)

a. Nyeri Organik

Nyeri Organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ (Tamsuri, 2012).

b. Nyeri Neurogenik

Nyeri Neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia. Nyeri ini terjadi secara akut amupun kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri pada system neurologis timbul dalam berbagai bentuk. Neuralgia adalah nyeri yang tajam, seperti spasmus disepanjang satu atau beberapa jalur saraf. Dua bentuk neuralgia adalah saraf trigeminus pada muka dan saraf sciatic pada bagian bawah tubuh. Causalgia sejenis neuralgia adalah rasa nyeri yang terasa sangat membakar disertai dengan cedera saraf perifer pada eksremitas. Pasien biasanya akan merasakan jalur yang sangat panjangguna mencegah stimulus yang mengiritasi (seperti suara kapal terbang diatas kepala) (Barbara, 1996).

c. Nyeri Psikogenik

Nyeri Psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikogenik. Gangguan ini lebih mengarah ke gangguan psikogenik dari pada gangguan organ. Klien yang menderita “benar-benar” mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi

(38)

paling umum. Nyeri psikologik terkadang dilihat dengan stigma yang salah, di mana nyeri ini dianggap sebagai suatu yang tidak nyata. Padahal semua nyeri yang dikatakan adalah nyata (Prasetyo, 2010).

2.1.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri

2.1.4.1 Respon fisik

Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stress. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaption Syndrom” (reaksi

[image:38.595.109.516.527.751.2]

Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulus terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2012).

Tabel.2.1.4.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri

Reaksi Efek

Simpatis

Dilatasi lumen bronkus, peningkatan frekuensi napas Denyut jantung meningkat Vasokonstriksi perifer

Peningkatan glukosa darah Diaforesis

Tegangan otot meningkat Dilatasi pupil

Penurunan motilitas usus

Memungkinkan penyediaan oksigen yang lebih banyak

Memungkinkan transport oksigen lebih besar ke dalam jaringan tubuh (sel) Meningkatkan tekanan darah dengan memindahkan suplai darah dari perifer ke organ viseral, otot dan otak

Memungkinkan penyediaan energi tambahan bagi tubuh

Mengendalikan suhu tubuh selama stress

Menyiapkan otot untuk mengadakan aksi

(39)

yang lebih baik

Menyalurkan energi untuk aktivitas tubuh yang lebih penting

Parasimpatis Pucat

Kelelahan otot

Tekanan otot dan nadi menurun Frekuensi napas cepat, tak teratur

Mual dan muntah Kelemahan

Disebabkan suplai darah yang menjauhi perifer

Karena kelelahan Pengaruh nervus vagal

Karena mekanisme pertahanan yang gagal untuk memperpanjang perlawanan tubuh terhadap stress (nyeri)

Kembalinya fungsi gastrointestinal Akibat pengeluaran energi yang berlebihan

(dikutip dari Tamsuri, 2012) 2.1.4.2 Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati yang sedih, berduka,

ketidakberdayaan dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada pasien yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman “positif” akan

menerima mengalami nyeri yang dialaminya. Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya (Tamsuri, 2012).

2.1.4.3 Respon Perilaku

(40)

Fase ntisipasi merupakan fase yang paling penting karena fase ini merupakanpenentu untuk pase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk mrmahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini, pasien disiapkan untuk belajar bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul dan juga pasien diajarkan bagaimana tindakan pasien jika terapi/tindakan yang dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi ini, klien juga beljar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkanpeningkatan sensasi nyeri yang terjadi pada pasien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh pasien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.

Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seorang pasien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit dan bahkan mungkin berlari-lari.nperilaku klien dalam merespon nyeri ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mentoleransi nyeri dan juga oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadangkala pasien tidak mau mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena menganggap dirinya adalah “orng yang cengeng” atau pasien akan berpandangan bahwa perawat akan menyebut pasien “cerewet”.

(41)

2.1.5 Teori-teori Nyeri

2.1.5.1 Teori Spesifik ( Specivicity Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Descardespada abad ke 17. Teori ini didasarkan pada adanya jalur-jalur tertentu yang dapat mentransmisikan rasa nyeri. Adanya ujung-ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor nyeri, dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat. Impuls kemudian ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia gelatinosa ke thalamus dan berakhir pada area kortek. Nyeri kemudian dapat diinterpretasikan dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak memunculkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secar sederhana yaitu melihat nyeri dari paparan biologis saja tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010)

2.1.5.2 Teori Pola ( Pattren Theory)

Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantar nyeri secara cepat dan serabut yang menghantar nyeri secara lambat ( serabut A delta dan serabur C). Stimulus dari serabut saraf ini membentuk sebuah “pattern/pola”. Teori ini juga mengenal konsep “Central Summation” dimana impuls perifer dari

(42)

spesifik, teori ini juga tidak memperhatikan perbedaana persepsi dan faktor psikologis dari masing-masing individu (Prasetyo, 2010).

2.1.5.3 Teori Pengontrolan Nyeri

Teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interaksi dari dua sistem (Melzack dan Wall, 1965). Dua sitem tersebut yaitu : substansia gelatinosa pada dorsal horn di medula spinalis dan sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang otak.

Serabut A delta yang berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri yang lambat. Sebagai tambahan serabut A beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh stimulus taktil (perabaan/sentuhan). Di dalam substansi gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu “gerbang” yang menbuka dan menutup berdasarkan prinsip

siapa yang lebih mendominas, serabut taktil A beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil.

Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A Beta maka “gerbang akan

terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak. Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa oleh serabut lebih mendominasi, “gerbang” akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi.

(43)

Gate control

A delta dan C

[image:43.595.151.503.113.274.2]

A beta

Gambar.1 Mekanisme “Pintu Gerbang” dengan menutup dan membuka dapat mengatur perjalanan impuls nyeri.

(dikutip dari Prasetyo, 2010)

Sistem kedua yang digambarkan sebagai “pintu gerbang” terletak di

batang otak. Hal ini diyakini bahwa sel-sel di otak tengah dapat diaktifkan oleh beberapa faktor seperti: opiat, faktor psikologis, bahkan dengan kehadiran nyeri itu sendiri dapat memberikan sinyal reseptor di medula. Reseptor ini dapat mengatur serabur saraf di spinal cord untuk mencegah perjalanan transmisi nyeri. Hipotesa ini dapat sedikit membantu untuk menjelaskan kenapa pada anak-anak yang dilakukan sirkumsisi, yang sebelumnya diberikan anastesi tidak merasakan nyeri yang hebat saat tindakan dilakukan (Prasetyo, 2010).

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Kerena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi pasien yang merasakan nyeri. Hal ini sangat penting

(44)

dalam upaya memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan pasien yang mengalami nyeri (Potter dan Perry, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri, yaitu: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) kebudayaan, (4) makna nyeri, (5) lokasi dan tingkat keparahan nyeri, (6) perhatian, (7) ansietas, (8) keletihan, (9) pengalaman sebelumnya, (10) gaya koping dan (11) dukungan keluarga dan sosial.

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2006).

(45)

toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan atau sensitivitas pada nyeri. Bagaimanapun pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial ,budaya dan lain-lain (Prasetyo,2010)

Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick&Dimsdale, 1990 dalam Brunner&Sudart, 2006). Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya. Akibatnya individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan (Brunner&Sudart, 2003).

(46)

wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter&Perry, 2005).

Nyeri yang dirasak bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakn mungkin terasa ringan, sedang atau berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar dal lain-lain, sebagai contoh individu yang tertusukjarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang mengalami luka bakar (Prasetyo, 2010).

Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).

(47)

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu yang lama. Apabila keletihan disertai masalah tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (Potter dan Perry, 2006).

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah menerima nyeri pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis sama dan berulang tetapi nyeri tersebut dapat hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri dan akibatnya pasien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dan apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006).

(48)

koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi nyeri (Potter dan Perry, 2006).

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien. Individu dari kelompok sosial-budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang orang menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri yang dialami (Meinhart dan McCaffery, 1983). Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2006). 2.2 Intensitas Nyeri

2.2.1 Defenisi Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012).

2.2.2 Pengukuran Intensitas Nyeri

(49)

(1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri ada ringan sedang terkontrol tidak

nyeri terkontrol

Keterangan : 0= tidak nyeri, 1-3=nyeri ringan, 4-6=nyeri sedang, 7-9=nyeri terkontrol, 10=nyeri hebat tidak terkontrol

(50)

menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2012).

(2) Skala Intensitas Nyeri Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri sedang nyeri

Nyeri hebat

Keterangan: 0=tidak nyeri, 1-9=nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan,

10=nyeri hebat tak tertahankan

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Tamsuri, 2012).

(3) Skala Analog Visual (VAS)

Tidak nyeri

nyeri sangat

(51)

Keterangan: 0=tidak nyeri, 10=nyeri sangat hebat

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan Perry, 2006).

2.2.2.2 Skala nyeri menurut bourbanis

(52)

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

2.2.2.3 The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/Skala Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri nyeri nyeri

nyeri ringan sedang sangat berat

PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang). Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri

ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995 dalam Harahap, 2007).

2.3 Perilaku Nyeri

2.3.1 Defenisi Perilaku Nyeri

(53)

ditafsirkan sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk tingkatan dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam Harahap, 2007).

Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh out put individu yang terobservasi. Sebagai suatu karakteristik yang dapat diamati sebagai kesan tehadap nyeri seperti, gerakan tubuh, ekspresi wajah, ucapan verbal, berbaring, mencari pengobatan, mencari penasehat medis dan menerima bayaran. Perilaku nyeri adalah tindakan untuk mengkomunikasikan kemampuan dan ketidaknyamanan (seperti, meringis, berjalan dan berkurangnya aktivitas) dan telah menunjukkan sebuah peran yang sangat penting dalam menurunkan tingkat fungsi masing-masing individu dan memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976 diambil dari Harahap, 2007).

(54)

Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat (Fordyce, 1974 dalam Brannon & Feist, 2007). Menurut Turk, Wack, dan Kerns (1985 dalam Dimatteo, 1991) perilaku nyeri yang dapat diobservasi yaitu: (1) Pernyataan Verbal: mengaduh, menangis, sesak nafas dan mendengkur, (2) Ekspresi Wajah: meringis, menggeletukkan gigi, dan menggigit bibir, (3) Gerakan Tubuh: gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, (4) Kontak dengan orang lain/interaksi social: menghindari percakapan, menghindari kontak social, penurunan rentamg perhatian, dan fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri

Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi beberapa faktor yaitu :

2.3.2.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002: Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku daripada laki-laki (Philips & Jahanshahi, 1986).

2.3.2.2 Intensitas nyeri

(55)

nyeri memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku nyeri (Buckelew et al., 1994; Asghari dan Nicholas, 2001, Harahap, 2007)

2.3.2.3 Suku/budaya

Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002) kepercayaan budaya barat sungguh perbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan kelemahan sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas dan pluralistik. Bates, Edwards, & Anderson (1993) mengatakan bahwa negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional dan psikologi negara (Harahap, 2007).

Beberapa penelitian telah menunjukkan suku dan budaya mempengaruhi perilaku nyeri. Brena Sanders, and Motoyama (1990) menyelenggarakan sebuah studi untuk membandingkan psikologi, social dan perilaku umum jumlah pasien nyeri tulang punggung di Jepang dan Amerika. Mereka menemukan bahwa pasien berkebangsaan Jepang lebih sedikit lemah secara psikologi, sosial kejujuran dan ketidak jujuran dalam fungsi mereka dibanding dengan pasien berkebangsaan Amerika (Harahap, 2007).

2.3.2.4 Percaya diri

(56)

dengan latihan dan negatipnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan Rosenthal dkk, 1990 diambil dari Harahap, 2007). Percaya diri berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti, duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri dengan perilaku nyeri ( Harahap, 2007).

2.3.2.5 Pasangan/anggota keluarga

Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan kehidupan social pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976). Menurut Flor, Turk, & Rudy (1992) Pasangan dan anggota keluarga yang lain sering termasuk dalam pengobatan dan megajarkan kepada pasien untuk berespon positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi peningkatan nyeri pasien (Harahap, 2007).

2.3. Instrumen Perilaku Nyeri

(57)

Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Menurut Fordyce (1976) dalam Harahap (2007), mengembangkan metode pengawasan diri melalui catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku seperti : duduk, berdiri atau berjalan. Pasien juga diminta untuk melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 diambil dari Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri pada peilaku nyeri kelihatanya akan berat sebelah atau tidak akurat karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam melaporkan perilaku mereka sendiri ( Turk & Flor, 1978 diambil dari Harahap, 2007).

Moores dan Watson (2004 dalam Harahap, 2007) menggunakan metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga telah dikritik karena pasien akan cenderung untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasan yang paling utama pada metode pertanyaan dan wawancara adalah bahwa tidak mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.

(58)

dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri itu adalah tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara tidak langsung kelihatanya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari ituu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka mungkin akan memanipulasi peilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond (1999 diambil dari Harahap, 2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri haruslah mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan langsung kelihatanya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih mudah digunakan (Harahap, 2007).

2.4 Rheumatoid Artritis

2.4.1 Defenisi Rheumatoid Artritis

(59)

rheumatoid arthritis adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial.

Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium.Ia bisa menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, nyeri kronik, kehilangan fungsi dan kecacatan (American Rheumatism Association). Sedangkan menurut WHO (World Health Organization), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. Ia biasanya menyerang pada kelompok dewasa produktif, umur antara 20 hingga 40 dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas.

(60)

Pada pasien RA yang kronik dapat terjadi tanpa ada gejala klinis tapi sendi terus mengalami kerusakan hingga sendi tidak berfungsi lagi (Shiel, 1999). Rematoid Artritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif, mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis yang menyebabkan terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit RA ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Adnan, 2008).

Waluyo (1993 dalam et Al nasution, 2007) penyakit RA perasaan nyeri dan kaku dibagian sendi. Pada umumnya RA mempunyai kelainan sendi yakni: RA yang menyerang sendi dan otot, menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam tubuh lainnya, bersifat sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan nyeri otot (mialgia), hanya jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang sistem sendi, otot, kulit dan alat-alat dalam.

2.4.2 Etiologi Rheumatoid Artritis

(61)

2.4.3 Patofisiologi

Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Brunner dan Suddarth, 2002).

Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).

2.4.4 Klasifikasi Rheumatoid Artritis

(62)

Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

2.4.4.1 Rheumatoid arthritis klasik

Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Jika ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk RA, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam kelompok ini.

2.4.4.2Rheumatoid arthritis defisit

Tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

2.4.4.3 Probable rheumatoid arthritis

Tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

2.4.4.4 Possible rheumatoid arthritis

(63)

2.4.5 Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh)

Gambar

Tabel.2.1.2.1 Stimulus Nyeri
Tabel 2.1.2.2 Perbedaan Serabut Saraf nyeri tipe delta A dan C
Tabel.2.1.3.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis
Tabel.2.1.3.2.1 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Tesis : PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN HAEMODIALISA PESERTA ASKES SOSIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.. PIRNGADI MEDAN

USU Medan bekerjasama dengan Badan Pelayanan Kesehatan Rumah sakit Umum Dr.. Pirngadi Medan mengadakan Praktek Kerja Profesi bagi

Pola penggunaan obat asma pada pasien asma rawat inap periode Juli 2014 – Juni 2015 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan berdasarkan jenis obat, golongan obat,

3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Aktivitas Hidup Sehari- hari Dasar Pasien Diabetes Melitus di Poli Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Pirngadi Medan (n =

Pirngadi Kota Medan yang telah memberi izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.. Pirngadi

pirngadi Medan, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan bagaimana

Pirngadi Kota Medan dan untuk mengetahui pemberian terapi albumin pada pasien luka bakar sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

pada waktu (durasi) satu detik sampai dengan enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan... umumnya terjadi pada cedera,