• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANGUTAN BATANG TORU. Wanda Kuswanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ORANGUTAN BATANG TORU. Wanda Kuswanda"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Wanda Kuswanda

FORDA PRESS

2014

(3)

ORANGUTAN BATANG TORU: KRITIS DI AMBANG PUNAH

Penulis:

Wanda Kuswanda

Editor:

M. Bismark, Agus P. Kartono, dan Pujo Setio

Desain Sampul:

Wendra S. Manik

Tata Letak:

FORDA PRESS

Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xvi + 188 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-4-8

Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS

Anggota IKAPI No. 257/JB/2014

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093

Email: fordapress@yahoo.co.id

Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI Jl. Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Simalungun, Sumatra Utara 21174

Telp./Fax. +62622 5891963 Email: bpk.aeknauli@gmail.com

Website: http://bpk-aeknauli.litbang.dephut.go.id/ atau http://balithut-aeknauli.org/

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan

KUSWANDA, Wanda

Orangutan Batang Toru: Kritis di Ambang Punah / Wanda Kuswanda. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014

xvi, 188 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-4-8

(4)

KATA PENGANTAR

P

ertama dan yang utama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkah dan karuniaNya sehingga Buku ”Orangutan Batang Toru: KRITIS di ambang PUNAH” telah selesai disusun. Penyusunan buku ini merupakan bentuk tanggung jawab penulis sebagai peneliti dalam upaya menyebarluaskan informasi hasil penelitian. Isi buku ini merupakan rangkaian dari berbagai publikasi dan hasil penelitian penulis yang telah dilakukan mulai tahun 2003– 2011, serta telaahan hasil penelitian dari para pakar lainnya. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, menjadi acuan penyusunan kebijakan dan panduan para pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan konservasi satwa liar, khususnya orangutan Sumatra.

Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunannya. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada para narasumber, pejabat struktural dan peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, penelaah ilmiah (Prof. Dr. M. Bismark, Dr. Agus P. Kartono dan Drh. Pujo Setio, M.Si), kontributor data, rekan kerja di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, petugas dan pendamping lapangan (khususnya petugas Seksi Wilayah Pengelolaan Sipirok, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara dan Bang Nasir “ParMawas” Siregar), Sumatra Rainforest Institute (SRI),

(5)

serta para pihak lainnya yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT dapat membalas kebaikan semuanya.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna sehingga kritikan dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan konservasi satwa liar, khususnya orangutan; yang efektif, efisien, dan partisipatif. Akhirnya, penulis berharap kehadiran buku ini dapat menjadi pemicu keikutsertaan para pihak dalam melestarikan orangutan sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia yang populasinya kritis dan sudah berada di ambang kepunahan.

Aek Nauli, Desember 2014 Penulis

(6)

SAMBUTAN

KEPALA BALAI PENELITIAN

KEHUTANAN AEK NAULI

O

rangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) merupakan satwa endemik yang sebaran alaminya hanya tersisa di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, dengan status konservasi sebagai satwa yang kritis terancam punah. Salah satu habitatnya yang masih cukup baik adalah di Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Keberadaan orangutan Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah menarik perhatian banyak pihak karena diduga memiliki pola kehidupan yang berbeda dengan orangutan di Aceh (sebelah Utara Danau Toba).

Kualitas dan luas habitat orangutan Batang Toru saat ini diduga terus menurun karena masih maraknya aktivitas konversi hutan menjadi areal perkebunan, pertanian dan pemukiman masyarakat. Sebagian besar penduduk sekitarnya bermata pencaharian sebagai petani. Untuk itu, upaya konservasinya menjadi sangat penting karena sebaran populasinya terus terfragmentasi pada luasan habitat yang sempit, seperti pada kawasan konservasi. Segala upaya sebaiknya terus ditempuh untuk melestarikan orangutan melalui tindakan yang nyata, bijaksana, dan rasional.

Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi bagian solusi bagi para pihak untuk mewujudkan upaya konservasi tersebut. Buku ini menyajikan secara lengkap informasi

(7)

tentang bioekologi dan perilaku orangutan, kondisi masyarakat, kelembagaan, sampai strategi konservasi orangutan Batang Toru. Penyusunan buku ini berdasarkan hasil penelitian dan review publikasi penulis selama bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Buku ini tentunya akan sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan referensi bagi para pihak yang terkait dalam upaya konservasi orangutan Sumatra.

Penghargaan dan terima kasih, kami sampaikan kepada penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Besar harapan terpublikasinya buku ini dapat bernilai guna bagi para pihak yang membutuhkannya.

Aek Nauli, Desember 2014 Kepala Balai,

Ir. Iton Bambang Partono B. D. NIP. 19581115 198703 1 004

(8)

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT LITBANG

KONSERVASI DAN REHABILITASI

H

utan tropis di Pulau Sumatra merupakan habitat beragam jenis satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang, seperti orangutan (Pongo abelii Lesson). Degradasi kawasan hutan di Sumatra telah mengakibatkan habitat orangutan berkurang dan terus terfragmentasi sehingga populasi orangutan juga semakin menurun, termasuk di sekitar kawasan Hutan Batang Toru, Sumatra Utara. Saat ini, orangutan Sumatra telah menjadi satwa prioritas untuk dilakukan upaya konservasi oleh Kementerian Kehutanan. Walaupun menjadi maskot pelestarian hutan di Indonesia, prioritas konservasi didasarkan pada statusnya yang sudah termasuk sebagai satwa kritis terancam punah.

Hasil penelitian tentang orangutan Sumatra di Hutan Batang Toru belum banyak dipublikasikan dibandingkan dengan orangutan yang berada di Provinsi Aceh. Hal ini tentunya masih menyulitkan bagi para pengambil kebijakan dan praktisi lapangan dalam merumuskan strategi dan aksi konservasi orangutan yang komprehensif di Hutan Batang Toru. Padahal, pelaksanaan konservasi tersebut harus segera diimplementasikan karena sangat rawan akan terjadi kepunahan orangutan Sumatra secara lokal.

Isi buku ini mengulas secara lengkap tentang bioekologi orangutan Sumatra berdasarkan hasil kajian ilmiah dan pada bagian akhir dipaparkan berbagai strategi dan teknik untuk

(9)

pelaksanaan konservasinya. Untuk itu, buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan sekaligus solusi bagi para pihak (pemerintah, peneliti, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat) dalam mengembangkan penelitian dan program aksi konservasi orangutan, khususnya di Hutan Batang Toru.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada penulis, kontributor dan penelaah ilmiah, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan upaya pelestarian orangutan dan kawasan hutan pada umumnya.

Bogor, Desember 2014 Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN

AEK NAULI vii

SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN

REHABILITASI ix

DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR x I. PENDAHULUAN 1 A. Ambang Kepunahan Orangutan 1 B. Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan 4 C. Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra 6 D. Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi 7 II. GAMBARAN HUTAN BATANG TORU 11

A. Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali 19 B. Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok 21 III. SEJARAH, TAKSONOMI DAN SEBARAN 27

A. Sejarah 27

B. Taksonomi dan Morfologi 28 C. Sebaran 29 IV. HABITAT 33

A. Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan 34

B. Tumbuhan Pakan Orangutan 39

C. Daya Dukung Habitat 45 D. Pemilihan Tipe Habitat 49 E. Seleksi Sumber Daya Habitat 52

(11)

V. SARANG DAN POPULASI 61

A. Karakteristik Sarang 61 B. Pendugaan Populasi 67 C. Parameter Demografi 71

VI. PERILAKU 75

A. Jenis Perilaku Orangutan 75 B. Aktivitas Harian 79 C. Adaptasi Terhadap Perubahan Habitat 88

VII. ANCAMAN KELESTARIAN 91

A. Kerusakan Habitat 91 B. Perburuan 97 VIII. MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA 99

A. Karakteristik Sosial Ekonomi 100

B. Lahan Olahan Masyarakat 103 IX. PERSEPSI DAN PERANAN PARA PIHAK 109 A. Persepsi Para Pihak 109

B. Peranan Kelembagaan 117

X. STRATEGI KONSERVASI 125

A. Perlindungan Habitat pada Hutan Konservasi 128 B. Pengelolaan Habitat di Luar Hutan Konservasi 137 C. Restorasi Habitat 146

D. Pembangunan Koridor 147

E. Monitoring dan Pengembangan Penelitian 149 F. Pemberdayaan Kelembagaan Terkait 151 G. Translokasi dan Reintroduksi 155

H. Penggalangan Dana Konservasi 162

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat

orangutan Sumatra (2002–2009) 5 2. Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap

kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara 12 3. Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi

orangutan Sumatra 30 4. Nilai Chi-square analisis pemilihan tipe habitat oleh

orangutan 51 5. Variable in the Equation dari regresi logistik 57 6. Kriteria umur sarang orangutan 63 7. Klasifikasi posisi sarang orangutan 65 8. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok

Sibual-buali 68 9. Dugaan kepadatan dan populasi orangutan di CA Dolok

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Peta Kawasan Blok Hutan Batang Toru 13 2. Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru 14 3. Habitat orangutan di kawasan Hutan Batang Toru 17 4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali 18 5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA

Sibual-buali 21

6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok 23 7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok: 1)

siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko

(Hylobathes agilis) 24 8. Peta sebaran habitat orangutan Sumatra 31 9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali 35 10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA

Dolok Sipirok 36 11. Kerapatan tumbuhan pada ketinggian 900–1.200 m dpl

di CA Dolok Sipirok 37 12. Beringin adalah jenis tumbuhan yang dikonsumsi daun

dan buahnya 39 13. Motung, salah satu jenis tumbuhan pakan yang disukai

orangutan 40 14. Penelitian serasah daun pada pohon pakan orangutan 43 15. Buah asam hing yang banyak dikonsumsi orangutan 44 16. Komposisi tumbuhan pada ketinggian 600–900 m dpl 53 17. Kerapatan tumbuhan pada hutan sekunder di CA Dolok

Sipirok 54

(14)

19. Sarang khas orangutan; terdapat dua sarang dalam satu

pohon 61

20. Deskripsi sarang pada berbagai kelas umur 64 21. Orangutan Batang Toru (betina dewasa dan bayinya) 73 22. Perilaku makan orangutan Batang Toru 75 23. Perilaku berjalan di batang pohon 76 24. Orangutan beristirahat siang di atas sarang 79 25. Durasi aktivitas orangutan pada pagi hari berdasarkan

kelas umur 80 26. Aktivitas makan orangutan pada pagi hari 81 27. Durasi aktivitas orangutan pada siang hari berdasarkan

kelas umur 83 28. Durasi aktivitas orangutan pada sore hari berdasarkan

kelas umur 84 29. Penebangan liar di sekitar CA Dolok Sipirok 92 30. Perambahan hutan konservasi untuk lahan perkebunan 93 31. Jaringan jalan yang membelah Hutan Batang Toru 95 32. Orangutan sitaan dari peliharaan masyarakat 97 33. Perkampungan masyarakat penyangga di Desa Hopong,

Sipirok 101

34. Lahan pertanian sawah yang berbatasan langsung

dengan hutan cagar alam 102 35. Hutan rakyat dengan tanaman kayu manis 105 36. Perkebunan karet campur tanaman aren pada lahan

masyarakat 106 37. Diskusi dan pengisian kuisioner bersama masyarakat

dan aparat desa 111 38. Pengisian kuisioner oleh pegawai Pemerintah Daerah

Kabupaten Tapanuli Selatan 120 39. Habitat orangutan di hutan produksi yang masih primer 143

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Ambang Kepunahan Orangutan

O

rangutan adalah satu-satunya primata jenis kera besar Asia yang penyebarannya hanya tersisa di Indonesia dan terbatas di Pulau Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus). Orangutan merupakan jenis satwa liar yang menarik sehingga banyak diburu dan dijadikan satwa peliharaan. Orangutan telah termasuk sebagai jenis satwa liar yang dilindungi berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), orangutan Sumatra (Pongo abelii) dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (critically endangered) dalam the IUCNRed List of Threatened Species sejak tahun 2000 (Singleton et al., 2008).

Populasi orangutan dalam 30 tahun terakhir terus mengalami penyusutan. Populasi orangutan Sumatra pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 7.500 individu (Population and Habitat Viability Assessment/PHVA, 2004) dan diduga berkurang menjadi 6.667 individu pada tahun 2007 (Departemen Kehutanan, 2007). Penyusutan populasi ini terjadi karena masih kurang efektif upaya untuk

(16)

menghentikan laju kerusakan hutan sebagai habitat orangutan. Selain itu, ancaman bagi kelangsungan hidup orangutan dan habitatnya masih terjadi akibat perburuan liar untuk kebutuhan subsisten atau religius, perdagangan satwa liar; dan konversi hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan, seperti perkebunan, pertanian, dan industri (Kuswanda, 2007a; Wich et al., 2011a).

Orangutan pada saat ini sudah berada di ambang kepunahan akibat degradasi dan fragmentasi habitat. Laju degradasi dan fragmentasi hutan sebagai habitat orangutan tersebut masih sulit untuk dihentikan (FAO, 2010). Selain itu, perlindungan habitat orangutan di dalam dan di luar kawasan konservasi masih sangat rendah. Secara umum, pengusahaan hutan atau kegiatan logging belum memenuhi standar pengelolaan hutan lestari. Program Reduce Impact Logging (RIL), High Conservation Value Forest (HCVF), ataupun Restoring Logged Over Land (RLOL) belum sepenuhnya diterapkan dalam pengusahaan hutan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006). Apabila degradasi hutan terus berlanjut seperti saat ini, orangutan Sumatra mungkin menjadi kera besar pertama yang akan punah dari alam liar (Wich et al., 2008). Kondisi tersebut dapat terjadi walaupun sudah ada arahan strategi konservasi orangutan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-IV/2007).

Permasalahan konservasi orangutan masih mengalami hambatan dalam penerapan kebijakan, program dan kegiatan oleh berbagai pihak. Peran serta para pihak (stakeholders) dalam konservasi orangutan hingga saat ini dianggap kurang optimal dan belum terintegrasi. Kebijakan dan program yang dilaksanakan stakeholders masih tumpang tindih sehingga

(17)

sering mengalami kegagalan dalam implementasi di lapangan (Kuswanda & Bismark, 2007a). Kesadaran dan keikutsertaan masyarakat lokal dalam konservasi juga masih sangat terbatas akibat kurangnya pengetahuan untuk mendukung program pelestarian orangutan. Pelaksanaan konservasi yang bersifat kolaboratif dan partisipatif belum banyak diimplementasikan dengan baik. Peraturan dan hukum untuk melindungi keragaman hayati, termasuk orangutan yang telah dirancang dan disahkan oleh pemerintah juga belum dilaksanakan secara konsisten karena tidak adanya koordinasi secara terpadu antar kelembagaan terkait (Meijaard et al., 2001; Wich et al., 2011a). Apabila permasalahan terus berlanjut, fenomena ini akan semakin meningkatkan ambang kepunahan orangutan.

Orangutan Sumatra, sebagai kera terbesar yang masih tersisa di Indonesia, memiliki keeksotisan atau daya tarik tersendiri dibandingkan jenis primata lainnya. Satwa liar ini sudah dikenal semua orang dan membuat kagum dunia. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan orangutan sebagai maskot pelestarian hutan Indonesia untuk menarik perhatian internasional dalam membantu upaya konservasinya. Sayangnya, walapun satwa ini bersifat eksotis dan menjadi maskot pelestarian hutan, pada kenyataannya sedang berada dalam kondisi kritis terancam punah. Oleh sebab itu, strategi konservasi orangutan harus terus dikembangkan agar cerita dan keeksotisannya tidak hanya menjadi sejarah belaka. Apalagi, salah satu kelompok populasi orangutan yang hidup di Hutan Batang Toru (kawasan hutan yang terletak di sebelah Selatan Danau Toba, Sumatra Utara)–selanjutnya disebut sebagai ”Orangutan Batang Toru”–kini juga mulai terancam kelestariannya. Saat

(18)

ini, kondisinya berada di bawah ukuran populasi yang ideal untuk bisa tetap lestari dalam jangka panjang. yaitu kurang dari 500 individu (PHVA, 2004).

B. Kerusakan Hutan Tropis Habitat Orangutan

Hutan tropis ibarat lumbung harta karun dari beragam jenis keragaman hayati; mulai tingkat genetik, spesies, hingga ekosistem. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia (Ewusie, 1990). Ribuan variasi flora dan fauna dapat hidup dan berkembangbiak di dalamnya, termasuk orangutan. Orangutan menempati hutan hujan tropis terutama hutan dataran rendah sebagai habitatnya. Menurut Rijksen (1978) dan Sugardjito (1986), orangutan hanya mampu bertahan hidup dan berkembangbiak pada habitat tropis yang masih primer, seperti yang masih tersisa di Pulau Sumatra dan Kalimantan.

Ekosistem hutan tropis meliputi makhluk hidup dengan komunitas biotik dan lingkungan abiotiknya. Masing-masing komponen saling memengaruhi sifat-sifatnya sehingga interaksinya menjadi penting dalam memelihara kehidupan. Interaksi yang terjadi tersebut menghasilkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian alam (Irwan, 2007). Terjadinya kerusakan dan kehilangan keragaman hayati pada hutan tropis dapat mengurangi produktivitas dan ketahanan spesies beserta ekosistemnya secara menyeluruh (Naeem et al, 2009). Penurunan kualitas hutan primer menjadi hutan sekunder pada habitat orangutan Sumatra di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dapat dilihat pada Tabel 1.

(19)

Tabel 1. Perubahan penutupan lahan hutan primer habitat

orangutan Sumatra (2002–2009)

Provinsi Perubahan Hutan Pengurangan Luas ha % Aceh Hutan primer menjadi

rawa sekunder

2.262,98 2,24

Hutan primer menjadi hutan sekunder

70.868,89 70,02

Hutan primer menjadi HTI 24.147,14 23,86 Hutan primer menjadi

lahan pertanian

3.930,21 3,88

Sumatra Utara

Hutan primer menjadi rawa sekunder

31.347,83 14,60

Hutan primer menjadi hutan sekunder

171.560,79 77,88

Hutan primer menjadi HTI 291,53 0,13 Hutan primer menjadi

lahan pertanian

3.646,56 1,68

Hutan primer menjadi semak

7.639,46 3,51

Hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder

588,01 0,27

Hutan rawa primer menjadi semak

10,01 0,00

Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011

Pemanfaatan kawasan hutan tropis di Sumatra (juga di Kalimantan) yang tidak memerhatikan prinsip keseimbangan ekosistem tentunya akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan orangutan. Penyusutan dan kerusakan kawasan

(20)

hutan tropis di Sumatra telah menurunkan luas habitat orangutan sebesar 1–1,5% per tahun sehingga populasinya semakin terancam punah (Departemen Kehutanan, 2007). FAO (2010) menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis di Sumatra sangat mengkhawatirkan, baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, yang mencapai 43,4% selama periode 1985–2007.

C. Perkembangan Penelitian Orangutan Sumatra

Penelitian tentang orangutan Sumatra telah banyak dilakukan, namun sebagian besar masih terfokus pada hutan dataran rendah. Padahal, orangutan Sumatra (Pongo abelii) banyak menempati habitat dataran tinggi (lebih dari 800 meter di atas permukaan laut/m dpl). Lokus penelitian orangutan Sumatra juga sebagian besar dilakukan di Provinsi Aceh (sebelumnya bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) sebagai habitat orangutan di sebelah Utara Danau Toba, seperti yang dilaporkan oleh Rijksen (1978); Sugardjito (1986), van Schaik et al. (1995); dan Singleton & van Schaik (2001). Sementara itu, penelitian orangutan di Sumatra Utara, terutama di sebelah Selatan Danau Toba, masih sangat sedikit dan baru dimulai sekitar awal tahun 2000-an. Padahal, orangutan di sebelah Selatan Danau Toba diduga memiliki varian genetik yang berbeda dengan orangutan di sebelah Utara Danau Toba (Wich et al., 2011b).

Habitat orangutan di sebelah Selatan Danau Toba sebagian besar berada pada dataran dataran tinggi (lebih dari 800 m dpl). Habitat tersebut berada di kawasan Hutan Batang Toru, seperti di kawasan konservasi Cagar Alam (CA) Sibual-buali dan CA Sipirok (Kuswanda, 2006b; Djojoasmoro et al., 2004). Penelitian orangutan di sebelah Selatan Danau

(21)

Toba (seperti di Hutan Batang Toru) masih sangat terbatas dan tentunya perlu ditingkatkan, terutama untuk mengembangkan teknik konservasi di hutan dataran tinggi. Apalagi, laju kepunahan orangutan di Hutan Batang Toru diduga akan lebih cepat karena sebaran yang terbatas, tingkat kepadatan yang lebih rendah dibandingkan orangutan di habitat dataran rendah, dan terdapatnya ancaman kerusakan habitat yang terus meningkat (Kuswanda & Sugiarti, 2005a). Penelitian orangutan pada habitat dataran tinggi di Hutan Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah dimulai oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan sejak tahun 2003 dan hasilnya diuraikan dalam buku ini.

D. Perkembangan Paradigma Pelaksanaan Konservasi

Konservasi di masa lalu, bahkan sampai saat ini, masih menggunakan pendekatan pengelolaan berbasis kawasan. Model pendekatan ini sering menimbulkan konflik antara pemangku kawasan dengan masyarakat. Begitu pula, penyusunan program konservasi satwa liar, termasuk pada orangutan, sebagian besar masih berlandaskan pertimbangan kondisi ekologis (habitat dan populasi). Program konservasi ini belum dipaduserasikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan peranan para pihak (Kuswanda & Bismark, 2007a). Masyarakat sekitar habitat orangutan seringkali hanya menjadi penonton dan bukan bagian dari pelaksanaan konservasi. Dampaknya, pelaksanaan program konservasi orangutan seringkali mengalami kegagalan karena rendahnya respons dan peran serta masyarakat (van Schaik, 2006) .

(22)

Pendekatan pengelolaan hutan konservasi dengan sistem kawasan dianggap masih belum optimal seperti taman nasional (TN), cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM). Sistem pengelolaan kawasan hutan konservasi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan habitat yang diperlukan bagi kelangsungan hidup beragam jenis satwa liar, seperti orangutan yang membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas. Risiko pemusnahan orangutan di alam pun secara cepat dapat terjadi karena pembangunan infrastruktur akibat pertumbuhan populasi manusia dan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hutan konservasi yang salah satunya diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan satwa liar hanya merupakan ”pulau-pulau” habitat (habitas islands) akibat terfragmentasi dan terisolasi oleh kawasan budi daya manusia seperti areal perkebunan, industri, pemukiman, pertanian, atau kawasan hutan produksi yang terdegradasi (Marsono, 2009).

Saat ini; perspektif pemikiran, perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi (termasuk dalam melindungi keragaman hayati di dalamnya) mulai bergeser dari paradigma “species and habitat protection” menuju paradigma ”beyond boundary management” dalam skala ekosistem/bioregion/lansekap. Pengelolaan individual kawasan terbukti kurang efektif di lapangan. Hal ini terjadi karena sistem pengelolaan dilakukan layaknya sebuah pulau yang terisolasi dari konteks masalah sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya. Evolusi konsep dalam konservasi orangutan pun mengalami perkembangan; yang sebelumnya hanya memasukkan pendekatan pengelolaan habitat dan populasi, kini bertambah dengan memasukkan konteks sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam tataran ekosistem

(23)

atau lansekap. Hal ini diharapkan akan lebih menjamin efektivitas konservasi orangutan di habitat alam dalam jangka panjang yang menghendaki pemeliharaan proses dan dinamika interaksi dalam tingkat jenis, antar jenis, dan antara jenis dengan lingkungan abiotik mereka (Perbatakusuma et al., 2006).

Kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk konservasi orangutan juga telah mengalami pergeseran dengan tipe pengurusan yang lebih bervariasi. Pengelolaan tidak semata-mata dilakukan oleh pihak pemerintah pusat tetapi juga melibatkan pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat setempat, atau kelembagaan kolaboratif yang dikelola bersama-sama para pihak yang berkepentingan. Kecenderungan global semakin muncul bahwa usaha konservasi akan berlanjut ketika para pihak terkait mengakui adanya manfaat yang besar dari investasi yang dikeluarkan untuk kegiatan konservasi, termasuk dalam mengembangkan konservasi satwa liar langka seperti orangutan.

Kegiatan konservasi orangutan perlu dilakukan melalui pendekatan bio ekologi, kelembagaan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat, khususnya di kawasan Hutan Batang Toru, Provinsi Sumatra Utara. Oleh sebab itu, Buku ini memberikan informasi tentang kondisi bio ekologi (habitat, populasi dan perilaku), sosial ekonomi masyarakat, persepsi dan peranan para pihak, dan rekomendasi strategi untuk pengembangan konservasi orangutan di dataran tinggi kawasan Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Usulan rekomendasi strategi dan teknik untuk konservasi orangutan tersebut selanjutnya disajikan pada bagian akhir buku ini. Selain itu, buku ini juga sebagai review hasil penelitian dan

(24)

publikasi penulis dari tahun 2004 hingga tahun 2011, serta referensi lainnya yang terkait dengan konservasi orangutan Sumatra.

(25)

II. GAMBARAN HUTAN

BATANG TORU

L

uas kawasan hutan di Provinsi Sumatra Utara saat ini ±3.055.795 ha; yang terdiri atas hutan konservasi seluas ±427.008 ha, hutan lindung (HL) seluas ±1.206.881 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas ±641.769 ha, hutan produksi tetap (HP) seluas ±709.452 ha, dan hutan produksi dapat dikonversi (HPK) seluas ±75.684 ha (Keputusan Menteri Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014). Salah satu kawasan hutan di Sumatra Utara yang menjadi habitat orangutan Sumatra di sebelah Selatan Danau Toba adalah Blok Hutan Batang Toru.

Berdasarkan pembagian status fungsi kawasan hutan, Blok Hutan Batang Toru menurut Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan (2006) sekitar 105.808 ha; yang terdiri atas kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) seluas 15.020 ha, HL seluas 17.737 ha, HPT seluas 1.483 ha, HP seluas 57.171 ha, dan areal penggunaan lain (APL) seluas ± 14.397 ha. Data luas kawasan hutan pada Blok Hutan Batang Toru tersebut berbeda dengan data menurut Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatra Utara No. 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatra Utara Tahun 2003–2018. Menurut Perda tersebut, Blok Hutan Batang Toru terdiri atas KSA seluas 12.994,7 ha, HL seluas 17.382,7 ha, HPT seluas 2.951,1 ha, dan HP seluas 115.241,6 ha. Sementara itu, sumber lain

(26)

menyebutkan bahwa luas Blok Hutan Batang Toru sekitar 102.667 ha (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012).

Blok Hutan Batang Toru memiliki tutupan hutan alam primer sekitar 90.000–140.000 ha (Conservation International, 2004 dalam http://pongoabelii.wordpress. com/dokumen-dasar, 2012). Kawasan hutan tersebut secara geografis berada pada koordinat 98˚50’49,9”–99˚17’46,3” Bujur Timur (BT) dan 1˚26’17,7”–1˚55’42,7” Lintang Utara (LU) (Perbatakusuma et al., 2006). Secara administratif, Hutan Batang Toru berada pada tiga kabupaten dan dua kota di Provinsi Sumatra Utara dengan sebaran luasan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi luasan Blok Hutan Batang Toru pada setiap

kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara

Kabupaten/Kota Luas (ha) Persentase (%)

Tapanuli Selatan 38.570,4 37,6 Tapanuli Tengah 16.932,1 16,5 Tapanuli Utara 46.192,9 45,0 Kota Sibolga 432,2 0,4 Kota Padang Sidempuan 539,4 0,5 Luas Keseluruhan 102.667,0 100,0

Sumber: (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012)

Hutan konservasi yang terdapat di kawasan Hutan Batang Toru adalah CA Dolok Sibual-buali, CA Dolok Sipirok, dan Suaka Alam (SA) Lubuk Raya (Gambar 1). Pada blok ini

(27)

CA Dolok Sipirok

CA Dolok Sibual-buali

SA Lubuk Raya

Sumber peta: Conservation International-Indonesia (2006)

terdapat pula hutan lindung yaitu HL Batang Toru II, HL Sipirok dan HL Sibolga.

(28)

Secara umum, kawasan hutan alam di DAS Batang Toru merupakan ekosistem yang masih asli dan relatif utuh sebagai perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (300 m dpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah, hingga hutan pegunungan tinggi (Gambar 2). Kawasan hutan alam memiliki ketinggian mulai dari 50 m dpl (daerah Sungai Sipan Sihaporas, dekat Kota Sibolga) hingga 1.875 m dpl (puncak Gunung Lubuk Raya). Topografi kawasan memiliki kelerengan antara 16% hingga lebih dari 60% yang didominasi oleh areal berbukit dan bergunung (http://pongoabelii.wordpress.com/dokumen-dasar, 2012). Kawasan hutan juga memiliki keunikan fenomena geologi berupa sumber-sumber air panas dan geotermal, serta terdapat potensi mineral emas dan perak (Perbatakusuma et al., 2006; Kuswanda, 2006a).

(29)

Kawasan hutan alam Batang Toru mempunyai tingkat keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati, serta ekosistem yang tinggi. Dengan demikian, kawasan hutan tersebut bernilai HCVF dan dapat dinyatakan sebagai kawasan yang penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati (key biodiversity area) di Provinsi Sumatra Utara. Keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan Batang Toru yang telah teridentifikasi adalah 67 spesies mamalia (dari 21 famili), 287 spesies burung, 110 spesies herpetofauna (19 spesies amphibia dari 6 famili dan 49 spesies reptilia dari 12 famili). Selain itu, kekayaan keanekaragaman flora juga sangat tinggi, yaitu sekitar 688 spesies tumbuhan dari 137 famili (Perbatakusuma et al., 2006).

Beberapa spesies satwa liar yang menjadi kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan Hutan Batang Toru merupakan spesies yang dilindungi sesuai PP Nomor 7 Tahun 1999, statusnya terancam punah sesuai kategori IUCN dan peredarannya dibatasi sesuai kategori CITES (Convention International of Trade of Endagered Species). Secara terinci, status konservasi untuk taksa mamalia tercatat sebanyak 20 spesies (jenis) yang dilindungi, 12 spesies termasuk dalam kategori terancam punah dan 14 spesies termasuk dalam daftar Appendix CITES. Satwa liar mamalia yang terancam bahaya kepunahan dan dilindungi, antara lain orangutan Sumatra (Pongo abelii), harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), kukang (Nycticebus coucang), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), dan kucing emas (Pardofelis marmomata). Taksa herpetofauna yang terancam bahaya kepunahan dan dilindungi diantaranya terdapat 4 spesies bersifat endemik, 5 spesies terancam punah secara

(30)

global, dan 7 spesies digolongkan ke dalam daftar Appendix CITES. Sementara itu, status konservasi satwa burung tercatat sebanyak 51 spesies yang dilindungi, 61 spesies termasuk dalam kategori terancam punah dan 8 spesies termasuk dalam daftar Appendix CITES. Khusus untuk satwa burung; terdapat 21 spesies migran, 8 spesies endemik dan 4 spesies yang berkontribusi dalam pembentukan kawasan Endemic Bird Area (Perbatakusuma et al., 2006).

Selain kekayaan satwa liar, Hutan Batang Toru juga memiliki kekayaan tumbuhan (flora) yang cukup tinggi. Dari sekitar 688 spesies flora yang diketahui, 138 spesies diantaranya diketahui dapat menjadi sumber pakan orangutan Sumatra dan 9 spesies flora merupakan jenis baru. Selain itu, terdapat 8 spesies flora yang terancam bahaya kepunahan, 3 spesies merupakan endemik Sumatra, dan 4 spesies dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999, seperti Rafflesia gadutensis Meijer dan Nepenthes Sumatrana (Miq.) Becc. Kawasan ini juga menyimpan populasi flora yang memiliki bunga raksasa, yaitu Amorphaphalus baccari dan Amorphophalus gigas (Perbatakususma et al., 2006).

Kawasan Hutan Batang Toru tidak semuanya merupakan habitat orangutan. Orangutan hanya terdapat di sebagian wilayah kawasan, terutama di bagian Barat, yaitu pada habitat dataran tinggi (sub pegunungan sampai pegunungan) dengan ketinggian >800 m dpl (Kuswanda, 2006b; Simorangkir, 2009). Sementara itu, habitat orangutan di daerah dataran rendah sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit dan karet. Habitat orangutan Batang Toru tersebut tersebar pada berbagai status fungsi hutan (Gambar 3), mulai dari hutan produksi (HPT, HP, dan HPK), HL, hutan konservasi (CA dan SM), dan hutan rakyat (APL).

(31)

Su m b er peta: C ons er v at ion I nt er nat ional -I ndones ia (20 0 6 ) G am b ar 3 . H ab it at o ra ng u ta n d i k aw as an H u ta n B ata ng T o ru

(32)

Penelitian orangutan Batang Toru–sebagai fokus bahasan pada buku ini–telah dilakukan oleh penulis pada kawasan hutan konservasi CA Alam Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok, serta kawasan hutan dan lahan masyarakat sekitarnya. Lokasi ini adalah contoh kawasan konservasi yang penting untuk mengungkap bio ekologi orangutan pada habitat dataran tinggi di sebelah Selatan Danau Toba yang sebelumnya sedikit sekali informasi penelitiannya. Selain itu, orangutan Batang Toru diperkirakan lebih rentan terhadap ancaman kepunahan lokal karena jumlah populasinya sangat rendah (dibahas pada bab-bab berikutnya). Selanjutnya, gambaran umum lokasi penelitian pada dua hutan konservasi tersebut adalah sebagai berikut.

Gambar 4. Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali Sumber: Peta RBI skala 1 : 50.000; Peta Register Skala 1 : 20.000 dan Kuswanda (2005a)

(33)

A. Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali

CA Dolok Sibual-buali merupakan bagian dari kawasan Hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan yang masih merupakan habitat alami orangutan Sumatra. Hutan Sibual-buali ditetapkan sebagai kawasan cagar alam pada tanggal 8 April 1982 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 215/Kpts/Um/14/1982 dengan luas keseluruhan ±5.000 Ha. Secara administratif, kawasan CA Dolok Sibual-buali meliputi Kecamatan Marancar, Sipirok, Batang Toru dan Padang Sidempuan Timur. Kawasan CA Dolok Sibual-buali dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau waktu tempuh sekitar 7 jam. Selain itu, kawasan hutan dapat ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua– Sipirok dengan jarak tempuh sekitar 400 km (Balai KSDA Sumut II, 2002).

Kawasan CA Dolok Sibual-buali termasuk dalam kelompok tipe hutan pegunungan dengan ketinggian antara 800–1.319 m dpl. Pegunungan di CA Dolok Sibual-buali memiliki lereng agak curam sampai curam yang didominasi oleh lereng >40%. Kondisi topografi sebagian besar kawasan merupakan perbukitan dan pegunungan dan terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang agak labil. Kawasan CA Dolok Sibual-buali sebagian besar berada dalam DAS Batang Toru. Pola aliran sungai di Hutan Batang Toru umumnya mengikuti pola paralel, artinya pola aliran sungai bentuknya memanjang ke satu arah dengan cabang-cabang sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit, kemudian menyatu di sungai utama yang mengalir di lembahnya. Pola aliran seperti ini mempunyai risiko bencana banjir dan longsor yang tinggi apabila terjadi pembalakan

(34)

kayu, konversi hutan alam, atau pembuatan jalan memotong punggung bukit di daerah bagian hulu.

Kondisi vegetasi di CA Dolok Sibual-buali masih relatif baik dan banyak dijumpai pohon-pohon yang berdiameter besar. Flora yang mendominasi kawasan CA Dolok Sibual-buali adalah Famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Anacardiaceae, Moraceae, Dipterocarpaceae, dan sebagian yang lain. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah medang nangka (Eleaocarpus obtusus), hau dolok (Syzygium sp.), hoteng (Quercus gemelliflora Bl), dan Hoteng batu (Quercus maingayi Bakh). Pada strata dua, banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat, serta tumbuhan berbunga dan anggrek hutan. Pada kawasan ini dapat ditemukan juga bunga langka (Rafflesia sp.).

Selain orangutan, CA Dolok Sibual-buali–yang juga merupakan daerah transisi–memiliki kekayaan dan keanekaragaman jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi lainnya seperti siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821), ungko (Hylobathes agilis Cuvier, 1821), tapir (Tapirus indicus), dan harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae). Selain itu, kawasan CA Dolok Sibual-buali merupakan habitat beragam jenis burung yang dilindungi, seperti poksai jambul putih (Garrulax leucophus), rangkong, enggang, dan elang.

Masyarakat yang tinggal di sekitar CA Dolok Sibual-buali pada umumnya adalah suku Batak dan hanya sebagian yang berasal dari keturunan suku Jawa dan daerah lainnya. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani, peladang, dan pembuat gula aren. Jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat antara lain padi, kayu manis (Cinammomum burmanii Nees & Th. Nees), kopi (Coffea arabica L.), karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg), salak

(35)

(Salacca edulis Reinw), dan cokelat (Theobroma cacao L). Sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya relatif masih rendah, jalan transportasi yang masih sulit, dan umumnya tergolong katagori masyarakat desa miskin.

Gambar 5. Tanaman budi daya masyarakat di sekitar CA

Sibual-buali

B. Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok

Kawasan CA Dolok Sipirok ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 226/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982 dengan luas keseluruhan mencapai 6.970 ha. Lokasi CA Dolok Sipirok dapat dicapai menggunakan kendaraan darat melalui rute

(36)

Medan–Tarutung dan Sipirok dengan jarak ±350 km atau waktu tempuh sekitar 7–8 jam. Selain itu, lokasi dapat ditempuh melalui rute Medan–Rantau Parapat–Gunung Tua– Sipirok dengan jarak tempuh ±400 km (Balai Konservasi Sumber daya Alam Sumut II, 2002).

Kawasan CA Dolok Sipirok berada pada ketinggian antara 600–1.200 m dpl. Topografi kawasan hutan tersebut secara umum memiliki lereng agak curam sampai curam dengan kelerengan >40%, relatif sama dengan CA Dolok Sibual-buali. Kondisi topografi sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan yang terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang relatif labil.

Hidrologi CA Dolok Sipirok sebagian besar termasuk dalam DAS Batang Toru, seperti halnya CA Dolok Sibual-buali, dengan pola aliran sungai mengikuti pola paralel. Jenis tanah di CA Sipirok terdiri atas dua tipe: Ma.2.2.4 di bagian Barat dan Utara, dan Vd.1.4.4. di bagian Timur (Gambar 6). Tanah tipe Ma.2.2.4 mencirikan sebagai bagian dari pegunungan, intermediate tuffs (debu), kemiringan (slope) dengan curam sampai sangat curam (25–75%), dan terbelah-belah (dissected) ekstrem. Berdasarkan klasifikasi United States Department of Agriculture (USDA), jenis tanah termasuk kategori humitropepts, halupdults, dan haplohumults. Tekstur tanah lapisan atas (top soil) tergolong bagus (fine) dan sub soil cukup bagus (moderately fine). Kondisi mineral tanah termasuk sangat dalam dan drainase cukup bagus. Tanah tipe Vd.1.4.4. merupakan bagian dari stratovulcanoes, tuff masam, vulcano dengan slope rendah (<16%), dan terbelah-belah ekstrem. Berdasarkan klasifikasi USDA, jenis termasuk dalam kategori dystropepts dan humitropepts dengan tekstur top soil bagus (fine) dan sub soil juga bagus. Mineral tanah termasuk

(37)

dalam sampai sangat dalam dan drainase cukup baik (Kuswanda, 2011).

Gambar 6. Peta kawasan dan ketinggian CA Dolok Sipirok

Kekayaan flora dan fauna di CA Dolok Sipirok juga beragam. Flora yang mendominasi diantaranya Famili Dipterocarpaceae, Fagaceae, Moraceae, Myrtaceae, Anacardiaceae dan Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah hau dolok (Syzygium sp.), hoteng (Quercus sp.) dan mayang (Palaquium sp.). Pada strata dua

(38)

banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat, serta tumbuhan berbunga dan anggrek hutan (Balai KSDA Sumatra Utara II, 2002; Perbatakusuma et al., 2006). Sementara itu, jenis-jenis satwa langka, endemik, dan dilindungi (selain orangutan Sumatra) adalah beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus), ungko (Hylobathes agilis), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan Sumatra (Naemorhedus sumatrensis sumatrensis), dan harimau Sumatra (Panthera tigris Sumatrae).

Gambar 7. Satwa liar primata yang terdapat di CA Dolok Sipirok:

1) siamang (Hylobates syndactylus) dan 2) ungko (Hylobathes agilis)

Mata pencaharian masyarakat di CA Dolok Sipirok hampir sama dengan masyarakat yang ada di sekitar CA

(39)

Dolok Sibual-buali yaitu sebagai petani, peladang, dan pembuat gula aren. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain salak (Salacca edulis Reinw), kayu manis (Cinammomum burmanii), dan karet (Hevea brasiliensis). Sarana kesehatan dan ekonomi seperti pasar masih minim sehingga masyarakat harus membawa ke pekan atau pasar mingguan di pusat Kota Sipirok untuk menjual hasil pertaniannya.

(40)
(41)

III. SEJARAH, TAKSONOMI DAN

SEBARAN

A. Sejarah

O

rangutan diperkirakan berasal dari daratan Asia di sepanjang Pegunungan Himalaya. Orangutan diperkirakan bermigrasi sejauh 3.000 km ke Daratan Sunda yang luas selama masa Pleistosen (2 juta–22 ribu tahun yang lalu). Pola migrasi orangutan mungkin terpusat di sepanjang sungai-sungai dan kaki gunung karena orangutan tidak bisa berenang. Orangutan menyeberangi sungai diperkirakan pada kedua tepi sungainya yang terhubung dengan tajuk pohon, batang yang rubuh, dan/atau bebatuan besar sebagai tempat loncatan (Meijaard et al., 2001).

Populasi orangutan di sebagian dataran Asia diperkirakan punah sekitar abad ke-16 dan populasi yang tersisa hingga kini adalah populasi orangutan di Sumatra dan Kalimantan. Penemuan mengenai keberadaan orangutan Sumatra di wilayah Aceh mulai dipublikasikan oleh B. Hagen dari Jerman pada tahun 1890. Pada tahun 1905, Gustav Schneider menemukan bahwa orangutan terlihat di pedalaman Sibolga dan sekitar Sungai Batang Toru. Pada awal tahun 1970-an, rimbawan Indonesia, K.S. Depari, melaporkan kembali bahwa orangutan masih terdapat di hutan sepanjang Sungai Batang Toru (Meijaard et al., 2001). Keberadaan orangutan masih ditemukan di kawasan hutan

(42)

Batang Toru diperkuat dengan adanya laporan para peneliti yang menemukan orangutan terutama pada awal abad ke-21 (awal tahun 2000-an).

B. Taksonomi dan Morfologi

Orangutan merupakan salah satu anggota suku Pongidae yang mencakup pula tiga spesies kera lainnya, yaitu bonobo Afrika (Pan panicus Schwarz), simpangse (Pan troglodytes Blumenbach), dan gorila (Gorilla gorilla Savage). Menurut Groves (1999), Muir et al., (2000), Zhang (2001), dan Fischer (2006); orangutan di Pulau Sumatra dan Kalimantan telah diidentifikasi sebagai spesies yang berbeda, yaitu

orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linneus). Orangutan

Kalimantan terbagi lagi menjadi tiga sub spesies yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus (bagian Utara dan Barat Pulau Kalimantan), Pongo pygmaeus wurmbii (bagian Tengah Pulau Kalimantan), dan Pongo pygmaeus morio (bagian Utara dan Timur Pulau Kalimantan). Taksonomi orangutan Sumatra– yang dikenal dengan nama lokal mawas atau orangutan dan nama internasional orangutan–secara lengkap adalah sebagai berikut:

Super famili : Hominoidea Famili : Pongidae Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii Lesson

Secara morfologi, orangutan Sumatra dan orangutan Kalimantan sangat serupa, kecuali sedikit terdapat perbedaan yang dapat dilihat dari warna bulunya. Orangutan Kalimantan

(43)

setelah dewasa berwarna cokelat kemerah-merahan atau lebih gelap, sedangkan orangutan Sumatra berwarna lebih merah dan cerah, serta kadang-kadang terdapat warna putih pada bagian muka. Perbedaan morfologis orangutan dapat lebih dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Pongo pygmaeus memiliki rambut pipih dengan kolom pigmen hitam yang tebal di tengah; sedangkan Pongo abelii berambut lebih tipis, membulat, memiliki kolom pigmen yang halus dan sering patah di bagian tengahnya. Orangutan Kalimantan jantan dewasa memiliki cheek pad yang lebar, kantung suara yang besar, dan wajah berbentuk segi empat. Sementara itu, orangutan Sumatra jantan dewasa memiliki cheek pad dan kantung suara yang kecil, warna janggut agak kekuningan, dan wajah berbentuk berlian (Napier & Napier, 1967; Sinaga, 1992; van Schaik, 2006). Berat badan kedua spesies tersebut tidak berbeda nyata; orangutan betina berkisar 35–55 kg, sedangkan yang jantan berkisar 85–110 kg (Sudirman & Shapiro, 2007)

C. Sebaran

Pola sebaran satwa liar di alam bebas dapat berbentuk acak, berkelompok, atau sistematik. Bentuk sebaran satwa primata pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh penyebaran sumber pakan, terutama buah dan daun (Alikodra, 1990). Menurut van Schaik et al. (1995), sebaran orangutan semakin sedikit dengan bertambahnya ketinggian tempat karena ketersediaan buah-buahan sebagai makanan pokoknya semakin menurun tajam bersamaan dengan bertambah tingginya suatu tempat. Blouch (1997), Singleton & van Schaik (2001), dan Meijaard et al. (2001) menyatakan bahwa penyebaran orangutan sangat dipengaruhi oleh

(44)

ketersediaan pakan, kualitas habitat, dan kondisi cuaca terutama suhu di malam hari. Lokasi penyebaran orangutan Sumatra yang masih tersisa disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 8.

Tabel 3. Lokasi dan perkiraan luas habitat dan populasi

orangutan Sumatra

No. Lokasi Luas habitat (km2) Perkiraan populasi (individu) 1. Aceh (Utara–Timur) 1,679 654 2. Aceh (Utara–Barat) 282 180 3. Seulawah 85 43 4. Aceh Tengah 826 440 5. Leuser bagian Barat 2,547 2,508 6. Sidiangkat 186 134 7. Leuser bagian Timur 1,467 1,052 8. Rawa Tripa 140 280 9. Tromon–Singkil 725 1,500 10. Rawa Singkil Timur 80 160 11. Batang Toru Barat 600 400 12. Serulla Timur 375 150 Jumlah 8,992 7,501

Sumber: Population and Habitat Viability Assessment (2004) dan Wich et al. (2003).

Orangutan cenderung menempati hutan dataran rendah karena pohon-pohonnya menyediakan sumber pakan buah sebagai makanan utamanya. Namun, banyak pula orangutan Sumatra yang hidup dan menempati habitat dataran tinggi (>1.000 m dpl) seperti di kawasan Hutan Batang Toru (Djojoasmoro et al., 2004; Kuswanda, 2006b; Sitaparasti,

(45)

2007; Perbatakusuma et al., 2006). Pada habitat alaminya, orangutan merupakan satwa liar tipe pengumpul atau pencari makanan yang oportunis (memakan apa saja yang dapat diperolehnya). Distribusi jumlah dan kualitas makanan, terutama buah-buahan sebagai makanan pokok orangutan, sangat memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi dan organisasi sosialnya (Meijaard et al., 2001).

Sumber: Wich et al. (2008)

(46)

Menurut Kuswanda (2008a), selain sebarannya di Selatan Danau Toba, orangutan ditemukan pula di hutan SM Barumun, Kabupaten Padang Lawas Utara (lebih Selatan dari Hutan Batang Toru). Hal ini diketahui berdasarkan hasil identifikasi terhadap penemuan sarang yang diduga merupakan sarang orangutan. Informasi keberadaan sarang orangutan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti melalui survei oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara pada tahun 2009 dan melaporkan bahwa petugas di lapangan telah menemukan orangutan secara langsung. Penemuan ini sangat penting karena menjadi informasi baru yang sebelumnya dinyatakan oleh para ahli bahwa sebaran orangutan Sumatra paling Selatan Danau Toba adalah di Hutan Batang Toru (Population and Habitat Viability Assessment, 2004).

(47)

IV. HABITAT

H

abitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami (Departemen Kehutanan, 1990). Habitat merupakan keseluruhan resources (sumber daya), baik biotik maupun fisik, pada suatu area yang digunakan/dimanfaatkan oleh suatu spesies satwa liar untuk bertahan hidup (survival) dan bereproduksi. Habitat dapat diartikan pula sebagai suatu kawasan atau ruang yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari suatu populasi spesies tertentu. Ruang tersebut dapat berfungsi sebagai tempat kawin, tidur atau istirahat, bertelur, dan tempat lainnya dimana suatu organisme melakukan segala aktivitas kehidupannya yang tercermin dalam suatu daerah jelajahnya (Bailey, 1984; Alikodra, 1990). Habitat dapat menghubungkan kehadiran spesies, populasi, atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi (Morrison, 2002).

Habitat orangutan cukup menyebar, mulai dari hutan dataran rendah sampai pada hutan pegunungan. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai dapat berupa dataran banjir, rawa, atau lembah aluvial; sedangkan dataran tinggi kering biasanya adalah kaki bukit. Habitat orangutan secara umum banyak ditemukan di daerah dataran rendah pada ketinggian

(48)

200–400 m dpl (Meijaard et al., 2001). Secara keseluruhan habitat orangutan Sumatra diperkirakan hanya tersisa 8,992 km2 (Wich et al., 2003; PHPA, 2004). Selanjutnya, kondisi

habitat orangutan Batang Toru, khususnya di CA Dolok Sibual-buali dan CA Dolok Sipirok diuraikan sebagai berikut.

A. Keragaman dan Kelimpahan Jenis Tumbuhan

Hasil penelitian pada habitat orangutan di CA Dolok Sibual-buali yang diklasifikasikan berdasarkan pembagian wilayah telah mengindentifikasi spesies tumbuhan yang ada yaitu wilayah bagian Barat sedikitnya teridentifikasi 53 spesies, bagian Timur 39 spesies, dan bagian Utara 58 spesies. Keragaman tumbuhan yang ditemukan di bagian Utara memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Barat dan Timur. Hal ini karena bagian Utara umumnya masih merupakan hutan primer. Spesies tumbuhan yang mendominasi antara lain adalah hau dolok (Syzygium sp.), randuk hambing (Alstonis macrophylla), medang nangka (Eleaocarpus obtusus), hau dolok jambu (Choriophyllum malayanum), dan hoteng (Quercus maingayi).

Keanekaragaman jenis tumbuhan (H’) berdasarkan hasil perhitungan indeks Shannon untuk setiap tingkat pertumbuhan sangat bervariasi antara 2,46–3,28. Berdasarkan batasan Barbour et al., (1987) dan Samingan (1997), nilai ini menunjukkan bahwa kawasan hutan CA Dolok Sibual-buali masih bisa lestari apabila dilakukan pengamanan terhadap gangguan yang datang dari luar terutama akibat aktivitas manusia seperti perambahan, pengambilan air nira, dan penebangan liar. Berdasarkan analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen, kondisi vegetasi di setiap bagian (Barat, Timur, dan Utara) ternyata

(49)

berbeda nyata untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi dengan persentase kemiripan <50%. Menurut Meijaard et al. (2001), kekayaan dan komposisi jenis pada suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh lokasi tersebut yang berkaitan dengan kondisi tanah dan iklim wilayah tersebut.

Gambar 9. Habitat orangutan dataran tinggi CA Dolok Sibual-buali

Habitat orangutan di CA Dolok Sipirok sedikitnya dapat dibagi menjadi empat tipe ekosistem (Kuswanda, 2011), yaitu sebagai berikut.

1. Hutan primer pada ketinggian di atas 900–1.200 meter dpl yang mewakili tipe vegetasi habitat Montana bagian bawah dengan luas sekitar 5.335 ha.

(50)

2. Hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl yang mewakili tipe vegetasi habitat Sub Montana dengan luas sekitar 845 ha.

3. Hutan sekunder yang mewakili tipe vegetasi yang telah mengalami gangguan terutama akibat penebangan liar dengan luas sekitar 420 ha.

4. Lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran- semak belukar yang memberikan gambaran tipe vegetasi pada habitat yang sudah terdegradasi (lahan kritis) dengan luas sekitar 395 ha.

Gambar 10. Komposisi tumbuhan pada berbagai tipe habitat di CA

Dolok Sipirok

Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) terhadap tumbuhan pada keempat tipe ekosistem adalah sekitar 2,41– 3,86 dengan nilai indeks tertinggi ditemukan pada tipe

(51)

habitat hutan primer ketinggian 600–900 m dpl. Nilai keanekaragaman jenis pada tiga tipe habitat (hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl, hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl, dan hutan sekunder) termasuk kategori tinggi, sedangkan pada tipe ekosistem lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar tergolong rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi habitat orangutan di CA Dolok Sipirok secara umum masih stabil, kecuali pada ekosistem lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar. Menurut Ives (2007) dan Begon et al. (2006), spesies yang beragam di dalam komunitas akan membentuk suatu hubungan asosiasi yang kompleks satu sama lain. Hubungan yang kompleks ini mengakibatkan suatu komunitas akan lebih tahan terhadap gangguan dibandingkan dengan komunitas dengan hubungan yang sederhana. Oleh karena

itu, semakin tinggi keaneka-ragaman spesies akan meningkatkan kestabilan suatu komunitas.

Nilai kelimpahan jenis tumbuhan tertinggi berada pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl. Kelim-pahan jenis tumbuhan pada hutan primer dan sekunder di CA Dolok Sipirok cukup tinggi apabila dibandingkan dengan kawasan konservasi di sekitarnya, seperti CA

Gambar 11.

Kerapatan tumbuhan pada ketinggian 900–1.200 m dpl di CA Dolok Sipirok

(52)

Dolok Sibual-buali. Nilai kelimpahan tumbuhan di CA Dolok Sipirok adalah 34,45–73,98, sedangkan di CA Dolok Sibual-buali hanya 29,26–32,45. Kelimpahan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa penyebaran setiap jenis pohon hampir merata sehingga membuat kawasan tersebut cukup stabil dan mempunyai daya dukung tinggi untuk pemenuhan sumber pakan dan pohon tidur orangutan.

Hasil analisis indeks kesamaan komunitas Sorensen menunjukkan terdapat perbedaan komposisi vegetasi pada berbagai tipe habitat, baik pada tingkat pohon maupun tiang. Tipe hutan sekunder memiliki kesamaan jenis sebesar 51,78% (tingkat pohon) dan 39,08% (tingkat tiang) dengan tipe habitat hutan primer di atas ketinggian 900–1.200 m dpl, dan kesamaan jenis sebesar 48,00% (tingkat pohon) dan 48,72% (tingkat tiang) dengan tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga tipe habitat tersebut memiliki perbedaan komposisi jenis vegetasi penyusun komunitasnya rata-rata lebih dari 50%.

Rata-rata nilai variabel tumbuhan yang berbeda pada ketiga tipe habitat ini antara lain kerapatan jenis dan jumlah jenis tumbuhan pakan, baik tingkat pohon maupun tiang; rata-rata jarak antar pohon; dan persen penutupan tajuk pohon. Hasil ini menunjukkan pula bahwa perbedaan ketinggian tempat (selang 300 m dpl) dan tipe penutupan lahan di CA Sipirok telah memengaruhi komposisi dan struktur vegetasi di dalam komunitasnya sehingga dapat dikategorikan sebagai tipe habitat yang berbeda.

(53)

Gambar 12.

Beringin adalah jenis tumbuhan yang dikonsumsi daun dan buahnya

B. Tumbuhan Pakan Orangutan

1. Proporsi Jenis dan Jumlah Pohon Pakan

Tumbuhan yang menjadi sumber pakan orangutan di CA Dolok Sibual-buali telah teriden-tifikasi sebanyak 33 spe-sies di bagian Barat, 19 spesies di bagian Timur, dan 28 spesies di bagian Utara. Spesies tumbuhan pakan hampir ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan, baik pada tingkat tiang maupun po-hon, atau pada tempat dimana orangutan mencari makan maupun bersarang. Jenis tumbuhan pakan

yang banyak dijumpai adalah hau dolok merah (Syzygium sp.), gala-gala (Ficus racemosa) dan medang nangka (Elaeocarpus obtusus), beringin (Ficus benjamina), dan hoteng (Quercus maingayi). Persentase tertinggi bagian tumbuhan yang dimakan oleh orangutan adalah buah (55%), daun dan pucuk (14%), umbut (6%), dan sisanya dalam bentuk kombinasi buah-daun-pucuk-umbut.

Sebagai pemakan buah-buahan, orangutan hidup secara nomadis yaitu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Namun demikian, orangutan akan tetap tinggal di suatu daerah selama ketersediaan makanan cukup melimpah. Orangutan sangat menyukai buah-buahan yang berdaging

(54)

Gambar 13.

Motung, salah satu jenis tumbuhan pakan yang disukai orangutan

lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri seperti jenis Ficus sp. Namun demikian, orangutan tercatat pula sebagai pemakan telur burung, vertebrata kecil seperti tupai, tokek dan kukang, serta menyukai madu (Meijaard et al., 2001).

Pada kawasan CA Dolok Sipirok, sedikitnya teridentifikasi sekitar 55 spesies tumbuhan pakan seperti terep (Artocarpus elasticus), motung (Ficus toxicaria), asam hing (Dracontomelon dao), dan dongdong (Ficus fistulosa). Proporsi jenis dan jumlah pohon pakan orangutan dibandingkan dengan jenis tumbuhan secara keseluruhan yang tertinggi ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl dan yang terendah pada tipe habitat lahan kering bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar. Pada tingkat pohon, proporsi tertinggi jenis pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan sekunder, sedangkan proporsi tertinggi jumlah pohon pakan ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl. Pada tingkat tiang, proporsi tertinggi jenis dan jum-lah pohon pakan dite-mukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl.

(55)

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600–900 m dpl memiliki kecenderungan sebagai habitat yang paling cocok dan berpeluang paling tinggi untuk ditempati orangutan dibandingkan tipe habitat lainnya. Menurut Meijaard et al. (2001); distribusi jenis, jumlah, dan kualitas makanan terutama buah-buahan akan memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi, dan organisasi sosial orangutan.

Selanjutnya, tipe habitat hutan sekunder memiliki proporsi tumbuhan pakan yang lebih tinggi dibandingkan hutan primer pada ketinggian >900–1.200 m dpl. Hal ini disebabkan sebagian besar jenis tumbuhan yang ditebang adalah bukan merupakan pakan orangutan. Pada hutan sekunder banyak ditemukan jenis yang merupakan sumber makanan utama orangutan dan tidak ditemukan pada hutan primer, terutama di atas ketinggian 1.000 m dpl, seperti durian (Durio zibethinus) dan motung (Ficus toxicaria).

2. Produktivitas Pohon Pakan

Penyebaran suatu komunitas orangutan dipengaruhi oleh keberadaan dan produktivitas pohon pakan, terutama yang menghasilkan buah. Produktivitas pohon penghasil buah akan menentukan kemampuan suatu habitat untuk mendukung kehidupan orangutan. Singleton & van Schaik (2001) menyatakan bahwa jumlah dan mutu buah sangat dipengaruhi oleh kepadatan pohon-pohon penghasil buah, kesuburan tanah, dan musim. Hasil analisis produktivitas pohon pakan orangutan di CA Dolok Sibual-buali adalah sebagai berikut.

(56)

a. Produktivitas Daun

Pendugaan produktivitas daun dilakukan melalui pengukuran serasah daun dengan menggunakan penampung serasah (litter trap). Menurut Corbeels (2001), produktivitas daun pada hutan primer/stabil dapat didekati dari nilai jatuhan/produktivitas serasahnya. Secara total, produktivitas serasah pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon yaitu sebesar 3,9 gram/m2

per hari berat basah atau setara dengan 1,5 gram/m2 per

hari berat kering. Persamaan penduga nilai produktivitas daun berdasarkan nilai diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi tajuk pohon (Dtj) sebagai berikut:

1) Tingkat Tiang a) Berat Basah Pr = 0,697 + 0,0664 Dbh + 0,0086 Dtj [S = 0,06097; R-Sq = 95,5%; R-Sq(adj) = 92,5%] b) Berat Kering Pr = 0,541 + 0,00626 Dbh + 0,0109 Dtj [S = 0,02367; R-Sq = 75,4%; R-Sq(adj) = 59,0%] 2) Tingkat Pohon a) Berat Basah Pr = 1,63 – 0,0897 Dbh + 0,422 Dtj [S = 0,2017; R-Sq = 89,3%; R-Sq(adj) = 82,1%] b) Berat kering Pr = - 0,061 + 0,0189 Dbh + 0,0106 Dtj [S = 0,1933; R-Sq = 70,0%; R-Sq(adj) = 50,0%] Keterangan:

Pr = produktivitas daun dan buah (kg/m2 per hari)

Dbh = diameter pohon pada 1,30 m dari permukaan tanah (cm) Dtj = rata-rata diameter tajuk (m)

(57)

Gambar 14.

Penelitian serasah daun pada pohon pakan orangutan

Berdasarkan persamaan tersebut, nilai dugaan produktivitas daun dari tingkat tiang dan pohon diketahui sebesar 40,66 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 14,74 kg/ha per hari berat kering. Persentase kandungan air dari daun tumbuhan pakan orang-utan relatif kecil yaitu sekitar 36,3%.

b. Produktivitas buah

Pendugaan produktivitas buah dilakukan melalui pendekatan nilai potensi/biomassa buah pada beberapa pohon pakan yang sedang berbuah di petak contoh penelitian. Rata-rata biomassa buah pada tingkat tiang dan pohon yaitu sebesar 1.308,1 kg/ha berat basah atau setara dengan 556,8 kg/ha berat kering. Periode berbuah pohon pakan orangutan umumnya mempunyai ritme masing-masing dan dapat menghasilkan buah dalam dua musim atau lebih dalam satu tahun, serta sangat jarang pohon pakan yang menghasilkan buah sepanjang tahun. Kebanyakan jenis tumbuhan pada kanopi atas menunjukkan pola pematangan buah yang tidak teratur sehingga tidak terdapat kemungkinan untuk dikonsumsi dalam satu hari.

(58)

Hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat setempat menunjukkan bahwa lama waktu keterse-diaan buah matang dan siap dikonsumsi orang-utan pada beberapa jenis pohon pakan berkisar 3–4 minggu. Rata-rata lama waktu ketersediaan buah ma-tang ±30 hari untuk satu musim berbuah. Berdasarkan informasi tersebut, produktivitas buah dari pohon pakan orangutan (berdasarkan contoh penelitian) adalah 43,6 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 18,6 kg/ha per hari berat kering). Persamaan untuk menduga nilai produktivitas buah adalah sebagai berikut.

1) Tingkat Tiang a) Berat Basah Pr = - 3016 + 280 Dbh + 0.2 Dtj [S = 177,4; R-Sq = 96,9%; R-Sq(adj) = 95,3%] b) Berat Kering Pr = - 986 + 102 Dbh - 6.8 Dtj [S = 84,24; R-Sq = 94,7%; R-Sq(adj) = 92,0%] Gambar 15.

Buah asam hing yang banyak dikonsumsi orangutan

(59)

2) Tingkat Pohon a) Berat Basah Pr = 784 + 135 Dbh - 21 Dtj [S = 2449; R-Sq = 60,7%; R-Sq(adj) = 45,0%] b) Berat Kering Pr = - 1017 + 98 Dbh - 32 Dtj [S = 1190; R-Sq = 76,4%; R-Sq(adj) = 67,0%]

Berdasarkan persamaan tersebut, nilai dugaan produktivitas buah dari tingkat pertumbuhan tiang dan pohon diketahui sebesar 43,6 kg/ha per hari berat basah atau setara dengan 18,5 kg/ha per hari berat kering. Nilai ini diasumsikan bila semua jenis pohon pakan berbuah sepanjang tahun (tidak mengenal musim berbuah). Menurut Sugardjito (1986), persentase jenis tumbuhan pakan buah yang berbuah rata-rata hanya berkisar 5–30% dalam setiap bulannya. Apabila mempertimbangkan nilai tersebut dan musim berbuah, nilai produktivitas buah berkisar 2,18–13,07 kg/ha per hari (rata-rata 7,63 kg/ha per hari) berat basah atau setara dengan 0,92–5,55 kg/ha per hari (rata-rata 3,23 kg/ha per hari) berat kering.

C. Daya Dukung Habitat

Pendugaan nilai daya dukung habitat dilakukan berdasarkan nilai produktivitas tumbuhan pakan (dalam satuan kg/ha per hari) dibagi nilai konsumsi orangutan (dalam satuan kg/hari per individu) dan dikalikan dengan luasan areal potensial sebagai habitat (ha). Penentuan nilai konsumsi pakan orangutan pada penelitian ini didekati dari nilai berat tubuhnya dengan asumsi setiap jenis satwa liar

Gambar

Tabel 1.  Perubahan  penutupan  lahan  hutan  primer  habitat  orangutan Sumatra (2002–2009)
Gambar 1.  Peta Kawasan Blok Hutan  Batang Toru
Gambar 2.  Ekosistem hutan alam Blok Hutan Batang Toru
Gambar 4.  Peta Kawasan CA Dolok Sibual-buali  Sumber:  Peta RBI skala 1 : 50.000; Peta Register Skala 1 : 20.000 dan Kuswanda (2005a)
+7

Referensi

Dokumen terkait

pengembangan Borg and Gall. 3) Pengujian efektifitas dengan melihat rata-rata hasil nilai yang diperoleh siswa yaitu kelas kontrol 0,151 dan kelas eksperimen 0,001. Hal ini berarti

This study will look at three factors that affect student achievement: active learning, student engagement and building a community in the online classroom. These three

Hypothesis: There is no interaction between assigned strategy and prior knowledge level for mean gain scores on tests about Lewis structures for college students reading

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara organizational commitment dan psychological ownership , dengan asumsi

Berdasarkan evaluasi petani terhadap produk tabungan bank, atribut promosi bukan merupakan hal terpenting bagi petani dalam memilih bank namun keyakinan petani terhadap atribut

Pa!a umumnya kegiatan penambangan yang !ilakukan PT# &amp;ntam 'Perser($ Tbk U1P3 Pngkr yaitu mencangkup kegiatan pembran$ pele!akan kemu!ian brken re hasil

Penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan hasil analisa terhadap kinerja jaringan, serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap sistem distribusi air bersih PDAM

2007 Nama Desa Villages RT Sub Village Penduduk Demography Rata-rata Jiwa Per Dusun Average person of Sub Village (1) (2) (3) (4) 1.. Karang Wuluh 16 1121 70 Jumlah/Total 402