• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN PROSES PENGOLAHAN KERIPIK JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN MENGGUNAKAN VACUUM FRYING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESAIN PROSES PENGOLAHAN KERIPIK JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN MENGGUNAKAN VACUUM FRYING"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN PROSES PENGOLAHAN

KERIPIK JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus)

DENGAN MENGGUNAKAN VACUUM FRYING

Oleh : ITA SURYATI

F34060315

2010

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Ita Suryati. F34060315. Desain Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih

(Pleurotus ostreatus) dengan Menggunakan Vacuum Frying. Di bawah bimbingan

Indah Yuliasih. 2010.

RINGKASAN

Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran potensial untuk dikembangkan dan memiliki nilai gizi yang baik. Jamur tiram putih bersifat mudah rusak dan ketersediaannya melebihi permintaan pada saat musim hujan. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah dan memperpanjang umur simpan jamur tiram putih. Pengolahan jamur tiram putih menjadi keripik merupakan salah satu alternatif produk olahan pangan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pengolahan keripik jamur tiram putih menggunakan vacuum frying, mengetahui karakterisik serta respon panelis terhadap keripik yang dihasilkan. Dalam penelitian ini dihasilkan keripik dengan dua varian, yaitu asin dan manis. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan dua faktor. Pada keripik jamur tiram putih dengan rasa asin, faktor pertama adalah konsentrasi larutan garam (A) yang terdiri dari tiga taraf yaitu, 0,5% (A1), 1% (A2), dan 1,5% (A3). Faktor kedua adalah pembekuan sebelum penggorengan (B) yang terdiri dari dua taraf, yaitu pembekuan (B1) dan tanpa pembekuan (B2). Pada keripik jamur tiram putih dengan rasa manis, faktor pertama adalah konsentrasi larutan gula (A) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 3% (A1), 5% (A2), dan 7% (A3). Faktor kedua adalah perlakuan pembekuan sebelum penggorengan (B) yang terdiri dari dua taraf, yaitu pembekuan (B1) dan tanpa pembekuan (B2).

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu karakterisasi jamur tiram putih segar, penentuan konsentrasi larutan garam dan gula secara trial and error, penentuan lama penggorengan secara trial and error, dan penentuan kondisi proses pengolahan keripik jamur tiram putih. Produk yang dihasilkan dianalisis karakteristiknya dan dilakukan uji hedonik.

Desain proses pengolahan keripik jamur tiram putih yang diperoleh adalah penggorengan menggunakan vacuum frying dengan suhu 88°C dan tekanan 700 mmHg. Penggorengan dilakukan dua kali dalam selang waktu 24 jam. Penggorengan pertama selama 35 menit sedangkan penggorengan kedua selama 5 menit. Perlakuan terbaik yang diperoleh pada keripik dengan rasa asin adalah perendaman dalam larutan garam 1% dan mengalami pembekuan sedangkan pada keripik dengan rasa manis adalah perendaman dalam larutan gula 7% dan mengalami pembekuan.

Secara keseluruhan keripik jamur tiram putih dengan rasa asin yang dihasilkan memiliki kisaran rendemen 18,65-20,83%, kadar air 1,73-2,39%, kadar lemak 55,31-59,81%, kadar serat 14,89-17,00%, kadar abu 2,86-4,57%, kadar protein 2,07-2,59%, nilai FFA 0,27- 0,36%, dan berdasarkan uji organoleptik yang paling disukai oleh panelis adalah keripik dengan perendaman dalam larutan garam 1% dan mengalami pembekuan. Keripik jamur tiram putih dengan rasa manis memiliki kisaran rendemen 19,48-25,48%, kadar air 1,52-2,32%, kadar lemak 48,26-57,30%, kadar serat 13,48-17,96%, kadar abu 1,55-2,27%, kadar protein 1,92-2,75%, nilai FFA 0,30-0,41%, dan berdasarkan uji organoleptik yang paling disukai oleh

(3)

panelis adalah keripik dengan perendaman dalam larutan gula 7% dan mengalami pembekuan.

Perlakuan terbaik pada keripik dengan rasa asin memiliki rendemen 19,14%, kadar air 1,80%, kadar lemak 59,38%, kadar serat 15,56%, kadar abu 3,53%, kadar protein 2,23%, dan nilai FFA 0,30%. Perlakuan terbaik pada keripik dengan rasa manis menghasilkan rendemen 21,65%, kadar air 1,52%, kadar lemak 54,75%, kadar serat 17,96%, kadar abu 1,57%, kadar protein 1,92%, dan nilai FFA 0,41%.

(4)

Ita Suryati. F34060315. Process Design of Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus)

Chips Using Vacuum Frying. Supervised by Indah Yuliasih. 2010.

SUMMARY

Oyster mushroom (Pleorotus ostreatus) is potential vegetable which has high nutritional value. Oyster mushroom is perishable and plenitude in rainy season therefore it needs proper processing to give added value and extend shelf life through process oyster mushroom into chips.

The objectives of this research were obtaining the condition of processing oyster mushroom chips, analyzing the characteristic and taking response of some panelists toward chips. The results of the experiment were two kind of products named salty and sweet chip. The experimental design used group randomized with two factors. First factor for salty chips was concentration of salt solution (A), divided into three levels those were 0,5% (A1), 1% (A2) and 1,5% (A3). The second factor was freezing treatment before frying divided into two levels; those were with freezing (B1) and unfreezing (B2). Meanwhile, the first factor for sweet chips was sugar concentration solution (A) divided into three levels; those were 3% (A1), 5% (A2) and 7% (A3). The second factor for sweet chips was freezing treatment before frying (B) which was divided into freezing (B1) and unfreezing (B2).

The experiment consist of several stages, there were characteristic of fresh oyster mushroom, determination of salt and sugar concentration through trial and error, determination of frying period through trial and error, and processing of oyster mushroom chips. The characteristic of product will be analyzed and tested by hedonic test.

Based on the experiment result, process design of oyster mushroom chips by using vacuum frying is temperature 88°C and pressure 700 mmHg. There were twice times of frying during 24 hours. First frying was running for 35 minutes, while the second frying was 5 minutes. The best treatment for salty chips was soaked into 1% salt solution and froze. Whereas the best treatment for sweet chips was soaked into 7% sugar solution and froze.

From the whole experiment, salty chips yield is 18,65-20,83%, 1,73-2,39% of water content, 55,31-59,81% of fat content, 14,89-17,00% of fiber content, 2,86-4,57% of ash content, 2,07-2,59% of protein, and 0,27-0,36% of FFA value. Based on organoleptic test, panelists mostly preferred chips which produced by soaking in 1% of salt concentration and freezing treatment. Sweet chips yield is 19,48-25,48%, 1,52-2,32 % of water content, 48,26-57,30% of fat content, 13,48-17,96% of fiber content, 1,55-2,27% of ash content, 1,92-2,75% of protein, and 0,30-0,41% of FFA value. Based on organoleptic test, panelists mostly preferred chips which produced by soaking in 7% of sugar concentration and freezing treatment.

The best treatment for salty chips yield is 19,14%, 1,80% of water content, 59,38% of fat content, 15,56% of fiber content, 3,53% of ash content, 2,23% of protein and 0,30% of FFA value. The best treatment for sweet chips yield is 21,65%, 1,52% of water content, 54,75% of fat content, 17,96% of fiber content, 1,57% of ash content, 1,92% of protein and 0,41% of FFA value.

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DESAIN PROSES PENGOLAHAN

KERIPIK JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN MENGGUNAKAN VACUUM FRYING

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ITA SURYATI F34060315

2010

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Desain Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Menggunakan Vacuum Frying

Nama : Ita Suryati NRP : F34060315

Menyetujui :

Pembimbing

Dr. Indah Yuliasih, STP, M.Si NIP 19700718 199512 2001

Mengetahui :

Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP 19621009 198903 2001

(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul :

Desain Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Menggunakan Vacuum Frying adalah karya asli saya sendiri dengan

arahan dosen pembimbing skripsi, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Agustus 2010

Ita Suryati F34060315

(8)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Bengkalis, Riau pada tanggal 11 April 1988. Penulis merupakan anak terakhir dari sepuluh bersaudara dari pasangan Zahari N. dan Hilalyah. Penulis mengenyam pendidikan dasar di SD 004 Bengkalis pada tahun 1994-2000 kemudian penulis melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bengkalis dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 1 Bengkalis pada tahun 2003–2006. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan pada tahun berikutnya diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada bulan Juli-Agustus 2009 penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PTPN X, PG Pesantren Baru Kediri, Jawa Timur dengan judul “Mempelajari Teknologi Produksi dan Penyimpanan Gula Kristal Putih di PG Pesantren Baru Kediri”. Pada bulan Februari-Juli 2010 penulis melakukan penelitian dengan judul “Desain Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Menggunakan Vacuum Frying”.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat-Nya penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Selama penelitian dan penyelesaian skripsi penulis menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Indah Yuliasih, STP, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi. 2. Ir. M. Zein Nasution, MApp.Sc. dan Dr. Ir. Liesbetini Hartoto MS. selaku dosen

penguji yang telah banyak memberikan saran, masukan dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ayah (Zahari N.), ibu (Alm. Hilalyah), kakak (Alm. Fahruziana, Mulyani, Nurhazami, Susilawati, Emilya, Nurmizana), abang (Edy Azian, M. Syukri, Zulfadli), dan seluruh keluarga tercinta atas segala kasih sayang, bantuan, dan doa yang tiada henti.

4. Siska dan Faiz atas persahabatan dan kasih sayang yang tiada henti.

5. Seluruh staf TIN dan laboran yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan

6. Seluruh teman-teman TIN 43 tercinta dan penghuni Ponah C (Irma, Citra, Shanty, Sausan, Faizah, Titis, Niken, Mellita, Maryan, Ipong) atas bantuan dan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu dengan hati terbuka penulis menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2010

(10)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostretus)... 3

B. Garam dan Gula ………... 6

C. Pembekuan ...………... 8

D. Penggorengan Vakum (Vacuum Frying)………... 9

III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat…... 14

B. Metode Penelitian... 14

1. Karakterisasi Jamur Tiram Putih Segar ………... 14

2. Penentuan Konsentrasi Larutan Garam dan Gula... 14

3. Penentuan Waktu Penggorengan ... 15

4. Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih... 16

C. Rancangan Percobaan... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Jamur Tiram Putih Segar ……… 18

B. Konsentrasi Larutan Garam dan Gula... 18

C. Waktu Penggorengan... 19

(11)

Halaman

E. Karakteristik Keripik Jamur Tiram Putih... 24

1. Rendemen ………... 24

2. Kadar Air ... 26

3. Kadar Lemak ……… 28

4. Kadar Serat Kasar ……… 30

5. Kadar Abu ……… 31

6. Kadar Protein ………... 33

7. FFA (Free Fatty Acid)………... 34

8. Uji Organoleptik ……….. 35

a. Warna ……….. 36

b. Rasa ………. 38

c. Aroma ………. 39

d. Kerenyahan ………. 40

F. Analisa Kelayakan Usaha……….. 41

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 46

B. Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA... 48

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik Jamur Tiram Putih ……… 5 Tabel 2. Karakteristik Jamur Tiram Putih Segar ... 18 Tabel 3. Hasil Penentuan Konsentrasi Larutan Garam dan Gula (Trial

and Error)... 19 Tabel 4. Hasil Penentuan Waktu Penggorengan (Trial and Error)... 20

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Jamur tiram putih segar……… 4 Gambar 2. Rangkaian alat penggorengan hampa (vacuum frying)... 11 Gambar 3. Proses penggorengan deep fat frying………... 12 Gambar 4. Diagram alir penentuan konsentrasi larutan garam dan

gula ……….. 15

Gambar 5. Keripik jamur tiram putih dengan rasa asin... 23 Gambar 6. Keripik jamur tiram putih dengan rasa manis ... 23 Gambar 7. Histogram rendemen rata-rata keripik jamur tiram putih … 25 Gambar 8. Histogram kadar air rata-rata keripik jamur tiram

putih……….. 27

Gambar 9. Histogram kadar lemak rata-rata keripik jamur tiram putih………... 29 Gambar 10. Histogram kadar serat kasar rata-rata keripik jamur tiram

putih ………... 31 Gambar 11. Histogram kadar abu rata-rata keripik jamur tiram putih … 32 Gambar 12. Histogram kadar protein rata-rata keripik jamur tiram

putih ………... 34 Gambar 13. Histogram nilai FFA rata-rata keripik jamur tiram

putih………...……….. 35 Gambar 14. Histogram nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna

keripik jamur tiram putih………... 38 Gambar 15. Histogram nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa

keripik jamur tiram putih ………. 39 Gambar 16. Histogram nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma

keripik jamur tiram putih .……… 40 Gambar 17. Histogram nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa ………... 53 Lampiran 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Keripik Jamur Tiram

Putih……… 57

Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Karakterisasi Keripik Jamur Tiram Putih Asin... 58 Lampiran 4. Analisa Keragaman Keripik Jamur Tiram Putih Asin... 59 Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Karakterisasi Keripik Jamur Tiram Putih

Manis...………... 62 Lampiran 6. Analisa Keragaman Keripik Jamur Tiram Putih Manis……….. 63 Lampiran 7. Formulir Uji Organoleptik Keripik Jamur Tiram Putih

Asin...

66 Lampiran 8. Formulir Uji Organoleptik Keripik Jamur Tiram Putih Manis ………... 67 Lampiran 9. Analisis Uji Oranoleptik Warna Keripik Jamur Tiram Putih

Asin………... 68 Lampiran 10. Analisis Uji Oranoleptik Rasa Keripik Jamur Tiram Putih

Asin……… 70

Lampiran 11. Analisis Uji Oranoleptik Aroma Keripik Jamur Tiram Putih Asin.………... 72 Lampiran 12. Analisis Uji Oranoleptik Kerenyahan Keripik Jamur Tiram

Putih Asin ………... 74 Lampiran 13. Analisis Uji Oranoleptik Warna Keripik Jamur Tiram Putih

Manis ………... 76 Lampiran 14. Analisis Uji Oranoleptik Rasa Keripik Jamur Tiram Putih

Manis………... 78

Lampiran 15. Analisis Uji Oranoleptik Aroma Keripik Jamur Tiram Putih

Manis ………. 80

Lampiran 16. Analisis Uji Oranoleptik Kerenyahan Keripik Jamur Tiram

Putih Manis ……… 82

Lampiran 17. Biaya Investasi, Penyusutan Mesin dan Peralatan Pabrik Keripik Jamur Tiram Putih Rasa Asin dan Manis…... 84 Lampiran 18. Biaya Variabel Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa Asin… 85 Lampiran 19. Perhitungan Biaya Listrik Pembuatan Keripik Jamur Tiram

Putih Rasa Asin………... 85

(15)

Halaman

Lampiran 20. Proyeksi Rugi/Laba Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa Asin... 86 Lampiran 21. Perkiraan Cash Flow Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa

Asin... 86 Lampiran 22. Biaya Variabel Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa

Manis………... 87

Lampiran 23. Perhitungan Biaya Listrik Pembuatan Keripik Jamur Tiram Putih Rasa Manis………... 87 Lampiran 24. Proyeksi Rugi/Laba Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa

Manis………... 88

Lampiran 25. Perkiraan Cash Flow Usaha Keripik Jamur Tiram Putih Rasa

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran potensial untuk dikembangkan. Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani jamur tiram putih terjadi pada saat musim hujan, yaitu ketersediaan jamur tiram putih sangat banyak dan melebihi permintaan pasar sehingga hasil panen tidak termanfaatkan secara optimal. Selain itu jamur tiram putih mengandung kadar air yang tinggi, sehingga mudah mengalami kerusakan. Kondisi ini menuntut adanya pengolahan yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah dan memperpanjang umur simpan jamur tiram putih.

Produk olahan jamur tiram putih yang telah dikembangkan antara lain jamur tiram cryspy dengan penambahan tepung dan beberapa bumbu. Produk ini sudah lama dikenal masyarakat dan telah banyak dijual di pasaran. Namun demikian, pada produk ini terjadi kehilangan rasa jamur tiram putih yang khas akibat adanya penambahan dari beberapa bahan lain.

Beberapa penelitian mengenai produk olahan jamur tiram putih diantaranya dilakukan oleh Sekti (2003) yaitu pembuatan sosis nabati dari jamur, kajian sifat fisiko-kimia jamur tiram putih kering beku oleh Yuliati (2002), dan optimasi suhu dan waktu penggorengan hampa jamur tiram oleh Rosyanti (2000). Keripik yang dihasilkan pada penelitian tersebut hanya terbatas pada rasa asli jamur tiram. Selain itu suhu yang digunakan cukup tinggi, yaitu ±105°C, sehingga dapat merusak nutrisi yang terdapat pada jamur tiram putih.

Beberapa kekurangan pada produk keripik yang telah ada dapat dilengkapi dengan pengembangan dan modifikasi desain proses pengolahan keripik, yaitu pembekuan sebelum proses penggorengan. Menurut Tressler (1968), pembekuan dilakukan untuk memperoleh produk dengan warna yang diinginkan dan mutu yang seragam serta dapat mempersingkat waktu pengolahan. Selain itu keripik yang dihasilkan memiliki tekstur dan kerenyahan yang lebih baik.

Selera konsumen yang beragam mengharuskan adanya pengembangan varian rasa keripik tanpa menghilangkan rasa khas jamur tiram putih itu sendiri. Keripik yang dihasilkan juga bersifat aman dikonsumsi karena tidak adanya

(17)

penambahan zat aditif seperti bahan pengawet, bahan perenyah, dan pewarna. Dengan demikian keripik ini akan memiliki mutu yang lebih baik, sehingga semakin menarik konsumen untuk mengkonsumsi produk ini.

Pengolahan jamur tiram putih menjadi keripik melibatkan proses penggorengan. Metode penggorengan biasa menghasilkan keripik yang tidak renyah dan memiliki tekstur yang tidak menarik akibat kandungan air jamur tiram putih yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan metode penggorengan yang tepat yaitu menggunakan penggorengan hampa (vacuum frying). Menurut Sofyan (2004), pada kondisi vakum, suhu penggorengan dapat diturunkan sebesar 70-85°C karena penurunan titik didih air, sehingga memungkinkan mengolah komoditas peka panas seperti buah dan sayuran menjadi hasil olahan berupa keripik (chip). Suhu penggorengan yang rendah dapat meminimalisasi kerusakan baik rasa, warna, aroma, dan nutrisi pada produk.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pengolahan keripik jamur tiram putih rasa asin dan manis dengan atau tanpa pembekuan sebelum proses penggorengan, mengetahui karakteristik, dan mengetahui respon panelis terhadap keripik jamur tiram putih yang dihasilkan.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Jamur tiram putih dalam bahasa latin disebut Pleurotus ostreatus. Jamur tiram putih hidup sebagai saprofit di pohon inangnya. Jamur ini banyak tumbuh secara liar di kawasan yang berdekatan dengan hutan, menempel pada kayu atau dahan kering. mudah dijumpai di kayu-kayu lunak, seperti karet, damar, kapuk, atau di bawah limbah biji kopi. Jamur ini dapat tumbuh dengan baik di ketinggian hingga 600 m di atas permukaan laut (dpl), dengan kisaran suhu 15-30°C dan kelembaban 80-90%. Pertumbuhan jamur tiram putih tidak membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi dan berkembang baik pada media tanam yang asam, yakni pada pH 5,5-7. Jamur ini tumbuh terutama pada waktu musim hujan (Anonim, 2002).

Menurut Anonim (2002), jamur tiram putih memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut : Kerajaan : Fungi Filum : Basidiomycota Kelas : Homobasidiomycetes Ordo : Agaricales Familia : Tricholomataceae Genus : Pleurotus Spesies : ostreatus

Tubuh buah jamur tiram terdiri dari tudung dan tangkai. Tudung mempunyai diameter 4-15 cm atau lebih, bentuk seperti tiram, cembung kemudian menjadi rata atau kadang-kadang membentuk corong; permukaan licin, agak berminyak ketika lembab, tetapi tidak lengket; warna bervariasi dari putih sampai abu-abu, cokelat tua (kadang-kadang kekuningan pada jamur dewasa); tepi menggulung ke dalam, pada jamur muda seringkali bergelombang atau bercuping. Daging tebal, berwarna putih, kokoh, tetapi lunak pada bagian yang berdekatan dengan tangkai; bau dan rasa tidak merangsang. Bilah cukup berdekatan, lebar, warna putih atau keabuan dan sering kali berubah menjadi kekuningan ketika dewasa. Tangkai tidak ada atau jika ada biasanya pendek, kokoh dan tidak di

(19)

pusat atau di lateral (tetapi kadang-kadang di pusat), panjang 0,5-4,0 cm, gemuk, padat, kuat, kering, umumnya berambut atau berbulu kapas paling sedikit di dasar (Gunawan, 2001). Jamur tiram putih segar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jamur tiram putih segar

Tubuh mempunyai tudung yang berubah dari hitam, abu-abu, cokelat hingga putih dengan permukaan yang hampir licin dengan diameter 5-20 cm. Tepi tudung mulus sedikit berlekuk. Spora berbentuk batang berukuran 8-11 x 3-4 m. Miselium berwarna putih dan bisa tumbuh dengan cepat (Anonim, 2007). Jamur tiram putih diduga memiliki pigmen antoxantin. Menurut Winarno (1992), pigmen antoxantin berwarna kuning dan larut dalam air.

Jamur tiram mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia sebagai protein nabati yang tidak mengandung kolesterol, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit darah tinggi dan jantung serta untuk mengurangi berat badan dan diabetes. Kandungan asam folatnya (vitamin B-komplek) tinggi sehingga dapat menyembuhkan anemia dan sebagai obat anti tumor. Selain itu jamur tiram digunakan pula untuk mencegah dan menanggulangi kekurangan gizi dan pengobatan kekurangan zat besi. Untuk terapi pengobatan sebaiknya tidak digoreng karena bisa menurunkan kadar vitaminnya dan zat-zat yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit (Pasaribu et al., 2002). Karakteristik jamur tiram putih segar dapat dilihat pada Tabel 1.

(20)

Tabel 1. Karakteristik Jamur Tiram Putih Karakteristik Jumlah Kadar air (%) 90,8 Protein kasar (% bk) 30,4 Lemak (% bk) 2,2 Karbohidrat (% bk) 57,6 Serat (% bk) 8,7 Abu (% bk) 9,8

Energi 345 kkal per 100 gram bahan

Sumber : Chang dan Hayes (1978)

Kandungan air pada jamur tiram segar sekitar 85-95%. Kandungan air ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban selama penyimpanan (Bano dan Rajarathnam, 1982).

Kandungan lemak jamur tiram antara 1,08-9,4% bobot kering. Lemaknya terdiri dari asam lemak bebas, monogliserida, digliserida, trigliserida, sterol, sterol ester dan fosfolipid. Asam lemak utama adalah asam oleat (79,4%), asam palmitat (14,3%), asam linoleat (6,3%). Lemak netral utama pada jamur tiram adalah trigliserida yaitu sekitar 29% (Bano dan Rajarathnam, 1982).

Karbohidrat merupakan unsur utama pada Pleurotus yaitu berkisar antara 46,6-81,8% dan mengandung serat kasar 7,5-27,6%. Komposisi karbohidrat yaitu 4,22% karbohidrat terlarut, 1,66% pentosan, 32,23% heksosan. Jamur tiram tidak mempunyai pati. Karbohidrat disimpan dalam bentuk kitin dan glikogen. Kitin merupakan unsur utama serat jamur (Crisan dan Sand, 1978).

Protein jamur yang dapat dicerna sekitar 34-89% dengan daya cerna protein sekitar 60-70%. Oleh karena itu sebagai pendekatan perhitungan kadar protein dilakukan koreksi dengan menggunakan faktor koreksi 70% N x 6,25 atau N x 4,38 (Gray, 1978).

Menurut FAO (1972) di dalam Crisan dan Sand (1978), vitamin yang terdapat dalam jamur tiram per 100 gramnya meliputi tiamin (4,8 mg), niasin (108,7 mg), asam askorbat (90-144 mg), vitamin B12 (1,4 mg). Sedangkan mineral

yang terdapat pada setiap 100 gram jamur tiram adalah kalsium (33 mg), fosfor (1348 mg), besi (15,2 mg), natrium (837 mg) dan kalium (3793 mg).

Jamur yang sudah dipanen tidak perlu dipotong menjadi bagian per bagian tudung, namun hanya perlu dibersihkan kotoran yang menempel di bagian

(21)

akarnya saja, sehingga daya tahan simpan jamur akan lebih lama. Jamur segar hanya bisa tahan 24 jam jika dibiarkan dalam suhu kamar. Namun jika dimasukkan ke dalam lemari es dapat tahan sampai satu minggu (Pasaribu et al., 2002).

Seperti buah dan sayuran lainnya, jamur tiram putih merupakan bahan pangan mudah rusak. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh mikroorganisme, reaksi biokimia (pencoklatan enzimatis) dan kimia (pencoklatan nonenzimatis) serta kerusakan fisik (Cho et al., 1982).

B. Garam dan Gula

Bahan-bahan yang mengandung nilai gizi seperti garam, gula, dan pati dianggap sebagai bahan tambahan makanan sebab masing-masing digunakan, dikenal atau biasa dijual sebagai bahan makanan. Jadi bahan-bahan tersebut digolongkan ke dalam GRAS (General Recognize As Safe) (Winarno dan Sulistyowati, 1994). Kelompok GRAS ini merupakan kelompok bahan tambahan makanan yang dinyatakan aman dalam penggunaannya.

Menurut Igoe dan Hui (1996), garam adalah seasoning dan pengawet yang komposisi kimianya terdiri dari natrium klorida, sekitar 40% natrium dan 60% klorida. Secara umum, garam NaCl kristalnya tidak berwarna dan berbentuk kubus.

Penggaraman adalah suatu cara yang telah biasa dilakukan dalam mengawetkan sayuran sejak zaman dahulu sampai sekarang. Tipe penggaraman yaitu penggaraman kering dengan atau tanpa fermentasi, penggaraman dalam larutan garam pekat dengan atau tanpa fermentasi dan penggaraman dalam larutan garam konsentrasi rendah dengan atau tanpa fermentasi (Picklenet, 2001).

Penggaraman adalah metode untuk mengawetkan ikan, daging, sayuran, dan buah seperti asam jawa, mangga muda, lemon, beri, cabai hijau, dan sebagainya. Konsentrasi garam yang tinggi mencegah air pada bahan dapat menjadi sarana pertumbuhan bakteri. Hal ini dikarenakan konsentrasi garam pada air bahan lebih tinggi dari yang terdapat pada sel bakteri sehingga membran sel bakteri tidak dapat menyerap air dan bahkan kehilangan air dalam selnya (Ismail, 2004). Menurut Buckle et al., garam yang ditambahkan berpengaruh pada

(22)

jaringan tumbuh-tumbuhan yang segar. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan pembentuk spora paling mudah terpengaruh walaupun dengan kadar garam yang rendah sekalipun (6%).

Beberapa macam sayuran mentah akan memerlukan penggaraman untuk mengekstrak kelebihan kandungan air. Cara penggaraman yang umum digunakan ada 2 macam, yaitu metode penggaraman kering (dry-salting) dan penggaraman basah (wet-salting). Pada penggaraman kering, sayuran ditempatkan pada wadah non-metalik, kemudian ditaburi garam secara merata dan dibiarkan dalam selang waktu tertentu serta diaduk sekali-sekali. Pada penggaraman basah, sayuran direndam dalam larutan garam dan dibiarkan dalam selang waktu tertentu. Setelah penggaraman, sayuran dibilas beberapa kali untuk membuang seluruh garam dan dikeringkan atau ditiriskan dengan menggunakan kertas tisu (Picklenet, 2001).

Penggaraman atau perendaman sebelum dimasak mengurangi kecenderungan absorpsi (penyerapan) alaminya terhadap minyak, menghilangkan sebagian rasa pahit dan membuat struktur daging terong menjadi lebih kompak (Trujillo, 2003).

Ada 2 alasan untuk melakukan penggaraman, yaitu (1) penggaraman dapat menghilangkan sebagian rasa pahit dan (2) garam dapat mencegah bahan menyerap terlalu banyak minyak dalam proses pemasakan. Penggaraman dapat mempertahankan bentuk dalam beberapa tipe seperti penggorengan atau pemanggangan (Topel, 2003).

Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit, atau tebu (Buckle et al., 1985).

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai sifat aktif optis yang dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula. Gula yang banyak diperdagangkan sebagai bahan makanan adalah gula sukrosa (sacharose) yang berbentuk kristal atau seperti pasir putih dan jernih (Goutara dan Wijandi, 1985). Gula banyak digunakan dalam pengawetan buah-buahan dan sayuran juga sebagai bumbu

(23)

untuk produk-produk daging bahan pemanis, bahan pengawet, bahan baku alkohol dan lain-lain tergantung karakteristik masing-masing gula (Buckle et al., 1985).

Menurut Sharma et al. (2000), gula merupakan penghambat yang efektif terhadap polifenol oksidase, mencegah hilangnya flavor yang mudah menguap, sifatnya yang impermeabel terhadap sebagian besar membran sel dan daya difusinya jauh lebih rendah daripada air, sehingga menyebabkan sedikit kandungan zat padat dalam jaringan.

Potter dan Hotchkiss (1995) menambahkan beberapa sifat lain dari gula tebu (sukrosa), yaitu: (a) dalam air membentuk sirup; (b) jika air diuapkan dari larutan gula akan terbentuk kristal; (c) dapat difermentasi; (d) dapat berfungsi sebagai pengawet; (e) memberikan warna gula/karamelisasi dalam pemanasan; dan (f) memberikan reaksi pencokelatan dengan protein. Penggunaan sirup gula sudah dikenal sejak lama sebagai metode untuk meminimalisasi oksidasi.

C. Pembekuan

Proses pembekuan mengakibatkan air di dalam bahan berubah wujud dari cair menjadi padat berupa kristal-kristal es. Es merupakan suatu senyawa yang terdiri dari molekul-molekul H2O (HOH) yang tersusun sedemikian rupa sehingga

satu atom H terletak di satu sisi antara sepasang atom oksigen molekul-molekul air, membentuk suatu heksagon simetrik. Ruangan-ruangan dalam kristal es membentuk saluran-saluran dalam jumlah yang sangat besar. Karena itulah es mempunyai volume 11 kali lebih besar dari bentuk cairannya. Volume es yang meningkat ini akan menembus membran dan merusak jaringan sel. (Winarno, 1992).

Pada saat pembekuan terjadi penurunan suhu pada bahan dan terjadi pelepasan panas. Hal ini mengakibatkan pergerakan molekul-molekul air menjadi lambat dan volumenya mengecil. Bila suhu diturunkan sampai 4°C, suatu pola baru ikatan hidrogen terbentuk. Volume air sebaliknya mengembang ketika suhu diturunkan lagi dari 4°C sampai 0°C. Ketika panas kembali dilepas setelah air mencapai 0°C, terbentuklah kristal es dan volume mendadak mengembang (Winarno, 1992).

(24)

Makanan tidak mempunyai titik beku yang pasti tergantung pada kisaran suhu air dan komposisi selnya. Kurva suhu-waktu pembekuan umumnya menunjukkan garis datar (plateau) antara 0°C sampai -5°C berkaitan dengan perubahan air menjadi es, kecuali jika kecepatan pembekuan sangat tinggi. Waktu yang dibutuhkan untuk melewati kisaran suhu pembekuan berpengaruh nyata pada mutu beberapa makanan beku. Tahapan ini mengakibatkan kerusakan sel yang irreversible sehingga mutu menjadi menurun setelah pencairan. Hal ini terjadi karena pembentukan kristal es yang besar dan perpindahan air selama pembekuan dari dalam sel ke bagian luar sel yang dapat mengakibatkan kerusakan sel akibat adanya pengaruh tekanan osmotis (Buckle et al.). Kerusakan sel pada produk tertentu memang diinginkan terutama pada keripik untuk memperoleh produk yang lebih porous sehingga dihasilkan keripik yang lebih renyah.

D. Penggorengan Vakum (Vacuum Frying)

Menurut Lawson (1995), proses penggorengan merupakan proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak pangan dalam ketel penggorengan, sedangkan menurut Azkenazi, et al. (1984), penggorengan adalah proses pemasakan dan pengeringan melalui kontak dengan minyak panas dan melibatkan pindah panas secara simultan.

Kehilangan senyawa-senyawa volatil dari bahan pangan menyebabkan rasa, warna, dan aroma dari bahan berubah dari kondisi aslinya. Suhu penggorengan yang tinggi dan waktu yang lama akan mengakibatkan penyerapan minyak yang lebih banyak dan kehilangan vitamin dalam jumlah yang cukup besar. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan produk mentah di bagian dalam, tetapi bagian luarnya mungkin sudah hangus (Weiss, 1983). Di samping itu suhu yang tinggi mengakibatkan perubahan warna gula yang dikandung bahan menjadi lebih gelap dan kerusakan pada struktur bahan. Faktor-faktor demikian menyebabkan umumnya produk sistem penggorengan tradisional (terbuka) memiliki tingkat kesehatan dan mutu yang lebih rendah.

Kriteria produk yang berkualitas antara lain memiliki warna alami, aroma dan tekstur yang baik tanpa penambahan zat aditif seperti pewarna dan perenyah. Produk hasil gorengan diusahakan memiliki kandungan minyak goreng yang

(25)

rendah, dan kerusakan minimal atas kandungan bahan alami seperti zat-zat nutrisi, serat dan vitamin. Pada tahap akhir proses penggorengan menggunakan sistem vakum, lapisan uap air permukaan bahan dilepaskan sehingga peranannya sebagai lapisan pelindung akan hilang. Akibat selanjutnya, minyak akan masuk dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mengering (Block, 1964).

Mesin penggorengan vakum yang sering digunakan antara lain adalah water jet. Menurut Lastryanto (1997) penggorengan hampa dilakukan dalam ruangan tertutup dengan kondisi tekanan rendah, dimana kondisi yang baik untuk menggoreng buah secara vakum adalah suhu 90oC, tekanan 700 mmHg dan waktu penggorengan 1 jam. Desain fungsional mesin penggorengan hampa ini terdiri dari :

1. Pompa vakum : berfungsi untuk menghisap udara di dalam ruang penggoreng sehingga tekanan menjadi rendah serta untuk menghisap uap air bahan. Bagian ini merupakan komponen penting dari sistem penggoreng hampa, di mana pompa vakum sistem water jet memiliki kelebihan yaitu tidak menggunakan oli, seal, bantalan, dan poros sehingga biaya operasinya rendah. Mekanisme penghisapan menggunakan fluida pendorong yang pada umumnya air, uap air, dan gas bertekanan tinggi yang dilewatkan ke dalam nozel. Energi tekan oleh nozel diubah menjadi energi gerak, tingginya kecepatan akan menghasilkan hisapan di ujung nozel tempat memancarnya fluida.

2. Ruang penggoreng : berfungsi sebagai tempat bahan yang digoreng. Di dalamnya berisi minyak sebagai media pindah panas yang dilengkapi dengan mekanisme angkat celup (lifting and dipping mechanism).

3. Kondensor : berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan. Sistem pendingin ini dikelilingi oleh tabung-tabung kecil berisi freon yang berasal dari sistem pendingin udara (AC).

4. Unit pemanas : merupakan sumber panas yang dapat berasal dari LPG sebagai bahan bakarnya.

5. Unit pengendali operasi : berfungsi untuk mengendalikan kondisi proses penggorengan selama operasi sehingga berlangsung seperti yang dkehendaki. Unit ini keberadaannya sangat penting karena suhu proses dilakukan pada suhu di bawah suhu media pemanas.

(26)

Suparlan et al. (1998), mengemukakan proses pengoperasian penggorengan vakum yaitu sebagai berikut : (1) Unit pengendali operasi dinyalakan, (2) Suhu penggorengan diatur sesuai dengan yang diinginkan, (3) Kompor penangas sebagai sumber panas dinyalakan, (4) Bahan yang siap digoreng dimasukkan ke dalam keranjang yang terdapat di dalam ruang penggorengan, kemudian tabung penggorengan ditutup rapat dan divakumkan sampai mencapai tekanan vakum, (5) Lama proses penggorengan disesuaikan dengan bahan yang digoreng, (6) Kompor pemanas dan pompa vakum dimatikan setelah proses penggorengan selesai, (7) Keranjang yang berisi bahan yang telah digoreng diangkat dan dibiarkan sejenak untuk penirisan minyak, dan (8) Unit pengendali operasi dimatikan. Gambar 2 menunjukkan rangkaian alat penggorengan vakum (vacuum frying).

Keterangan :

1. Pompa vakum water jet 2. Tabung penggoreng 3. Kondensor

4. Unit pemanas

5. Unit pengendali operasi

6. Bagian pengaduk penggorengan

7. Mesin pengering (spinner), berfungsi untuk meniriskan kripik.

Gambar 2. Rangkaian alat penggorengan vakum (Vacuum Frying) Sumber : IP2TP, 2000

Proses penggorengan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun oleh empat komponen, yaitu (a) sistem mekanis, yang menggerakkan produk masuk melewati dan keluar dari ketel penggorengan, (b) sistem lemak/minyak

(27)

yang berperan sebagai medium pemanas dan unsur ingredient produk akhir, (c) sistem termal yang berfungsi sebagai alat pemindah panas ke minyak goreng, dan (d) sistem pengontrol suhu penggorengan (Lawson, 1995).

Proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3 metode, yaitu : griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan pan frying banyak digunakan dalam pengolahan di rumah tangga. Griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle (alat penggorengan dengan permukaan datar). Pan frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan sedikit minyak goreng (minyak yang digunakan sedikit lebih banyak dibandingkan pada metode griddling) dan pada umumnya digunakan untuk menggoreng ayam atau ikan (Lawson, 1995).

Proses penggorengan yang dilakukan dalam industri makanan umumnya menggunakan metode deep fat frying, yaitu proses pengggorengan dengan menggunakan pindah panas yang langsung dari minyak yang panas ke bahan yang dingin (Lawson, 1995). Metode ini sangat penting karena prosesnya sangat cepat, mudah dan produk memiliki tekstur dan aroma yang lebih disukai. Proses ini menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak karena bahan yang digoreng harus terendam seluruhnya dalam minyak. Kesetimbangan massa dan panas pada proses penggorengan dengan metode deep fat frying dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses penggorengan deep fat frying (Robertson, 1967) Ketel penggorengan

Uap air

Uap yang dihasilkan dari lemak dan hasil samping lemak Hasil gorengan Panas Remah Minyak/ lemak Bahan mentah

(28)

Dalam prosesnya, bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel yang berisi minyak segera menerima panas dan air dari bahan akan menguap. Hal ini ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung gas dalam medium penggorengan yang berasal dari air yang diuapkan dari dalam bahan selama penggorengan. Selama proses penggorengan, produk menyerap minyak dalam persentase yang cukup besar. Penyerapan minyak ini tergantung bahan yang digoreng (Lawson, 1995).

Akibat proses penggorengan, terjadi perubahan-perubahan fisik yang bersifat spesifik yaitu : (1) kenaikan suhu produk, (2) evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi browning dan terbentuknya renyahan, (4) perubahan dimensional produk yang digoreng, (5) perpindahan minyak dari sistem ke produk gorengan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1964).

Pada penggorengan keripik buah, berbagai kondisi proses penggorengan hampa telah digunakan. Paramitha (1999) menggunakan suhu 95oC dan waktu penggorengan 40 menit untuk memproduksi keripik buah sawo, Fitriani (1999) menggunakan suhu 90oC selama 50 menit untuk memproduksi keripik buah jambu biji, Surya (1999) menggunakan suhu 90oC selama 50 menit untuk memproduksi keripik buah salak, dan Rahmadianto (2000) menggunakan suhu 90oC selama 30 menit untuk memproduksi keripik buah cempedak.

Semua pangan hasil penggorengan mempunyai strukur dasar yang sama, yaitu terdiri dari bagian yang mengandung air atau inner zone (core), bagian hasil dehidrasi atau outer zone (crust) dan bagian paling luar atau outer zone surface. Outer zone surface adalah bagian paling luar dari pangan gorengan yang umumnya berwarna coklat kekuning-kuningan. Warna coklat merupakan hasil dari reaksi pencokelatan non enzimatis. Pada pangan tipis seperti keripik, hampir tidak terdapat bagian core atau bagian yang mengandung air (Robertson, 1967).

Keripik merupakan produk hasil gorengan yang banyak menyerap minyak (Azkenazi et al., 1984). Faktor-fakor yang mempengaruhi jumlah minyak yang diserap kentang yang dibuat secara konvensional antara lain adalah (1) ketebalan irisan, (2) suhu minyak goreng, (3) lama penggorengan, (4) jenis minyak, (5) pengeringan, dan (6) sifat fisik permukaan irisan (Matz, 1984).

(29)

III. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur tiram putih, minyak goreng kelapa sawit, garam dapur, gula pasir, dan air. Bahan yang digunakan untuk analisa adalah H2SO4 0,325 N, KOH 0,1 N, heksan, NaOH 1,25

N, CuSO4, Na2SO4, H2SO4 pekat, NaOH 0,02 N,indikator mengsel, aquades, dan

alkohol netral 95%.

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan keripik jamur tiram putih adalah penggorengan hampa (vacuum frying), sentrifuge, pisau, plastik, wadah plastik, freezer, sealer, dan timbangan. Peralatan untuk analisa antara lain oven pengering, tanur, otoklaf, neraca analitik, cawan aluminium, cawan porselen, labu Erlenmeyer, kertas saring, labu lemak, kondensor, Soxhlet, peralatan gelas, desikator, labu Kjeldahl, penangas air, buret, dan perlengkapan uji organoleptik.

B. Metode Penelitian

1. Karakterisasi Jamur Tiram Putih Segar

Pada tahap ini dilakukan karakterisasi untuk mengetahui kandungan nilai gizi dari jamur tiram putih segar. Karakterisasi ini merupakan panduan awal dari analisa yang akan dilakukan terhadap keripik jamur tiram yang dihasilkan. Karakterisasi jamur tiram putih segar bertujuan mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada jamur tiram setelah proses penggorengan. Parameter yang diuji terdiri dari kadar air, kadar lemak, kadar serat, kadar abu, kadar protein, dan karbohidrat (by difference). Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Penentuan Konsentrasi Larutan Garam dan Gula

Pada penelitian ini akan dihasilkan keripik dengan dua varian, yaitu asin dan manis. Oleh karena itu jamur tiram putih direndam dalam larutan garam atau gula. Penentuan konsentrasi larutan garam dan larutan gula dilakukan secara trial and error. Konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 1, 2, 4, dan 6%. Konsentrasi larutan gula yang digunakan adalah 4, 5, 10, 15, dan 20%. Penentuan konsentrasi masing-masing larutan terbaik

(30)

berdasarkan pada uji organoleptik rasa. Diagram alir penentuan konsentrasi larutan garam dan gula dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir penentuan konsentrasi larutan garam dan gula

3. Penentuan Waktu Penggorengan

Pada tahap ini dilakukan penentuan waktu penggorengan secara trial and error dengan mengambil beberapa sampel yang dapat mewakili semua perlakuan. Sampel tersebut antara lain jamur yang direndam dalam larutan garam 1% dengan atau tanpa proses pembekuan sebelum penggorengan dan jamur yang direndam dalam larutan gula 3% dengan atau tanpa proses pembekuan sebelum penggorengan. Waktu terbaik yang diperoleh digunakan untuk penelitian selanjutnya berdasarkan pada pengamatan visual produk yang dihasilkan. Waktu penggorengan yang diujikan adalah 35, 37, 40 menit. Selain

Minyak goreng Keripik jamur tiram putih Penirisan Penggorengan Larutan garam 1, 2, 4, 6% Larutan gula 4, 5, 10, 15, 20% Perendaman (±5 menit) Penyortiran Jamur tiram putih Pengecilan ukuran

(31)

itu dilakukan juga uji coba dengan dua kali penggorengan dalam selang waktu 24 jam. Penggorengan kedua dilakukan selama 5 menit dan 10 menit.

4. Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih

Aliran proses dimulai dari jamur tiram putih segar disortir, dipotong sesuai dengan ukuran yang dinginkan kemudian dilakukan perendaman. Perlakuan perendaman terdiri atas perendaman dalam larutan garam atau gula dengan atau tanpa proses pembekuan sebelum penggorengan. Konsentrasi larutan yang digunakan merupakan pengembangan dari hasil terbaik pada tahap 2. Jamur kemudian digoreng menggunakan vacuum frying dengan waktu penggorengan sesuai dengan hasil terbaik yang diperoleh pada tahap 3. Hasil penggorengan ditiriskan untuk mengurangi sisa minyak pada produk menggunakan sentrifuge.

Keripik jamur tiram putih yang dihasilkan dikarakterisasi untuk mengetahui nilai rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar serat, kadar abu, kadar protein, FFA (Free Fatty Acid), dan kesukaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, dan kerenyahan. Hasil dari karakterisasi dan uji hedonik tersebut dijadikan acuan untuk memperoleh perlakuan yang terbaik.

C. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dua kali ulangan dengan 2 faktor yaitu konsentrasi larutan perendaman (faktor A) dan pembekuan (faktor B). Model rancangan percobaan desain proses pengolahan keripik jamur tiram rasa asin dan manis adalah sebagai berikut :

Yijk =µ +Ai + Bj + (AB)ij + ijk Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan

µ = rata-rata sebenarnya

Ai = pengaruh faktor konsentrasi larutan garam atau gula pada taraf

ke-i (i=1,2,3)

Bi = pengaruh faktor pembekuan pada taraf ke-j (j=1,2)

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor konsentrasi larutan garam atau gula

taraf ke-i dengan

faktor pembekuan taraf ke-j

(32)

Data diolah dengan menganalisa sidik ragam untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan. Analisa sidik ragam dilanjutkan dengan uji lanjut

Duncan untuk perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata (F hitung > F tabel) (Sudjana, 1975).

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Karakteristik Jamur Tiram Putih Segar

Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa komponen terbesar penyusun jamur tiram putih adalah air, yaitu sebesar 90,92%. Hal ini menyebabkan jamur tiram putih mudah terserang mikroorganisme pembusuk seperti Lactobacillus dan Bacillus yang pada umumnya menyerang sayur-sayuran (Buckle et al., 1988). Kadar air yang tinggi juga dapat mempengaruhi mutu produk keripik yang akan dihasilkan. Oleh karena itu kadar air pada produk harus seminimal mungkin agar produk yang dihasilkan renyah dan tidak cepat tengik. Hasil analisa proksimat jamur tiram putih segar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Jamur Tiram Putih Segar

Karakteristik (% bb) (% bk)

Kadar air 90,92 90,92

Kadar lemak 0,09 1,03

Kadar protein 2,71 29,89

Kadar abu 0,99 10,85

Kadar serat kasar 1,11 13,26

Karbohidrat (by difference) 4,18 46,04

Komponen kedua terbesar pada jamur tiram putih adalah karbohidrat, yaitu 46,04%. Jamur tiram putih merupakan bahan makanan bernutrisi dengan kandungan protein tinggi (29,89%) sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein nabati. Kandungan serat jamur tiram putih mencapai 13,26%. Serat jamur tiram putih sangat baik untuk pencernaan dan cocok untuk para pelaku diet. Jamur tiram putih mengandung mineral yang cukup tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai kadar abu sebesar 10,85%. Kadar lemak pada jamur tiram putih sangat rendah yaitu 1,03%.

B. Konsentrasi Larutan Garam dan Gula

Rentangan konsentrasi larutan garam dan gula ditentukan dengan metode trial and error. Hasil penggorengan vakum jamur tiram putih dengan berbagai konsentrasi larutan garam dan gula diperlihatkan pada Tabel 3.

(34)

Tabel 3. Hasil Penentuan Konsentrasi Larutan Garam dan Gula (Trial and Error)

Jenis Larutan dan Konsentrasinya Deskripsi Produk yang Dihasilkan

Konsentrasi larutan garam 1% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Agak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Cukup asin

Konsentrasi larutan garam 2% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Agak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Asin

Konsentrasi larutan garam 4% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Tidak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Terlalu asin

Konsentrasi larutan garam 6% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Tidak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Sangat asin

Konsentrasi larutan gula 4% Warna : Kuning agak kecokelatan Kerenyahan : Renyah

Bentuk : Agak keriput Rasa : Cukup manis

Konsentrasi larutan gula 5% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : agak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Manis

Konsentrasi larutan gula 10% Warna : Kuning gelap Kerenyahan : Kurang renyah Bentuk : Agak keriput Rasa : Manis

Konsentrasi larutan gula 15% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Tidak renyah Bentuk : Keriput

Rasa : Terlalu manis

Konsentrasi larutan gula 20% Warna : Kuning kecokelatan Kerenyahan : Tidak Renyah Bentuk : Sangat keriput Rasa : Sangat manis

Hasil analisa subyektif melalui organoleptik rasa menunjukkan bahwa jamur tiram putih yang direndam dalam larutan garam dan gula dengan konsentrasi masing-masing 1% dan 5% sudah baik dan dapat diterima baik dari segi warna, kerenyahan, bentuk, dan rasa. Proses pengolahan selanjutnya menggunakan rentangan konsentrasi hasil trial and error yang dikembangkan menjadi 0,5%, 1%, dan 1,5% untuk larutan garam dan 3%, 5%, dan 7% untuk larutan gula.

(35)

C. Waktu Penggorengan

Waktu penggorengan keripik jamur tiram putih juga ditentukan dengan metode trial and error. Waktu yang dipilih berdasarkan hasil analisa subyektif melalui pengamatan visual terhadap produk yang dihasilkan. Hasil trial and error penentuan waktu penggorengan jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Penentuan Waktu Penggorengan (Trial and Error)

Perlakuan Lama

Penggorengan (Menit)

Deskripsi

Perendaman dalam larutan garam 1%, tanpa pembekuan*

35 Warna cokelat kekuningan, ada yang masih mentah, kurang renyah, keras, dan keriput Perendaman dalam larutan

garam 1%, tanpa pembekuan**

5 Warna kuning kecokelatan, renyah

Perendaman dalam larutan garam 1%, dengan pembekuan*

35 Warna cokelat kekuningan, keriput, kurang renyah Perendaman dalam larutan

garam 1%, dengan pembekuan**

5 Warna kuning kecokelatan, renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, tanpa pembekuan*

30 Warna kuning agak kecokelatan, kurang renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, tanpa pembekuan**

10 Warna kuning kecokelatan, kurang renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, tanpa pembekuan*

35 Warna kuning kecokelatan, masih ada yang kurang renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, tanpa pembekuan**

5 Warna kecokelatan, renyah, gurih Perendaman dalam larutan

gula 3%, dengan pembekuan *

37 Warna kecokelatan, kering, renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, dengan pembekuan*

40 Warna kuning kecokelatan, kurang baik, terlalu kering, renyah Perendaman dalam larutan

gula 3%, dengan pembekuan *

35 Warna kuning agak kecokelatan, kurang baik, masih banyak yang kurang renyah

Perendaman dalam larutan gula 3%, dengan

pembekuan**

5 Warna kecokelatan, renyah, gurih

Keterangan : *) : Penggorengan pertama, suhu 88°C, tekanan 700 mmHg **) : Penggorengan kedua, suhu 88°C, tekanan 700 mmHg

(36)

Hasil trial and error menunjukkan bahwa penggorengan yang baik untuk jamur tiram putih adalah menggunakan vacuum frying dengan suhu 88°C dan tekanan 700 mmHg. Penggorengan dilakukan dua kali dalam selang waktu 24 jam. Penggorengan pertama dilakukan selama 35 menit sedangkan penggorengan kedua selama 5 menit. Hasil trial and error juga menunjukkan bahwa keripik yang mengalami penggorengan dua kali lebih baik dari segi penampakan dan kerenyahannya.

D. Proses Pengolahan Keripik Jamur Tiram Putih

Jamur tiram mempunyai bagian-bagian tubuh yang berbeda, diantaranya tangkai dan daun. Struktur yang berbeda tersebut menghasilkan produk gorengan yang berbeda pula. Pemakaian tangkai jamur tiram yang terlalu panjang menghasilkan keripik yang lebih keras pada bagian batang dibanding bagian daunnya. Oleh karena itu trimming dilakukan dengan membuang sebagian besar batang dan menyisakan sebagian lainnya yang tidak terlalu keras. Untuk mengusahakan keseragaman karakteristik keripik yang dihasilkan maka bahan yang akan digoreng dipilih yang berukuran sedang. Jika terdapat jamur yang terlalu besar, jamur dipotong sehingga mendekati ukuran yang diinginkan, sedangkan jamur yang baru tumbuh dan masih berukuran kecil tidak digunakan.

Tahapan selanjutnya yaitu perendaman dalam larutan garam untuk memperoleh keripik dengan rasa asin dan perendaman dalam larutan gula untuk menghasilkan keripik dengan rasa manis. Lama perendaman dilakukan selama ±5 menit. Perendaman dalam larutan garam dan gula menerapkan prinsip dehidrasi osmosis, yaitu air yang terkandung dalam jamur tiram putih dihilangkan atau dipindahkan dan diganti dengan dengan garam dan gula yang masuk ke dalam jamur tiram putih dalam bentuk larutan. Tekanan osmosis garam dan gula yang tinggi akan menarik air keluar dari bahan dan secara bersamaan akan terjadi difusi larutan garam dan gula ke dalam dinding sel bahan. Pemilihan larutan garam dan gula sebagai larutan osmosis dikarenakan garam dan gula adalah bahan osmosis yang baik karena efektifitasnya, aman, dapat mengisi porositas pada keripik, dan rasa yang diinginkan untuk keripik ini adalah asin dan manis.

(37)

Selanjutnya jamur tiram putih akan mengalami dua perlakuan yaitu dengan atau tanpa pembekuan sebelum penggorengan. Proses pembekuan dapat membekukan air yang terkandung dalam bahan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh produk dengan tekstur yang lebih baik. Selain itu proses pembekuan juga dapat mempercepat proses penggorengan. Selama proses pembekuan, suhu bahan pangan turun di bawah titik bekunya dan sebagian air berubah bentuk dari cair ke padat membentuk kristal es. Jamur segar yang telah direndam dibekukan selama 3x24 jam.

Penggorengan dilakukan secara deep fat frying. Proses penggorengan dimulai pada saat vacuum frying bersuhu 88°C dan berada dalam keadaan vakum (hampa udara) dengan tekanan ±700 mmHg. Selama proses penggorengan akan terjadi proses penguapan air dari permukaan bahan, ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung pada permukaan bahan. Pompa vakum akan menarik uap air panas yang berasal dari ruang penggorengan. Uap air ini tidak boleh masuk ke dalam pompa, sehingga untuk melindungi pompa, uap air ini akan didinginkan oleh kondensor hingga menjadi air.

Proses penggorengan dalam keadaan vakum bertujuan untuk mempertahankan warna asal bahan, mengurangi energi yang dibutuhkan untuk pemanasan, mempercepat proses penggorengan dan menurunkan titik didih minyak sehingga minyak tidak mudah rusak. Penggorengan bahan berakhir pada saat tidak ada lagi gelembung-gelembung yang keluar dari permukaan bahan. Keripik jamur tiram putih digoreng dua kali dalam selang waktu 24 jam pada suhu 88oC. Penggorengan pertama dilakukan selama 35 menit kemudian keripik ditiriskan dan disimpan di dalam plastik. Setelah 24 jam, keripik digoreng kembali selama 5 menit. Hal ini bertujuan mendapatkan keripik yang renyah dan tidak mudah alot.

Keripik yang telah digoreng kemudian ditiriskan dengan tujuan untuk menghilangkan sisa minyak hasil penggorengan. Penghilangan minyak ini menggunakan sentrifuge. Proses penghilangan minyak dilakukan untuk mencegah terjadinya ketengikan dan memperpanjang umur simpan produk. Diagram alir proses pembuatan keripik jamur tiram putih dapat dilihat pada Lampiran 2. Keripik jamur tiram putih yang dihasilkan dengan perlakuan

(38)

perendaman dalam berbagai konsentrasi garam dan gula serta perlakuan pembekuan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

A1B1 A2B1 A3B1

A1B2 A2B2 A3B2

Keterangan :

A : Konsentrasi larutan garam B : Perlakuan pembekuan

1 : 0,5% 1 : Dengan pembekuan

2 : 1% 2 : Tanpa pembekuan

3 : 1,5%

Gambar 5. Keripik jamur tiram putih dengan rasa asin

A1B1 A2B1 A3B1

A1B2 A2B2 A3B2

Keterangan :

A : Konsentrasi larutan gula B : Perlakuan pembekuan

1 : 3% 1 : Dengan pembekuan

2 : 5% 2 : Tanpa pembekuan

3 : 7%

(39)

Produk yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi, meliputi nilai rendemen, komposisi kimia, dan pengujian organoleptik. Rekapitulasi data hasil analisa rendemen dan komposisi kimia keripik jamur tiram putih dengan rasa asin dapat dilihat pada Lampiran 3 dan rasa manis dapat dilihat pada Lampiran 5.

E. Karakteristik Keripik Jamur Tiram Putih

Parameter yang diuji pada keripik jamur tiram putih meliputi rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar abu, kadar protein, nilai FFA (Fatty Fat Acid), dan uji hedonik terhadap warna, rasa, aroma, dan kerenyahan. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui respon panelis terhadap produk yang dihasilkan. Hasil karakterisasi akan digunakan untuk mengetahui perlakuan terbaik pada keripik jamur tiram putih.

1. Rendemen

Nilai rendemen merupakan hal penting yang perlu diperhatikan karena berhubungan dengan nilai ekonomis produk yang akan dipasarkan. Suatu produk olahan pangan dari bahan hasil pertanian yang diolah dengan proses yang melibatkan penguapan air dan senyawa-senyawa yang bersifat volatil dalam bahan pangan pasti mengalami penyusutan dari bobot awal bahan segarnya.

Penghitungan rendemen pada suatu proses pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar efisiensi proses pembuatan produk dari bahan segarnya. Nilai rendemen yang terlalu rendah menyebabkan biaya produksi yang tinggi sehingga harga jual pun akan semakin tinggi untuk menghasilkan keuntungan produksi. Pengukuran rendemen keripik jamur tiram putih dihitung dengan membandingkan bobot akhir keripik jamur tiram setelah selesai proses penggorengan dengan bobot awal jamur tiram.

Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 4) pada keripik rasa asin, konsentrasi, perlakuan pembekuan, dan interaksi diantara keduanya tidak berpengaruh nyata pada nilai rendemen. Hal ini dapat dikarenakan range antara satu konsentrasi dan konsentrasi lainnya tidak terlalu besar sehingga tidak berpengaruh signifikan pada nilai rendemen.

(40)

Faktor konsentrasi dan perlakuan pembekuan berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen keripik rasa manis pada α=0,05, sedangkan interaksi antara faktor konsentrasi dan perlakuan pembekuan tidak berpengaruh nyata pada nilai rendemen keripik (Lampiran 6). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ketiga taraf konsentrasi gula saling berbeda nyata satu sama lain. Hal ini dapat dikarenakan range konsentrasi gula yang digunakan cukup besar sehingga terdapat perbedaan yang signifikan pada ketiga konsentrasi tersebut. Pada faktor perlakuan pembekuan, terdapat perbedaan yang nyata antara keripik yang mengalami pembekuan dan keripik yang tidak mengalami pembekuan. Hal ini dikarenakan produk yang mengalami pembekuan lebih banyak kehilangan air pada saat proses penggorengan dibandingkan produk tanpa pembekuan.

Keripik rasa manis mempunyai rendemen antara 19,48 sampai 25,48%. Rendemen tertinggi terdapat pada sampel dengan konsentrasi gula 7% tanpa pembekuan, sedangkan rendemen terendah terdapat pada sampel dengan konsentrasi gula 3% dengan pembekuan. Nilai rendemen rata-rata keripik jamur tiram putih dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Histogram nilai rendemen rata-rata keripik jamur tiram putih

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai rendemen cenderung semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan gula. Larutan gula yang ditambahkan dapat berfungsi sebagai bahan pengisi porositas sehingga dapat memperbesar volume dan juga meningkatkan jumlah padatan. Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi gula pada larutan perendaman,

(41)

semakin banyak pula padatan yang berpindah ke dalam jamur tiram sehingga rendemen akan semakin meningkat.

Histogram di atas juga menunjukkan bahwa rendemen pada keripik jamur tiram rasa manis dengan pembekuan lebih rendah dibandingkan tanpa pembekuan. Pada proses pembekuan, kristal es yang terbentuk akan menimbulkan kerusakan pada jaringan karena adanya peningkatan volume dari air yang membeku. Kerusakan ini terutama terjadi pada buah dengan rongga-rongga udara interseluler yang besar seperti pada apel (Boyle et al.¸1977). Selama proses penggorengan, terjadi kembali perusakan jaringan sel karena adanya penguapan yang terjadi secara mendadak. Hal ini menyebabkan air yang terkandung di dalam bahan lebih cepat dan lebih banyak menguap dibandingkan pada produk tanpa pembekuan sehingga terbentuk rongga-rongga dan produk akan menjadi lebih porous (kadar air produk rendah).

Rendemen produk yang rendah disebabkan kadar air jamur tiram mentah yang tinggi yaitu sekitar 90%. Menurut Hallstrom (1980), pindah massa dalam proses penggorengan ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian renyahan dan menurunnya kapasitas menahan air (water holding capacity) bahan pada saat kenaikan suhu. Laju pindah massa minyak yang menggantikan ruang-ruang kosong dari air tidak sebanding dengan penguapan air karena panas. Hal inilah yang menyebabkan nilai rendemen yang rendah.

2. Kadar Air

Nilai kadar air produk keripik merupakan parameter yang sangat penting karena berhubungan dengan kerenyahan produk yang dihasilkan dan ketahanan produk selama penyimpanan. Produk keripik pada umumnya harus mempunyai kadar air yang rendah sehingga kerenyahan produk semakin tinggi. Menurut Brooker et al. (1974), pengeringan merupakan proses penurunan kadar air sampai batas tertentu di mana dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia.

(42)

Berdasarkan analisa keragaman pada keripik jamur tiram putih asin (Lampiran 4), diperoleh bahwa faktor konsentrasi dan faktor perlakuan pembekuan berpengaruh nyata pada α=0,05. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ketiga taraf konsentrasi saling berbeda nyata satu sama lain. Pada faktor perlakuan pembekuan, terdapat perbedaan yang nyata antara keripik yang mengalami pembekuan dan keripik yang tidak mengalami pembekuan. Kadar air keripik berkisar antara 1,73% sampai 2,39%. Kadar air terbesar terdapat pada sampel dengan konsentrasi 0,5% tanpa pembekuan dan kadar air terkecil terdapat pada sampel dengan konsentrasi 1,5% dengan pembekuan.

Faktor konsentrasi dan pembekuan berpengaruh nyata pada kadar air keripik jamur tiram manis (Lampiran 6). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ketiga taraf konsentrasi saling berbeda nyata satu sama lain. Pada faktor perlakuan pembekuan, terdapat perbedaan yang nyata antara keripik yang mengalami pembekuan dan keripik yang tidak mengalami pembekuan. Kadar air keripik berkisar antara 1,52% sampai 2,32%. Kadar air terbesar terdapat pada sampel dengan konsentrasi 3% tanpa pembekuan dan kadar air terkecil terdapat pada sampel dengan konsentrasi 7% dengan pembekuan. Kadar air rata-rata keripik jamur tiram putih dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram kadar air rata-rata keripik jamur tiram putih

Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar air semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan garam dan gula. Hal ini terjadi karena pada saat perendaman air yang berada di dalam bahan pindah ke larutan perendaman akibat adanya tekanan osmotik dari larutan garam dan

(43)

gula. Tekanan osmostik ini akan menarik air keluar dari jamur segar dan akan terjadi difusi larutan garam dan gula ke dalam dinding sel jamur tiram. Semakin tinggi konsentrasi larutan garam dan gula maka semakin banyak air yang akan keluar dari bahan.

Kadar air keripik yang mengalami pembekuan lebih rendah dibandingkan keripik yang tidak dibekukan. Hal ini dikarenakan pada saat proses pembekuan terjadi kerusakan jaringan pada jamur tiram akibat kristal-kristal es yang terbentuk. Kerusakan jaringan menyebabkan rongga-rongga pada jamur menjadi lebar sehingga air lebih banyak dapat menguap.

Nilai kadar air dan rendemen produk yang diperoleh saling bertolak belakang, yaitu keripik yang memiliki rendemen yang tinggi memiliki kadar air yang rendah. Hal ini dapat dikarenakan semakin rendahnya kadar air produk maka semakin banyak pula rongga kosong yang terbentuk akibat penguapan air. Rongga kosong ini akan diisi oleh minyak, sehingga rendemen keripik semakin meningkat dengan semakin rendahnya kadar air.

3. Kadar Lemak

Kadar lemak pada produk akhir keripik berasal dari residu minyak goreng yang tertinggal dalam keripik. Penyerapan minyak ini terjadi selama proses penggorengan berlangsung. Minyak akan menghantarkan panas ke dalam produk sehingga terjadi proses dehidrasi. Proses dehidrasi akan membentuk bagian yang disebut crust pada bahan pangan hasil penggorengan.

Pada awal penggorengan, uap air menyembur keluar dengan sangat deras pada permukaan contoh dalam bentuk gelembung-gelembung kecil dan berperan sebagai mantel (melindungi penyerapan minyak). Mendekati akhir proses, uap air melemah yang kemudian diikuti dengan masuknya minyak.

Berdasarkan analisa keragaman, faktor konsentrasi, perlakuan pembekuan, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata pada nilai kadar lemak keripik rasa asin (Lampiran 4). Faktor konsentrasi berpengaruh nyata pada α=0,05 pada keripik jamur rasa manis (Lampiran 6). Menurut uji Duncan ketiga taraf konsentrasi saling berbeda nyata satu sama lain. Kadar

Gambar

Gambar 5.    Keripik jamur tiram putih dengan rasa asin.........................  23  Gambar 6
Gambar 1. Jamur tiram putih segar
Tabel 1. Karakteristik Jamur Tiram Putih   Karakteristik   Jumlah  Kadar air (%)  90,8  Protein kasar (% bk)  30,4  Lemak (% bk)  2,2  Karbohidrat (% bk)   57,6  Serat (% bk)  8,7  Abu (% bk)  9,8
Gambar 3. Proses penggorengan deep fat frying (Robertson, 1967)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jamur konsumsi yang saat ini cukup populer dan banyak digemari masyarakat karena rasanya lezat dan

Penambahan gula baik sukrosa maupun glukosa memberi energi untuk metabolisme jamur dan diduga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan miselium jamur tiram putih,

Hasil uji kandungan protein terlarut tepung jamur tiram putih (JTP) pada suhu dan konsentrasi perendaman CaCO 3 yang

KADAR PROTEIN DAN KUALITAS TEPUNG JAMUR TIRAM PUTIH ( Pleurotus ostreatus ) DENGAN PERENDAMAN KONSENTRASI CaCO3.. DAN SUHU

Sedangkan substitusi jamur tiram putih pada perlakuan P 5 (jamur tiram putih 90% dan tepung tapioka 10%) yang tertinggi menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi

Alasan membuat dan mengkon-sumsi bubuk dalam kapsul jamur tiram diantaranya adalah : ukuran dosis bisa tepat tidak perlu ditimbang, mudah diserap sebab jamur

Daya simpan jamur tiram putih (JTP) sendiri mudah sekali rusak setelah dipanen. Hal ini disebabkan jamur tiram putih memiliki kadar air cukup tinggi, maka perlu

Penerimaan usahatani jamur tiram putih adalah nilai produk total dari usahatani jamur tiram yang diterima oleh petani, penerimaan dihitung dengan mengalikan jumlah produksi jamur tiram