• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Purwoceng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Purwoceng"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Purwoceng

Purwoceng (Gambar 1) adalah tumbuhan endemik Indonesia yang sudah lama dikenal berkhasiat obat. Purwoceng merupakan tanaman berumah satu tetapi dapat juga menyerbuk silang (Rahardjo et al., 2005). Klasifikasi purwoceng adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Anak Divisi: Angiospermae Kelas : Dycotiledonae Anak Kelas: Dialypetalae

Bangsa : Apiales (Umbelliflorae) Suku : Apiaceae (Umbelliferae) Marga : Pimpinella

Jenis : Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina Kds.

Gambar 1. Tanaman Purwoceng. Purwoceng di petakan koleksi kebun percobaan Gunung Putri (a), muncul tandan bunga pertama (b), memiliki banyak tandan bunga (c), bunga bermahkota merah keunguan (d), buah muda berwarna hijau (e), simplisia kering (f)

d c

b

e

(2)

Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang termasuk dalam bangsa Apiales sebagian besar merupakan terna, jarang yang berupa tumbuhan berkayu. Daunnya tunggal atau majemuk tanpa daun penumpu. Jaringan-jaringannya sering memiliki saluran-saluran resin atau minyak. Bunganya tersusun seperti payung, berumah satu, aktinomorf, berbilangan empat atau lima. Kelopak bunga sangat kecil, mahkota-mahkota bebas, benang-benang sari dalam satu lingkaran dan berhadap-hadapan dengan kelopak-kelopaknya. Bakal buah terbenam, seringkali memiliki ruang-ruang dengan satu atau dua bakal biji dalam tiap ruangnya. Bakal biji kebanyakan hanya memiliki satu integumen. Biji mempunyai endosperm dan lembaga yang kecil.

Selanjutnya Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang termasuk suku Apiaceae sebagai terna yang berumur pendek atau panjang dengan batang berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorf atau sedikit zigomorf, dan berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua, beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu bakal biji yang bergantungan. Tangkai putik berjumlah dua dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium), tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya rambut-rambut lain yang bukan merupakan kelenjar.

(3)

Pulungan (2008) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman semak penutup tanah dengan tinggi sekitar 25 cm. Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun majemuk dengan pertulangan daun menyirip. Tangkai daun berwarna coklat kehijauan dengan panjang sekitar 5 cm. Anak daun berbentuk jantung yang tepinya bergerigi, berujung tumpul dan pangkal bertoreh, berukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar sekitar 2.5 cm. Bunga purwoceng merupakan bunga majemuk berbentuk payung. Tangkai bunga berbentuk silindris dengan panjang sekitar 2 cm. Kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau, benang sari berwarna putih, putik berbentuk bulat berwarna hijau, dan mahkota berambut berwarna coklat. Buah berbentuk lonjong kecil berwarna hijau, dan biji berbentuk lonjong kecil berwarna coklat. Akar merupakan akar tunggang yang berwarna putih kotor.

Rahardjo et al. (2005) mengemukakan bahwa tangkai bunga purwoceng memiliki cabang-cabang. Purwoceng memiliki sekitar 7.4 tangkai bunga primer, setiap tangkai primer memiliki sekitar tiga tangkai sekunder, setiap tangkai sekunder memiliki sekitar 2 tangkai tertier, dan setiap tangkai tertier memiliki sekitar 5-8 tandan bunga yang membentuk bunga payung. Pada setiap tandan bunga terdapat sekitar 5-10 bunga yang akan menghasilkan sekitar 8.6 biji sehingga satu tanaman purwoceng dapat menghasilkan 2260 biji. Biji yang telah matang berwarna hitam, berukuran sangat kecil dengan bobot 1000 butirnya sekitar 0.52 g.

Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan tinggi antara 15 sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi, sekitar 2000-3000 m dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki nama daerah yang berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput dempo, atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak. Artha (2007) mengemukakan bahwa purwoceng juga memiliki khasiat menambah stamina tubuh, analgetika (penghilang rasa sakit), antipiretika (penurun panas), anthelmitika (obat cacing), antifungi, antibakteri, dan antikanker.

(4)

Purwoceng memiliki khasiat obat karena mengandung beberapa metabolit sekunder di antaranya saponin dan fitosterol atau sterol tumbuhan. Nio (1989) dan Robinson (1996) menjelaskan bahwa saponin adalah suatu glikosida yang terdapat pada banyak jenis tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif dengan permukaan kuat yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air bahkan pada konsentrasi sangat rendah sekalipun. Sifat saponin yang menyerupai sabun ini menjadi sebab penamaan saponin berasal dari kata sapo, kata dalam bahasa latin yang berarti sabun. Saponin tertentu menjadi penting karena dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis hormon steroid.

Konsentrasi saponin berbeda pada bagian-bagian tumbuhan dipengaruhi oleh tahap pertumbuhan serta komposisi aglikon (sapogenin) dan karbohidrat yang berbeda tergantung jenis tanaman. Fungsi saponin pada tumbuhan diduga sebagai penyimpanan karbohidrat atau sisa metabolisme, atau sebagai pelindung dari serangan hama. Saponin berasa pahit dan sangat beracun bagi ikan dan amfibi, namun ikan yang mati karena saponin dapat dikonsumsi manusia karena saponin tidak meracuni manusia. Contoh lainnya adalah bir yang busanya disebabkan oleh saponin. Saponin membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, dan jika dihidrolisis lengkap akan menghasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat (heksosa, pentosa, dan asam sakarida). Berdasarkan sifat kimiawinya saponin dibagi dalam dua kelompok, yaitu steroid (27 atom C) dan triterpenoid (30 atom C).

Bradford dan Awad (2007) menjelaskan bahwa fitosterol merupakan fitokimia spesifik yang strukturnya menyerupai kolesterol tetapi hanya ditemukan pada tumbuhan baik dalam bentuk testerifikasi maupun bebas. Fitosterol berbeda-beda konsentrasinya sesuai jenis tumbuhan dan banyak terkandung dalam tanaman yang menghasilkan lipid tinggi seperti kacang tanah dan wijen. Fitosterol telah terbukti dapat menurunkan kolesterol dalam tubuh manusia sehingga mengurangi resiko terkena penyakit jantung serta sebagai antikanker. Fitosterol yang sering dikonsumsi manusia terdiri dari ß-sitosterol, stigmasterol (29 atom C), dan kampesterol (28 atom C) yang hanya didapatkan melalui makanan nabati dengan penyerapan yang sangat terbatas. Ketersediaan fitosterol didalam tubuh (bioavailability) sekitar 10 % untuk kampesterol, 5 % untuk stigmasterol, dan 4 % untuk ß-sitosterol.

(5)

Purwoceng dengan khasiat-khasiat di atas sangat potensial sebagai komplemen dan substitusi ginseng impor sehingga dapat menghemat devisa negara. Produk setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak, produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul. Investasi yang dibutuhkan untuk sektor hulu meliputi perbenihan, penyediaan lahan, dan budidaya. Biaya kebutuhan benih (per hektar per tahun) purwoceng adalah sebesar 94.00 juta rupiah dengan rasio B/C sebesar 3.09. Kebutuhan investasi agribisnis hilir, yaitu pembuatan simplisia purwoceng sebesar 35.37 milyar rupiah. Nilai investasi untuk produksi ekstrak purwoceng 194.28 milyar rupiah. Nilai investasi produk turunan purwoceng 108.53 milyar rupiah (Deptan, 2007).

Purwoceng sebelum ditemukan sebagai tanaman obat merupakan tanaman liar sehingga tidak cocok ditanam di daerah terbuka yang langsung terkena sinar matahari. Pembudidayaannya memerlukan naungan untuk pertumbuhan yang baik. Purwoceng dapat diperbanyak dengan benih. Purwoceng akan berbunga sekitar enam bulan setelah tanam dan sekitar dua bulan kemudian benihnya matang. Tiap tanaman menghasilkan banyak benih bernas yang berwarna cokelat kehitaman yang setelah dipanen dapat dikeringkan. Benih dapat disemai di bak semai berukuran satu meter persegi yang tanahnya telah digemburkan dan diberi pupuk kandang. Hama yang menyerang purwoceng adalah keong dan kutu daun, sedangkan penyakitnya adalah busuk batang. Penyebab penyakit ini belum diketahui, sehingga pencegahan penularannya dilakukan dengan mencabut tanaman yang terserang lalu mengubur atau membakarnya (Artha, 2007).

Usaha pembudidayaan purwoceng tergolong sangat menguntungkan. Hasil analisis usaha tani purwoceng di desa Sekunang yang menggunakan cara budidaya sederhana pada lahan seluas 1000 m2 dapat memproduksi 550 kg basah purwoceng (sekitar 17-20 rumpun) sehingga menghasilkan keuntungan bersih 34 juta rupiah (Yuhono, 2004).

(6)

Pemuliaan Mutasi

Pada program pemuliaan tanaman, penggunaan induksi mutasi buatan tergantung pada jumlah variabilitas alami yang tersedia. Jika di alam telah tersedia alela yang diinginkan, maka pemulia lebih memilih menggunakan alela tersebut daripada mengubah komposisi genetik melalui mutasi buatan. Induksi mutasi buatan umumnya relatif lebih baik dilakukan pada tanaman yang menyerbuk sendiri dibandingkan pada tanaman yang menyerbuk silang. Pada tanaman yang menyerbuk sendiri, sebagian besar alela dengan nilai adaptasi tinggi biasanya akan cepat lenyap karena sifat homozigositasnya sehingga memperkecil variabilitas genetik. Hal ini menjadikan peluang memperoleh mutagen dan variabilitas genetik yang diinginkan melalui cara-cara buatan pada tanaman yang menyerbuk sendiri secara teoritis lebih tinggi (Welsh, 1991).

Induksi mutasi dengan iradiasi atau menggunakan bahan kimia dapat menimbulkan mutasi gen atau mutasi kromosom. Semakin banyak bahan yang diperlakukan maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya mutan-mutan. Pengujian-pengujian terhadap mutan dapat menghasilkan varietas baru atau setidak-tidaknya meningkatkan variabilitas tanaman tersebut sehingga dapat digunakan untuk pemuliaan tanaman secara konvensional (Soetarto, 1972). Tipe perubahan genetik yang terjadi akibat mutasi bersifat acak sehingga terdapat kemungkinan perubahan tersebut meningkatkan kemampuan organisme untuk bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksi (Aisyah, 2006).

Pada tanaman budidaya yang bereproduksi secara seksual, perlakuan terhadap benih merupakan cara yang paling umum digunakan untuk induksi mutasi. Selain itu juga perlakuan terhadap semai yang masih muda. Kedua cara tersebut dapat menimbulkan kimera, yaitu suatu segmen jaringan tanaman yang mempunyai genetik berbeda dengan sel-sel di sekitarnya. Jika ingin diwariskan kepada keturunannya secara seksual, mutasi harus terjadi pada jaringan meristem pada sel-sel reproduksi. Penggabungan kimera terjadi bila jaringan tanaman merupakan kombinasi sel dari tanaman yang ada dan tanaman keturunan, tetapi penggabungan demikian bukan merupakan peristiwa mutasi (Welsh, 1991).

Aisyah (2006) menyatakan bahwa oksigen sangat berperan untuk meningkatkan efek radiasi dalam sistem biologi. Pada jaringan yang mengandung kadar air rendah, radikal-radikal yang diinduksi dari iradiasi akan merusak dengan sangat lambat dan sebaliknya.

(7)

Welsh (1991) menjelaskan bahwa metode umum penerapan mutasi pada tanaman yang direproduksi secara seksual dapat dilakukan dengan seleksi tanpa melakukan manipulasi pemuliaan melalui persilangan, yaitu menggunakan seleksi program pemuliaan konvensional. Material mutan yang diinginkan dihasilkan dari benih-benih yang diharapkan menghasilkan variabilitas unggul. Seleksi alela yang diinginkan dicari pada generasi-generasi berikutnya. Bila alela yang bermutasi adalah resesif, maka akan lebih sering tampak pada tanaman budidaya menyerbuk sendiri, karena alela-alelanya secara normal dikendalikan oleh sifat homozigositas. Jika alela yang bermutasi bersifat dominan, maka tanaman akan lebih mudah diidentifikasi.

Hal tersebut juga dijelaskan oleh Aisyah (2006), bahwa pada generasi M1, yaitu tanaman yang tumbuh dari benih yang diiradiasi, hanya mutasi dominan yang akan terekspresi karena bersifat heterozigot akibat adanya gen-gen mutan baru. Kemudian pada saat tanaman generasi M1 menyerbuk sendiri, gen-gen akan bersegregasi menjadi fenotipe mutan dan non-mutan pada generasi M2, yaitu tanaman yang tumbuh dari benih keturunan generasi M1, sehingga mutan resesif yang baru terinduksi akan terekspresikan dan dapat dilihat pada generasi M2 tersebut.

Indonesia merupakan negara pertama dalam sejarah perkembangan pemuliaan mutasi yang telah menggunakan hasil mutannya untuk tanaman yang dianjurkan, yaitu tanaman tembakau yang diperoleh dari hasil penyinaran dengan sinar X di Jawa Tengah di tahun 1930-an (Ismachin dan Hendratno, 1972). Sinar gamma seperti halnya neutron mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan melepaskan elektron-elektron dari atomnya. Induksi mutasi menggunakan sinar gamma dari Cobalt-60 telah berhasil memperpendek umur tanam, memperpendek ukuran, dan meningkatkan produksi tanaman padi (Moebarokah, 1972). Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) memiliki sarana pemuliaan mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma dari Cobalt-60 yang terletak di Pasar Jumat, Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Tanaman Purwoceng. Purwoceng di petakan koleksi kebun  percobaan Gunung Putri (a), muncul tandan bunga pertama (b),  memiliki banyak tandan bunga (c), bunga bermahkota merah  keunguan (d), buah muda berwarna hijau (e), simplisia kering (f)

Referensi

Dokumen terkait

Bila konsentrasi substart diperbesar makin banyak substrat yang dapat berhubungna dengan enzim bagian aktif tersebut dengan demikian konsentrasi kompleks enzim

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa evaluasi efektivitas pengendalian internal persediaan barang dagang pada lyly bakery lamongan sudah berjalan efektif, hal

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan tax amnesty di beberapa negara yang relatif lebih berhasil dalam melaksanakan kebijakan pengampunan pajak seperti di

konflik bisa menghambat kinerja organisasi dan sisi positif konflik apabila dikelola dengan manajemen yang tepat bisa meningkatkan kinerja organisasi (Iswantoro, 2015).

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa : 1) sebagian besar konsumen berjenis kelamin laki-laki (60%), dari segi usia sebagian besar konsumen berusia diatas 35

Pada tahap pembelajaran siklus II ini merupakan kelanjutan dan juga merupakan perbaikan dari pembelajaran siklus I dengan mempelajaru refleksi siklus I, peneliti

Secara prinsipil konsepsi quantum learning tentang manusia (anak didik), lingkungan belajar dan metodologi pembelajaran banyak sesuai dengan yang terdapat dalam pendidikan Islam,

Lain halnya dengan bakteri anaerob, bakteri anaerob di produk pangan kaleng yang sudah rusak lebih optimum tumbuh pada suhu yang lebih tinggi yaitu 55 o C. daripada suhu