• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN KESETARAAN GENDER BACKGROUND STUDY RPJMN iii ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN KESETARAAN GENDER BACKGROUND STUDY RPJMN iii ( )"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK

BAPPENAS

Bekerja Sama Dengan:

Didukung Oleh:

TAHUN ANGGARAN 2013 Australia indonesia Partnership

(3)

ii ISBN 978-602-19591-1-4

©2013 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Diterbitkan dan diperbanyak oleh:

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Penyusun:

Penanggung Jawab: Nina Sardjunani (Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang

Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan)

Ketua Pelaksana: Sanjoyo (Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan

Perlindungan Anak-Bappenas) Tim Penulis:

- Koordinator & Penyunting: Fithriyah - Wakil Koordinator: Aini Harisani

- Anggota: Susiati Puspasari (Tenaga Ahli-Bappenas), Yulfita Raharjo (AIPEG), Hana Satriyo (The Asia Foundation), Novi Anggriani (The Asia Foundation), Yulia Immajati

(The World Bank), Dwi Faiz (UN Women), Henny Irawati

(Tenaga Ahli-UN Women), Syafirah Hardani (KPAN) - Pendukung: Fitriati Peni Palupi, Dani Ramadan

(4)

iii

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkah dan hidayah-Nya sehingga kajian “Pembangunan Kesetaraan Gender: Background Study RPJMN III (2015-2019)” ini dapat diselesaikan. Sebagaimana telah diketahui, Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan salah satu dari tiga pengarusutamaan, yang merupakan prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II (2010-2014). RPJMN tersebut juga mencantumkan tiga isu/kebijakan nasional terkait pengarusutamaan gender, yaitu: 1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; 2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan; dan 3) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, PUG dalam pembangunan merupakan strategi yang digunakan untuk mengintegrasikan isu-isu gender yang disebabkan oleh kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta dalam berpartisipasi, dan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, yang merupakan salah satu tujuan pembangunan dalam UUD 1945.

Sehubungan dengan akan berakhirnya RPJMN II dan akan disusunnya RPJMN III pada tahun 2014, maka menjadi tantangan bagi Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak untuk mampu mengaitkan berbagai prioritas nasional sebagaimana tertuang dalam UU No 17 tahun 2007, perkembangan dan permasalahan pembangunan hingga RPJMN II, serta tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini, untuk dapat dipertimbangkan dalam perumusan RPJMN III (2015-2019); dengan memperhitungkan pula aspek dinamika internal, aspek daerah, aspek global serta antisipasi ke depan yang diperkirakan berpotensi untuk berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia pada periode 2015-2019. Untuk itu, disusunlah background study Pembangunan Kesetaraan Gender yang merupakan bagian dari proses penyiapan rancangan RPJMN III (2015-2019) ini.

Untuk itu, ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kajian ini: para mitra pembangunan yang telah memberikan dukungan finansial dan substansi, yaitu Ibu Yulfita Raharjo (pakar gender-AIPEG), DFATD-Canada, The Asia Foundation, The World Bank, dan UN Women, serta KPAN yang telah memberikan dukungan substansi terkait isu gender dalam HIV/AIDS. Di samping itu, terima kasih kami sampaikan pula kepada BPS, KPP&PA, dan K/L lainnya yang terkait, serta keempat pemerintah provinsi (Bali, Jateng, Kalteng, dan Papua); Ibu Susiati Puspasari yang telah membantu pelaksanaan kajian ini sebagai tenaga ahli; dan juga kepada seluruh pihak terkait yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu di sini, Sdr. Sanjoyo selaku Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, serta para anggota Pelaksana/Tim Teknis, dan Tenaga Pendukung; khususnya Sdri. Fithriyah, selaku motor penggerak yang telah mengoordinasikan kajian ini sejak awal hingga akhir, dibantu oleh Sdri. Aini Harisani sebagai pelaksana kajian tersebut, serta didukung oleh Sdri. Fitriati Peni Palupi dan Sdr. Dani Ramadan.

Akhir kata, semoga hasil kajian yang belum sempurna ini dapat bermanfaat dalam penerapan Pengarusutamaan Gender di berbagai tahapan dan bidang pembangunan pada periode RPJMN III, baik untuk tingkat nasional, maupun di daerah.

(5)

iv

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR ... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

ABSTRAK ... xi

BAGIAN I LATAR BELAKANG BACKGROUND STUDY RPJMN BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II KERANGKA KERJA BACKGROUND STUDY ... 7

BAGIAN II BIDANG PRIORITAS DAN STRATEGIS PENINGKATAN KESETARAAN GENDER BAB III PENDIDIKAN ... 13

BAB IV KESEHATAN ... 28

BAB V KETENAGAKERJAAN ... 40

BAB VI HUKUM ... 57

BAB VII POLITIK ... 62

BAGIAN III LINTAS BIDANG PENINGKATAN KESETARAAN GENDER BAB VIII PERLINDUNGAN TERHADAP BERBAGAI TINDAK KEKERASAN ... 73

BAB IX KEMISKINAN ... 89

BAB X PERUBAHAN IKLIM ... 97

BAGIAN IV KELEMBAGAAN PUG BAB XI EVALUASI REVIEW PUG ... 107

BAB XII PENERAPAN PUG: KEMENTERIAN/LEMBAGA ... 111

BAGIAN V PENUTUP BAB XIII REKOMENDASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN RPJMN 2015-2019 ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 163

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Tema dan Topik Temu Pakar (Expert Group Meeting/EGM) ... 169

(6)

v

TABEL 1. Indikator Hasil Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender ... 5

TABEL 2. Capaian Indikator Utama Pembangunan Pendidikan ... 13

TABEL 3. Jumlah Siswa Menurut Jenis Ketunaan Tiap Provinsi Sekolah Luar Biasa Negeri + Swasta, Tahun 2010/2011 ... 25

TABEL 4. AKBa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Wilayah ... 36

TABEL 5. Persentase Balita Menurut Status Gizi dan Daerah (2003-2005), dan Menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin (2007-2010) ... 36

TABEL 6. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 2004 - 2013 ... 41

TABEL 7. Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin ... 42

TABEL 8. TKI Berdasarkan Jenis Pekerjaan (2007-2012) ... 54

TABEL 9. Negara Terbanyak Penerima TKI Sektor Informal ... 55

TABEL 10. Undang-undang terkait Gender di Indonesia, hingga Periode RPJMN II ... 57

TABEL 11. Jumlah Korban dan Pelaku menurut Jenis Kelamin dan Umur ... 85

TABEL 12. Pelaku TPPO yang berada di Lapas Tahun 2012 ... 85

TABEL 13. Jumlah total korban TPPO (dewasa dan anak) yang mendapatkan Pelayanan dari RPSA Kemensos sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 ... 86

TABEL 14. Korban TPPO yang mendapatkan Pelayanan dari Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Kemensos Tahun 2012 (berdasarkan jenis kelamin) ... 87

TABEL 15. Korban TPPO yang Mendapatkan Layanan Melalui Fasilitas dari International Catholic Migration Commission (ICMC) Tahun 2012 ... 87

TABEL 16. Garis Kemiskinan dan Perubahannya menurut Daerah ... 91

TABEL 17. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat/ PNPM Mandiri dan Penerima Manfaatnya... ... 94

(7)

vi

BAGAN 1. Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

dalam RPJPN 2005-2025 & RPJMN 2010-2014 ... 2

GAMBAR 1. Kerangka Pikir Background Study RPJMN 2015-2019 Kesetaraan Gender ... 8

GAMBAR 2. Alur Penyusunan Background Study RPJMN III-Kesetaraan Gender ... 10

GAMBAR 3. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun Ke Atas ... 14

GAMBAR 4. Persentase Buta Aksara Penduduk 15 Tahun Ke Atas ... 14

GAMBAR 5. Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Jenjang Pendidikan, 2009-2012 ... 15

GAMBAR 6. Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Di 20 Persen Ke Bawah Menurut Jenis Kelamin, dan Ijazah/STTB Tertinggi yang Diperoleh ... 16

GAMBAR 7. Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 7-12 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah dan Putus Sekolah di SD ... 17

GAMBAR 8. Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 13-15 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah, Putus Sekolah di SD, dan Putus Sekolah di SMP ... 17

GAMBAR 9. Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun yang Belum Pernah Bersekolah atau Tidak Sekolah Lagi di Bawah Garis Kemiskinan ... 18

GAMBAR 10. Jarak Sarana Pendidikan Berdasarkan Kategori Daerah ... 19

GAMBAR 11. Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2005/2006 ... 21

GAMBAR 12. Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2011/2012 ... 22

GAMBAR 13. Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Tahun 2010/2011 ... 23

GAMBAR 14. Kecenderungan Angka Kematian Ibu (AKI), 1991-2007 ... 29

GAMBAR 15. Karakteristik Ibu Meninggal ... 30

GAMBAR 16. Penolong Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan, 1995-2011 ... 30

GAMBAR 17. Perkiraan Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia (2010) ... 31

GAMBAR 18. Ibu Mendapat Penjelasan Tanda Bahaya Kehamilan ... 32

GAMBAR 19. Tren Angka Kematian Balita (AKABa) dari tahun 1997 hingga 2007 ... 34

GAMBAR 20. Angka Kematian Balita Menurut Provinsi, 2002 dan 2007 (per 1.000 kelahiran hidup) ... 34

(8)

vii

Tahun 2008 - 2012 ... 38

GAMBAR 24. Persentase Penduduk Usia Kerja (15 Tahun Ke Atas) yang Termasuk Angkatan Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kegiatan (2009-2011) ... 42

GAMBAR 25. Rata-rata Upah/Gaji Bersih (Rupiah) Buruh/Karyawan/Pegawai Selama Sebulan menurut Jenis Kelamin, 2005-2012 ... 44

GAMBAR 26. Rata-rata Lama Jam Kerja Menurut Jenis Kelamin (2010-2012) ... 45

GAMBAR 27. Tingkat Upah (%) Menurut Jenis Kelamin (2010-2012) ... 45

GAMBAR 28. Persepsi Pekerja tentang Diskriminasi di Perusahaan ... 46

GAMBAR 29. Jumlah Pekerja Formal dan Informal menurut Jenis Kelamin (2010 dan 2012) ... 48

GAMBAR 30. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Seminggu yang Lalu menurut Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin dan Sektor Pekerjaan, Tahun 2011 ... 50

GAMBAR 31. Persentase Pekerja Yang Tidak Dibayar (unpaid worker) ... 51

GAMBAR 32. Jumlah TKI Sektor Formal dan TKI Sektor Informal (2008-2012) ... 52

GAMBAR 33. Persentase TKI Formal dan TKI Informal (2008-2012) ... 52

GAMBAR 34. Jumlah TKI Menurut Jenis Kelamin (2006-2012) ... 53

GAMBAR 35. Persentase Lima Permasalahan Terbesar TKI, Tahun 2012 ... 55

GAMBAR 36. Proporsi Keterwakilan Laki-laki dan Perempuan di DPR ... 62

GAMBAR 37. Representasi Perempuan dalam DPR dan DPRD Hasil Pemilu 2009 ... 63

GAMBAR 38. Persentase Menteri, Bupati/Wali Kota, gubernur, Lurah/ Kepala Desa Menurut Jenis Kelamin 2010 (Eksekutif) ... 64

GAMBAR 39. Persentase PNS (Eksekutif) Tingkat K/L menurut Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin 2012/2013 ... 64

GAMBAR 40. Jumlah Pejabat (berdasarkan pangkat) POLRI di Markas Besar POLRI Menurut Jenis Kelamin (2010) ... 64

GAMBAR 41. Jumlah Jaksa di Kejaksaan RI Menurut Jenis Kelamin ... 65

GAMBAR 42. Keterwakilan Perempuan dalam Fraksi di DPR (2009) ... 67

GAMBAR 43. Persentase PNS Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin ... 69

GAMBAR 44. Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2001-2012 ... 73

GAMBAR 45. Kasus kekerasan berdasarkan ranah ... 74

GAMBAR 46. Rekapitulasi data hasil PODES 2011 untuk TPPO ... 83

GAMBAR 47. Jumlah Korban dan Kasus TPPO (2011-2013) ... 85

GAMBAR 48. Jumlah Pelaku Tertangkap dan Pelaku Terpidana ... 85

GAMBAR 49. Jumlah Kasus TPPO yang ditangani Kejaksaan Agung (2004-2012) ... 86

GAMBAR 50. Prosentase angka kemiskinan di ASEAN dengan ukuran kemiskinan $1,25/hari ... 89

(9)

viii

Kepala Rumah Tangga (2002-2011) ... 92

GAMBAR 54. Pemanfaat PNPM Mandiri (2007-2012) ... 95

GAMBAR 55. Sebaran Kejadian Bencana dan Akumulasi Jumlah Korban Meninggal ... 98

BAGAN 2. Ketersediaan Air Baku dan Penggunaannya ... 100

GAMBAR 56. Jenis Sumber Air ... 101

(10)

ix

AKI : Angka Kematian Ibu

APM : Angka Partisipasi Murni

ARG : Anggaran Responsif Gender

ASEAN : Association of Southeast Asian Nations Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BKN : Badan Kepegawaian Nasional

BPS : Badan Pusat Statistik

CEDAW : Committee on the Elimination of Discrimination Against Women

GDI : Gender-related Development Index

GII : Gender Inequality Index

HDI : Human Development Index

HDR : Human Development Report

IDG : Indeks Pemberdayaan Gender

IKG : Indeks Ketidaksetaraan Gender

IKKG : Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender

IKPUG : Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan Gender ILO : International Labour Organization

Inpres : Instruksi Presiden

IPG : Indeks Pembangunan Gender

K/L : Kementerian/Lembaga

KDRT : Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kejakgung : Kejaksaan Agung

Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri

Kemenag : Kementerian Agama

Kemensos : Kementerian Sosial

Kemlu : Kementerian Luar Negeri

Keppres : Keputusan Presiden

Komnas Perempuan : Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

KPP&PA : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

KPU : Komisi Pemilihan Umum

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

MDGs : Millenium Development Goals

MTEF : Medium Term Expenditure Framework

Ormas : Organisasi Kemasyarakatan

P2TP2A : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

PDB : Pendapatan Domestik Bruto

Pergub : Peraturan Gubernur

(11)

x

Renja : Rencana Kerja

Renstra : Rencana Strategis

Repeta : Rencana Pembangunan Tahunan

RKA-K/L : Rencana Kerja dan Anggaran K/L

RKPD : Rencana Kerja Pembangunan Daerah

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

RPSA : Rumah Perlindungan Sosial Anak

RPTC : Rumah Perlindungan Trauma Center

RSU/RSUD : Rumah Sakit Umum/ Rumah Sakit Umum Daerah

RTD : Round-Table Discussion

S1/S2/S3 : Strata 1/Strata 2/Strata 3 Sakernas : Survai Angkatan Kerja Nasional

Satgas : Satuan Tugas

SD : Sekolah Dasar

SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia

SK : Surat Keputusan

SKPD : Satuan Perangkat Kerja Daerah

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

SMP : Sekolah Menengah Pertama

Susenas : Survai Sosial Ekonomi Nasional TPAK : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

UN : United Nations

UNDP : United Nations Development Programs

UN WOMEN : United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment

of Women

UPPA : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (di Polda dan Polres)

UU : Undang-undang

(12)

xi

Pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, termasuk anak-anak maupun dewasa. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination

Against Women), yang tertuang di dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Tujuan dari berbagai kerangka hukum ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-20251. Sasaran kebijakan RPJPN 2005-2025 dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) I periode 2004-2009, RPJMN II periode 2010-2014, dan seterusnya. Selanjutnya RPJMN tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan perencanaan tahunan, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Salah satu dari delapan arah RPJPN 20 tahun tersebut adalah mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Arahan ini selanjutnya dijabarkan menjadi lima sasaran, yang salah satunya adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Sedangkan masalah, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender dalam pembangunan di RPJPN 2005-2025 (UU No. 17/2007) pada RPJMN II ini selanjutnya diuraikan di dalam Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.

Pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistik gender.

Permasalahan besar yang dihadapi dalam pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang. Hal ini tercermin pada masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, termasuk meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, yang disebabkan oleh: (i) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (ii) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (iii) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Memperhatikan uraian di atas, maka pada tahun 2013 ini Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak melaksanakan background study, yang merupakan bagian dari proses awal penyiapan rancangan RPJMN 2015-2019.

Tujuan background study ini adalah menyusun rumusan kebijakan, prioritas, program, dan kegiatan

prioritas pembangunan terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III periode tahun 2015 – 2019, khususnya terkait Kesetaraan Gender.

Adapun hasil yang diharapkan dari background studyiniadalah dokumen usulan rumusan kebijakan,

sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender dalam Rencana RPJMN III periode tahun 2015 – 2019, yang mencakup: (1) Hasil analisis dari baseline:kebijakan, program, dan pelaksanaan

(13)

(4) Hasil reviu peraturan perundang-undangan yang relevan, baik pusat dan daerah; (5) Kerangka konsep pembangunan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan bidang–bidang lain yang relevan, khususnya bidang sumber daya manusia, seperti kependudukan, kemiskinan, pendidikan serta kesehatan untuk RPJMN; serta (6) Rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III tahun 2015 – 2019.

Ruang lingkup background study ini adalah: 1) penjabaran visi, misi, dan arah pembangunan dalam

RPJPN tahun 2005–2025; 2) reviu dan analisis kebijakan dan pelaksanaan RPJMN II tahun 2010-2014 bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang dikaitkan dengan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang relevan; 3) analisis situasi: peluang, tantangan, hambatan, dan potensi; 4) studi literatur, pengumpulan data dan informasi gender (PDIG); 5) temu pakar yang melibatkan pakar dari perguruan tinggi, organisasi profesi, narasumber dari instansi pemerintah di pusat dan daerah, serta masyarakat; dan 6) lingkup provinsi sampel: Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Papua. Keempat provinsi tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi Indonesia sebagai masukan dalam kajian ini.

Metode penyusunan background study initerbagi tiga tahapan, antara lain: Pertama, tahap pengumpulan

data terkait capaian pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada RPJMN I dan II dengan melihat indikator-indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan (berdasarkan kondisi saat ini, komitmen nasional/internasional, hasil evaluasi, dan tingkat urgensinya untuk ditangani pada lima tahun mendatang) ke dalam 4 kelompok isu gender, yaitu: prioritas, strategis, elemental/ mendasar, dan yang sedang mengemuka (emerging)-yaitu isu-isu yang sedang/akan muncul dan diperkirakan akan berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kedua, yaitu analisis dari hasil tahap pertama tersebut. Analisis ini dilakukan dalam 3 langkah, yaitu pengumpulan data dan fakta situasi dan kondisi saat ini, analisis penyebab tak langsung, dan akar permasalahan. Tahap ini dilakukan melalui serangkaian temu pakar, diskusi kelompok terfokus, dan seminar serial di tingkat nasional, serta seminar daerah. Ketiga, yaitu penyusunan rekomendasi kebijakan untuk RPJMN III, berdasarkan hasil dari tahap 1 dan 2 di atas.

Rekomendasi. Background study ini merekomendasikan 9 (sembilan) fokus untuk RPJMN III (2015-2019)

Kesetaraan Gender. Fokus-fokus tersebut adalah: i) bidang pendidikan; ii) bidang kesehatan; iii) bidang ketenagakerjaan; iv) bidang hukum; v) bidang politik; vi) lintas bidang perlindungan terhadap berbagai tindak kekerasan; vii) lintas bidang kemiskinan; viii) lintas bidang perubahan iklim; dan ix) kelembagaan PUG. Kesembilan fokus ini bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan menuju kesetaraan gender, dalam rangka mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Selanjutnya kesembilan fokus ini dijabarkan ke dalam kegiatan dan indikator dari berbagai instansi pelaksana terkait.

(14)
(15)
(16)

BAB i

PENDAHULUAN

Pembangunan di Indonesia pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan rakyat Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Hak warga negara Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidupnya merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.2 Pemenuhan HAM termasuk hak asasi perempuan, tercantum di dalam Undang-undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the

Elimination of Discrimination Against Women), yang tertuang di dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Tujuan dari berbagai kerangka hukum ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-20253. Sasaran kebijakan RPJPN 2005-2025 dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) I periode 2004-2009, RPJMN II periode 2010-2014, dan seterusnya. Selanjutnya RPJMN tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan perencanaan tahunan, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Salah satu dari delapan arah RPJPN 20 tahun tersebut adalah mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Arahan ini selanjutnya dijabarkan menjadi lima sasaran, yang salah satunya adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Sedangkan masalah, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender dalam pembangunan di RPJPN 2005-2025 (UU No. 17/2007) pada RPJMN II ini selanjutnya diuraikan di dalam Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.

Dasar pertimbangan memasukkan arah, strategi, dan sasaran kebijakan Pembangunan Kesetaraan Gender ke dalam RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2010-2014 adalah: 1) kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh hak, kesempatan dan tanggung jawab dalam pembangunan merupakan wujud dari penghormatan terhadap hak asasi dan pemenuhan asas keadilan sosial; dan 2) kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan prasyarat sekaligus menjadi indikator yang efektif dalam pembangunan yang berkelanjutan, dengan selalu mempertimbangkan penghapusan kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan.

Kesetaraan gender bukan berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama, melainkan mewujudkan perlakuan yang adil bagi laki-laki dan perempuan, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Secara kualitatif, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender ditujukan untuk secara sistematis menjawab berbagai isu ketidaksetaraan gender yang terdapat di berbagai bidang pembangunan dan lintasbidang pembangunan. Secara kuantitatif, kesetaraan gender mengacu pada: 1) pencapaian kemampuan dasar (pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) yang merata bagi laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari prioritas pembangunan; dan 2) meningkatkan keseimbangan keterwakilan perempuan dalam ranah pengambilan 2 UUD RI Pasal 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, dan 28H.

(17)

keputusan. Pengukuran pencapaian kesetaraan gender secara umum dapat dilihat melalui indikator komposit yaitu Indikator Ketidaksetaraan Gender (Gender-inequality Index-GII).4

BAGAN 1. Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam RPJPN 2005-2025 & RPJMN 2010-2014

Pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistik gender.

Sejak RPJMN I dan II, PUG ditetapkan sebagai salah satu strategi dalam pembangunan nasional.5 Strategi tersebut juga tertuang dalam dokumen perencanaan tahunan, yaitu 4 GII (UNDP) mengukur ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam pembangunan, dengan fokus

pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik dan pengambilan keputusan (jabatan publik). 5 Strategi Nasional Percepatan PUG melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) telah

disahkan melalui Surat Edaran 4 (empat) menteri, yaitu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 1 November 2012.

(18)

RKP. Strategi PUG ini digunakan untuk memastikan penghapusan kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta berpartisipasi dan mengontrol proses pembangunan, penguasaan dalam akses sumber daya pembangunan, termasuk informasi, teknologi, finansial, dan sebagainya. Strategi PUG dilakukan dengan cara mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di berbagai bidang, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pemantauan, dan evaluasi pembangunan.

Adapun prioritas dalam RPJMN III (2015-2019) sebagaimana tercantum di dalam RPJPN 2005-2025 adalah: RPJMN III berlandaskan pada pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJMN II, serta ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang, dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas, serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Sedangkan untuk prioritas pembangunan SDM, diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Kemajuan Peningkatan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan

Perspektif gender diterapkan dalam proses pembangunan secara implisit maupun eksplisit, dan berjalan dalam proses kesepakatan global yang berkesinambungan.6 Meskipun promosi prinsip kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah terlebih dahulu masuk ke dalam agenda pembangunan, akan tetapi baru dinyatakan secara lebih kongkrit dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995. Hasil dari konferensi yang dikenal sebagai Beijing Platform for Action (BPFA) tersebut menetapkan PUG sebagai strategi pembangunan negara. Pemerintah Indonesia mengadopsi deklarasi dan platform tersebut untuk upaya-upaya yang bertujuan mengatasi hambatan terhadap kesetaraan gender, agar penduduk perempuan –sebagaimana halnya penduduk laki-laki– dapat berpartisipasi aktif dalam semua bidang pembangunan, terutama 12 bidang kritis yang telah disetujui untuk ditangani secara sistematis.7

6 Berbagai kesepakatan global tersebut antara lain:Konvensi Hak Politik Perempuan Indonesia diratifikasi melalui UU 68/1958; CEDAW diratifikasi melalui UU 7/1984; hak pekerja Indonesia diratifikasi Konvensi ILO No. 100/1957 tentang remunerasi yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi perempuan dan laki-laki; Indonesia juga setuju untuk menjalankan rekomendasi dari Deklarasi Kopenhagen tentang Pembangunan Sosial (1994) dan Kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Demography/ICPD) di Kairo 1994.

7 Ke-12 bidang kritis itu adalah: 1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan pelatihan yang tidak merata dan tidak memadai; 3) ketidaksetaraan dalam status kesehatan dan ketimpangan akses dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai; 4) kekerasan terhadap perempuan; 5) dampak konflik (bersenjata) terhadap perempuan; 6) ketimpangan akses dan partisipasi perempuan dalam struktur dan kebijakan ekonomi serta proses produksi; 7) ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan di semua tingkatan; 8) kurangnya mekanisme di semua tingkatan untuk mempromosikan kemajuan perempuan; 9) kurangnya kesadaran dan komitmen internasional dan nasional mengakui hak-hak asasi perempuan; 10) kurangnya mobilisasi media massa untuk mempromosikan kontribusi positif perempuan kepada masyarakat; 11) kurangnya pengakuan dan dukungan yang memadai terhadap peran perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan pelestarian lingkungan; dan 12) perlindungan bagi anak perempuan terhadap berbagai tindak diskriminasi.

(19)

Pada tahun 2000, Indonesia mengadopsi kesepakatan baru yang tertuang dalam Deklarasi Milenium PBB dengan delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 20158. Keterkaitan antara Landasan Aksi Beijing (BPFA) dengan Deklarasi MDGs adalah BPFA menyediakan agenda untuk pencapaian hak asasi perempuan, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan; yang selanjutnya menjadi pedoman yang komprehensif untuk pencapaian tujuan MDGs yang responsif gender.

Akan tetapi pada tingkat teknis, keterkaitan antara BPFA dengan tindakan untuk mencapai tujuan MDGs tidak cukup jelas. Perspektif gender tidak tecermin baik ke dalam tujuan, target dan indikator MDGs; tidak juga secara eksplisit terintegrasi ke dalam strategi maupun perencanaan untuk mencapai tujuan. Dalam MDGs, gender tercantum dalam Tujuan 3, yang berbunyi “mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.” Pernyataan ini dapat menimbulkan pemahaman bahwa gender pada Tujuan 3 tersebut merupakan tujuan MDGs yang berdiri sendiri. Dari sisi pengarusutamaan gender, perspektif gender seharusnya diarusutamakan ke dalam semua tujuan MDGs (tidak hanya pada Tujuan 3 saja), dan terintegrasi di dalam tujuan, analisis target, dan indikator. Beberapa negara memasukkan perspektif gender saat mereviu pelaksanaan MDGs, antara lain dengan menggunakan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan menggunakan analisis gender untuk laporan reviunya.

Indonesia menyelaraskan tujuan kesepakatan BPFA dan MDGs terkait Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan ke dalam prioritas nasional dan indikator terkait, antara lain ke dalam Pengarusutamaan Gender (PUG) pada RPJMN II (Buku II-Bab I), yang menyebutkan bahwa gender merupakan salah satu prinsip yang harus diarusutamakan ke dalam semua program dan kegiatan di berbagai bidang pembangunan nasional.

Selanjutnya dilakukan inisiatif percepatan PUG yang didefinisikan sebagai peng-integrasian PUG ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran nasional, yang kemudian diikuti di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Sesuai dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka RPJPN, RPJMN, dan RKP menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah dalam perumusan RPJPD, RPJMD, RENSTRA K/L/SKPD, RKPD, RENJA K/L/SKPD, dan RKA K/L/SKPD.

Inisiatif ini kemudian disebut Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas No. KEP.30/M.PPN/HK/03/2009, bersamaan dengan diterapkannya reformasi sistem keuangan negara. Reformasi sistem keuangan ini membuka ruang untuk mengintegrasikan PPRG ke dalam sistem penganggaran nasional melalui dokumen anggaran K/L.

Sebagai langkah awal dari inisiatif ini, PPRG diujicobakan pada 7 K/L, yaitu: Kementerian PU, Kementan, Kemenkes, Kemendiknas, Kemenkeu, KPP&PA, dan Bappenas. Sampai dengan tahun 2012, PPRG telah dilakukan di 34 K/L dan diujicobakan di 10 pemda provinsi. Di awal tahun 2013, Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG diluncurkan melalui 8 Delapan butir tujuan MDGs: 1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk

semua; 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan; dan 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

(20)

Surat Edaran empat menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Tahun 2015 adalah batas akhir target pencapaian 8 Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan diawalinya RPJMN III. Hingga kini telah dilakukan 3 kali evaluasi pelaksanaan PUG di RPJMN dan 3 kali review pelaksanaan MDGs, serta pelajaran yang dapat dipetik dari beberapa pilot pelaksanaan PPRG9. Dari berbagai evaluasi dan review tersebut, teridentifikasi berbagai hasil capaian dan permasalahan umum, antara lain sebagai berikut:

TABEL 1.

Indikator Hasil Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender

2005 2008 2007 2010 2011 Keterangan

HDI 1) 0,617

GII 1) 0,5488 0,5236 0,5046 0 = Semakin baik

IKKG 2) 0,793 0,796 1 = Semakin baik

RPJMN I (2005-2009) RPJMN II (2010-2014)

Sumber: 1) HDI Report (UNDP, berbagai tahun).

2) Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender dan Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan Gender:

Kajian Awal (Bappenas, 2012).

Hasil pembangunan sumber daya manusia Indonesia secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI). HDI mengetengahkan indikator bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan, sebab kemampuan dan potensi manusia untuk berpartisipasi dalam pembangunan sangat bergantung pada ketiga aspek tersebut. Menurut HDI Report tahun 2011, nilai HDI Indonesia adalah 0,617. Namun dalam hal Gender Inequality Index (GII), nilai GII Indonesia hanya 0,5046 atau terdapat kesenjangan gender hingga 50 persen. Bila melihat tren GII dari tahun 2005, telah peningkatan yaitu terjadi penurunan kesenjangan dari 0,5488 (2005) menjadi 0,5236 (2008), lalu menurun lagi menjadi 0,5046 (2011). Sebagai perbandingan, hasil studi Bappenas tahun 2012 dengan temuan awal Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) menunjukkan telah adanya peningkatan kesetaraan gender sebesar 0,3 persen dari 0,793 pada tahun 2007, menjadi 0,796 pada tahun 201010. Dengan kata lain, terjadi peningkatan kesetaraan gender rata-rata sebanyak 0,1 persen setiap tahunnya. Dengan demikian, untuk mempercepat pencapaian kesetaraan gender akan diperlukan upaya yang lebih besar, lebih komprehensif, lebih bersinergi, serta lebih kritis dalam menganalisis berbagai permasalahan gender.

Permasalahan besar yang dihadapi dalam pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang. Hal ini tercermin pada masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, termasuk meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, yang disebabkan oleh: (i) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/ kota; (ii) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan 9 Evaluasi yang dilaksanakan Bappenas tahun 2006; 2007, dan 2011

(21)

publik, dan di bidang ekonomi; dan (iii) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit.

Lebih jauh lagi melihat akar permasalahan kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi (Evaluasi PPRG-2011) adalah masih lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender, yang disebabkan oleh: (i) belum optimalnya pengintegrasian perspektif gender ke dalam penyusunan kebijakan, yang mengakibatkan masih banyaknya kebijakan yang belum merespon perspektif gender; (ii) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, yang ditandai dengan masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia, termasuk kemampuan dalam memberikan bantuan teknis pelaksanaan PUG, minimnya ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan penggunaannya dalam siklus pembangunan; dan (iii) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, dan manfaat PUG dalam pembangunan, baik di pusat maupun di daerah.

Kesetaraan gender merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam kaitan itu, pembangunan nasional harus memenuhi prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan selayaknya memberikan akses dan manfaat yang memadai bagi orang dewasa dan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, untuk berpartisipasi dalam pembangunan, untuk mendapatkan akses dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta memberikan penguasaan/kontrol terhadap sumberdaya pembangunan. Dengan demikian, PUG dalam pembangunan merupakan strategi yang digunakan untuk mengintegrasikan isu-isu gender yang disebabkan oleh kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta dalam berpartisipasi dan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan.

Memperhatikan uraian di atas, maka menjadi tantangan bagi Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak untuk mampu mengaitkan berbagai prioritas nasional sebagaimana tertuang dalam UU No 17 tahun 2007, perkembangan dan permasalahan pembangunan hingga RPJMN II, serta tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini, untuk dapat dipertimbangkan dalam perumusan RPJMN III. Untuk itu, pada tahun 2013 ini Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak melaksanakan

background study, yang merupakan bagian dari proses awal penyiapan rancangan RPJMN

2015-2019. Selain itu, akan diperhitungkan pula aspek dinamika internal, aspek daerah, aspek global, serta antisipasi ke depan, yang diperkirakan berpotensi untuk berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia pada periode 2015-2019.

(22)

BAB ii

KERANGKA KERJA BACKGROUND STUDY

Background Study ini merupakan bagian dari proses penyiapan rancangan RPJMN

2015-2019 terkait pengintegrasian gender ke dalam pembangunan nasional, yang disusun oleh Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak-Bappenas. Kajian ini akan menganalisis hasil capaian, permasalahan, dan tantangan pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang telah dilakukan, sebagai bahan analisis dan perumusan rekomendasi kebijakan dalam penyusunan RPJMN III mendatang.

Tujuan kajian ini adalah menyusun rumusan kebijakan, prioritas, program, dan kegiatan prioritas pembangunan terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sebagai bahan masukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ketiga (RPJMN III) periode tahun 2015-2019, khususnya terkait Kesetaraan Gender.

Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah dokumen usulan rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ketiga (RPJMN III) periode tahun 2015-2019, yang mencakup:

1. Hasil analisis dari baseline: kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan di bidang kesetaraan gender pada RPJMN II yaitu periode 2010-2014;

2. Identifikasi permasalahan dan lessons learned pelaksanaan pembangunan bidang kesetaraan gender pada masa RPJMN I dan II (pada bidang-bidang pembangunan tertentu sebagai sampel);

3. Hasil analisis kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan di bidang kesetaraan gender pada Rencana RPJMN II yaitu periode 2010-2014;

4. Hasil reviu peraturan perundang-undangan yang relevan, baik pusat dan daerah;

5. Kerangka konsep pembangunan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan bidang–bidang lain yang relevan, khususnya bidang sumber daya manusia, seperti kependudukan, kemiskinan, pendidikan serta kesehatan untuk RPJMN;

6. Rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III tahun 2015-2019.

Adapun ruang lingkup Background Study RPJMN III Kesetaraan Gender (BS RPJMN-KG) ini adalah: 1) penjabaran visi, misi, dan arah pembangunan dalam RPJPN tahun 2005–2025; 2) reviu dan analisis kebijakan dan pelaksanaan RPJMN II tahun 2010-2014 bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang dikaitkan dengan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang relevan; 3) analisis situasi: peluang, tantangan, hambatan, dan potensi; 4) studi literatur, pengumpulan data dan informasi gender (PDIG); 5) temu pakar yang melibatkan pakar dari perguruan tinggi, organisasi profesi, narasumber dari instansi pemerintah di pusat dan daerah, serta masyarakat; dan 6) lingkup provinsi sampel: Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Papua. Keempat provinsi tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi Indonesia sebagai masukan dalam kajian ini.

(23)

Kerangka kerja penyusunan BS RPJMN-KG ini adalah sebagai berikut: GAMBAR 1.

Kerangka Pikir Background Study RPJMN 2015-2019 Kesetaraan Gender

1. Tahap awal, yaitu tahap pengumpulan data terkait capaian pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada RPJMN I dan II dengan melihat indikator-indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan (berdasarkan kondisi saat ini, komitmen nasional/internasional, hasil evaluasi, dan tingkat urgensinya untuk ditangani pada lima tahun mendatang) ke dalam 4 kelompok isu gender, yaitu: prioritas, strategis, elemental/mendasar, dan yang sedang mengemuka (emerging)-yaitu isu-isu yang sedang/akan muncul dan diperkirakan akan berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kemudian ditetapkan bahwa isu-isu yang akan diprioritaskan dalam background study bidang kesetaraan gender ini terdapat pada bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan isu lintas bidang terkait kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, isu-isu yang dianggap strategis dalam pencapaian kesetaraan gender terdapat pada bidang hukum, politik, dan ekonomi, terutama terkait penanggulangan kemiskinan yang merupakan isu lintas-bidang. Permasalahan terkait penguatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender pada tingkat nasional dan daerah termasuk dalam kategori isu elemental/mendasar. Adapun permasalahan lintasbidang yang mengemuka selama beberapa tahun terakhir (emerging issues) yang dianggap berdampak terutama pada perlindungan perempuan adalah: tindak pidana perdagangan orang, dan perubahan iklim.

(24)

2. Tahap kedua, yaitu analisis dari hasil tahap awal tersebut. Analisis ini dilakukan dalam 3 langkah, yaitu pengumpulan data dan fakta situasi dan kondisi saat ini, analisis penyebab tak langsung, dan akar permasalahan (lihat Gambar 2). Tahap ini dilakukan melalui serangkaian temu pakar (Expert Group Meeting/EGM), diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion/FGD), dan seminar serial di tingkat nasional, serta seminar daerah, yang meliputi 10 topik, yaitu:

a. Perspektif Gender dalam Pendidikan Bagi yang Belum Terjangkau (mencakup wilayah/komunitas termiskin, wilayah tertinggal, wilayah perbatasan, difabel, dan komunitas adat terpencil).

b. Percepatan Penurunan AKI, AKB dan AKABa dari perspektif gender. c. Dampak ancaman HIV/AIDS (mencakup aspek perlindungan perempuan). d. Isu Gender di Bidang Ketenagakerjaan (termasuk upah, status, jam kerja,

pekerja migran, jaminan sosial, kekerasan, pelecehan, dll.).

e. Dampak Uncounted/Undocumented Statistics terhadap kesetaraan gender dan perlindungan perempuan (mencakup bidang ketenagakerjaan dan hukum). f. Isu Gender dalam Hukum dan Politik: penegakan hukum secara responsif

gender dan pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik. g. Tindak Pidana Perdagangan Orang.

h. Isu Gender terkait Kemiskinan.

i. Dampak Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup (mencakup aspek kualitas hidup perempuan).

j. Kesetaraan Gender dari Sudut Pandang Agama dan Budaya; meliputi kualitas hidup perempuan, termasuk –tetapi tidak terbatas pada– kesetaraan gender di ruang publik seperti: partisipasi perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan politik, kekerasan dan diskriminasi. Topik ini tidak akan mendiskusikan teori budaya dan teologi.

Hasil dari berbagai pertemuan tersebut, didukung dengan studi literatur dan pengumpulan data dan informasi gender (PDIG) yang meliputi 34 K/L, menjadi gambaran kondisi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan saat ini, yang merupakan baseline untuk penyusunan RPJMN III.

3. Tahap terakhir, yaitu penyusunan rekomendasi kebijakan untuk RPJMN III, berdasarkan hasil dari tahap 1 dan 2 di atas11.

Adapun alur penyusunan BS RPJMN KG ini adalah sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

11 Untuk mempermudah pembaca melihat keterkaitan antara rekomendasi BS RPJMN KG ini dengan RPJMN II dan III , maka rekomendasi kebijakan RPJMN III tersebut disajikan per bidang, serta beberapa isu lintas bidang. Isu di satu bidang ditangani oleh beberapa Kementerian/Lembaga, sedangkan isu lintas bidang adalah isu yang harus ditangani secara simultan dari beberapa bidang terkait, yang melibatkan lintas-Kementerian/Lembaga.

(25)

GAMBAR 2.

Alur Penyusunan Background Study RPJMN III-Kesetaraan Gender

Hasil selengkapnya dari PDIG disajikan pada laporan yang terpisah. Namun, untuk hasil PDIG beberapa K/L yang terkait dengan penanganan isu-isu gender yang telah diidentifikasikan dalam BS RPJMN KG disampaikan secara singkat dalam laporan Background

(26)

Bagian ini akan mengetengahkan bidang-bidang prioritas dan strategis bagi peningkatan kesetaraan gender. Setiap Bab bidang hanya akan berfokus pada hal-hal yang dinilai akan mendorong pencapaian kesetaraan gender secara mendasar dan/atau signifikan. Dengan kata lain, tidak akan mengetengahkan semua capaian dan permasalahan bidang terkait.

(27)
(28)

BAB iii

PENDiDiKAN

i. Dasar Hukum

UUD telah menjamin hak semua dan setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan mengemukakan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang dapat diakses oleh penduduk Indonesia. UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merinci hak dan kewajiban para tenaga didik dan pemerintah, serta semua yang berkaitan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan perundang-undangan yang terkini disahkan untuk meningkatkan pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan.

ii. Pencapaian Pembangunan Pendidikan terkait Gender

UUD 1945 sangat berpihak pada pembangunan kualitas warga negara Indonesia, terutama dalam peningkatan pendidikannya dengan mengamanatkan anggaran 20 persen bagi pendidikan. Didukung oleh UUD, dan perundang-undangan lain, serta penganggaran yang sangat besar dibandingkan anggaran bidang manapun (kecuali pembayaran utang negara), tentu sangat diharapkan pencapaian yang signifikan dalam bidang pembangunan pendidikan. Berikut adalah beberapa pencapaian pembangunan pendidikan secara umum.

TABEL 2. Capaian Indikator Utama Pembangunan Pendidikan

NO INDIKATOR KONDISIAWAL

(2009)

CAPAIAN

2010 2011 (sementara)2012

1 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15

Tahun ke Atas (Tahun) 7,7 7,9 7,9 8,0

2 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15

Tahun ke Atas (%) 5,3 4,8 4,4 4,3

3 APM SD/SDLB/MI/Paket A (%) 95,5 95,4 95,6 95,7

4 APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%) 74,5 75,6 77,7 75,4

5 APK SA/SMK/MA/Paket C (%) 69,6 70,5 76,5 79,0

6 APK PT Usia 19-23 Tahun (%) 21,6 21,6 27,1 27,4

Sumber: BPS, Kemendikbud

Dari tabel di atas nampak bahwa pembangunan pendidikan secara umum telah menunjukkan banyak peningkatan capaian, pada semua indikator utama pendidikan untuk periode tahun 2009 sampai dengan 2011. Untuk indikator proses yaitu Angka Partisipasi Murni (APM), pada semua jenjang juga telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan pada jenjang perguruan tinggi, capaian meningkat pesat hingga sekitar 6 persen. Pada indikator output, yaitu Rata-rata Lama Sekolah, juga telah menunjukkan peningkatan lama sekolah.

(29)

GAMBAR 3

Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun ke Atas

Sumber: Kemendikbud (bahan paparan Wamen Bidang Pendidikan disampaikan pada Seminar 2 Juli 2013)

GAMBAR 4

Persentase Buta Aksara Penduduk 15 Tahun ke Atas

Sumber: Kemendikbud (bahan paparan Wamen Bidang Pendidikan disampaikan pada Seminar 2 Juli 2013)

Dari grafik pertama di atas, tampak bahwa dalam hal capaian rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2010 dan 2011 telah melebihi target yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014. Hal yang sama juga terlihat pada grafik angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, yang menunjukkan bahwa persentase buta aksara telah menurun melampaui target RPJMN 2010-2014.

(30)

GAMBAR 5

Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Jenjang Pendidikan, 2009-2012

Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas Maret 2013.

Pada Gambar 5 di atas, capaian untuk indikator APM menurut jenjang pendidikan menunjukkan peningkatan pada jenjang sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Untuk jenjang pendidikan SMA, baik APM laki-laki maupun perempuan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan APM 2012 dengan APM 2009. Namun terjadi penurunan APM untuk jenjang pendidikan SD, baik APM laki-laki maupun perempuan, bila dibandingkan APM 2012 dengan APM 2009.

Pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah apakah semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah terkait pendidikan telah benar-benar berlaku dan melindungi serta memenuhi hak pendidikan semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali? Berikut capaian pembangunan pendidikan secara khusus mencakup penduduk miskin dan di bawah garis kemiskinan, penduduk yang menyandang disabilitas dan/atau berkebutuhan khusus, penduduk yang berada di area terluar/terjauh/terpencil, dan penduduk dari Komunitas Adat Terpencil. Pendidikan untuk Semua (Education for All) diharapkan selain untuk memenuhi hak mendapatkan pendidikan bagi setiap penduduk Indonesia, juga untuk meningkatkan daya saing penduduk Indonesia, salah satunya dalam rangka memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015.

A. Penduduk Miskin/di Bawah Garis Kemiskinan

Data statistik nasional yang digunakan adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa data Susenas ini tidak bisa disilangkan dengan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

(31)

Kemendikbud tidak membedakan sekolah yang berada di permukiman kumuh/miskin, hanya per wilayah kabupaten/kota.

GAMBAR 6

Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Di 20 Persen Ke Bawah Menurut Jenis Kelamin, dan Ijazah/STTB Tertinggi yang Diperoleh

Sumber: Susenas-BPS

Terjadi penurunan persentase penduduk 15 tahun ke atas (di 20 persen ke bawah) baik laki-laki maupun perempuan yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah. Pada tahun 2004, terdapat 31,96 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan lebih banyak yaitu 41,66 persen. Lima tahun kemudian (2009), terjadi sedikit penurunan persentase penduduk yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, yaitu 31,21 persen penduduk laki-laki, sedangkan perempuan 39,69 persen. Tujuh tahun sejak RPJMN dimulai, peningkatan capaian pendidikan perlahan namun terus terjadi bagi penduduk di 20 persen ke bawah. Pada tahun 2011, terdapat 30,72 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan 38,69 persen. Dengan kata lain, terjadi penurunan persentase sebesar 1,24 persen pada penduduk laki-laki, dan sekitar 2,97 persen pada penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan) yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah.

Pada jenjang SD, terjadi penurunan persentase lagi, namun untuk jenjang SLTP ke atas terjadi peningkatan persentase. Dengan kata lain, upaya pembangunan pendidikan menengah menunjukkan adanya sedikit peningkatan capaian baik bagi penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan).

(32)

GAMBAR 7

Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 7-12 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah dan Putus Sekolah di SD

Sumber: Susenas-BPS (data diolah)

Dari grafik persentase anak usia 7-12 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Demikian juga yang putus sekolah di SD, lebih banyak anak laki-laki. Sebaliknya, untuk tingkat SMP, lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah.

GAMBAR 8

Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 13-15 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah, Putus Sekolah di SD, dan Putus Sekolah di SMP

(33)

Dari grafik persentase anak usia 13-15 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya hampir sama banyaknya anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Namun yang putus sekolah di SD dan di SMP, setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Beberapa penyebab putus sekolah atau tidak bersekolah bagi penduduk miskin, antara lain adalah: i) tidak ada biaya; ii) bekerja/mencari nafkah; iii) menikah/mengurus RT; iv) merasa pendidikan cukup; v) tidak diterima; vi) sekolah jauh; dan vii) cacat. Dari grafik di bawah ini, nampak bahwa selalu lebih banyak laki-laki putus sekolah atau tidak bersekolah karena berkerja/mencari nafkah dibandingkan perempuan. Namun, selalu lebih banyak perempuan yang putus sekolah atau tidak bersekolah karena menikah/mengurus rumah tangga. Selain itu, sekitar 3-4 persen penduduk (di bawah garis kemiskinan) berumur 5-24 tahun yang belum pernah bersekolah atau tidak sekolah lagi merasa pendidikan yang dimiliki sudah cukup. Sebagai ilustrasi, Di daerah pemasok tenaga kuli bangunan dan pembantu rumah tangga yang merupakan daerah miskin, pandangan umum dari orangtua dan masyarakatnya sama, yaitu berpendidikan SD ataupun SMP akan sama saja nasibnya. Pilihan pekerjaan tetap sangat terbatas, hanya sebagai kuli bangunan/jualan keliling/buruh kasar/pekerja rumah tangga. Kesemuanya ini merupakan tantangan yang perlu dijawab untuk menekan angka putus sekolah. Kajian yang lebih mendalam mengenai motivasi pendidikan bagi penduduk miskin perlu dilakukan.

GAMBAR 9

Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun yang Belum Pernah Bersekolah atau Tidak Sekolah Lagi di Bawah Garis Kemiskinan

Sumber: Susenas (BPS) (data diolah)

Hal lain yang perlu menjadi pertimbangkan pemerintah di masa mendatang adalah bagaimana bentuk penjaminan pendidikan yang lebih berkelanjutan bagi penduduk miskin atau bagi anak didik yang jarak sekolahnya sangat jauh atau tidak aman. Pemberian beasiswa per tahun belum merupakan bentuk penjaminan yang baik untuk penduduk miskin atau bagi anak didik yang jarak sekolahnya sangat jauh atau tidak aman, rentan terhadap tidak

(34)

diterimanya dana pendidikan karena kesalahan penganggaran atau perubahan kebijakan birokrasi, dsb. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pengembangan skema jaminan pendidikan bagi mereka.

B. Penduduk Wilayah Tertinggal/Terluar/Terpencil

Untuk lebih memfokuskan pemetaan wilayah kemiskinan, maka digunakan data wilayah tertinggal di Indonesia. Terdapat 111 kecamatan di 38 Kabupaten di 12 provinsi (NAD, Sumut, Riau, Kep. Riau, Kalbar, Kaltim, Sulut, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua) yang merupakan wilayah terluar perbatasan, yang merupakan fokus penanganan pembangunan daerah tertinggal (termasuk di bidang pendidikan) hingga tahun 2014. Terdapat 183 kabupaten tertinggal yang menjadi fokus pembangunan (termasuk bidang pendidikan) daerah tertinggal pada periode 2010-2014.12

GAMBAR 10

Jarak Sarana Pendidikan Berdasarkan Kategori Daerah

Sumber : BPS 2011, data diolah dengan mengkombinasikan pemetaan kabupaten tertinggal Idealnya, jarak maksimal menuju SD maksimal 3 kilometer dan menuju SMP maksimal 6 kilometer. Namun, pada daerah tertinggal jarak menuju SD 3 kali lebih jauh, sedangkan untuk SMP 2 kali lebih jauh dari jarak ideal.

Terkait dengan tenaga didik di wilayah tertinggal dan terpencil, baik dari segi kualitas dan kuantitas tenaga didik, maupun kesejahteraan dan perlindungan tenaga didik, terutama perlindungan tenaga didik perempuan, masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Secara keseluruhan, jumlah guru di Indonesia telah memadai, namun yang menjadi masalah adalah distribusi guru. Sebagian besar guru berada di perkotaan. Umumnya guru yang telah berkeluarga tidak bertahan lama ditempatkan di wilayah tertinggal dan terpencil, sebab perjalanan menuju dan kembali dari sekolah ke rumah sangat sulit dan jauh, serta membutuhkan biaya. Akomodasi dan transportasi seringkali tidak memadai dan tidak aman untuk digunakan. Kondisi geografis yang membahayakan keselamatan diri guru kadang kala juga menjadi faktor penghambat untuk bertahan mengajar. Selain itu, penerimaan gaji sering tertunda. Terlebih lagi, tidak ada pemberian kuota dan bantuan khusus bagi peningkatan kapasitas tenaga didik di wilayah tertinggal dan terpencil.

(35)

C. Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas dan Kebutuhan Khusus

Sebelum melihat lebih lanjut tentang pendidikan bagi penyandang disabilitas, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai disabilitas. Menurut UU No. 4 tahun 1997, penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: i) penyandang cacat fisik; ii) penyandang cacat mental; dan iii) penyandang cacat fisik dan mental. Penggunaan istilah cacat dan kecacatan mencerminkan pandangan negatif dan merendahkan terhadap penyandang disabilitas. Untuk mendorong pada pandangan yang lebih positif, dalam kajian ini digunakan istilah disabilitas dan berkebutuhan khusus.13

Selama ini, penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus selalu termarginalkan. Bahkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, hanya ada 2 pasal yang merujuk pada pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kemudian, pada PP No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan PP perubahannya tidak menjelaskan baik secara umum -apalagi secara khusus- mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus.14

Data mengenai berapa jumlah anak usia sekolah penyandang disabilitas belum tersedia. Saat ini data penyandang disabilitas hitungan per orang berasal dari Kementerian Sosial (Kemensos). Menurut data Rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), jumlah Penyandang Cacat adalah sebanyak 1.250.780 orang. Namun, data ini berkemungkinan bias karena cakupannya adalah untuk penduduk yang mengalami hambatan (dirugikan) dalam memenuhi kesejahteraan sosial mereka.15 Sebagai perbandingan, data Susenas 2009 menunjukkan perkiraan penyandang disabilitas sekitar 2,1 juta penduduk. Kemudian data dari Kementerian Kesehatan (Riset Kesehatan Dasar-Riskesdas 2007) diperkirakan bahwa prevalensi nasional disabilitas penduduk usia 15 tahun ke atas menurut status disabilitas, yang sangat bermasalah sekitar 1,8 persen, yang bermasalah mencapai 19,5 persen.

Pendataan penyandang disabilitas berdasarkan klasifikasi International Classification of

Functioning for Disability and Health (ICF) dilakukan oleh Kemensos pada tahun 2010 di 14

(empat belas) provinsi.16 Hasil pendataan menunjukkan terdapat 647.441 orang laki-laki dan 519.670 orang perempuan penyandang disabilitas di 14 provinsi cakupan (total 1.167.111 orang penyandang disabilitas). Sekitar 14,9 persen (atau 173.900 orang) dari mereka berusia 5-19 tahun, yang merupakan penduduk usia sekolah (PAUD-SMA).

13 UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Dalam Konvensi dinyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

14 Istilah yang digunakan dalam PP No. 17 tahun 2010 dan PP No. 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan dan PP No. 66 tahun 2010 ttg perubahan terhadap PP tersebut adalah peserta didik berkelainan.

15 Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/2343354-penyandang-disabilitas-siapa-dan-berapa/#ixzz2lEzxHrPo

16 14 provinsi cakupan: Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

(36)

Kemendikbud menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa (Special School) untuk memberikan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas atau yang sering disebut ketunaan. 3 (tiga) jenis ketunaan yang diterima SLB, yaitu: i) Tuna Daksa yang merupakan kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan (contoh: tuna netra/kerusakan fungsi penglihatan dan tuna rungu/kerusakan fungsi pendengaran); ii) Tuna Grahita yang merupakan kondisi keterbelakangan mental, atau disebut juga retardasi mental (mental retardation); dan iii) Tuna Laras yang merupakan gangguan atau hambatan atau kelainan dalam tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain itu, terkadang penyandang difabel menyandang lebih dari satu jenis kondisi, misalnya penyandang tunanetra dengan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai dengan tunagrahita atau bahkan tunadaksa, tunarungu, dan tunagrahita sekaligus. Penyandang ganda atau multi kondisi disebut Tuna Ganda/Campuran.

GAMBAR 11

Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2005/2006

(37)

GAMBAR 12

Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2011/2012

Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)

Jumlah total anak didik di SLB (publik dan swasta) di 33 provinsi untuk tahun ajaran 2010-2011 adalah 85.542 orang. Bila membandingkan dengan estimasi penduduk usia sekolah di 14 provinsi saja yang telah mencapai lebih dari 173 ribu, maka masih sangat banyak anak usia sekolah penyandang disabilitas yang belum mendapatkan hak pendidikannya.

Dari grafik di atas, nampak bahwa sejak tahun 2005/2006 hingga 2011/2012, jumlah anak didik perempuan dan laki-laki Sekolah Luar Biasa (SLB) terbanyak di Pulau Jawa. Hal ini bisa berarti: i) jumlah SLB di Pulau Jawa lebih banyak, yang berarti memudahkan bagi penyandang difabel di Pulau Jawa untuk mengakses pendidikan luar biasa; ii) jumlah penyandang difabel di Pulau Jawa lebih banyak; jumlah tenaga didik SLB lebih banyak di Pulau Jawa.

(38)

GAMBAR 13

Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Tahun 2010/2011

Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)

Namun, bila ketiga hal ini benar, berarti: akses pendidikan bagi penyandang difabel di luar Pulau Jawa sangat sulit dijangkau. Jumlah anak didik perempuan penyandang difabel selalu lebih sedikit dibandingkan jumlah anak didik laki-laki penyandang difabel di semua provinsi. Hal ini bisa berarti: jumlah anak laki-laki difabel lebih banyak dibandingkan jumlah anak perempuan difabel ATAU akses terhadap pendidikan bagi anak perempuan difabel lebih sulit. Kebutuhan dan masalah pendidikan yang dihadapi oleh difabel perempuan di perdesaan dan miskin lebih kompleks, karena menghadapi tantangan sosial yang lebih berat, budaya, geografis, dan ekonomi. Pilihan jenis-jenis keterampilan untuk pendidikan kejuruan formal maupun pendidikan non-formal masih stereotipe gender. Penentuan pilihan terhadap jenis keterampilan pun ditetapkan oleh keluarga, lingkungan/ masyarakat dan sekolah berdasarkan stereotipe gender.

Selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan bagi perempuan penyandang disabilitas dan anak perempuan berkebutuhan khusus sangat perlu mempertimbangkan perlindungan bagi mereka, terutama dari perlakuan pelecehan seksual. Penyandang disabilitas netra, wicara, dan retardasi sangat rentan terhadap tindak pelecehan seksual di dalam dan di luar area persekolahan. Ancaman tindak pelecehan bahkan dapat datang dari sesama peserta didik disabilitas.

Bila melihat jumlah keseluruhan anak didik SLB, dan dibandingkan dengan prevalensi penyandang disabilitas, maka sangat mungkin sebagian besar penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus tidak masuk ke SLB. Sebagian (sangat) kecil mungkin telah berhasil masuk ke sekolah reguler/umum/inklusi, sebagian lain mungkin mendapatkan layanan pendidikan di sentra/klinik terapi, atau di rumah (homeschooling). Namun yang lebih perlu dikuatirkan adalah sebagian (besar) tidak mendapatkan pendidikan dalam bentuk apapun, tersembunyi di rumah, dan kelak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya.

(39)

Kondisi khusus yang semakin banyak disebut beberapa tahun terakhir ini adalah autisme. Autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif yang termanifestasi dalam tingkah laku yang tidak/kurang fleksibel dan tidak umum, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kesulitan dalam mengidentifikasi penyandang autisme adalah kurangnya informasi mengenai tanda-tanda pada anak, sehingga kemungkinan hanya dianggap hiperaktif, tidak bisa konsentrasi, sulit berkomunikasi, dan bahkan kemungkinan retardasi mental. Penyandang kondisi autisme lebih banyak anak laki-laki dibanding perempuan, sedangkan guru pendamping di sekolah-sekolah inklusi lebih banyak perempuan. Saat ini permintaan akan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus baik di sekolah umum/negeri maupun sekolah swasta terus meningkat. Namun, ketersediaan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus masih sangat terbatas. Pasokan guru pendidikan khusus dari Perguruan Tinggi sangat terbatas, kurang lebih hanya 10 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan luar biasa. Selain itu, posisi sebagai guru pendidikan khusus dan terutama guru pendamping khusus kurang diminati baik oleh perempuan apalagi laki-laki. Penyebab utamanya adalah posisi guru pendamping masih temporer dan honorer, dengan gaji minimal dari sekolah atau orangtua anak bersangkutan. Posisi temporer dan honorer berarti tidak memiliki kepastian atas pekerjaan, apalagi karir.

Bila melihat tabel di bawah ini nampaknya penyandang autisme yang diterima di sekolah luar biasa hanya 385 siswa. Umumnya pakar autisme menyarankan agar penyandang autisme masuk ke sekolah regular/umum, sebab penyandang autisme cenderung meniru perilaku orang di sekitarnya. Dengan demikian, diharapkan penyandang autisme akan lebih cepat belajar dan menguasai perilaku normatif anak-anak. Namun, hal ini tergantung pada tingkat keparahan kondisi dan kapasitas kognisi penyandang. Bila penyandang autisme ataupun berkebutuhan khusus lainnya tidak mencapai tingkat kognisi minimal, atau memiliki kecenderungan perilaku agresif yang membahayakan dirinya dan orang disekitarnya, maka disarankan untuk masuk ke sekolah khusus/sekolah luar biasa.

Permasalahan yang sangat perlu mendapatkan perhatian adalah kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus. Walaupun telah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendiknas) No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademis dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, namun pada sekolah inklusi, mutu pendidikan yang diterima anak didik berkebutuhan khusus belum tentu sama dengan anak didik lainnya di sekolah tersebut. Keterbatasan ketersediaan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus, dapat berakibat pada terjadinya pembiaran terhadap penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus, berkeliaran di kelas ataupun di area sekolah saat jam pelajaran sedang berlangsung. Selain itu, umumnya guru pendamping adalah perempuan, padahal cukup banyak anak berkebutuhan khusus laki-laki. Untuk keperluan sosial dan sanitasi di sekolah sebaiknya anak berkebutuhan khusus didampingi oleh guru pendamping dengan jenis kelamin sama.

Gambar

TABEL 2. Capaian Indikator Utama Pembangunan Pendidikan
GAMBAR 15 Karakteristik Ibu Meninggal
TABEL 6 Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 2004 - 2013 JENIS KEGIATAN2004200520062007200820092010201120122013 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk miskin berkisar 271 ribu  rupiah per kapita per bulan atau sama dengan rata-rata 9 ribu rupiah per hari
+2

Referensi

Dokumen terkait

Daging kacang mede dapat dibuat menjadi suatu olahan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi yaitu Baju (singkatan dari bakso jambu).. Sehingga daging jambu mede memiliki daya guna

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa penambahan tepung daun salam ( Syzigium polianthum ) dalam pakan terhadap penurunan kadar kolesterol daging itik

Dewan Komisaris mengucapkan terima kasih kepada jajaran manajemen dan seluruh insan PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk atas sukses yang telah diraih sepanjang tahun 2013, berkat

RINCIAN RANCANGAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN.. TAHUN

Penyusunan Laporan BMN BPKP Tahun Anggaran 2013, sudah menerapkan penyusutan Barang Milik Negara berupa Aset Tetap dengan berpedoman pada Peraturan Menteri

Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa hari minimum dalam membuat kompos adalah dengan variasi I yaitu dengan rata-rata 15 hari sudah menjadi kompos, sedangkan

Tesis ini judul aslinya adalah The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad

Sastra adalah sebuah karya yang merupakan hasil kerja kreatif dan ekspresif dari penciptanya.Sastra merupakan ungkapan perasaan maupun hasil daya imajinasi dari