• Tidak ada hasil yang ditemukan

ii. Pencapaian Pembangunan Lintas Bidang terkait Kemiskinan dengan Perspektif Gender

Pada tingkat regional Asia Tenggara, dengan menggunakan ukuran kemiskinan US$ 1,25 per hari melihat persentase angka kemiskinan dengan ukuran kemiskinan, Indonesia berada di belakang Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Akan tetapi, dari segi penurunan selama 20 tahun terakhir (1990-2009), Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak menunjukkan penurunan persentase kemiskinan. Hanya Vietnam yang mengalahkan Indonesia dalam pencapaian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia sudah pada jalur yang tepat dalam penanggulangan kemiskinan.

GAMBAR 50

Prosentase Angka Kemiskinan di ASEAN dengan Ukuran Kemiskinan $1,25/hari

Di dalam negeri, kemiskinan diukur dengan berbagai macam metode. Salah satunya adalah definisi kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Penduduk miskin asalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan setiap tahun mengalami perubahan, tergantung pada besarnya pengeluaran per kapita per bulan.

Dari kedua grafik berikut di bawah ini, nampak bahwa trend kemiskinan menurun dari tahun ke tahun. Akan tetapi sejak tahun 2009, laju penurunan melambat. 2,5 juta terentas dari kemiskinan, sejak 2009 s/d 2012 hanya 1-1,5 juta/tahun (Maret 2011 menurun 0,84 persen, Maret 2012 menurun 0,53 persen, September 2012 menurun 0,30 persen). Perlambatan laju pertumbuhan pada sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dari penduduk miskin. Dari sisi produksi, sektor yang memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan adalah sektor padat modal seperti Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Pengangkutan dan Komunikasi. Oleh karena itu perlu upaya yang lebih optimal untuk mencapai target tingkat kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun 2014.

GAMBAR 51

Tren Jumlah (Juta Orang) dan Persentase Penduduk Miskin

Sumber data: data olahan Dit. LinKesMas, Bappenas (2013)

Untuk periode September 2012 sampai dengan Maret 2013, BPS telah mengeluarkan data terkait garis kemiskinan sebagai berikut.

TABEL 16

Garis Kemiskinan dan Perubahannya menurut Daerah

Daerah/Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)

Makanan Bukan Makanan Total

Perkotaan Sep 2012 194.207 83.175 277.382 Mar 2013 202.137 86.904 289.041 Perubahan (%) 4,08 4,48 4,20 Perdesaan Sep 2012 185.967 54.474 240.441 Mar 2013 196.215 57.058 253.273 Perubahan (%) 5,51 4,74 5,34 Perkotaan+Perdesaan Sep 2012 190.758 68.762 259.520 Mar 2013 199.691 71.935 271.626 Perubahan (%) 4,68 4,61 4,66

Sumber: BPS, diolah dari data Survei Ekonomi Sosial Nasional/Susenas (Sep 2012 dan Mar 2013)

Tabel di atas menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk miskin berkisar 271 ribu rupiah per kapita per bulan atau sama dengan rata-rata 9 ribu rupiah per hari. Pengeluaran (expenditure) adalah proksi dari pendapatan (income) per kapita per bulan penduduk miskin. Bila dibandingkan dengan data tahun 2009, yaitu Rp 233.740.- per kapita per bulan atau sekitar Rp 7.780.- per orang per hari. Maka selama kurun waktu 3 tahun telah terjadi peningkatan garis kemiskinan. Dari segi jumlah penduduk miskin juga telah terjadi penurunan, dari sekitar 31 juta orang pada tahun 2010 menjadi sekitar 28,6 juta orang pada tahun 2012. Dengan kata lain, sekitar 3 juta orang penduduk yang awalnya berada di bawah garis kemiskinan telah keluar dari kemiskinan. Dengan demikian, bahkan dalam satu tahun pun telah ada perubahan garis kemiskinan sekitar 4 persen. Lebih dari separuh penduduk miskin berada di pulau Jawa, yaitu sekitar 15 juta orang.

GAMBAR 52

Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut Daerah dan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga, 2006 dan 2012

GAMBAR 53

Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga (2002-2011)

Sumber: Susenas (2002-2011)

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melakukan kajian gender dengan menggunakan data terpilah dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.41 Hasil kajian gender tersebut menemukan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan mencakup 14 persen dari semua rumah tangga berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Sekitar 3 juta rumah tangga dari 14 persen tersebut berada pada 3 desil terendah dalam BDT. Sekitar 24 persen dari 3 juta rumah tangga perempuan tersebut berusia di atas 60 tahun.

Meski tidak ada kesenjangan gender dalam penurunan kemiskinan secara per kepala untuk laki-laki dan perempuan, hal demikian tidak terjadi dalam pengurangan kemiskinan antara rumah tangga miskin yang dikepalai oleh laki-laki (RTM-L) dan rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan (RTM-P). Secara keseluruhan, penurunan tingkat kemiskinan untuk RTM-P lebih rendah dari RTM-L. Pengukuran mengenai tingkat kemiskinan berdasar pengeluaran konsumsi per kepala tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan secara keseluruhan proporsi RTM-P jauh lebih rendah dari RTM-L. Hal ini tidak serta merta berarti tidak ada kesenjangan gender dalam penurunan angka kemiskinan. Secara keseluruhan, angka penurunan kemiskinan untuk RTM-P, terutama di pedesaan, jauh lebih rendah dari RTM-L. Selama tahun 2006-2012, sementara RTM-L mengalami penurunan sebesar 1,09, RTM-P mengalami penaikan dengan angka yang sama. Pola yang sama dan jauh lebih kontras terjadi untuk tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan untuk rumah tangga miskin di perkotaan. Penurunan tingkat kedalaman kemiskinan RTM-P di perkotaan 41 TNP2K bekerjasama dengan AusAID, 2012-2013. PPLS 2011 dijadikan Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial. Data PPLS adalah data yang khusus diambil dengan cara survei terhadap masyarakat yang dinyatakan miskin by name and by address oleh pemerintah setempat, dan digunakan sebagai database bagi program bantuan masyarakat. Artinya, dalam pengambilan data survei dilakukan tidak pada seluruh penduduk Indonesia tetapi purposive hanya pada kelompok yang sudah diperkirakan miskin, lebih sebagai validasi terhadap status reponden apakah benar-benar miskin atau tidak. Untuk klasifikasi, digunakan kategori Miskin (sudah dalam keadaan miskin) dan Rentan Miskin (potensial menjadi miskin – kerena sebab tertentu).

(7 persen) lebih rendah dari RTM-L (21 persen), dan tingkat keparahan kemiskinan untuk RTM-P (19 persen) juga lebih rendah dari RTM-L (25 persen).42

Kesenjangan gender dalam pengurangan RTM-P terutama terjadi di Pedesaan. RTM-P mengalami peningkatan angka kemiskinan sebesar 2.86, berbanding terbalik dengan RTM-L di pedesaan. Namun, berbeda dengan di pedesaan, RTM-P di perkotaan mengalami penurunan sebesar 2, berbanding terbalik dengan RTM-L yang mengalami penaikan dengan angka yang sama.

RTM-P lebih berkemungkinan dan lebih rentan untuk semakin jatuh miskin dibanding dengan RTM-L terutama jika terjadi guncangan. Beberapa kajian penting tentang kemiskinan dan dimensi gendernya seperti Narayan (2000) menunjukkan beberapa sebab yang membuat rumah tangga menjadi RTM-P. Perceraian, baik cerai mati maupun hidup, misalnya pada hakekatnya bermakna kehilangan salah satu atau bahkan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Meskipun umumnya RTM-P akan menemukan titik keseimbangan ekonomi mereka, akan ada masa-masa penyesuaian dimana RTM-P harus merealokasi sumber daya rumah tangganya dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Migrasi suami untuk mencari nafkah, baik bersifat musiman ataupun jangka waktu yang lebih panjang, juga sering memposisikan perempuan sebagai pencari nafkah satu-satunya karena kiriman yang tidak secara segera, sering, atau rutin datang atau bahkan sama sekali tidak pernah datang. Tidak bekerjanya suami karena sakit atau lain hal, juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab perempuan mengepalai rumah tangganya, meskipun secara sosial-budaya maupun legal laki-laki tetap diakui sebagai kepala rumah tangga. Data Susenas 2010, di kalangan RTM-P di tiga desil termiskin menunjukkan tingkat disabilitas dari pasangan berkisar 10 persen dan tingkat kesakitan berkisar 11 persen sedikit lebih tinggi dari RTM-L (TNP2K, 2012).

RTM-P lebih berkecenderungan untuk menggunakan strategi bertahan yang negatif dibanding RTM-L, seperti memperkerjakan anak-anak. Tahun 2009, angka anak miskin yang tidak bersekolah dan anak miskin yang bekerja untuk RTM-P lebih tinggi dibanding RTM-L, baik untuk perkotaan maupun pedesaan, di Indonesia. Secara umum di tingkat nasional, meskipun proporsi anak miskin tidak bersekolah adalah sama di RTM-P dan RTM-L yaitu 18 persen, proporsi anak miskin yang bekerja di RTM-P (9 persen) lebih tinggi dari RTM-L (7 persen). Data tersebut mengisyaratkan bahwa sebagian dari anak miskin yang tidak bersekolah dari RTM-P, masuk ke dunia kerja. Dibanding dengan RTM-L, dari sisi jenis pekerjaan kepala rumah tangga, RTM-P jauh lebih rentan dan berada di margin aktifitas ekonomi. Susenas 2009 menunjukkan bahwa mayoritas mereka adalah berusaha sendiri (38 persen) dan berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap (21 persen). Kebanyakan dari RTM-P tersebut berpenghasilan minim dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (BPS, 2010).

Berbagai skema perlindungan sosial bagi penduduk miskin seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM) cukup banyak membantu menguatkan rumah tangga miskin. Namun demikian, bagi RTM-P yang telah lanjut usia, program seperti PKH tidak dapat diakses, karena persyaratannya adalah terdapat 42 Data menggunakan Susenas tahun 2004-2009. Sumber: KPPA et al., Seri Kertas Kebijakan Gender dan Pembangunan, Kertas Kebijakan No 5, Kemiskinan, Kerentanan, dan Perlindungan Sosial, 2011.

ibu hamil atau menyusui dan/atau anak balita atau anak usia anak usia pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) dalam keluarganya.

Yang kemungkinan luput dari program penanggulangan kemiskinan adalah bantuan khusus bagi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga lanjut usia (RT-Lansia) dan/atau rumah tangga yang memiliki kepala keluarga atau anggota keluarga penyandang disabilitas (RTD). Prevalensi lanjut usia dan disabilitas pada RTM-P lebih tinggi dibandingkan pada RTM-L. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan karakteristik RTM-P 24 persen berusia di atas 60 tahun. Mempertimbangkan usia lanjut dari sebagian RTM-P dan prevalensi disabilitas pada RTM-P, maka pemerintah perlu menyediakan bantuan khusus bagi RTM-LS dan RTD, untuk membantu mengurangi beban keluarga-keluarga tersebut.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. TNP2K juga melaksanakan Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat yang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri terdiri dari 12 (duabelas) program penanggulangan kemiskinan sebagaimana tabel di bawah ini :

TABEL 17

Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri dan Penerima Manfaatnya

No Program Sasaran

1 PNPM Mandiri Perdesaan Kelompok Masyarakat Perdesaan 2 PNPM Mandiri Perkotaan Kelompok MasyarakatPerkotaan

3 PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (Berakhir Tahun 2012) Kelompok Masyarakat Pedalaman, Tertinggal dan Khusus (Bencana, Konflik dll) 4 Rural Infrastructur Support(RIS PNPM) Kelompok Masyarakat Perdesaan

5 PNPM Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Wilayah (PISEW) Kelompok Masyarakat Perdesaan

6 PNPM Peningkatan Usaha Agrobisnis Pertanian (PUAP) Kelompok Masyarakat Pertanian Perdesaan 7 PNPM Kelautan dan Perikanan (KP) Kelompok Masyarakat Pesisir dan Pelaut 8 PNPM Pariwisata Kelompok Masyarakat Perdesaan Potensial 9 PNPM Generasi Kelompok Masyarakat Perdesaan

10 PNPM Green Program (G-KDP)Kecamatan Development Kelompok Masyarakat Perdesaan

11 PNPM Neigbourhood Development (ND) Kelompok Masyarakat Perkotaan 12 PNPM Perumahan dan Permukiman Masyarakat Perdesaan da Perkotaan

GAMBAR 54

Pemanfaat PNPM Mandiri (2007-2012)

Sumber: Diolah dari data Dit. Penanggulangan Kemiskinan (Bappenas) yang disampaikan pada EGM 5 Juli 2013.

PNPM Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Wilayah (PISEW) lebih ke arah kegiatan infrastruktur sehingga kegiatan lebih mengarah kepada kegiatan padat karya produktif dengan pemanfaat laki-laki. Sedangkan Pemanfaat PNPM Generasi adalah perempuan dengan tujuan pemberdayaan demi menunjang pendidikan dan kesehatan bagi ibu dan anak dari rumah tangga miskin.

Umumnya program pemberdayaan masyarakat diakses dengan mengajukan proposal kegiatan. Kendala pertama yang harus ditangani adalah penduduk miskin umumnya berpendidikan rendah (SD), yang sudah tentu tidak mengenal metode penyusunan proposal. Salah satu ekses dari persyaratan pengajuan proposal untuk mengakses dana dari program pemberdayaan masyarakat adalah menjamurnya jasa pembuatan proposal di tingkat kecamatan dan bahkan di perdesaan. Oleh sebab itu, tantangan terkait pemberdayaan masyarakat miskin bukan hanya mengenai pembiayaan usaha ekonomi, namun juga mengenai identifikasi kebutuhan dan kapasitas, serta mengembangkannya menjadi proposal.

Kendala berikut adalah kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) dan/atau kartu keluarga (KK). Hasil kajian TNP2K (2012), dengan menggunakan data Susenas 2010, untuk tiga desil termiskin menunjukkan bahwa ketiadaan KTP di kalangan RTM-L berkisar 12 persen, sementara di kalangan RTM-P mencapai 21 persen. Berarti masih sekitar 33 persen RTM yang tidak dapat mengakses berbagai bantuan dan jaminan sosial. Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan untuk akses terhadap aset-aset penghidupan terutama aset finansial. Sebagian besar dari mereka adalah RTM-P. Tim Master Plan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) sedang melakukan pengkajian yang melihat aset-aset penghidupan dan hubungannya dengan ketimpangan gender dalam kemiskinan berdasarkan area/koridor kepulauan. Hasil dari kajian tersebut akan dirilis pada akhir tahun 2013.

KPP&PA telah melakukan proyek ujicoba terkait dengan pengembangan usaha rumahan sebagai alternatif peningkatan pendapatan rumah tangga miskin. Ujicoba tersebut dilakukan

di wilayah Kendal, Jawa Tengah yang merupakan daerah pengirim tenaga kerja yang cukup tinggi. Dari survei industri rumahan yang mendapat bantuan program pengembangan Koperasi dan Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (KUMKM), diketahui bahwa pelaku utama dari industi tersebut adalah perempuan dan program pengembangan usaha yang dilakukan terbukti dapat mengangkat dan meningkatkan pendapatan rumah tangga.

Pembelajaran terbaik (best practice) dalam mengupayakan pemberdayaan penduduk miskin adalah upaya yang dilakukan oleh Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) sejak tahun 2001 hingga kini dengan anggota tersebar di 495 Desa, 123 Kecamatan, 36 Kabupaten, dan 18 Provinsi. Program pemberdayaan yang diampuh PEKKA antara lain adalah pemberdayaan ekonomi dalam bentuk koperasi. Sepertiga dari anggota PEKKA hidup di bawah garis kemiskinan. Separuh dari anggota PEKKA tidak memiliki surat nikah, dan lebih dari separuh anak-anak anggotanya tidak memiliki akte kelahiran. Ketiadaan kartu pengenal menyulitkan mereka untuk mengakses bantuan langsung tunai (BLT) dan jaminan sosial lainnya. Sebagai penduduk miskin, mereka tidak ingin semakin miskin dengan meminjam dana dari orang lain, sehingga memilih untuk berkelompok dan memajukan kelompok mereka. Simpanan koperasi mereka bertumbuh 50 persen setiap tahunnya, penghasilan perhari anggota melalui usaha ekonomi koperasi meningkat hingga 24 persen. Pemberdayaan lain yang juga dilakukan oleh PEKKA adalah peningkatan kapasitas terkait informasi dan komunikasi, pendidikan bagi anak usia dini dan dewasa buta huruf, pengetahuan hukum, serta pelatihan kepemimpinan.

Di tingkat provinsi, Provinsi Papua sebenarnya memiliki program pemberdayaan untuk setiap kampung yang disebut Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Sekitar 15 persen dari dana RESPEK sebenarnya dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan baik untuk ekonomi maupun sosial termasuk kesehatan. Namun program RESPEK ini kurang disosialisasikan, terutama mengenai alokasi 15 persen untuk pemberdayaan perempuan. Sebagai akibatnya, umumnya dana 15 persen tidak terserap untuk pemberdayaan perempuan, dan bilapun diserap, hanya oleh kampung-kampung terdekat dari kota, serta teralihkan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur.

BAB X