ii. Pencapaian Pembangunan Ketenagakerjaan terkait Gender
B. Sektor informal
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tenaga kerja di sektor informal, perlu ditelaah terlebih dahulu berapa besar jumlah tenaga kerja dan berapa porsi sektor formal dan informal, berapa banyak laki-laki dan perempuan bekerja di sektor formal dan berapa banyak di sektor informal. Berikut adalah grafik mengenai jumlah pekerja untuk tahun 2010 dan 2012.
GAMBAR 29
Jumlah Pekerja Formal dan Informal menurut Jenis Kelamin (2010 dan 2012)
Sumber: Sakernas 2010, 201227
Dari grafik di atas, nampak bahwa sektor informal menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan. Pada tahun 2010, total jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai lebih dari 107 juta orang. Sekitar 71,3 juta bekerja di sektor informal. Pekerja laki-laki di sektor informal berjumlah sekitar 43,7 juta orang, sedangkan pekerja perempuan berjumlah sekitar 27,6 juta orang. Bila UU Ketenagakerjaan hanya melindungi pekerja formal, maka hanya sekitar 35,7 juta orang yang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Sisanya yang 2 kali lipat, yaitu 71,3 juta orang tidak terlindungi oleh negara.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah pekerja sektor informal jauh melebihi pekerja di sektor formal. Pekerja sektor informal paling diserap oleh pekerjaan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, perdagangan, industri pengolahan, dan rumah makan.
Permasalahan berikut dari sektor informal adalah rendahnya kualitas tenaga kerja. Lebih dari 70 persen pekerja sektor informal baik perempuan maupun laki-laki berpendidikan tamat SD atau lebih rendah. Dengan kualifikasi hanya tamat SD atau bahkan tidak tamat SD, kesempatan untuk meningkatkan posisi kerja mengecil, dan bahkan pilihan pekerjaan juga menjadi terbatas. Rendahnya daya saing yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya kualifikasi pendidikan non-formal pekerja sektor informal secara 27 diolah dari paparan Dit. Naker dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas)
umum, akan menempatkan mereka pada posisi yang sangat rentan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tantangan yang dihadapi dalam rangka mempersiapkan pekerja-pekerja sektor informal menghadapi persaingan dari negara-negara ASEAN adalah mengatasi keterbatasan jumlah dan ragam pendidikan non-formal yang tersedia di Indonesia, sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas dan daya saing pekerja sektor informal perempuan dan laki-laki Indonesia, termasuk para pekerja rumahan dan PRT.
Pekerja sektor informal yang belum memiliki pengalaman kerja sama sekali umumnya berawal pada posisi pekerja yang tidak dibayar. Setelah bekerja sebagai pekerja tidak dibayar beberapa waktu, bila dia tidak diberhentikan, maka dia kemungkinan diberi upah. Namun umumnya upah tersebut jauh dari upah minimum regional. Pekerja sektor informal tidak memiliki jaminan pekerjaan permanen, sehingga sangat rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Terlebih lagi, tidak ada peraturan yang mengharuskan pemberi kerja di sektor informal untuk menyediakan pesangon bagi pekerjanya yang diberhentikan. Hak-hak yang dinikmati oleh pekerja sektor formal, belum tentu dapat dinikmati oleh pekerja sektor informal, seperti hak cuti sehari saat haid setiap bulan, hak mendapatkan upah saat sakit, dan hak mendapatkan pekerjaan yang sama saat kembali bekerja setelah sakit. Pekerja sektor informal dapat kehilangan pekerjaannya sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan bahkan dapat kehilangan pekerjaannya saat jatuh sakit. Di Kalimantan Tengah, terjadi diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan di perkebunan-perkebunan, serta pelanggaran hak-hak reproduksi pekerja perempuan (tidak diberikannya cuti hamil dan haid).28
Jam kerja di sektor informal umumnya cukup tinggi. Suatu studi di Kab. Batang (tahun 2011) dengan menggunakan data dasar dari Sakernas 2011, menunjukkan bahwa pekerja sektor informal di Kab. Batang 61 persen bekerja lebih dari 35 jam per minggu. Namun yang bekerja di bawah jumlah jam kerja normal yaitu di bawah 35 jam per minggu juga cukup banyak, yaitu berkisar 34 persen.29 Studi lain terkait jam kerja pekerja sektor informal di Kota Medan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah jam kerja mencapai 45 jam per minggu.30
Terlebih lagi, sebagian pekerjaan sektor informal adalah pekerjaan yang sulit/berat (secara fisik), kotor, dan berbahaya. Para pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut seperti (pemulung sampah, kuli bangunan lepasan, penambang liar, dll.) tidak mempunyai jaminan kesehatan maupun jaminan keselamatan kerja. Dengan demikian, dengan upah yang sangat rendah, mereka mengambil resiko sangat besar bagi kesehatan dan keselamatan mereka.
28 Hasil Seminar Daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.
29 Analisis Pekerja Sektor Informal. Setiawan Budi Santoso. 2012
30 Sektor Informal Kota: Analisis Ekonomi Rumah Tangga Pekerja Sektor Informal di Kota Medan. Syafirah Zahrah.2003.
GAMBAR 30
Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Seminggu yang Lalu menurut Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin dan Sektor Pekerjaan, Tahun 2011
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2011
Di sektor informal ini terdapat juga pekerja rumahan (home-workers) yang seringkali tidak terdokumentasi dan tidak terhitung dalam statistik nasional dan daerah. Yang dimaksud dengan pekerja rumahan dalam kajian ini adalah orang yang melakukan kegiatan yang menguntungkan secara ekonomi di dalam rumah mereka atau di sekitarnya, tetapi tidak di kantor perusahaan/tempat majikan.31 Mereka umumnya perempuan, ibu rumah tangga yang menerima pekerjaan melalui perantara, baik secara individual maupun secara berkelompok kecil. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Pusat Kajian Wanita Universitas Brawijaya selama beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa pekerja rumahan umumnya dibayar di bawah upah minimum daerah, tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. Sistem pengupahan berdasarkan produksi, tanpa mempertimbangkan waktu yang diperlukan. Sebagai contoh, usaha garmen yang membutuhkan pemasangan payet yang rumit pada gaun. Untuk menyelesaikan satu gaun kemungkinan menghabiskan waktu 3-8 jam kerja, namun yang dihitung hanya jumlah gaun yang sudah diselesaikan. Pekerja rumahan umumnya tidak memiliki kontak langsung dengan pasar untuk barang yang mereka hasilkan, sehingga tidak mengetahui “nilai nyata” dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu mereka rentan terhadap ekploitasi. Terlebih lagi, pekerja rumahan tidak diakui sebagai pekerja oleh badan usaha yang menggunakan jasa mereka, bahkan oleh perantara.
Tantangan yang perlu diatasi adalah ketiadaan jejaring antara pekerja rumahan, terutama yang bekerja secara individual, sehingga tidak dapat menguatkan posisi tawar mereka terhadap perantara ataupun pemberi kerja. Saat ini pemerintah bekerjasama dengan ILO dan AusAID melakukan program percontohan Maju Perempuan Indonesia untuk Kesejahteraan dan Keadilan (MAMPU), yang salah kegiatannya mencakup upaya perbaikan kondisi kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja rumahan.
Di samping itu, masalah perlindungan terhadap hak-hak pekerja di rumah tangga juga perlu segera ditangani dengan lebih baik. Pekerja di rumah tangga, termasuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) memiliki hak-hak sebagaimana pekerja di sektor formal, antara lain 31 Konvensi ILO tahun 19(6 tentang Pekerja Rumahan (homeworkers)
adalah: hak untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan, hak cuti, hak untuk mengikuti Pemilihan Umum, dan hak untuk dilindungi dari berbagai tindak kekerasan. Tantangan terkait pekerja di rumah tangga adalah rendahnya pemahaman di tingkat keluarga atas hak-hak pekerja di rumah tangga dan hak-hak pemilik rumah tangga sebagai pemberi kerja.
Sektor informal banyak menampung pekerja yang tidak dibayar. Pekerja tidak dibayar ini sebagian besar perempuan. Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012, persentase pekerja perempuan tidak dibayar tidak mengalami banyak perubahan, masih terus berkisar pada 30 persen. Diperkirakan jumlah pekerja yang tidak dibayar lebih besar daripada yang tercatat pada statistik nasional, sebab belum mencakup pekerja yang bekerja kurang dari 5 hari berturut-turut.
GAMBAR 31
Persentase Pekerja yang Tidak Dibayar (unpaid worker)
Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun.
C. TKi informal
Terdapat sejumlah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Setiap tahunnya ratusan ribu TKI bekerja di berbagai negara. Sebagian dari TKI bekerja di sektor formal dan sebagiannya lagi di sektor informal. Sektor informal dalam hal ini umumnya adalah pekerja domestik. Bila melihat grafik di bawah, nampak bahwa pada tahun 2008 jumlah TKI sektor informal jauh lebih besar dibandingkan TKI sektor formal. Namun setelah tahun 2009, TKI sektor informal mulai menurun. Dari ratusan ribu TKI lebih dari separuhnya adalah TKI perempuan. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 76 persen TKI perempuan. Namun jumlah dan persentasenya menurun sejak tahun 2010, dan pada tahun 2012 TKI perempuan hanya 57 persen dari total TKI.
Pada tahun 2012, jumlah TKI sektor informal sudah lebih sedikit dibanding jumlah TKI sektor formal. Dari grafik persentase di bawah, terlihat lebih jelas mengenai rasio TKI di sektor informal dibandingkan sektor formal. Kebijakan pemerintah memperketat prosedur TKI sektor informal mendorong pada penurunan jumlah dan persentase TKI sektor informal. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan perlindungan bagi TKI sektor informal masih kurang, sehingga rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan di tempat TKI bekerja.
GAMBAR 32
Jumlah TKI Sektor Formal dan TKI Sektor Informal (2008-2012)
Sumber: BNP2TKI (laporan berbagai tahun)
GAMBAR 33
Persentase TKI Formal dan TKI Informal (2008-2012)
GAMBAR 34
Jumlah TKI Menurut Jenis Kelamin (2006-2012)
Sumber: Kemenakertrans dan BNP2TKI
Masalah terkait TKI, bermasalah dari hulu hingga hilir, dari prapenempatan, masa penempatan, hingga purnapenempatan (pemulangan). Menurut hasil survei TKI oleh Kementerian PP&PA, sekitar 75% TKI responden mendapatkan informasi mengenai pekerjaan dari calo/sponsor, sisanya 25 persen dari PPTKIS, dan tidak satupun responden yang mendapat informasi dari pemerintah setempat/dinas terkait.32 Idealnya pusat informasi mengenai pekerjaan berada di berbagai tempat, tidak harus berada di kota/kabupaten, tidak harus berada hanya di dinas ketenagakerjaan. Pusat informasi kesempatan kerja dapat juga ditempatkan pada kantor desa/kelurahan, dan sekolah menengah atas. Daerah pengirim TKI terbesar seperti Kab. Indramayu, Cilacap, Cirebon, Cianjur, Lombok Tengah dan Timur perlu memberikan perhatian khusus mengenai penyediaan informasi yang benar dan tepat di desa-desa asal sebagian besar TKI-nya.
Dari hasil survei yang sama juga ditemukan bahwa sekitar 55 persen TKI responden mendapatkan sumber pembiayaan keberangkatan dan pelatihan dari calo/sponsor. Hanya 8 persen TKI responden yang menggunakan jasa perbankan, dan sekitar 10 persen mendapatkan dari pinjaman perorangan dengan bunga tinggi. Rendahnya penggunaan jasa perbankan perlu dikaji lebih mendalam, apa yang menjadi kendalanya. Bila memungkinkan ada keringanan persyaratan perbankan bagi TKI perempuan, sebab kepemilikan aset maupun kemampuan finansial perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
TKI pada saat keberangkatan ada yang terkena pungutan di bandara, menurut sekitar 24 persen TKI responden. Kemudian, 90 persen responden menyatakan bahwa mereka dipungut biaya di bandara pada saat kembali ke Indonesia, dan dalam perjalanan menuju desanya. Namun data yang didapatkan tidak terpilah menurut jenis kelamin, sehingga tidak diketahui tepatnya apakah semua responden tersebut adalah perempuan atau ada responden laki-laki. Terlepas dari data yang tidak terpilah, dalam hal ini mekanisme pengamanan pemulangan TKI ke kampung halamannya yang selama ini diberikan pemerintah dapat dikatakan tidak efektif atau sangat rendah tingkat keefektifannya. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali dengan perspektif gender mengenai mekanisme dan pemilihan petugas pendamping TKI. 32 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2012 melakukan survei di 5 negara.
Data BNP2TKI tahun 2012 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen TKI yang umumnya perempuan hanya berpendidikan SMP atau SD. Dikombinasikan dengan lama latihan yang hanya sekitar 2 bulan, maka pilihan bentuk pekerjaan bagi mereka hanya pekerjaan fisik. Bagi TKI perempuan pilihan mereka semakin terbatas hanya pada pekerjaan domestik, yaitu penata laksana rumah tangga (PLRT). Dari data BNP2TKI sebagaimana terlihat pada tabel berikut, dari sejak tahun 2008 hingga 2012 sebagian besar TKI perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (housemaids, women workers, caretakers). Kemudian dikaitkan pada negara-negara terbanyak bermasalah, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, ada hambatan bahasa dan budaya yang besar. Budaya di negara-negara tersebut, posisi PLRT tidak berbeda dengan budak, yang berarti tidak memiliki hak apapun selain yang ditentukan oleh pemilik rumah. Oleh karena itu, resiko perlakuan salah menjadi lebih besar bagi TKI perempuan di negara-negara tersebut.
Terkait hambatan bahasa dan budaya, pelatihan dan pembekalan yang dipersyaratkan bagi pemberangkatan TKI menjadi sangat esensial. Masa pelatihan di BLK hanya 20 sampai dengan 60 hari. Pelatihan ini sudah mencakup keterampilan, bahasa dan budaya lokal tempat kerja. Masa pelatihan yang maksimal hanya 60 hari (umumnya kurang dari 2 bulan), tentu jauh dari memadai dalam membekali TKI. Pelajaran bahasa asing kurang dari 2 bulan sama sekali tidak akan optimal. Penguasaan bahasa yang rendah kemungkinan besar menjadi penyebab kesalahan komunikasi di tempat kerja, hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak pada TKI. Lebih jauh lagi, bila penguasaan bahasa lebih baik, TKI perempuan akan lebih bisa mengenali tanda-tanda awal perlakuan salah, terutama pelecehan dan penganiayaan verbal. Pembekalan mengenai budaya juga tidak kalah pentingnya, terutama bagi TKI perempuan yang akan mengalami banyak benturan sosial dalam bentuk perlakuan berbeda di negara tujuan.
TABEL 8
TKI Berdasarkan Jenis Pekerjaan (2007-2012)
No Jabatan Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah 1 House Maid 2.256 63.903 52.212 50.928 136.999 50.062 356.360 2 Women Worker 7.338 64.188 29.712 47.002 129.918 14.018 292.176 3 Care Taker 1.656 39.008 15.745 18.618 48.474 18.113 141.614 4 Operator 554 23.336 15.960 35.137 40.842 15.557 131.386 5 Plantation Worker 108 5.137 19.559 21.538 39.624 13.648 99.614 6 Worker (Man) 193 6.390 9.968 18.761 33.398 7.982 76.692 7 Labour 464 11.286 6.894 2.936 17.098 9.129 47.807 8 Housekeepers/PLRT 81 5.745 7.658 6.983 14.638 6.675 41.780 9 General Worker 18 3.272 4.153 9.028 8.366 3.343 28.180 10 Driver Automotive 368 2.526 1.674 3.499 11.809 2.184 22.060 11 Agricultural Labour 2 916 2.446 2.703 6.814 1.146 14.027
TABEL 9
Negara Terbanyak Penerima TKI Sektor Informal
No Negara TAHUN Jumlah
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Saudi Arabia 278.411 251.875 211.623 272.676 215.513 105.929 5.405 1.341.432
2 Malaysia 62.609 54.068 60.238 39.047 605 6.427 5.754 228.748
3 Taiwan 40.432 45.775 53.023 53.932 54.459 60.052 25.131 332.804
4 Singapore 28.117 37.373 21.767 33.072 39.520 38.131 19.472 217.452
5 United Emirate Arab 22.350 26.675 32.630 39.614 34.997 31.295 13.533 201.094
6 Hong Kong 19.092 29.968 30.199 32.412 33.235 48.264 17.912 211.082 7 Kuwait 24.551 25.588 26.251 22.894 109 871 581 100.845 8 Qatar 5.590 7.575 6.869 8.867 12.036 12.597 7.933 61.467 9 Yordania 10.512 12.050 9.722 10.920 5.556 90 22 48.872 10 Oman 5.147 7.136 7.633 9.660 8.849 5.978 3.327 47.730 Dari grafik di bawah ini, permasalahan yang paling sering muncul adalah PHK sepihak, kemudian majikan bermasalah, sakit akibat kerja. Walaupun dari segi persentase rendah, namun masalah gaji tidak dibayar, penganiayaan, dan pelecehan seksual justru sangat perlu menjadi perhatian pemerintah. Ketiga masalah ini merupakan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap TKI perempuan. Terlebih lagi penganiayaan dan pelecehan seksual berdampak permanen bagi TKI perempuan baik secara fisik maupun secara psikis.
GAMBAR 35
Persentase Lima Permasalahan Terbesar TKI, Tahun 2012
Moratorium (penghentian penempatan) TKI PLRT ke negara seperti Saudi Arabia, Malaysia, Yordania, Kuwait, dan Syria telah menyebabkan penurunan jumlah TKI pada tahun 2012 (dan 2013). Namun ternyata kebijakan ini masih kurang efektif bagi perlindungan beberapa TKI, yang mengalami transfer dari negara tetangga yang tidak ada moratorium kembali masuk ke negara yang telah ada moratorium. Transfer ini dilakukan secara ilegal, sehingga semakin membahayakan TKI, yang dapat masuk ke dalam kasus penyelundupan
manusia, bahkan perdagangan orang antarnegara. Data mengenai transfer ilegal ini belum diterima, dan tidak diketahui apakah TKI perempuan berada di antara yang ditransfer secara ilegal.
Dari segi tatalaksana pemerintah dalam penanganan masalah TKI juga masih terjadi tumpang-tindih. Masih terjadi kesalahpahaman terkait penanganan TKI bermasalah selama berada di luar negeri dan pemulangan dan penampungan setelah berada di dalam negeri, terutama tentang K/L mana yang berwenang dan bertanggung jawab. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PP&PA) yang secara mandat tupoksinya tidak melakukan kegiatan teknis, pada kenyataannya “mendapat mandat” untuk memberikan bantuan sosial bagi TKI perempuan yang bermasalah.
Selain masalah TKI itu sendiri, ternyata pengiriman TKI pun menimbulkan masalah lain di tingkat keluarga TKI yang ditinggalkan. Permasalahan yang sering timbul adalah disharmoni keluarga, termasuk perceraian. Bila TKI meninggalkan anak, maka pengasuhan anak seringkali menjadi terbengkalai, karena anak dititipkan pada anggota keluarga lain yang terkadang tidak dapat mengasuh dengan maksimal (kakek/nenek/suami yang juga bekerja, kerabat, dll.). Uang hasil kerja TKI yang dikirim ke kampung sebagian besar tidak dimanfaatkan untuk usaha ekonomi. Dari survei TKILN yang dilakukan KPP&PA (2012), hanya 12 persen dari responden yang menyatakan pengiriman uang pendapatan dimanfaatkan untuk usaha ekonomi. Sekitar 25 persen mengatakan uang pendapatannya dimanfaatkan untuk pendidikan anak, namun 63 persen responden menyatakan dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya (termasuk perbaikan rumah, bayar utang, dll.). Tantangan yang perlu diatasi ke depan adalah penanganan masalah dampak dari pengiriman TKI, dan sekaligus meningkatkan ketahanan keluarga TKI.