ii. Pencapaian Pembangunan Ketenagakerjaan terkait Gender
A. Sektor Formal
Melihat tabel Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin, dan mempertimbangkan Grafik di bawah ini, kondisi yang saat ini terjadi adalah rata-rata perempuan menunjukkan prestasi yang lebih baik bila dibandingkan laki-laki secara
akademis, akan tetapi jumlah perempuan yang masuk angkatan kerja dan yang bekerja jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dari tabel tersebut nampak bahwa pada tahun 2009, hanya sekitar 47 persen perempuan yang masuk angkatan kerja. Peningkatan terlihat pada tahun 2011, di mana terdapat lebih dari 52 persen perempuan masuk dalam angkatan kerja. Namun, tetap berarti bahwa sekitar 48 persen perempuan belum memanfaatkan ilmu dan kapasitasnya untuk pembangunan ekonomi secara langsung. Lebih lanjut, dapat dilihat pada tabel tersebut: pada tahun 2011, ada sekitar 36 persen perempuan yang memilih untuk mengurus rumah tangga (dapat diasumsikan sudah menikah), kemungkinan tidak bekerja ataupun tidak mencari kerja.
Hambatan masuk bagi perempuan yang sudah menikah untuk masuk ke dunia kerja berkaitan erat dengan fungsi reproduksi perempuan. Perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak tentu berharap dapat terus menjaga kesehatan reproduksinya. Kendala pertama yang perlu ditangani adalah masalah cuti melahirkan yang maksimal hanya 3 bulan. Dari perspektif kesehatan reproduksi, cuti melahirkan sebaiknya 1 bulan sebelum perkiraan masa melahirkan dan 6 bulan setelah melahirkan. Namun, dari perspektif ekonomi, perusahaan akan sulit menerapkan cuti sepanjang 7 bulan. Permasalahan berikut adalah masih sangat terbatasnya sarana dan prasarana terkait kesehatan reproduksi di tempat kerja. Umumnya hanya instansi pemerintah dan badan usaha yang berskala besar saja yang kemungkinan memberikan perhatian dan menyediakan sarana dan prasarana kesehatan reproduksi tersebut. Di samping itu, faktor pendorong perempuan yang sudah menikah untuk tidak masuk ke dunia kerja adalah kekhawatiran pengasuhan anak menjadi terbengkalai bila perhatian dan waktu tersita oleh pekerjaan. Kekuatiran ini cukup beralasan, mengingat fakta menunjukkan masih sangat terbatasnya ketersediaan layanan pengasuhan anak di lingkungan kerja.
Tantangan di sektor formal ketenagakerjaan adalah bahwa umumnya perusahaan, bahkan juga instansi pemerintah belum memahami bahwa pemenuhan hak kesehatan reproduksi pekerja/pegawai perempuan adalah merupakan kewajiban dari perusahaan dan instansi pemerintah. Dasar hukum mengenai hak kesehatan reproduksi sudah termuat di dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah, antara lain adalah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 36 tahun 2010 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian ASI Ekslusif. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bentuk insentif yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan.
Masih terkait hambatan masuk dalam pasar kerja, rekrutmen bagi penyandang disabilitas dalam pasar kerja bisa dikatakan nihil, karena masih jauh dari kuota 1 orang per 100 tenaga kerja dalam 1 perusahaan.25 Pekerja penyandang disabilitas lebih sering dianggap tidak memiliki kemampuan (under-estimated), sehingga bentuk pekerjaan yang diberikan pun tidak mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensinya. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, terlebih lagi bagi perempuan penyandang disabilitas masih menjadi hambatan masuk yang tinggi dan kokoh. Kebijakan pemerintah belum juga tercermin di dalam sistem rekrutmen pegawai negeri sipil baik di tingkat nasional maupun daerah. Persyaratan sehat jasmani dan rohani, masih diartikan tidak menyandang disabilitas. Umumnya instansi pemerintah belum memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas perempuan dan laki-laki untuk mengikuti seleksi rekrutmen. Tantangan ke depan terkait 25 SE Menakertrans 01/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Kecacatan di Perusahaan.
penghapusan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah bagaimana menurunkan hambatan masuk terhadap penyandang disabilitas agar bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan calon pekerja lainnya. Tantangan ini perlu dihadapi pertama-tama oleh pemerintah tingkat nasional dan daerah, dengan kebijakan afirmatif dalam penerimaan pegawai negeri sipil.
Permasalahan bidang ketenagakerjaan di sektor formal selain pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi, juga terdapatnya kesenjangan gender dalam hal alokasi jam kerja yang berkait erat dengan besaran upah/gaji yang diterimakan. Rata-rata jam kerja pekerja laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Kondisi ini menurun pada tahun 2011 dan bertahan pada tahun 2012. Kemudian, upah pekerja laki-laki masih lebih tinggi dibandingkan perempuan baik dari besaran upah maupun persentase tingkat upah. Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama tiga tahun terakhir. Indonesia telah menandatangani Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kebijakan pengupahan agar baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan upah secara adil, dan untuk pekerjaan yang sama atau setara tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Permasalahan upah yang berbeda antara pekerja laki-laki dan perempuan, merupakan akibat dari pemahaman yang kurang tepat mengenai sistem pengupahan yang kadang dikaitkan dengan status kawin. Upah/gaji semestinya hanya terkait dengan kualifikasi, produktivitas, dan kualitas kerja dari pekerja, sedangkan status kawin pekerja hanya terkait dengan tunjangan.
GAMBAR 25
Rata-rata Upah/Gaji Bersih (Rupiah) Buruh/Karyawan/Pegawai Selama Sebulan menurut Jenis Kelamin, 2005-2012
GAMBAR 26
Rata-rata Lama Jam Kerja Menurut Jenis Kelamin (2010-2012)
GAMBAR 27
Tingkat Upah (%) Menurut Jenis Kelamin (2010-2012)
Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperluas sektor formal ketenagakerjaan adalah dengan menerapkan strategi perluasan kesempatan kerja di sektor formal. Kebijakan yang diterapkan dalam rangka pelaksanaan strategi ini adalah fleksibilitas dan desentralisasi. Kebijakan fleksibilitas hanya akan menjadi kesempatan yang menguntungkan bagi pekerja terampil (skilled-workers). Padahal pekerja di sektor informal baik laki-laki dan terutama perempuan, sebagian besar tidak terampil dan berpendidikan rendah. Kebijakan fleksibilitas juga disinyalir telah mengubah status kerja yang seharusnya permanen menjadi temporer, yang seharusnya sebagai staf pekerja pada perusahaan, menjadi non-staf. Dengan sistem kerja kontrak dan pihak-ketiga (out-sourcing) pekerja menjadi tidak memiliki karir yang dapat dibangun, dan remunerasi untuk hasil kerja yang bagus. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa kontrak kerja akan diperpanjang, sehingga meningkatkan kerentanan finansial pekerja. Dengan demikian sektor formal menyerap karakteristik sektor informal, yaitu non-permanen, pekerja lepas, dan kerentanan finansial. Dengan kata lain, fleksibilitas justru menyebabkan informalisasi pada sektor formal. Kebijakan fleksibilitas ini diterapkan tidak hanya pada dunia usaha/swasta, namun juga pada badan pemerintahan.
Akan halnya kebijakan desentralisasi, dianggap kurang mendorong perbaikan sektor formal, karena tidak diikuti dengan perbaikan sistem pengawasan. Kelemahan ini berdampak pada meningkatnya sistem percaloan tenaga kerja, yang semakin menempatkan perempuan pencari kerja pada posisi yang rentan.
Di samping itu, dalam hal perlindungan terhadap pekerja perempuan baik dalam hal keselamatan saat bekerja, maupun dalam hal pemenuhan hak-hak reproduksi pekerja perempuan masih belum terlindungi. Data kualitatif dari suatu studi persepsi pekerja pada tahun 2011 menemukan bahwa responden pekerja tidak menganggap pemerintah mendiskriminasikan pekerja berdasarkan jenis kelamin. Namun, sebaliknya perusahaan/ badan usaha yang dianggap telah melakukan diskriminasi pekerja berdasarkan jenis kelamin.26
Dari studi tersebut, ditemukan pula bahwa dari 10 faktor diskriminasi, 5 di antaranya (usia, kondisi kehamilan, kondisi fisik, status pernikahan, dan jenis kelamin) berkaitan dengan persepsi gender (gender-related). Perempuan akan terdiskriminasi dalam hal usia, sebab adanya fungsi reproduksi yang harus dijalani yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak (child-rearing) sebelum anak memasuki usia sekolah. Secara alami, perempuan akan memasuki dunia kerja setelah melewati usia 25 tahun. Sedangkan kebanyakan perusahaan menetapkan usia penerimaan pekerja berkisar 20-25 tahun.
GAMBAR 28
Persepsi Pekerja tentang Diskriminasi di Perusahaan
Sumber: Studi Persepsi Pekerja. ILO, AKATIGA, KSPSI, KSBSI, dan KSPI, 2011
Kondisi kehamilan seharusnya sudah tidak menjadi penyebab PHK ataupun perlakuan diskriminatif oleh perusahaan, dengan adanya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya, pekerja perempuan yang hamil masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Terkadang perlakuan diskriminatif dilakukan secara terselubung dengan tidak memperpanjang kontrak kerja. Status pernikahan dan apalagi jenis kelamin seharusnya tidak menjadi penyebab perlakuan diskriminatif oleh perusahaan. Namun, perusahaan lagi-lagi lebih mengutamakan perempuan yang belum menikah, dengan alasan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang telah menikah. Alasan preferensi perusahaan terhadap status lajang pekerja antara lain adalah: tidak perlu ada cuti hamil dan melahirkan, 26 Studi Persepsi Pekerja. ILO, AKATIGA, KSPSI, KSBSI, dan KSPI, 2011
tidak banyak mengajukan izin terkait masalah keluarga, dan mobilitas lebih tinggi (dapat ditempatkan di manapun) dibandingkan perempuan yang telah menikah.
Dari hasil seminar daerah di Provinsi Papua, permasalahan terbesar yang dihadapi di Papua terkait kesukuan, yaitu tingginya hambatan masuk ketenagakerjaan bagi penduduk asli Papua. Perekrutan tenaga kerja di instansi pemerintah daerah maupun perusahaan swasta masih sulit ditembus oleh penduduk asli Papua. Dengan rata-rata lama sekolah antara 2-6,1 tahun, kualifikasi penduduk asli Papua tentu termasuk rendah. Terlebih lagi kesempatan dan pilihan pendidikan non-formal di Papua masih sangat terbatas, maka secara umum penduduk asli Papua memiliki akses yang tidak sama dengan penduduk pendatang yang secara umum memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi lebih tinggi. Perempuan Papua lebih sulit lagi menembus hambatan masuk tersebut, dengan pendidikan dan kompetensi yang sama dengan penduduk asli laki-laki, penduduk asli perempuan Papua tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi untuk jabatan-jabatan strategis. Oleh sebab itu, bukan hanya kesempatan dalam proses seleksi yang diberikan pada penduduk asli Papua, terutama perempuan Papua, namun juga dalam hal penjenjangan karir. Bila kapasitas belum memadai, maka diperlukan kebijakan afirmatif untuk program peningkatan kapasitas pekerja penduduk asli Papua, terutama perempuan Papua.
Selain hambatan masuk, alokasi jam kerja dan upah, serta perlindungan dari tindakan diskriminatif di tempat kerja, permasalahan ketenagakerjaan di sektor formal yang paling urgen untuk segera diatasi adalah masih rendahnya kualitas dan kompetensi pekerja perempuan dibandingkan pekerja laki-laki. Dikatakan urgen karena dalam waktu kurang dari 2 tahun (tahun 2015) Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah mulai diberlakukan. Pekerja-pekerja formal Indonesia secara umum lebih rendah kualifikasinya dan kompetensinya dibandingan pekerja-pekerja sektor formal negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Pengangguran di negara-negara tersebut, umumnya berpendidikan terendah tamatan SMA dan S1. Pekerja formal dan pengangguran dari negara-negara tersebut umumnya menguasai bahasa Inggris. Bahkan di Thailand sudah ditambahkan dengan kemampuan bahasa dari salah satu negara ASEAN. Dengan kata lain, tantangan yang dihadapi adalah peningkatan kapasitas pekerja sektor formal Indonesia baik perempuan maupun laki-laki untuk siap bersaing memasuki era MEA pada tahun 2015. Secara alamiah, perempuan memiliki artikulasi yang lebih tinggi dan minat terhadap linguistik yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai potensi pekerja perempuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa asingnya, terutama bahasa Inggris dan bahasa negara ASEAN lainnya.
Perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja dari kekerasan dan pelecehan seksual masih perlu ditingkatkan. Data dari KPPPA menunjukkan bahwa dari kasus kekerasan yang diterima pada tahun 2011, 10 persen kasus kekerasan terjadi di tempat kerja. Sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 76 ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 berhak mendapatkan fasilitas angkutan/transportasi antar-jemput bagi yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d 05.00. Namun, pada kenyataannya, pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 tidak selalu disediakan angkutan antar-jemput, sehingga mereka menanggung resiko rawan terhadap tindak kekerasan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penerapan perlindungan pekerja perempuan yang saat ini belum berjalan secara optimal perlu ditingkatkan.