• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANG ISLAM

DAN BUDAYA MODERAT

Suwito, Abdul Gani Abdullah, dkk

(2)

Judul

Pengembang Islam dan Budaya Moderat

Penulis Suwito, dkk

xxii + 222 hlm.; ukuran buku 18,4 x 21 cm

ISBN 978-602-7775-55-8

Cetakan pertama, September 2016

© Hak Cipta milik para penulis, 2016

Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.

Artikel yang ada di dalam buku ini boleh dikutif dengan mencantumkan sumber secara lengkap.

Young Progressive Muslim http://www.ypm-publishing.com

(3)

SAMBUTAN REKTOR

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan UIN Syarif Hidayatllah, Jakarta. Betapa tidak, beliau adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al hadis menjadi tariqah ahlu al-Ra’yi bahkan tariqah al jam’an (aliran konvergensi yang mencoba memadukan antara dua aliran ahlu hadis dan ahlu al-ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan pemikiran, dianalisis dan disimpulkan. Dengan demikian, para mahasiswa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan kritik terhadap berbagai pemikiran dan implementasi keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka terhantarkan untuk menjadi orang-orang terbuka dengan perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam keragaman, dengan tetap memiliki satu keyakinan akan kebenaran yang dianut mereka.

Sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayataaullah, Jakarta, sehingga mereka bisa diterima dalam berbagai profesi, baik inline

(4)

Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Reformasi lain yang beliau lakukan selama menjadi Rektor IAIN adalah melakukan pengiriman para alumni dan dosen muda untuk kuliah jenjang Magister dan Doktor di berbagai universitas di Amerika dan Eropa (khususnya di negara-negara yang memiliki tradisi studi Islam dengan baik), suplementasi terhadap tradisi pengiriman para mahasiswa ke berbagai universitas di Timur Tengah. Beliau selalu mengatakan, bahwa kekuatan kajian di berbagai universitas di negara-negara Barat adalah metodologi, walaupun dalam aspek konten keilmuannya lemah dibanding dengan program magister dan doktor di berbagai universitas di Timur Tengah. Dan kini UIN memiliki banyak doktor studi Islam, dan bahkan dalam bidang sosial serta humaniora, keluaran berbagai perguruan tinggi ternama di negara-negara Barat. Interaksi mereka dengan para magister dan doktor dari Timur tengah, dan berbagai universitas dalam negeri, telah mengangkat citra kampus UIN sebagai kampus yang memiliki dinamika akademis tinggi, apalagi dengan publikasinya yang telah mengejutkan masyarakat akademis, khususnya di Indonesia.

(5)

sangat baik. Dengan demikian, para mahasiswa yang berjumpa langsung, memiliki kesan positif tentang guru besar ini, dan jauh dari kesan sekuler serta mengabaikan ritual keagamaan.

Pada tahun 1982, beliau memulai mendirikan Program Pascasarjana, sebagai kelanjutan dari program pendidikan Purna Sarjana yang menjadi kebanggaan PTAIN pada dekade 1970-an. Program Pascasarjana berjenjang pendidikan Magister dan Doktor tersebut menerima para dosen yang sudah diangkat IAIN dengan bekal pendidikan sarjana, para dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Memang kesempatan pendidikan luar negeri sudah terbuka, dan akses kesempatan terbuka bagi banyak orang. Tapi tidak semua dosen berkesempatan baik, karena informasi yang masih susah terakses, basis kemampuan Bahasa (Arab dan Inggris) yang belum merata dan sistem serta mekanismenya masih agak rumit, sehingga pada dekade 1980-an, arus pendidikan luar negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian, para dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memilih untuk mengambil pendidikan magister dan doktor di dalam negeri yang pada tahap awal hanya diselenggarakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Keduanya kini sudah bertransformasi menjadi UIN sejak tahun 2002 dan 2004, bahkan sudah diikuti oleh sembilan IAIN lainnya). Kedua Program Pascasarjana (PPs) tersebut sangat dipengaruhi oleh cara berfikir beliau, dan bahkan beliau sendiri mengajar di dua institusi tersebut. Dengan demikian, sampai dekade awal abad ke-21 ini, hampir seluruh UIN dan IAIN, dan bahkan STAIN, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir keagamaan yang dibangun oleh beliau.

(6)

pendidikan keagamaan Islam, dan bahkan beliau bersama para tokoh generasi awal menyuarakan serta memperjuangkan kajian keilmuan non dikotomis, dengan usulan pengembangan institusi PTAI menjadi sebuah perguruan tinggi yang memiliki kewenangan mengelola ilmu-ilmu non keagamaan. Dengan demikian, gerakan transformasi IAIN menjadi UIN merupakan kelanjutan dari wacana keilmuan yang sudah beliau suarakan sejak awal, ketika akan memastikan domain kewenangan keilmuan yang akan dikelola oleh IAIN, agar diapresiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri sangat berbangga memiliki sosok tokoh besar Pak Harun. Maka wajar kalau auditorium terbesar tempat seminar, international conference, pengukuhan guru besar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, dan venue di mana para ilmuwan dalam dan luar negeri memaparkan hasil-hasil penelitiannya, dinamai Auditorium Harun Nasution. Sekedar untuk mengenang kebesaran peran sejarah beliau untuk kemajuan akademik dan keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami sendiri menyadari bahwa Pak Harun bukan hanya milik UIN Jakarta, tapi miliki semua PTAI N/S dengan karya-karyanya yang sampai sekarang masih tetap setia untuk digunakan sebagai buku teks keagamaan. Tetapi para murid beliau memang lebih banyak berada di UIN Jakarta, dan wajar pulalah, jika kini UIN sedang memperkuat eksposing Islam moderat, inklusif dan toleran, mengenang kembali kehadiran sosok Pak Harun dengan berbagai peran intelektualisme dan gerakan kulturalnya.

(7)

masih berada dan eksis baik dalam tugas mengajar, melakukan penelitian dan bahkan publikasi karya-karya akademik mereka, dengan menyampaikan perasaan, serta kesan-kesan manis bersama Pak Harun, baik di dalam kelas, di rumah, maupun dalam even-even lain yang telah menghantarkan kita dan mereka semua menjadi intelektual produktif dan diapresiasi positif oleh masyarakat.

Kepada para penggagas, para penulis dan editor, dan seluruh yang terlibat dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih, mudah-mudahan menjadi legacy dan sumber informasi berharga bagi para akademisi generasi ketiga dari Pak Harun, yang sampai sekarang masih secara konsisten memahami, serta menggunakan paradigma akademik Islam rasional dan gerakan modernisme, dalam mengusung Islam moderat yang menghargai keragaman aliran dan pandangan keagamaan. Inilah hasil nyata sebuah pendekatan kajian Islam empirik yang dilakukan Pak Harun. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 26 September 2016. Rektor,

(8)
(9)

HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM DAN BUDAYA MODERAT

Pengantar Penerbitan

Bagi orang yang tidak pernah menjadi murid atau mendengar pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Pak Harun), atau kurang mantap membaca komentar para penulis tentang dia maka sebaiknya membaca langsung karya-karyanya. Karya-karya Pak Harun enak dibaca dan perlu, meminjam istilah Tempo. Enak dibaca karena buku karya Pak Harun menggunakan bahasa Indonesia yang fasih dan simpel sehingga pada setiap buku, jumlah halamannya tidak banyak dan tidak tebal. Perlu, karena isi bukunya mengenai nilai-nilai dasar Islam. Selain ada dalil-dalil al-Quran dan Hadis, karya Pak Harun banyak menyajikan tentang Islam yang terjadi, baik yang ada dalam pemikiran para tokoh maupun yang terjadi dalam sejarah.

Buku karya Pak Harun antara lain sebagai berikut:

1. Falsafat Agama. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh penerbit Bulan Bintang. Buku ini terdiri atas 5 Bagian. Bagian 1 tentang Falsafat Agama, Epistemologi, dan Wahyu. Bagian 2 tentang Ketuhanan. Bagian 3 Argumen-argumen Adanya Tuhan. Bagian 4 tentang Roh. Bagian 5 tentang Soal Kejahatan dan Kemutlakan Tuhan.

(10)

Buku jilid II terbit pertama kali tahun 1974 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku Jilid II ini terdiri atas 5 Bab disertai dengan Penutup. Buku yang dimulai dari Bab VII ini berisi Aspek Hukum, Bab VIII Aspek Teologi, Bab IX Aspek Filsafat, Bab X Aspek Misticisme, Bab XI Aspek Pembaharuan Dalam Islam, Penutup, dan disertasi Daftar Nama-nama Istilah, sebanyak 120 halaman.

Pak Harun dalam kata penutup pada buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ini memberikan catatan bahwa ruang lingkup Islam tidaklah sempit malahan luas sekali. Ia antara lain menyebutkan bahwa kalau disebut Islam maka yang dimaksud bukan hanya ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak. Islam lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, falsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.

Selanjutnya, Pak Harun juga menyatakan bahwa penafsiran-penafsiran yang ada dalam Islam lahir sesuai dengan suasana masyarakat yang ada di tempat dan zaman itu muncul. Zaman terus menerus membawa perobahan pada suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran di zaman tertentu, belum tentu sesuai untuk zaman lain.

(11)

Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini sebagai berikut. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Quran sendiri. Pak Harun pada akhir buku ini menyatakan bahwa pemakaian akal diperintahkan al-Quran seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kawniah mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dengan pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat manusia menjadi khalifah di bumi.

4. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

(12)

Penutup, Daftar Pustaka, dan Indeks. Total halaman buku ini 213.

Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini antara lain dengan menyatakan bahwa para tokoh muslim baru sadar akan kelemahan dan kemunduran umat Islam timbul setelah adanya kontak dengan Barat di abad 18 dan 19. Adanya kontak tersebut membuat para pemimpin mengadakan perbandingan antara dunia Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang menaik. Kesadaran bertambah besar lagi setelah beberapa Negara Islam dapat ditundukkan Barat.

Pak Harun juga menyatakan bahwa orientasi keakhiratan umat Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan sehingga umat Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai halnya dengan umat-umat lain. Pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengatahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. Akhirnya, Pak Harun menyatakan bahwa Islam tidak menghalangi pembaharuan yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.

(13)

Krtitik terhadap Filosof-filosof, Tiga Golongan Manusia, Abu al-Walid Muhammad ibnu Muhammad ibn Rusyd: Falsafat Tidak Bertentangan dengan Islam, dan Pembelaan terhadap Filosof-filosof. Bagian Kedua Mistisisme dalam Islam – Tasawuf. Terdiri atas: Asal Usul Tasawuf: Hakikat Tasawuf, Asal Kata Sufi, Asal Usul Aliran Sufisme, Jalan untuk Dekat kepada Tuhan, Azuhd dan Stasiun-stasiun lain, Mahabbah, Al-Ma’rifah, Al-Fana’ dan Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul, dan Wahdatul Wujud, dilengkapi dengan Bibliografi dan indeks. Jumlah halaman buku ini adalah 85.

6. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1972 dan Cetakan II nya diterbitkan oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Buku ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. Mulyanto Sumardi, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama tanggal 30 November 1972. Buku ini diberikan Kata Pengantar oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Guru Besar Hukum dan Institusi Islam UI dan Ketua Islam Studi Club Indonesia tanggal 27 Oktober 1972.

Buku ini terdiri atas 2 bagian. Bagian Pertama berisi kajian tentang Aliran-aliran dan Sejarah yang terdiri atas 6 Bab. Bab I Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam, Bab II Kaum Khawarij, Bab III Kaum Murjiah, Bab IV Qadariah dan jabariah, Bab V Kaum Mu’tazilah, dan Bab VI Ahli Sunna dan Jamaah.Bagian Kedua analisa dan Perbandingan, terdiri atas Bab VII sampai dengan Bab XV. Bab VII Akal dan Wahyu, Bab VIII Fungsi Wahyu, Bab IX Free Will dan Predestination, Bab X Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan, Bab XI Keadilan Tuhan, Bab XII Perbuatan-perbuatan Tuhan, Bab XIII Sifat-sifat Tuhan, Bab XIV Konsep Iman, dan Bab XV Kesimpulan.

Pak Harun dalam buku ini memberikan catatan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariy, Maturidiah, apalagi

(14)

menyelesaikan persoalam-persoalan teologi yang timbul dalam umat Islam. Semua aliran teologi tersebut berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks-teks ayat-ayat al-Quran dan Hadis. Pada hakekatnya, semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut.

7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Buku ini terbit pertama kali tahun 2006 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Buku ini merupakan tesis Ph.D yang diselesaikan pada bulan Maret 1968 di Universitas Mc.Gill, Montreal Canada. Tesis ini judul aslinya adalah The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem Pendapat-pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan 14 tahun sejak dihasilkan. Tentang alasan mengapa hal ini terjadi dapat dibaca langsung pada Pengantar buku ini.

Pak Harun memberikan catatan hasil penelitiannya ini dengan menyatakan bahwa pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh di Mesir sehingga menimbulkan para tokoh seperti Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Rasyid Rida, dan lainnya tetapi di Indonesia kurang berpengaruh. Pengaruhnya di Indonesia tidak menimbulkan para pemikir ulung dalam bidang agama Islam sebagaimana halnya di Mesir.

(15)

sejarah. Pemilihan paham atau pendapat mana yang diikuti dipersilakan kepada para pembaca masing-masing dengan menggunakan daya pikir dan perasaannya. Menurutnya, selagi tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis yang dipercaya maka semuanya termasuk dalam kategori muslim. Pak Harun tidak suka menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengan pemikirannya. Dalam beberapa kesempatan jika ada orang yang suka mengkafirkan orang lain maka ia selalu mengingatkan bahwa bisa jadi ia sendiri kafir. Intinya, dia tidak suka mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan pendapatnya.

(16)

September 2016). Oleh sebab itu, disampaikan ucapan banyak terima kasih kepada kawan-kawan yang sempat memberikan komentarnya dalam buku ini. Mereka adalah:

1. Salman Harun (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

2. Jamali Sahrodi (Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon),

3. Nyimas Anisah Muhammad (Dosen dan pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang),

4. Fauzul Iman (Guru Besar dan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten),

5. Rusjdi Ali Muhammad (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta Direktur Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh),

6. Amsal Bakhtiar (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI),

7. Iskandar Usman (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Adminsitrasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh), 8. Nabilah Lubis (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan

Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

9. Yunasril Ali (Guru Besar dan Ketua Senat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Ketua STAIN Kerinci),

10. Jalaluddin (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Raden Fatah Palembang),

(17)

12. Achmad Syahid (Dosen dan pernah menjadi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

13. M. Ridwan Lubis (Guru Besar dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pernah menjadi Kapuslitbang Kehidupan Beragama Balitbang Departemen Agama RI),

14. M. Qasim Mathar (Guru Besar dan pernah menjadi pimpinan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar),

15. Abdul Khamid (Pernah menjadi staf di Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Kementerian Agama RI dan dosen dpk. STAI al-Hamidiyah Depok),

16. Abuddin Nata (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

17. Suwito (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan

18. Abdul Gani Abdullah (Guru Besar/Dosen pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung RI).

Semoga upaya ini bermanfaat bagi para pembaca. Dengan terbitnya buku ini, secara khusus, ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, murid Prof. Harun Nasution dan pensiunan Hakim Agung RI yang telah mensponsori biaya penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah yang berlimpah atas kebaikannya. Amin.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR ... iii HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM

DAN BUDAYA MODERAT, Pengantar Penerbitan ... ix DAFTAR ISI ... xix

BAGIAN I

BAPAK DAN GURU SEJATI

HARUN NASUTION GURU SEJATI

Salman Harun ... 3

PROF. DR. HARUN NASUTION: SOSOK PENDIDIK DAN BAPAK

Jalaluddin ... 7

PROF.DR. HARUN NASUTION: SOSOK DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWAB DIA GURUKU, PROMOTORKU, BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU

Nyimas Anisah Muhammad ... 17

PROF. HARUN NASUTION, INTELEKTUAL-MUMTAZ YANG KONSISTEN

Fauzul Iman. ... 41

PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN

Rusjdi Ali Muhammad ... 47

(20)

PROF. DR. HARUN NASUTION SEBAGAI AYAHDAN GURU

Nabilah Lubis ... 67

BAGIAN II

PEMIKIR RASIONAL ISLAM

HARUN NASUTION: TEGUH DENGAN RASIONALITAS DAMAI DALAM SPIRITUALITAS

Yunasril Ali ... 77

KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION: ANTARA KEDISIPLINAN DAN KEDERMAWANAN

TERPADU

Jamali Sahrodi ... 87

HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH

Yusuf Rahman ... 99

HARUN NASUTION: DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH

Achmad Syahid ... 125

PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU

Amsal Bakhtiar ... 145

BAGIAN III

PENDIRI PASCASARJANA STUDI ISLAM

REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI PROF. DR. HARUN NASUTION DI INDONESIA

(21)

PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA

M. Qasim Mathar ... 171

KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN KUALITAS PTAI DI INDONESIA

Abdul Khamid ... 175

PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION

Abuddin Nata... 187

BINTANG MAHAPUTRA UTAMA BUAT PROF. DR. HARUN NASUTION

Suwito ... 209

REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP HUKUM

Abdul Gani Abdullah ... 215

(22)
(23)

BAGIAN I

(24)
(25)

HARUN NASUTION GURU SEJATI

Salman Harun

Saya merasakan Pak Harun Nasution seorang yang paling mempengaruhi jalan hidup saya. Saya mulai mengenal beliau ketika saya masuk tingkat doktoral Jurusan bahasa Arab IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1969. Beliau baru kembali dari Kanada, dan kami, bila tidak salah, adalah murid pertama yang diajar beliau. Pada waktu itulah saya mengenal diskusi sebagai metode pendidikan dan pengajaran. Beliau memberikan pengantar perkuliahan selama lebih kurang lima belas menit, kemudian didiskusikan (tidak sistem makalah seperti yang diterapkan sekarang di S-1, makalah baru diterapkan di S-2 dan S-3).

Diskusi diisi dengan tanya jawab. Beliau memberikan kesempataan yang seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk bertanya, yang kemudian dijawab oleh beliau. Jawaban yang beliau berikan sangat memuaskan. Pertama, karena argumen yang beliau sampaikan sangat kuat. Kedua, cara beliau menjawab sangat memikat. Ketiga, penampilan beliau yang betul-betul mencirikan a real professor, dengan kepala botaknya itu (pada waktu itu dosen yang bergelar professor baru Prof. Bustami Abdul Ghani, yang merupakan dosen langsung saya, Prof. Sunarjo, dan Prof. Thaha Yahya Umar, semuanya tidak berkepala botak mengkilat seperti Pak Harun). Semuanya itu setidaknya merupakan di antara banyak faktor yang membuat kuliah Pak Harun sangat mengesankan. Itu saya rasakan mempengaruhi sekali sikap hidup saya dalam mencinta ilmu dan berdaya kritis dan obyektif dalam taraf tertentu. Ketiga faktor itu saya rasakan telah menentukan jalan hidup saya selanjutnya.

(26)

IAIN ini (dekan: Drs. Muhsin Idham, alm.). Diangkatnya saya langsung menjadi dosen itu saya nilai tidak terlepas kaitannya dengan kedekatan saya dengan beliau dalam diskusi-diskusi ilmiah. Kemudian saya terpilih di antara dosen-dosen perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan dan Departemen Agama untuk mengikuti Penataran Penterjemah pada tahun 1978, beliau senang. Apalagi ketika saya diterima mengikuti Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1983, tempat kedua yang saya rasakan telah menanamkan cinta ilmu dan daya kritis dan obyektif yang lebih dalam dalam diri saya. Kembali dari latihan penelitian itu beliau membentuk Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, dan mengangkat saya sebagai Sekretaris (Ketua: Prof. Mastuhu, alm.). Dengan demikian beliau bermaksud agar bawahan/muridnya lebih maju lagi dalam dunia ilmiah.

Dengan modal cinta ilmu dan daya kritis dan obyektif yang telah beliau tanamkan itu saya dapat meniti karir akademik berikutnya. Pada tahun 1983 saya diterima untuk mengikuti pendidikan dan penelitian dalam rangka pembibitan kandidat doktor di Universitas Leiden Belanda. Pulangnya setahun kemudian saya diterima pada program doktor itu. Dalam rangka mendekatkan saya dengan iklim dan semangat ilmiah, untuk membantu saya dalam menyelesaikan program doktor itu, Pak Harun mengangkat saya sebagai sekretaris Fakultas Pascasarjana (1984-1986). Hemat saya itulah maksud yang ada di balik kebijakan beliau mengangkat tenaga-tenaga muda menjadi sekretaris beliau, yaitu untuk membantu penyelesaian studi yang bersangkutan.

(27)

Depag. Pada tahun 2000 saya pulang kandang. Tahun 2001 saya dipilih lagi oleh Senat menjadi dekan Fakultas Tarbiyah untuk kedua kali. Semua prestasi akademik dan karir itu saya rasakan tidak terlepas hubungannya dengan semangat cinta ilmu dan sikap kritis dan obyektif yang ditanamkan Pak Harun dalam diri saya.

Karena faktor nama saya dan terkesan saya banyak mendapat perhatian dari Pak Harun itu, banyak orang menyangka bahwa saya adalah anak beliau. Setelah saya jelaskan mereka pun mengerti. Namun yang jelas adalah bahwa saya mengakui dalam pidato pengukuhan saya sebagai guru besar, bahwa saya adalah “anak spiritual” beliau. Pak Harun telah berjasa besar dalam membentuk saya menjadi seorang ilmuwan, bagaimana pun kecilnya, yang telah menjadi landasan bagi saya dalam meniti karir selanjutnya dalam hidup saya.

Di samping ilmuwan sejati Pak Harun adalah juga seorang yang bersih, tidak hanya pisiknya, tetapi juga batinnya. Beliau begitu necis. Beliau tulus dalam mengabdi ilmu dan lembaga yang dipimpinnya. Beliau juga terlihat apik dalam hal keuangan. Di samping itu beliau juga seorang yang taat beribadah. Pada hari Jumat, beliau adalah orang pertama yang datang ke masjid. Memang beliau tidak duduk di baris pertama dalam masjid, tetapi di saf pertama di bagian luar masjid. Tindakan beliau itu belakangan saya pahami ada maksudnya. Yaitu supaya khatib tidak kikuk bila melihat beliau ada di saf pertama, karena beliau tahu bahwa yang akan berkhutbah adalah murid atau koleganya.

Tidak lengkap rasanya bila saya tidak menyampaikan bahwa kadang-kadang timbul dalam diri saya perasaan berdosa pada Pak Harun. Hal itu karena cara bertanya saya yang sering terlalu vulgar dalam diskusi-diskusi. Hal itu kadang-kadang membuat beliau repot juga menjawabnya, dan seperti kurang senang.

(28)
(29)

PROF. DR. HARUN NASUTION SOSOK PENDIDIK DAN BAPAK

Jalaluddin

Ketokohan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai ilmuwan Muslim dan pembaharu pemikiran Islam di tanah air, sudah dikenal banyak pihak. Baik di Indonesia, maupun dunia. Buku- buku hasil karya, serta proses perwujudan Program Pascasarjana di Departemen Agama, sekaligus menjadi bukti akan ketokohan yang disandangkan kepada beliau. Seperti pernah beliau kemukakan, bahwa manakala gagasan untuk mendirikan pascasarjana, pada awalnya rata-rata kedutaan negara- negara Islam dan Timur Tengah menyambut baik. Mereka menyatakan bersedia membantu, termasuk pengadaan tenaga pengajar.

Sayangnya “janji setia” dimaksud tidak berlangsung mulus. Perjalanannya ibarat raut “ekor tikus”, seperti kata pepatah. Makin ke ujung makin mengecil. Satu per-satu mereka menarik dukungan tersebut. Hingga pada tahun akademik 1987, di pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, hanya tersisa seorang tenaga pengajar dalam mata kuliah bahasa Arab, yakni Dr. Muhammad Et-Tawwab El-Allah berkebangsaan Mesir.

Di tengah kerisauan itu pula tercetus kekecewaan Pak Harun Nasution. “Saya punya teman berkebangsaan Belgia yang non- Muslim. Saya kirim surat kepadanya untuk memberikan materi kuliah mengenai “Iran Kontemporer.” Saya jelaskan pula, bahwa biaya tiket tidak tersedia. Hanya selama di Jakarta akan disediakan tempat tinggal, serta biaya hidup sebesar Rp. 500.000 per- bulan. Saya minta kesediaannya untuk memberikan kuliah selama satu semester, “jelas Pak Harun di ruang kelas.

(30)

tiket. Saya akan datang ke Jakarta. Tetapi, saya hanya punya waktu selama tiga bulan. “Nanti saudara-saudara akan berkenalan dengan dosen tersebut. Namanya Anthony Wessel, jelas Pak Harun Nasution. Ternyata beberapa minggu kemudian, dosen berkebangsaan Belgia itu hadir untuk memberikan kuliah di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kali berikutnya Prof. Dr. Hasan Langgulung beliau hadirkan untuk memberikan kuliah. Selama satu semester, Pak Hasan Langgulung terkesan begitu kerasan berada di lingkungan Ciputat. Menempati rumah yang cukup sederhana dan sengaja disediakan untuk beliau. Selain menjalankan tugasnya sebagai dosen tamu, Guru Besar bidang pendidikan Islam ini ternyata juga merupakan penulis yang produktif. Tiga buku teks karya beliau sempat diterbitkan oleh penerbit Al-Husna, Jakarta.

Dari dalam negeri sendiri, Prof. Dr. Harun Nasution berhasil merangkul tenaga dosen kondang. Sebut saja antara lain Prof. Dr. H. M. Rasjidi (Menteri Agama RI, pertama), Prof. Dr. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. M.K. Tajudin Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan sederetan mana-nama lain ilmuwan kondang lainnya. Termasuk di dalamnya Pak Prof. H. Munawir Sjadzali, M. A., Menteri Agama yang sempat mengkhususkan studinya di Amerika Serikat dalam bidang ilmu politik.

(31)

Sosok Pendidik

“Sebenarnya saya sudah terlalu sibuk. Namun saya tak bisa menolak, ketika Pak Prof. Harun Nasution meminta saya untuk memberi kuliah di pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Saya mengagumi beliau, karena menurut saya Pak Harun Nasution mampu menampilkan sosok Muslim sesungguhnya. Semuanya itu terlihat dalam keseharian beliau. Hidup dalam kesederhanaan, rapi, bersih, jujur dan disiplin. Beliau telah menempatkan diri sebagai sosok teladan.” Begitu ungkapan polos dari Prof. Dr. Parsudi Suparlan tentang Prof. Dr. Harun Nasution.

Secara jujur, barangkali tidak sulit untuk menyepakati kebenaran pendapat Pak Parsudi Suparlan (almarhum). Dalam berbagai aktivitas keteladanan Pak Harun Nasution tertampil utuh secara apa adanya. Sama sekali jauh dari kesan dibuat- buat. Begitu sederhananya, hingga menurut pengakuan sang sopir, ia paling susah bila ada undangan dari istana. Mobil dinas yang sangat sederhana itu terpaksa harus diparkir menyendiri. Tidak bergabung dengan mobil- mobil mewah para pejabat lain yang tersusun di areal parkir. Dengan demikian untuk mencapai Istana Negara,Pak Harun harus berjalan kaki cukup jauh. “Sebenarnya kasihan. Tapi Bapak memang minta seperti itu, “ungkap si sopir secara polos.

Kehadiran Pak Harun Nasution di kampus selalu tepat waktu. Tepat jam 07.15, mobil dinas sudah memasuki areal kampus, dan sebelum jam 07.30 Pak Harun Nasution sudah berada di belakang meja kerjanya. Tak pernah terlambat. Kemudian, manakala pulang dari rapat di Departemen Agama, beliau senantiasa mampir ke kantor. Sesempit apapun waktu yang tersisa. Terkadang hanya tersisa waktu seperempat jam. Namun, Pak Harun Nasution tak pernah absen untuk menunaikan jam kerjanya secara penuh. Setelah berakhir jam dinas, yakni jam 14.00, barulah beliau meninggalkan kantor.

(32)

kebiasaan beliau. Tepat pukul 11.30 Pak Harun sudah hadir, menempati shaf pertama di bagian kiri imam. Tempat yang bagai sudah terbakukan secara khusus untuk beliau. Meskipun tidak dimaklumatkan secara tertulis, umumnya para jema’ah Jum’at sudah sangat paham akan hal itu. Tempat itu senantiasa dibiarkan kosong, hingga waktu shalat tiba. Isyarat bahwa Pak Harun Nasution tidak berada di Jakarta. Ketika itu barulah jema’ah berani menempatinya.

Pada suatu Jum’at, seorang jema’ah yang baru pulang menunaikan haji, shalat sunnah tahiyyat al-masjid di tempat kosong peruntukan Pak Harun Nasution dimaksud. Ketika itu, hampir semua pasang mata yang hadir menatap tajam ke sosok jemaah yang mengenakan baju gamis lengkap dengan sorban putihnya itu.Sorotan mata mereka mengisyaratkan protes terhadap “kelancangan” Pak haji tadi. Mengetahui tempatnya sudah “diambil-alih, “saat hadir, Pak Harun Nasution harus menempati tempat kosong yang masih tersedia di shaf berikutnya.

Sifat terpuji Prof. Harun Nasution ini juga ikut meningkatkan citra dan wibawa beliau di kalangan ilmuwan, maupun para dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Begitu kuatnya pengaruh kharisma Pak Harun Nasution ini terekam langsung dari informasi mereka yang mengalaminya. Salah satu di antaranya, kasus yang dialami (seingat saya saudara Hamdani) dalam penyelesaian penulisan tesisnya. Dosen mata kuliah agama Islam di salah satu perguruan tinggi umum kota Malang terkendala oleh proses bimbingan yang berlarut-larut.

(33)

Selanjutnya diinformasikan, bahwa bimbingan dialihkan ke rumah dinas Pak Mochtar Buchari, setelah jam kerja.

Sebagai pihak yang berkepentingan, lagi-lagi saudara Hamdani mematuhi semua petunjuk Dosen Pembimbing yang disampaikan melalui Sekretarisnya itu. Tiba di tempat, dalam keadaan hujan lebat, kembali saudara Hamdani dihadapkan pada kegagalan lagi. Sang Dosen Pembimbing sedang dalam kelelapan tidur siang. Sama sekali tak boleh diganggu. Begitu isi pesan yang disampaikan oleh pembantu rumah tangga saat menemui tamu majikannya itu. Saudara Hamdani harus menerima apa adanya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, sebagai kata pepatah.

Terbawa oleh kekecewaan ini pula yang kemudian mendorong saudara Hamdani meberanikan diri menghadap Pak Harun Nasution. Keluhan mahasiswanya itu dicermati dengan penuh perhatian. Akhirnya Pak Harun Nasution menghubungi Dosen Pembimbing. Belum sampai dua jam setelah itu, Prof. Mochtar Buchari telah berada di ruang kerja Pak Harun Nasution. Secara bermuka-muka, Ketua LIPI ini menyatakan kesanggupannya untuk menuntaskan proses bimbingan tesis yang menjadi tanggungjawabnya itu. Setelah itu proses bimbingan berjalan lancar. Semuanya dapat diselenggarakan dengan cara seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya yang bersangkutan berhasil menuai sukses.

(34)

Selaku pendidik, Pak Harun Nasution tak pernah abai akan para mahasiswa beliau. Kebahagiaan Pak Harun Nasution ikut menyertai keberhasilan mahasiswa beliau. Kebahagiaan yang demikian itu terungkap nyata di rona keceriaan wajah Pak Harun Nasution, saat saudara Ridwan Lubis berhasil menyelesaikan ujiannya. Doktor Ridwan Lubis alumni pertama Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan puncak berikutnya yang sempat dirasakan oleh Pak Harun Nasution adalah saat kampus baru Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah ini diresmikan.

Sosok Bapak

Waktu istirahat, secara iseng saya menyempatkan diri mampir ke ruang administrasi. Saat itu para karyawan tengah berbagi kudapan berupa kue-kue yang masih asing bagi saya. Sekitar tahun 1988, kemasan makanan serupa itu belum dijumpai di Jakarta, hingga terkesan mewah. Menurut para karyawan tersebut, kue-kue tadi merupakan oleh-oleh dari Brunei Darusalam. Sengaja dibawa Pak Harun Nasution untuk mereka, dalam kesempatan beliau memberikan kuliah di negara tersebut. Mendengar ungkapan dari para karyawan itu, saya tertegun. Sulit membayangkan betapa besar perhatian dan kepedulian Pak Harun Nasution terhadap para karyawan. Anak buah, dan sekaligus bawahan beliau. Tergabung di dalamnya rentang golongan I, hingga golongan III.

Kali berikutnya, pada tahun yang sama, kami para mahasiswa didera oleh kesulitan finansial. Sudah selama tiga bulan, livingcost macet. Di rentang waktu yang cukup panjang itu, kiat untuk berhemat sudah sulit dilakukan. Diistilahkan sudah “mantab” (makan tabungan). Akhirnya, tanpa sepengetahuan rekan- rekan kuliah, kami bertiga (Ramayulis, Rafi’i Nazori, dan saya) memberanikan diri menghadap Pak Harun Nasution. Mengadu keluh kesah yang tak berujungpangkal itu.

(35)

menunjukkan keramahan dan sekaligus kedekatan hubungan dengan mahasiswa beliau. Beliau tidak membiarkan gangguan yang bakal menghambat kelancaran kuliah mahasiswa. Begitu besar kepedulian Pak Harun Nasution. Keakraban yang beliau tampilkan bukan sebatas basa-basi, melainkan hingga ke penyelesaian “masalah” secara tuntas. Semuanya beliau buktikan sepenuhnya.

Setelah mendengar apa yang kami sampaikan, beliau segera minta konfirmasi dari Bendaharawan. Setelah jelas, Pak Harun Nasution langsung menandatangi lembaran cek untuk diuangkan. Menjelang tengah hari, sepulangnya saudara Mursad dari Bank, 80 mahasiswa dari empat angkatan telah terselamatkan dari kesulitan biaya hidup, Masing- masing mendapat pinjaman sebesar Rp.100.000. Untuk waktu itu jumlah tersebut terhitung cukup lumayan. Namun yang paling mengesankan adalah kemurahan hati Pak Harun Nasution yang secara ikhlas mendonasikan uang pribadi beliau sebesar Rp. 8.000.000. Dengan kurs satu dolar = Rp. 800, berarti hari itu Pak Harun Nasution telah melepaskan uang beliau sebesar 10.000 dolar. Dalam perhitungan sekarang setara dengan Rp. 135.680.000 (1 dolar = Rp. 13.568).

(36)

Keakraban hubungan Bapak- anak ini kian terasa di saat program perkuliahan berakhir. Seperti biasanya, para mahasiswa sengaja diundang ke kediaman Pak Harun Nasution. Acaranya cukup sederhana, yaitu makan malam bersama sambil beramah tamah. Mahasiswa diajak bercengkerama secara terbuka. Suasana menjadi cair. Masing-masing merasakan layaknya dalam suasana kekeluargaan. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan foto bersama. Dokumentasi visual yang diabadikan sebagai kenang-kenangan bagi setiap angkatan.

Sosok kebapakan dari Pak Harun Nasution, ternyata juga melintas batas kawasan geografis. Tidak terbatas pada kedekatan secara fisik, melainkan juga terenda indah dalam kedekatan hati. Selama di asrama, dalam kesempatan menjumpai Pak Harun Nasution, setidaknya dua kali saya menjumpai beliau sedang membaca surat di ruang kerjanya. Secara terbuka beliau ungkapan, bahwa surat tersebut dari saudara Azyumardi Azra. Salah seorang mahasiswa beliau yang sedang belajar di Columbia University, New York. Surat tulisan tangan tersebut berisi kabar tentang kondisi penulis, serta menanyakan seputar kondisi Pak Harun Nasution dan Ibu.

Ungkapan kata-kata dicarikan kertas yang sangat sederhana dan bersahaja. Namun semuanya menyimpulkan keutuhan dari bentuk kepedulian dan kedekatan batin. Curahan hati dari seorang mahasiswa kepada sosok pendidik yang “dibapakkan”. Di rangkaian hubungan batin ini pula, terlihat bagaimana usaha dan tekad Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam memperjuangkan Prof. Dr. Harun Nasution (almarhum) sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama. Bentuk pengakuan dari negara terhadap jasa, perjuangan, serta dharmabakti Prof. Dr. Harun Nasution kepada anak bangsa.

(37)

and prosperity for every one.” (Khursyid Ahmad, 1992). Dalam sosok ilmuwan dan tokoh pembaharu pemikiran Islam, Prof. Dr. Harun Nasution tampaknya sejalan dengan pesan-pesan peribahasa dimaksud.

Hingga kini, “tanaman” Pak Harun Nasution sudah terjalin berkelindan secara generatif. Bertumbuh-kembang di dan ke seluruh kawasan Nusantara. Setiap alumni, senantiasa berupaya untuk menyebarkan gagasan dan pemikiran bernas Prof. Dr. Harun Nasution. Berangkat dari proses dan fakta sejarah ini, diyakini bahwa apa yang telah dilakukan Pak Harun Nasution tersebut berada di jalur sabda Rasul Allah Swt.

ﻦــﻣ ﺮـــﺟاو ﺎــھﺮـــﺟا ﮫـــﻠـــﻓ ﺔــﻨــﺴــﺣ ﺔــﻨــﺳ مﻼــﺳﻻا ﻰﻓ ﻦــﺳ ﻦــﻣ

ﻢــھرﻮــﺟا ﻦــﻣ ﺺـــﻘــﻨــﯾ نا ﺮـــﯿــﻏ ﻦــﻣ هﺪـــﻌــﺑ ﺎــﮭــﺑ ﻞــﻤــﻋ

ﺊـﯿــﺷ

.

(38)
(39)

PROF. DR. HARUN NASUTION

SOSOK DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWAB

DIA GURUKU, PROMOTORKU, BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU

Nyimas Anisah Muhammad1

Segala puji Allah bagi Allah yang telah mempertemukan penulis dengan guru-guru yang telah banyak mengajarkan kepada penulis berbagai keilmuan. Salah satu di antara mereka adalah guru tercinta Prof. Dr. Harun Nasution yang sudah pergi menghadap Sang Khaliq. Semoga guru-guru penulis semuanya mendapat maghfirah Allah dan diterima amal ibadah mereka serta dibalas dengan surga. Ilmu-ilmu yang mereka berikan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi mereka dan bagi kami dan kami murid-murid semoga dapat menyampaikan ilmu-ilmu tersebut kepada generasi selanjutnya. Amin ya Rabb.

Penulis, Nyimas Anisah Muhammad, mengenal sosok Prof. Dr. Harun Nasution lebih jauh setelah penulis terdaftar sebagai salah seorang mahasiswa S-2 Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2 Awal kekaguman bagi Pak Harun adalah bahwa beliau mengambil orang-orang yang memang ahli dan pakar dalam bidangnya dalam mengampu mata kuliah masing-masing. Contohnya beliau memasang nama Prof. Sultan Takdir Alisyahbana untuk mengasuh mata kuliah kebudayaan, Politik Islam diampu oleh Prof.

1Penulis adalah seorang murid Harun Nasution yang merasa bersyukur kepada Allah sempat dipertemukan kepada beliau. Kini penulis sudah menjalani masa purna bakti sebagai Dosen di UIN Raden Fatah Palembang dan pernah menjadi Direktur PPs IAIN Raden Fatah Palembang, namun masih tetap mengajar di Program Pascasarjana UIN Raden dan di masyarakat Sumatera Selatan dan Palembang khususnya.

(40)

Munawir Sjadzali, MA, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Bahasa Arab dipegang oleh Prof. Bustami A. Ghani, seorang pakar Bahasa Arab, Fiqh diasuh Oleh Dr. Huzaimah T. Yanggo, tamatan Timur Tengah yang kala itu belum Guru Besar, dan masih banyak lagi guru-guru yang mempunyai kompetensi di bidang masing-masing. Dengan adanya guru-guru yang expert di bidangnya, membuat mahasiswa terpacu untuk membaca buku-buku referensi lebih banyak dan belajar lebih giat.

(41)

yang lain adalah ketika makalah yang sudah didiskusikan tersebut dikembalikan kepada si pembuat makalah, di sana terlihat bahwa makalah tersebut banyak coretannya. Ini menandakan bahwa makalah tersebut benar-benar dibaca, dikoreksi dan diberi arahan oleh Pak. Harun, bahkan sampai kepada titik, komanya, metode penulisan dan isinya. Bahkan tak jarang catatan Pak Harun tertera “luruskan kalimat Sdr.” atau “perbaiki kalimat Sdr.” Betapa teliti dan tekun Pak Harun. Ketelitian Pak Harun dalam mengoreksi dan memberikan arahan kepada setiap pemakalah tampaknya tak tertandingi. Di mata penulis, Pak Harun bukan hanya seorang pengajar, namun dari apa yang dilakukannya, selain menginginkan muridnya teliti dan pintar, juga menunjukkan bahwa beliau menghargai usaha dan upaya dari murid-muridnya. Dengan cara itu murid-murid merasakan bahwa karyanya dibaca dan dihargai oleh sang guru, sehingga mereka akan berupaya keras lagi dalam membaca buku-buku referensi dan bersemangat tinggi untuk menulis dengan baik.

(42)

Ketika perkuliahan di Program S-2 hampir selesai, mahasiswa angkatan penulis, yang merupakan angkatan pertama membuat tesis untuk mendapatkan gelas Magister, dengan terlebih dahulu mengajukan proposal. Angkatan sebelum kami, jika selesai program S-2, langsung mengikuti kuliah ke S-3, jika indeks prestasi akhir memenuhi persyaratan. Oleh karenanya, angkatan sebelum kami tidak memperoleh gelar magister, tetapi langsung Doktor., namun program seperti ini sangat disayangkan, karena bagi teman-teman angkatan sebelum kami, karena tidak membuat tesis sehingga tidak mendapat gelar Magister. Yang sempat melanjutkan studi ke S-3, dapat langsung memperoleh gelar Doktor. Akan tetapi bagi kawan-kawan yang dengan alasan masing-masing gagal mendapatkan gelar Doktor, dalam karir sebagai seorang dosen, terancam, karena persyaratan minimal seorang dosen harus berpendidikan S-2 (Magister).

(43)
(44)

kami berempat adalah alumni S-1 dari Fakultas Ushuluddin Sunan Ampel Surabaya, pun menyempatkan foto bersama Pak Harun.

Setelah menyelesaikan Program S-2, Alhamdulillah penulis memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke S-3 (Program Doktor) bersama teman-teman yang lain. Pada tahun 1989/1990 penulis bersama rekan-rekan lainnya seangkatan mengikuti perkuliahan S-3. Pada akhir perkuliahan mahasiswa sudah harus menyerahkan judul dan proposal untuk disertasi. Ada beberapa judul yang diinfentarisir, salah satunya merupakan masukan dari Pak Jalaluddin yaitu pemikiran Bung Hatta tentang Islam. Lalu penulis menyerahkan judul "Pemikiran Keagamaan Mohammad Hatta". Judul dan proposal diterima. Untuk Promotor Pertama ditunjuk oleh Pak Harun sebagai Direktur Program Pascasarjana adalah Bapak Prof. Deliar Noer, PhD. dan sebagai Promotor kedua adalah Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, MA.

Penulis beberapa kali berkunjung ke kediaman Pak Deliar Noer dan Mulyanto Sumardi, untuk berkonsultasi dan mendiskusikan proposal yang kemudian akan dijadikan Bab I. Apa yang disarankan oleh keduanya penulis ikuti. Pak Deliar meminta penulis untuk menggunakan buku karya beliau yang berjudul “Biografi Politik Bung Hatta” sebagai referensi. Penulis langsung mencari buku tersebut dan membelinya serta memasukkan hal-hal yang relevan ke dalam latar belakang yang ada dalam proposal. Sedangkan Prof. Mulyanto Sumardi mengarahkan kepada metodologi penulisan. Semuanya penulis taati.

(45)

agar mendapatkan hasil yang berkualitas, ternyata jauh panggang dari api. Dengan surat tersebut penulis menjadi bingung karena kenyataan yang ada, penulis sangat respon kepada beliau serta arahannya, saran sebenarnya sudah penulis penuhi. Yang jelas penulis sangat kecewa dengan kejadian tersebut.

Karena merasa tidak bersalah dan menjadi korban, membuat penulis menjadi penasaran untuk mencari informasi lebih jauh. Dari informasi yang didapat ternyata ada masalah antara Pak Deliar dengan Pak Harun. Apa yang menjadi masalah di antara keduanya biarlah mereka berdua yang tahu. Dengan adanya surat pengunduran diri sebagai promotor di tangan penulis tersebut, penulis kemudian menghadap Pak Harun serta memberikan surat itu kepada beliau, meskipun surat itu ada tembusannya ke Program Pascasarjana. Tanggapan Pak Harun ketika itu:” Yah, tidak apa-apa, masih banyak orang lain untuk dijadikan promotor”. Menurut penulis, tidak mungkin Pak Harun berkata demikian jika tidak ada masalah dengan Pak Deliar. Kalau keduanya tidak dalam masalah penulislah tentunya yang dimarahi Pak Harun, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Pak Harun tidak marah sama sekali kepada penulis.

Memerlukan waktu cukup lama untuk menggati Prof. Deliar Noer, Ph.D. sebagai Promotor penulis. Sebenarnya tidak banyak Profesor yang meneliti tentang Bung Hatta. Pak Deliar Noer sebenarnya sosok yang paling tepat, dalam hal ini, karena beliau di samping menulis tentang Bung Hatta, beliau juga secara emosional dekat dengan Bung Hatta. Lebih kurang sebulan kemudian barulah Pak Harun menunjuk dirinya sendiri menggantikan Pak Deliar Noer sebagai Promotor penulis. Sedangkan Promotor kedua tetap yaitu Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, M.A.

(46)

diminta mengikuti program Indonesia Netherland Cooperaton in Islamic Studies INIS). Menurut Pak Harun dengan mengetahui latar belakang kehidupan seseorang, maka akan mudah mempelajari pemikiran-pemikirannya karena latar belakang kehidupan akan memberi pengaruh kuat terhadap pemikiran seseorang. Dengan kata lain bahwa pemikiran seseorang tidak terlepas dari kehidupan masa lalunya. Langsung Pak Harun memberi arahan kepada penulis untuk segera mendaftarkan diri ke Departemen Agama dengan menyertakan proposal tesis.

Sebenarnya ada pertarungan hebat pada diri penulis dalam menghadapi kemauan Pak Harun. Di satu sisi penulis berkeinginan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dan sejauh mungkin, namun di sisi lain penulis tidak tega berpisah dengan ayahanda yang tercinta, yang sendirian, karena ibunda telah lama dipanggil Sang Khaliq, sudah uzur yang ketika itu berusia 78 tahun. Faktor kedua sebenarnya jauh lebih mendominasi pikiran penulis. Karena harus meninggalkan ayahanda yang penulis panggil “Abah”. Berat juga untuk meninggalkan suami walaupun tidak seberat meninggalkan Abah.

Apa yang ada di benak penulis ketika itu, penulis sampaikan kepada Pak Harun. Beliau memberi arahan dengan mengatakan: “Jangan ditolak dulu, bicarakan baik-baik kepada ayah dan kepada suami”.”Program ini penting buat Anisah (penulis)” kata Pak Harun. “Negeri Belanda adalah negeri di mana Bung Hatta menuntut ilmu dan cukup lama Bung Hatta di sana, kehidupan Barat di mana dia tinggal juga akan mewarnai pemikirannya” lanjut Pak Harun. Penulis merenungi ucapan Pak Harun sambil berfikir. Penulis kemudian perpamitan untuk pulang kepada Pak Harun.

(47)

Empat Lawang di Sumatera Selatan dan satu prempuan (Nyimas Anisah Muhammad), penulis sendiri. Setelah penulis bicarakan pada Abah, bukannya Abah melarang atau keberatan, bahkan Abah sangat senang kalau penulis dapat pergi ke negeri Belanda. “Nanti kalau kau sampai di sana”, kata Abah:”pelajari bagaimana kehidupa Belanda yang hanya punya Negara kecil dapat menjajah Indonesia beratus-ratus tahun”. “Ambil ilmunya’ lanjut Abah. Abah juga berkomentar; “Orang kaya, belum tentu dapat menuntut ilmu ke luar negeri,” katanya.”Tentang Abah jangan dipikirkan, kan ada Allah yang menjaga dan memelihara, yang penting kau ketahui, Abah sangat mendukung kau menuntut ilmu dan kau akan sukses” “Abah” memang seorang pejuang sejak muda, beliau pernah dipenjara ketika masa penjajahan. Menjadi pejuang kemerdekatan, angkatan 45 dan anggota Veteran RI. Jadi wajar kalau Abah memberikan dorongan dan support yang kuat kepada penulis.

Ketika persoalan ini penulis ungkapkan kepada sang suami, Mohammad Fatih Alam, dia mengatakan: “kalau Abah sudah mengizinkan aku juga mengizinkan, percuma juga Doktor kalau wawasannya hanya sebatas Ciputat”. Setelah mendapatkan support dan restu dari ayahanda dan suami, penulis memasukkan berkas ke Departemen Agama RI. Ternyata cukup banyak lamaran yang masuk, setelah melalu proses cukup lama, dua puluh orang yang mewakili IAIN seluruh Indonesia dinyatakan lulus, termasuk penulis.

(48)

Di Belanda penulis tinggal di Apartemen Niewerood, lantai tujuh, kota Laiden. Nieweroord adalah apartemen milik pemerintah Belanda yang diperuntukkan bagi Ziekenhuis (Rumah Sakit) yang ada di Leiden. Penghuni apartemen banyak juga yang datang dari luar kota Leiden bahkan dari luar negeri Belanda yang berobat ke sana. Selain itu apartemen dihuni juga oleh para pelajar yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Enam bulan penulis mengikuti program INIS di negeri Kincir Angin ini, Minggu malam bulan November penulis menerima telepon dari kakak di Jakarta yang mengabarkan bahwa ayahanda sakit keras dan sedang di rawat di Rumah Sakit Fatmawati Cilandak Jakarta. Senin pagi Penulis dibantu kawan-kawan dan pihak pengelola program berusaha mendapatkan tiket untuk pulang ke Tanah Air. Selasa siang dengan pesawat KLM, penulis meninggalkan Belanda menuju Tanah Air. Ketika penulis tiba di bandara Soekarno Hatta, selasa siang, abang penulis, suami dan kerabat menjemput penulis. Ternyata ayahanda, “Abah’ tercinta telah berpulang ke rahmatullah pada Senin pagi jam 06:00 dan dimakamkan Senin sesudah ‘Ashar di pemakaman muslim Jati Padang Utara Pasar Minggu Jakarta. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan menerima amal ibadah dan perjuangan beliau serta mendapatkan ridha dan syorga Allah. Amin ya Rabb.

(49)

Belanda. Dalam kepulangan ke Tanah Air, penulis menyempatkan diri menghadap Pak Harun. Kepada Pak Harun penulis menceritakan musibah yang menimpa penulis. Pak Harun mengatakan:” Saya turut berduka-cita, semoga ayahanda Anisah mendapat tempat yang baik di sisi Allah.” Anisah jangan putus asa, teruslah berstudi, kan ayahanda menginginkan yang demikian”. Banyak juga pembicaraan kami berdua ketika itu, intinya Pak Harun memberi semangat untuk menyelesaikan disertasi dengan baik.

Setelah sebulan di Tanah Air, penulis kemudian kembali ke Leiden, Belanda pada bulan Desember 1991 untuk melanjutkan Program yang sedang dijalani. Pada bulai Mei 1992, Program di Belanda selesai dan penulis bersama kawan-kawan group INIS 20 orang (karena ada yang bersama suami dan istri masing-masing, yang memang dibolehkan menyusul ke Leiden) dipandu oleh Prof Stockhof, Prof Nicco Kaptein dan Sabine meninggalkan negeri Kincir Angin Belanda menuju Mesir. Program INIS sebenarnya pada bulan Juni 1992 sudah selesai, akan tetapi karena kami (penulis dan group sudah meminta izin kepada Menteri Agama yang ketika itu dijabat oleh Munawir Sjadzali, M.A.) akan menunaikan ibadah haji, maka kami bertahan di Cairo hingga musim hajji datang sambil menyiapkan visa hajji, yang saat itu sangat sulit kami peroleh. Pertengahan Juni, kami meninggalkan Cairo menuju Saudi Arabia dan berada di sana selama 58 hari. Aktifitas kami adalah menunaikan ibadah haji, namun di samping itu masing-masing mempunyai aktifitas yang berbeda-beda karena masing-masing menjadi bagian dari Tenaga Musiman, menjadi khadim untuk tamu Allah yang menjalankan ibadah haji. Menjelang akhir bulan Juli 1992, dengan pesawat Garuda non kloter rombongan penulis meninggalkan Saudi Arabia menuju Tanah Air.

(50)

Proyek ke alamat masing-masing di Tanah Air. Ternyata menunggu kedatangan kiriman tersebut cukup lama, hampir memakan waktu tiga bulan. Selama menunggu, kegiatan penulisan tidak dapat dipercepat karena kebanyakan buku-buku tersebut adalah buku yang dijadikan referensi untuk disertasi.

Setelah buku-buku itu tiba, penulis mulai intensif menulis dan melakukan konsultasi dengan Pak Harun. Penulis bolak balik menghadap Pak. Harun. Banyak arahan Pak Harun kepada penulis, tetapi penulis sering bingung, misalnya minggu ini konsultasi bab kedua, beliau mengarahkan disertai catatan-catatan. Penulis mengikuti arahan beliau, ketika sudah selesai, eh eh apa yang sudah ditulis dirubah lagi. Kejadian seperti ini sering terjadi. Yah cukup membingungkan. Tulisan yang penulis lakukan kadangkala meluas dan melebar, akibat dari banyaknya sumber yang dibaca, pada hal tidak semua yang dibaca harus dimasukkan, makanya kadang-kadang Pak Harun berkomentar:” Anisah terlalu banyak membaca tentang Bung Hatta, tetapi tidak semuanya harus masuk ke dalam disertasi”. Memang penulis akui dengan banyaknya referensi dan informasi tentang Bung Hatta yang didapat dari Bibliotek atau Perpustakaan Leiden Universiteit, sehingga pembahasan disertasi menjadi melebar. Intinya Pak Harun menginginkan isi disertasi itu berkualitas, tajam dan menukik pada permasalahan yang dibahas.

(51)

komprehensif, 3 telpon masuk kepada penulis, ada yang berasal dari bagian akademik dan ada yang berasal dari kawan-kawan. Isinya: Prof. Harun Nasution, hari itu wafat.” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Berita tersebut sangat mengejutkan, karena sebelumnya tidak terdengar kalau Pak Harun sakit dan penulis belum lama bertemu dengan Pak Harun.

(52)

beliau sebagai seorang Bapak bagi penulis, menghormati dan sekaligus mengagumi beliau.

Kepergian Pak Harun untuk selamanya diantar dan ditangisi oleh orang-orang yang menyintai dirinya, terutama oleh murid-muridnya. Banyak yang berduka, akan tetapi menurut penulis yang paling berduka adalah penulis sendiri. Selain penulis sudah begitu dekat dengan Pak Harun, akibat dan dampak dari kontinuitas pertemuan bimbingan disertasi, arahan beliau merupakan kunci pembuka wawasan yang tadinya sempit menjadi terbuka dan menerobos cakrawala dunia, menjadi berwawasan global, berwawasan universal. Penulis mencintai Pak Harun sebagai Bapak yang penuh kasih sayang dan penuh tanggung jawab.

Prof. Harun Nasution, meninggalkan segudang ilmu dan wawasan bagi murid-muridnya. Ternyata murid-murid beliau di kemudian hari menjadi manusia intelektual, berakhlaq mulia dan berkualitas serta banyak yang menjadi panutan dan pemimpin di Perguruan Tinggi di berbagai daerah di Indonesia.

(53)

“Selamat jalan Pak Harun, jasa-jasamu tak kan pernah terlupakan. Semoga amal baktimu menjadi amal shaleh yang diridhai Allah. Ilmu yang engkau berikan merupakan ilmu yang bermanfaat buatmu, buat murid-muridmu dan buat orang-orang yang mengambil manfaat dari padanya, juga bagi agama, nusa dan bangsa.Semoga kesalahan yang terlanjur terjadi mendapat ampunan Ilahi dan semoga syorga yang penuh nikmat disediakan buatmu bersama Rasulullah… Amin.

PEMIKIRAN PROF. HARUN NASUTION

Prof. Harun Nasution, diakui sebagai seorang pemikir. Pengakuan ini tidak hanya bagi penulis, tampaknya juga diakui oleh murid-murid beliau yang lain. Hal ini terlihat dari banyak pembicaraan pada pertemuan yang diadakan oleh panitia yang meminjam istilah Prof. Suwito identik dengan “Harun Nasution Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Mungkin pemikiran Pak Harun secara terbuka akan lebih diketahui oleh anak bangsa ini ketika buku tentang Pak Harun, yang direncanakan terbit, akan menjadi kenyataan dan lebih terangkat

Pemikiran Pak Harun sebenarnya dapat ditelusuri lewat buku-buku yang ditulisnya, ungkapan-ungkapan yang diberikan ketika mengajar di dalam kelas, bimbingan dan arahan ketika membimbing mahasiswa baik dalam penulisan tesis maupun disertasi dan pembicaraan Pak Harun dalam keseharian di kantor, (Program Pascasarjana), di dalam maupun di luar kampus IAIN Syarif Hidayatullah.3

Pemikiran Pak Harun menghendaki bahwa siapapun yang mempelajari pemikiran seseorang maka dia harus menguasai sejarah dan latar belakang si Pemikir. “Dia seolah-olah sosok Sang Pemikir”, kata Pak Harun. Sebab, jika tidak, pemikiran sang Pemikir tidak dapat dia pahami secara benar dan baik. Bahkan, menurut Pak Harun, dia

(54)

seolah-olah seperti Sang Pemikir yang sedang dipelajari pemikirannya. Dengan demikian, ujar beliau, alur pemikiran seseorang dapat dikuasai, sehingga pemikirannya dapat dipahami secara benar dan lurus. Ungkapan senada dengan ini sering diucapkan pada jam-jam kuliah, lebih-lebih lagi penulis menangkapnya saat konsultasi disertasi dengan beliau. Pemikiran Pak Harun yang demikian selaras dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi. Dalam satu kesempatan penulis bertemu Pak Harun di kantor Direktur, saat itu penulis menyiapkan tesis yang berjudul “Kritik Terhadap Ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi”. Ketika penulis membaca dan mempelajari Kitab “Fushush al-Hikam”, karya Ibnu ‘Arabi, kegelisahan akademik yang luar biasa mendominasi pikiran penulis. Walaupun penulis sudah membuka beberapa buku kamus (mu’jam) bahasa Arab, namun kegelisahan itu tetap ada. Yang menjadi pikiran adalah ketidakmampuan penulis memahami dan mencerna kata “ﻰﮭﻟﻻا ﻒـــﺸﻛ” Kata tersebut terungkap berulang kali dalam kitab tersebut.

(55)

sebenarnya, kecuali mereka yang memahami alur pemikiran dan pandangannya.

Kejadian seperti mimpi di atas penulis ceritakan kepada pak Harun, walaupun beliau bukan sebagai Pembimbing penulis untuk tesis. Beliau mengakui bahwa apa yang menjadi pengalaman penulis di atas, diakui sebagai pengetahuan yang diberikan Allah lewat mimpi. Komentar beliau ketika itu adalah: “Berarti Anisah mempelajari dan menghayati pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan sungguh-sungguh, sehingga mendapat ilmu dari Allah lewat mimpi.” Penulis senang mendengan komentar beliau demikian.

Pak Harun berpandangan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terkesan berpandangan sempit. Kesan ini timbul dari salah pengertian tentang Islam. Kekeliruan paham itu terjadi karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan kepada pengajaran ibadat, fikih, tawhid, tafsir, hadis dan bahasa Arab. Oleh karena itu, menurut beliau, Islam di Indonesia banyak dikenal hanya dari aspek ibadat, fikih dan tawhid saja. Itu pun biasanya hanya diajarkan menurut satu mazhab atau aliran saja. Hal ini yang memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam.4 Hal ini dapat membawa kepada paham dan sikap yang sempit. Untuk membuka wawasan keislaman, terutama bagi mahasiswa dan intelegensia pada umumnya tentang Islam, yang melatar belakangi Pak Harun menerbitkan karya-karyanya.

Islam dalam pandangan Pak Harun, berbeda dengan Islam yang secara umum diketahui. Islam tidak hanya mempunyai satu dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisisme, aspek falsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya. Aspek teologi tidak hanya mempunyai satu aliran, tetapi berbagai aliran; ada aliran yang bercorak liberal, yaitu aliran yang banyak memakai

(56)

kekuatan akal di samping kepercaan pada wahyu. Ada pula yang bercorak tradisional yaitu aliran yang sedikit memakai akal dan banyak bergantung pada wahyu. Di antara kedua aliran ini terdapat pula aliran-aliran yang tidak terlalu liberal dan tidak terlalu tradisional5, tulis Pak Harun. Dalam aspek hukum demikian pula, terdapat bukan hanya satu mazhab tetapi berbagai rupa mazhab dan yang diakui sekarang hanya empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Dalam kenyataan bahwa Islam mempunyai berbagai aspek, aliran dan mazhab. Pengetahuan Islam yang hanya dari satu dua aspek saja atau hanya dari satu aliran atau satu mazhab saja, menimbulkan pengetahuan yang tidak lengkap tentang Islam. Aspek-aspek lainnya, moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan, aliran dan mazhab-mazhab lainnya kurang dikenal. Oleh sebab itu pengetahuan kita di Indonesia tentang Islam tidak sempurna, tulis Pak Harun. Dengan kata lain hakikat Islam tidak begitu dikenal. Ini menimbulkan kesalahpahaman tentang Islam.

Untuk menghilangkan kesalah pahaman itu perlu diketahui dan diajarkan hakikat Islam yaitu Islam dalam segala aspeknya. Pak Harun mengakui, bahwa untuk mempelajari Islam dengan segala aspeknya sudah barang tentu memakan waktu yang lama dan menghabiskan umur. Menurutnya, yang perlu hanya mengetahui aspek-aspek dan aliran-aliran itu dalam garis besarnya saja, sebagai dasar pengetahuan dan yang demikian itu sudah cukup. Kemudian barulah mengambil spesialisasi masing-masing aspek. Mengambil spesialisasi sebelum atau tidak mengetahui aspek-aspek dan aliran lain dalam Islam menimbulkan pengetahuan yang tidak lengkap, bahkan yang salah tentang Islam. Untuk menghindarkannya perlulah pendekatan lama dirobah dengan pendekatan baru,6 tulis pak Harun mengakhiri tulisannya pada bab II “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.

5Ibid., 33

(57)

Pak Harun, ketika membahas aspek Ibadat, apapun itu, seperti shalat, zakat, puasa haji dan lain sebagainya, senantiasa membahas dan meninjaunya dari sisi akhlak dan moral. Beliau menukil Q.S. al-‘Ankabut: 45 dan mengambil sebuah Hadis Rasulullah Saw. tentang shalat mencegah perbuatan jahat dan tidak baik. Beliau menyimpulkan bahwa shalat yang tidak mencegah perbuatan jahat dan tidak baik bukanlah sebenarmya shalat. Shalat yang demikian tidak ada artinya dan membuat orang semakin jauh dari Tuhan. Demikian pula ketika membahas poin-poin lainnya seperti puasa, zakat dan haji. Banyak Hadis-hadis yang dunukilnya untuk memperkuat argumennya tentang akhlak. Semua ibadat itu, menurut Pak Harun, dekat hubungannya dengan pendidikan dan moral.7 Demikian pentingnya budi pekerti luhur dan tingkah laku sehari-hari dalam Islam, sehingga hal-hal itu disebut Tuhan dalam al-Quran dan Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan bahwa beliau diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan ajaran-ajaran tentang budi pekerti luhur.

Berbicara tentang akhlak atau moral, Pak Harun juga membahasnya dalam bahasan teologi. Menurutnya, golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa soal baik dan buruk tak dapat diketahui oleh akal. Sekiranya wahyu tidak diturunkan Tuhan, manusia tidak dapat membedakan perbuatan buruk dan perbuatan baik. Wahyulah yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Bagi golongan Asy’ariyah, karena akal tidak mampu mengetahui soal baik dan soal buruk, maka manusia tidak mempunyai kewajiban aqli apa-apa sebelum turunnya wahyu.

Lebih lanjut Pak Harun menjelaskan, kaum Mu’tazilah berpedapat bahwa akal manusia cukup kuat untuk mengetahui buruk-baiknya suatu perbuatan. Tanpa wahyu, manusia dapat mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan buruk dan menolong sesama manusia adalah perbuatan baik. Untuk itu tak diperlukan wahyu. Wahyu datang hanya untuk memperkuat pendapat akal manusia dan

(58)

untuk membuat nilai-nilai yang dihasilkan pikiran manusia itu bersifat absolut dan universal, agar dengan demikian mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh ummat. Selanjutnya, menurut kaum Mu’tazilah, kata Pak Harun, setelah akal mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, akal memerintahkan supaya perbuatan yang baik itu dikerjakan dan perbuatan buruk atau jahat itu dijauhi. Jadi sebelum wahyu diturunkan Tuhan, manusia dalam paham Mu’tazilah, telah berkewajiaban bernuat baik dan berkewajiban menjauhi perbuatan buruk atau jahat. Wahyu datang untuk memperkuat perintah akal itu dan untuk membuat kebaikan-kebaikan aqli tersebut menjadi kewajiban syar’i yang bersifat absolut8.

Tulisan Pak Harun lebih jauh menjelaskan, bahwa di samping teologi, fikih atau hukum Islam sebenarnya memusatkan pembahasan pada soal baik dan buruk itu. Pengertian wajib, haram, sunnah dan makruh erat sekali hubungannya dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk atau jahat. Perbuatan baik ada di antaranya yang wajib dikerjakan dan ada pula di antaranya yang sunnah dikerjakan. Perbuatan buruk atau jahat ada yang haram dikerjakan dan ada yang makruh dikerjakan. Pekerjaan yang tidak baik yang haram atau makruh kalau dikerjakan, membawa kepada kemudaratan dan kesengsaraan, sedang perbuatan-perbuatan baik yang wajib atau yang sunnah, kalau dikerjakan membawa kepada kebaikan dan kebahagiaan.

Soal baik dan buruk erat pula kaitannya dengan ancaman yang berupa neraka dan janji yang berupa surga di akhirat. Orang yang baik akan masuk surga dan orang yang buruk atau jahat akan masuk neraka di akhirat kelak. Yang diinginkan oleh Islam, menurut Pak Harun, adalah membina manusia agar menjadi baik dan menjauhi perbuatan yang buruk dan jahat di dunia ini. Manusia seperti inilah sebenarnya yang dimaksud dengan mu’min, muslim dan muttaqin, tegas Pak Harun.

(59)

Yang menarik dari pemikiran Pak Harun yaitu ketika kita membaca dan mempelajari karya-karyanya, atau ketika beliau memberi kuliah maupun diskusi kelas. Ada beberapa pemikiran yang berbeda satu sama lain, misalnya perbedaan mazhab dalam fikih ataupun dalam beberapa aliran dalam teologi. Mengenai aliran-aliran teologi yang terdapat dalam Islam, dalam pandangan Pak Harun tentang teologi, beliau menulis; Ada aliran yang berifat liberal dan ada aliran yang bersifat tradisional (tradisionil dalam istilah Pak Harun) dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional.9 Pak Harun tidak mempertentangkan keduanya. Tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain serta sebaliknya tidak pula menyalahkan yang satu dan membenarkan yang lain. Pak Harun cuma menulis, hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwa teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Orang yang bersifat liberal tidak dapat menerima paham fatalisme. Baginya free will yang terdapat dalam teologi liberal lebih sesuai dengan jiwanya.10 Yang penting untuk dicatat, bahwa pemikiran Pak Harun sangat netral, tidak memihak kepada yang menganut teologi tradisional dan tidak pula berpihak kepada penganut teologi liberal. Karena menurut Pak Harun, kedua corak teologi ini, tradisional dan liberal tidak bertentangan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran teologi yang ada yaitu aliran yang mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia keluar dari Islam. Hal ini tidak ada ubahnya dengan kebebasan setiap orang Islam

9Harun Nasution, 1986, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, x

Referensi

Dokumen terkait