• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIA GURUKU, PROMOTORKU, BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 39-63)

Nyimas Anisah Muhammad1

Segala puji Allah bagi Allah yang telah mempertemukan penulis dengan guru-guru yang telah banyak mengajarkan kepada penulis berbagai keilmuan. Salah satu di antara mereka adalah guru tercinta Prof. Dr. Harun Nasution yang sudah pergi menghadap Sang Khaliq. Semoga guru-guru penulis semuanya mendapat maghfirah Allah dan diterima amal ibadah mereka serta dibalas dengan surga. Ilmu-ilmu yang mereka berikan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi mereka dan bagi kami dan kami murid-murid semoga dapat menyampaikan ilmu-ilmu tersebut kepada generasi selanjutnya. Amin ya Rabb.

Penulis, Nyimas Anisah Muhammad, mengenal sosok Prof. Dr. Harun Nasution lebih jauh setelah penulis terdaftar sebagai salah seorang mahasiswa S-2 Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2 Awal kekaguman bagi Pak Harun adalah bahwa beliau mengambil orang-orang yang memang ahli dan pakar dalam bidangnya dalam mengampu mata kuliah masing-masing. Contohnya beliau memasang nama Prof. Sultan Takdir Alisyahbana untuk mengasuh mata kuliah kebudayaan, Politik Islam diampu oleh Prof.

1Penulis adalah seorang murid Harun Nasution yang merasa bersyukur kepada Allah sempat dipertemukan kepada beliau. Kini penulis sudah menjalani masa purna bakti sebagai Dosen di UIN Raden Fatah Palembang dan pernah menjadi Direktur PPs IAIN Raden Fatah Palembang, namun masih tetap mengajar di Program Pascasarjana UIN Raden dan di masyarakat Sumatera Selatan dan Palembang khususnya.

2Nama Fakultas Pascasarjana kemudian berubah menjadi “Program Pascasarjana” lalu berubah lagi menjadi ”Sekolah Pascasarjana”.

Munawir Sjadzali, MA, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Bahasa Arab dipegang oleh Prof. Bustami A. Ghani, seorang pakar Bahasa Arab, Fiqh diasuh Oleh Dr. Huzaimah T. Yanggo, tamatan Timur Tengah yang kala itu belum Guru Besar, dan masih banyak lagi guru-guru yang mempunyai kompetensi di bidang masing-masing. Dengan adanya guru-guru yang expert di bidangnya, membuat mahasiswa terpacu untuk membaca buku-buku referensi lebih banyak dan belajar lebih giat.

Selama menjalani program S-2, dari semester awal hingga akhir (empat semester) mahasiswa seangkatan dengan penulis (1986) bertemu dengan mata kuliah yang diasuh oleh Pak Harun, seperti Sejarah Peradaban Islam, Pemikiran Islam (Teologi, Filsafat dan Tasawwuf) dan beberapa mata kuliah lainnya yang diampu oleh Pak Harun, demikian nama akrab beliau. Sistem perkuliahan yang diberikan oleh Pak Harun adalah, sebelum pembagian tugas kepada masing-masing mahasiswa, biasanya Pak Harun memaparkan dan mengulas perkuliahan, sesuai dengan mata kuliah yang diampu secara umum dan komprehensif, barulah kemudian setiap mahasiswa/i diberi tugas membuat makalah sesuai dengan judul yang biasanya telah disediakan oleh Pak Harun. Pada waktu yang sudah terjadwal, makalah tersebut dipresentasikan secara bergiliran, sementara mahasiswa yang lain menanggapi isi dari makalah tersebut seraya didiskusikan, Pak Harun sendiri sebagai Moderator, pengarah serta pemberi masukan kepada para mahasiswa. Sebelum makalah didiskusikan di kelas, mahasiswa telah memberikan makalah yang akan dipresentasikan tersebut kepada beliau dan kepada teman-teman sekelas seminggu sebelumnya. Sistem seperti ini berlaku juga bagi seluruh mata kuliah yang diampu oleh guru-guru yang lainnya. Dapat dikatakan hampir semua dosen yang mengajar di Fakultas Pascasarjana ketika itu menggunakan sistem yang sama. Sistem seperti ini banyak pula digunakan oleh murid-murid maupun alumni ketika mereka kembali mengajar di daerah masing-masing. Yang menarik bagi penulis, mungkin juga bagi murid-murid Pak Harun

yang lain adalah ketika makalah yang sudah didiskusikan tersebut dikembalikan kepada si pembuat makalah, di sana terlihat bahwa makalah tersebut banyak coretannya. Ini menandakan bahwa makalah tersebut benar-benar dibaca, dikoreksi dan diberi arahan oleh Pak. Harun, bahkan sampai kepada titik, komanya, metode penulisan dan isinya. Bahkan tak jarang catatan Pak Harun tertera “luruskan kalimat Sdr.” atau “perbaiki kalimat Sdr.” Betapa teliti dan tekun Pak Harun. Ketelitian Pak Harun dalam mengoreksi dan memberikan arahan kepada setiap pemakalah tampaknya tak tertandingi. Di mata penulis, Pak Harun bukan hanya seorang pengajar, namun dari apa yang dilakukannya, selain menginginkan muridnya teliti dan pintar, juga menunjukkan bahwa beliau menghargai usaha dan upaya dari murid- muridnya. Dengan cara itu murid-murid merasakan bahwa karyanya dibaca dan dihargai oleh sang guru, sehingga mereka akan berupaya keras lagi dalam membaca buku-buku referensi dan bersemangat tinggi untuk menulis dengan baik.

Ketika masa-masa awal kami berkuliah di Fakultas Pascasarjana mayoritas mahasiswa masih sangat dominan fanatik golongan, Hal ini mengakibatkan perkuliahan/ diskusi menjadi lebih seru. Pak Harun biasanya senyum-senyum melihat muridnya masih menyimpan tanda tanya di benak masing-masing dan fanatik golongan. Beliau biasanya membiarkan murid-murid berbicara sampai puas. Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa Pak Harun menghargai pendapat siapapun. Jika sudah tuntas mengeluarkan uneg-uneg masing-masing, biasanya Pak Harus mulai membuka wawasan murid-muridnya sedikit demi sedikit dengan menjelaskan latar belakang masing-masing golongan atau organisasi sampai ke Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), bahkan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Di situ murid-muridnya terperangah. Subhanallah. Tampak sekali kalau Prof.Dr. Harun Nasution adalah sosok ilmuan yang objektif dalam menilai dan memandang sesuatu. Tidak ada di antara murid-muridnya yang merasa terpojok dengan jawaban yang diberikan oleh Sang Guru.

Ketika perkuliahan di Program S-2 hampir selesai, mahasiswa angkatan penulis, yang merupakan angkatan pertama membuat tesis untuk mendapatkan gelas Magister, dengan terlebih dahulu mengajukan proposal. Angkatan sebelum kami, jika selesai program S-2, langsung mengikuti kuliah ke S-3, jika indeks prestasi akhir memenuhi persyaratan. Oleh karenanya, angkatan sebelum kami tidak memperoleh gelar magister, tetapi langsung Doktor., namun program seperti ini sangat disayangkan, karena bagi teman-teman angkatan sebelum kami, karena tidak membuat tesis sehingga tidak mendapat gelar Magister. Yang sempat melanjutkan studi ke S-3, dapat langsung memperoleh gelar Doktor. Akan tetapi bagi kawan-kawan yang dengan alasan masing-masing gagal mendapatkan gelar Doktor, dalam karir sebagai seorang dosen, terancam, karena persyaratan minimal seorang dosen harus berpendidikan S-2 (Magister).

Sejak awal perkuliahan, penulis sudah tertarik untuk menulis yang berkaitan dengan bidang pemikiran yaitu yang berkaitan dengan tasawuf. Oleh karenanya sambil kuliah, penulis mengumpulkan buku- buku, kliping dan segala informasi yang terkait dengan tasawuf untuk dijadikan referensi. Ketika penulis telah menyetorkan judul untuk Tesis ke bagian Akademik, beberapa minggu kemudian penulis diminta datang oleh pihak Akademik, karena judul yang penulis berikan sama persis dengan judul Disertasi yang disampaikan oleh saudara Kautsar yaitu: “Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi” .Intinya antara judul dan rumusan masalah yang akan dikaji, sama persis dengan proposal penulis, keduanya akan mengkaji dan membuktikan apakah ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi tersebut memang merupakan ajaran pantheis atau bukan. Karena ada dua judul yang masuk dan sama, maka pihak Akademik membawa hal ini kepada Pak Harun selaku Direktur. Menurut cerita mereka, tentang hal itu kata Pak Harun: Siapa yang menyetorkan judul ke bagian Akademi terlebih dahulu itulah yang berhak untuk melanjutkan tulisannya.” Setelah dicek dalam buku penerimaan judul penelitian ternyata judul penulis lebih dahulu satu bulan dari judul saudara Kautsar. Mengetahui kabar

itu penulis sangat gembira, karena bahan-bahan yang diperlukan 80 % sudah penulis miliki. Tapi apa yang terjadi? Penulis diminta Pak Harun untuk menghadap melalui petugas Akademik. Ketika menghadap, Pak Harun meminta penulis untuk mengalah, yakni judul tersebut diberikan pada saudara Kautsar. Kata Pak Harun ketika itu: “Anisah mengalah saja, cari judul yang lain, Anisah kan masih menulis tesis, sedangkan Kautsar menulis disertasi, jadi biarlah judul itu untuk dia”. Ketika itu penulis menangis terisak-isak di depan Pak Harun. “Pak, saya sudah mengumpulkan bahan sudah dua tahun, jadi sia-sia”. “itupun rencana saya mau dikembangkan jadi Disertasi” kata penulis. “Begini saja”, kata Pak Harun,” Jadikan saja judul “Kritik terhadap Ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi”.” Nanti kerjasama dengan Kautsar untuk mendapatkan data lainnya”. Memang penulis sempat kecewa, namun dengan kelemah-lembutan yang diberikan Pak Harun, penulis kemudian menyetujui usulan Pak Harun. Judul yang diberikan Pak Harun itulah kemudian menjadi judul tesis penulis yang selesai penulisannya dalam waktu tiga bulan setengah. Dari peristiwa tersebut jiwa lembut kebapakan ada pada Pak Harun. Walupun penulis sempat gundah tapi jalan keluarnya diberikan oleh sang Guru. Di akhir perkuliahan kami satu angkatan (Hamka Haq, Saifullah, Asril Datuk Paduko Sindo, Hamdani, Iskandar Usman, Rahmat, Burhanuddin, Ali Mufradi, Tsurayya Kiswati, Zubaidi, Adrianus Khatib dan penulis, Nyimas Anisah Muhammad) diajak makan bersama di kediaman Pak Harun. Rupanya sudah menjadi tradisi Pak Harun jika perkuliahan satu angkatan selesai diajak makan bersama di kediaman beliau di Kampung Utan, samping kampus IAIN Syarif Hidayatullah. Dengan cara itu kami murid-murid merasa lebih dekat dengan beliau dan keluarga. Tidak Cuma makan bersama di rumah beliau, kami satu angkatan pun berfoto bersama beliau. Kami, termasuk pak Harun, sengaja datang ke sebuah studio foto di Blok M, Kebayoran Baru, untuk mendapatkan hasil yang baik dan maksimal. Di samping berfoto satu angkatan, penulis bersama Tsurayya Kiswati, teman prempuan satu-satunya dalam satu angkatan, Ali Mufradi dan Burhanuddin,

kami berempat adalah alumni S-1 dari Fakultas Ushuluddin Sunan Ampel Surabaya, pun menyempatkan foto bersama Pak Harun.

Setelah menyelesaikan Program S-2, Alhamdulillah penulis memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke S-3 (Program Doktor) bersama teman-teman yang lain. Pada tahun 1989/1990 penulis bersama rekan-rekan lainnya seangkatan mengikuti perkuliahan S-3. Pada akhir perkuliahan mahasiswa sudah harus menyerahkan judul dan proposal untuk disertasi. Ada beberapa judul yang diinfentarisir, salah satunya merupakan masukan dari Pak Jalaluddin yaitu pemikiran Bung Hatta tentang Islam. Lalu penulis menyerahkan judul "Pemikiran Keagamaan Mohammad Hatta". Judul dan proposal diterima. Untuk Promotor Pertama ditunjuk oleh Pak Harun sebagai Direktur Program Pascasarjana adalah Bapak Prof. Deliar Noer, PhD. dan sebagai Promotor kedua adalah Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, MA.

Penulis beberapa kali berkunjung ke kediaman Pak Deliar Noer dan Mulyanto Sumardi, untuk berkonsultasi dan mendiskusikan proposal yang kemudian akan dijadikan Bab I. Apa yang disarankan oleh keduanya penulis ikuti. Pak Deliar meminta penulis untuk menggunakan buku karya beliau yang berjudul “Biografi Politik Bung Hatta” sebagai referensi. Penulis langsung mencari buku tersebut dan membelinya serta memasukkan hal-hal yang relevan ke dalam latar belakang yang ada dalam proposal. Sedangkan Prof. Mulyanto Sumardi mengarahkan kepada metodologi penulisan. Semuanya penulis taati.

Sebuah kejadian yang mengejutkan adalah, pada suatu hari, penulis mendapat sebuah surat yang diberikan oleh bagian akademik, yang surat itu berasal dari Prof. Deliar Noer. Ph.D, setelah penulis baca, isinya menyatakan bahwa beliau mengundurkan diri sebagai promotor penulis, alasannya karena penulis tidak mengikuti arahannya. Aneh, kalau memang itu yang terjadi bukankah dapat dibicarakan lagi dalam pertemuan bimbingan selanjutnya. Semudah itukah seorang promotor menyerah? Seorang yang dibimbing sebenarnya sangat mengharapkan arahan yang baik dari promotornya

agar mendapatkan hasil yang berkualitas, ternyata jauh panggang dari api. Dengan surat tersebut penulis menjadi bingung karena kenyataan yang ada, penulis sangat respon kepada beliau serta arahannya, saran sebenarnya sudah penulis penuhi. Yang jelas penulis sangat kecewa dengan kejadian tersebut.

Karena merasa tidak bersalah dan menjadi korban, membuat penulis menjadi penasaran untuk mencari informasi lebih jauh. Dari informasi yang didapat ternyata ada masalah antara Pak Deliar dengan Pak Harun. Apa yang menjadi masalah di antara keduanya biarlah mereka berdua yang tahu. Dengan adanya surat pengunduran diri sebagai promotor di tangan penulis tersebut, penulis kemudian menghadap Pak Harun serta memberikan surat itu kepada beliau, meskipun surat itu ada tembusannya ke Program Pascasarjana. Tanggapan Pak Harun ketika itu:” Yah, tidak apa-apa, masih banyak orang lain untuk dijadikan promotor”. Menurut penulis, tidak mungkin Pak Harun berkata demikian jika tidak ada masalah dengan Pak Deliar. Kalau keduanya tidak dalam masalah penulislah tentunya yang dimarahi Pak Harun, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Pak Harun tidak marah sama sekali kepada penulis.

Memerlukan waktu cukup lama untuk menggati Prof. Deliar Noer, Ph.D. sebagai Promotor penulis. Sebenarnya tidak banyak Profesor yang meneliti tentang Bung Hatta. Pak Deliar Noer sebenarnya sosok yang paling tepat, dalam hal ini, karena beliau di samping menulis tentang Bung Hatta, beliau juga secara emosional dekat dengan Bung Hatta. Lebih kurang sebulan kemudian barulah Pak Harun menunjuk dirinya sendiri menggantikan Pak Deliar Noer sebagai Promotor penulis. Sedangkan Promotor kedua tetap yaitu Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, M.A.

Belum banyak yang dapat penulis tulis dalam pembuatan disertasi, ketika penulis dipanggil Pak Harun melalui bagian akademik. Penulis bertanya-tanya dalam hati, mengapa penulis diminta menghadap. Dalam pertemuan itu Pak Harun mengatakan karena kajian disertasi penulis adalah sosok Bung Hatta, maka penulis

diminta mengikuti program Indonesia Netherland Cooperaton in Islamic Studies INIS). Menurut Pak Harun dengan mengetahui latar belakang kehidupan seseorang, maka akan mudah mempelajari pemikiran-pemikirannya karena latar belakang kehidupan akan memberi pengaruh kuat terhadap pemikiran seseorang. Dengan kata lain bahwa pemikiran seseorang tidak terlepas dari kehidupan masa lalunya. Langsung Pak Harun memberi arahan kepada penulis untuk segera mendaftarkan diri ke Departemen Agama dengan menyertakan proposal tesis.

Sebenarnya ada pertarungan hebat pada diri penulis dalam menghadapi kemauan Pak Harun. Di satu sisi penulis berkeinginan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dan sejauh mungkin, namun di sisi lain penulis tidak tega berpisah dengan ayahanda yang tercinta, yang sendirian, karena ibunda telah lama dipanggil Sang Khaliq, sudah uzur yang ketika itu berusia 78 tahun. Faktor kedua sebenarnya jauh lebih mendominasi pikiran penulis. Karena harus meninggalkan ayahanda yang penulis panggil “Abah”. Berat juga untuk meninggalkan suami walaupun tidak seberat meninggalkan Abah.

Apa yang ada di benak penulis ketika itu, penulis sampaikan kepada Pak Harun. Beliau memberi arahan dengan mengatakan: “Jangan ditolak dulu, bicarakan baik-baik kepada ayah dan kepada suami”.”Program ini penting buat Anisah (penulis)” kata Pak Harun. “Negeri Belanda adalah negeri di mana Bung Hatta menuntut ilmu dan cukup lama Bung Hatta di sana, kehidupan Barat di mana dia tinggal juga akan mewarnai pemikirannya” lanjut Pak Harun. Penulis merenungi ucapan Pak Harun sambil berfikir. Penulis kemudian perpamitan untuk pulang kepada Pak Harun.

Sesampai di tempat kost, yaitu di Jl. Pesanggrahan Ciputat, yang memang sejak mengambil dan menjalani program S-2, penulis selalu bersama Abah. Abah memilih tinggal bersama penulis karena anak Abah hanya dua orang, satu laki-laki, abang penulis yang bernama Kemas Mustazhirbillah, yang tinggal di kampung halaman penulis, kota kecil Tebing Tinggi, sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten

Empat Lawang di Sumatera Selatan dan satu prempuan (Nyimas Anisah Muhammad), penulis sendiri. Setelah penulis bicarakan pada Abah, bukannya Abah melarang atau keberatan, bahkan Abah sangat senang kalau penulis dapat pergi ke negeri Belanda. “Nanti kalau kau sampai di sana”, kata Abah:”pelajari bagaimana kehidupa Belanda yang hanya punya Negara kecil dapat menjajah Indonesia beratus- ratus tahun”. “Ambil ilmunya’ lanjut Abah. Abah juga berkomentar; “Orang kaya, belum tentu dapat menuntut ilmu ke luar negeri,” katanya.”Tentang Abah jangan dipikirkan, kan ada Allah yang menjaga dan memelihara, yang penting kau ketahui, Abah sangat mendukung kau menuntut ilmu dan kau akan sukses” “Abah” memang seorang pejuang sejak muda, beliau pernah dipenjara ketika masa penjajahan. Menjadi pejuang kemerdekatan, angkatan 45 dan anggota Veteran RI. Jadi wajar kalau Abah memberikan dorongan dan support yang kuat kepada penulis.

Ketika persoalan ini penulis ungkapkan kepada sang suami, Mohammad Fatih Alam, dia mengatakan: “kalau Abah sudah mengizinkan aku juga mengizinkan, percuma juga Doktor kalau wawasannya hanya sebatas Ciputat”. Setelah mendapatkan support dan restu dari ayahanda dan suami, penulis memasukkan berkas ke Departemen Agama RI. Ternyata cukup banyak lamaran yang masuk, setelah melalu proses cukup lama, dua puluh orang yang mewakili IAIN seluruh Indonesia dinyatakan lulus, termasuk penulis.

Kedua puluh peserta yang dinyatakan lulus seleksi diwajibkan mengikuti kursus bahasa Belanda selama satu smester di “ERASMUS HUIS”, pusat bahasa dan kebudayaan Belanda di Kedutaan Besar Belanda di Jalan Rasuna Said Jakarta. Setelah menjalani kursus selama satu smester setiap hari kecuali hari Minggu sejak jam 07:00 hingga jam 17:00. Akhir kursus diadakan tes akhir semester. Dari dua puluh orang peserta, yang dinyatakan lulus hanya lima belas orang, termasuk penulis. Kelima belas orang inilah kemudian berangkat menuju negeri Kincir Angin Belanda pada bulan Juni 1991.

Di Belanda penulis tinggal di Apartemen Niewerood, lantai tujuh, kota Laiden. Nieweroord adalah apartemen milik pemerintah Belanda yang diperuntukkan bagi Ziekenhuis (Rumah Sakit) yang ada di Leiden. Penghuni apartemen banyak juga yang datang dari luar kota Leiden bahkan dari luar negeri Belanda yang berobat ke sana. Selain itu apartemen dihuni juga oleh para pelajar yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Enam bulan penulis mengikuti program INIS di negeri Kincir Angin ini, Minggu malam bulan November penulis menerima telepon dari kakak di Jakarta yang mengabarkan bahwa ayahanda sakit keras dan sedang di rawat di Rumah Sakit Fatmawati Cilandak Jakarta. Senin pagi Penulis dibantu kawan-kawan dan pihak pengelola program berusaha mendapatkan tiket untuk pulang ke Tanah Air. Selasa siang dengan pesawat KLM, penulis meninggalkan Belanda menuju Tanah Air. Ketika penulis tiba di bandara Soekarno Hatta, selasa siang, abang penulis, suami dan kerabat menjemput penulis. Ternyata ayahanda, “Abah’ tercinta telah berpulang ke rahmatullah pada Senin pagi jam 06:00 dan dimakamkan Senin sesudah ‘Ashar di pemakaman muslim Jati Padang Utara Pasar Minggu Jakarta. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan menerima amal ibadah dan perjuangan beliau serta mendapatkan ridha dan syorga Allah. Amin ya Rabb.

Kepulangan penulis ke Tanah Air tidak sempat bertemu Abah, karena Abah sudah dimakamkan dua hari sebelum penulis tiba. Untuk kembali ke Leiden, penulis harus mempersiapkan surat menyurat keterangan seperti surat keterangan dari Kelurahan dan Kecamatan serta surat keterangan kematian dari Rumah Sakit Fatmawati. Sebenarnya surat-surat tersebut tidak sulit didapat, tetapi karena harus dengan bahasa Inggris, maka penulis berusaha dulu menterjemahkannya, karena lembaga yang bersangkutan tidak bersedia membuatnya dengan bahasa Inggris. Setelah proses penterjemahan selesai barulah kemudian penulis menyerahkannya kembali untuk ditanda-tangani. Barulah surat tersebut dapat dibawa ke

Belanda. Dalam kepulangan ke Tanah Air, penulis menyempatkan diri menghadap Pak Harun. Kepada Pak Harun penulis menceritakan musibah yang menimpa penulis. Pak Harun mengatakan:” Saya turut berduka-cita, semoga ayahanda Anisah mendapat tempat yang baik di sisi Allah.” Anisah jangan putus asa, teruslah berstudi, kan ayahanda menginginkan yang demikian”. Banyak juga pembicaraan kami berdua ketika itu, intinya Pak Harun memberi semangat untuk menyelesaikan disertasi dengan baik.

Setelah sebulan di Tanah Air, penulis kemudian kembali ke Leiden, Belanda pada bulan Desember 1991 untuk melanjutkan Program yang sedang dijalani. Pada bulai Mei 1992, Program di Belanda selesai dan penulis bersama kawan-kawan group INIS 20 orang (karena ada yang bersama suami dan istri masing-masing, yang memang dibolehkan menyusul ke Leiden) dipandu oleh Prof Stockhof, Prof Nicco Kaptein dan Sabine meninggalkan negeri Kincir Angin Belanda menuju Mesir. Program INIS sebenarnya pada bulan Juni 1992 sudah selesai, akan tetapi karena kami (penulis dan group sudah meminta izin kepada Menteri Agama yang ketika itu dijabat oleh Munawir Sjadzali, M.A.) akan menunaikan ibadah haji, maka kami bertahan di Cairo hingga musim hajji datang sambil menyiapkan visa hajji, yang saat itu sangat sulit kami peroleh. Pertengahan Juni, kami meninggalkan Cairo menuju Saudi Arabia dan berada di sana selama 58 hari. Aktifitas kami adalah menunaikan ibadah haji, namun di samping itu masing-masing mempunyai aktifitas yang berbeda- beda karena masing-masing menjadi bagian dari Tenaga Musiman, menjadi khadim untuk tamu Allah yang menjalankan ibadah haji.

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 39-63)