• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROF DR HARUN NASUTION SEBAGAI AYAH DAN GURU

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 89-97)

Nabilah Lubis

Berbicara tentang seorang tokoh seperti alm Prof. Dr. Harun Nasution sebenarnya agak sulit, khususnya bagi saya. Apakah dari sisi hubungan kekeluargaan atau sebagai bawahan dimana saya menjadi dosen dan beliau Rektor IAIN dan sebagai pemerhati agar saya tidak ketinggalan dan harus belajar seperti kawan-kawan yang mulai mengambil gelar Doktor.

Yang pantas diingat ialah bahwa Prof. Dr. Harun Nasution dan Ibu Sayyidah seperti orang tua bagi saya di perantauan. Hubungan kekerabatan itu bukan tak beralasan. Bapak Harun berasal dari daerah yang sama dengan suami saya, Tapanuli Selatan. Suami saya bermarga Lubis sedangkan beliau bermarga Nasution. Kedua marga ini dianggap saudara sepupu di Tapanuli Selatan. Ini berarti beliau menjadi paman dari suami saya dan harus disegani.

Begitu juga dengan Ibu Sayyidah. Beliau berasal dari Mesir, satu kota dengan saya, Kairo. Beliau dipertemukan dalam suatu kesempatan dengan suami saya yang ingin memanfaatkan perkenalan itu untuk dapat dipertemukan dengan saya. Ketika itu tahun 1960 saya baru bertunangan, tetapi masih bimbang. Maksudnya agar Ibu Sayyidah membujuk saya agar mantap.

Tapi ketika datang ke rumah untuk perkenalan, beliau memarahi saya, kenapa saya mau bertunangan dan selanjutnya menikah dengan orang Indonesia. Saya sempat bingung dan akhirnya saya menjawab: “Saya sudah dua tahun memikirkan masalah itu dan sudah lelah, barangkali itu yang dikatakan jodoh. Undangan sudah siap dan baju pengantin sedang dibuat”. Hal ini memang menambah kebingungan saya.

Kenapa Ibu Sayyidah tidak mendukung rencana pernikahan saya dengan pemuda dari Indonesia? Ternyata Ibu Sayyidah dan Pak Harun

yang menikah di Kairo tahun 1963 tetap tinggal di Kairo. Kemudian, Pak Harun setelah perjuangan kemerdekaan diangkat oleh Departemen Luar Negeri sebagai pegawai/diplomat di Kedutaan RI di Brussel-Belgia. Baru pada tahun 1955 ketika pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) mereka kembali dan terus ke Indonesia.

Apa yang dialami di Indonesia dilihat sebagai dunia lain, bukan seperti di Mesir ataupun di Eropa. Kesan tentang Indonesia di tahun lima puluhan sangat jelek. Ada got-got terbuka di tepi jalan, banyak nyamuk, kekurangan makanan, makan nasi tiga kali sehari, roti susah didapatkan, dan lain-lain. Tentu Ibu Sayyidah yang sedang bersiap- siap berangkat ke Kanada untuk menyusul Pak Harun yang sedang menempuh pendidikan Doktor di Mc Gill University tak mau kalau saya mengalami situasi yang berbeda di Indonesia.

Tetapi, itulah namanya takdir Allah. Pemuda yang setelah berapa tahun ditolak tetapi masih menjadi jodoh saya. Akhirnya, saya menikah di semester terakhir sebagai mahasiswi Fakultas Adab Universitas Kairo Jurusan Perpustakaan (1963).

Akhir tahun itu juga, Menteri Agama pada waktu itu K.H. Saifuddin Zuhri (ayahanda dari Menteri Agama sekarang, Lukman Hakim Saifuddin) datang ke Mesir. Kunjungan tahunan Menteri Agama itu bertujuan untuk bertemu dengan mahasiswa yang sudah selesai dan diajak pulang untuk mengabdi di IAIN se-Indonesia (yang ada pada saat itu). Saya yang baru selesai (Juni 1963) dan suami yang telah selesai di Universitas Baghdad dan sedang studi S-2 di Al-Azhar University termasuk orang yang bertemu dengan Bapak Menteri Saifuddin Zuhri. Ketika beliau mendengar saya alumni jurusan perpustakaan dan achievement, beliau langsung berkata, “ Kami di IAIN belum mempunyai alumni perpustakaan. Nanti Nabilah diangkat sebagai kepala perpustakaan IAIN Al-Jamiah Jakarta untuk merintis perpustakaanya. Betul, tak lama kemudian, SK pengangkatan saya sebagai kepala perpustakaan Al-Jamiah IAIN Jakarta keluar pada

bulan Agustus 1964 dan suami saya H.B. Lubis dosen Hadits di Fakultas Ushuluddin masih di jalan Indramayu waktu itu.

Kembalinya Pak Harun tahun 1975 menyandang gelar Doktor disambut meriah oleh kalangan IAIN di Ciputat. Bagaimana tidak? Beliau adalah orang pertama yang bergelar Doktor yang sangat diharapkan berbuat banyak untuk kemajuan IAIN yang sudah lebih dua puluh tahun umurnya.

Karena belum ada rumah yang dipersiapkan untuk keluarga Pak Harun, maka kamilah yang menerima mereka untuk tinggal di rumah beberapa hari pertama. Kebetulan rumah yang disiapkan untuk mereka di Kompleks berada di belakang rumah saya. Dapur kami menghadap dapur mereka sehingga sering menyapa lewat dapur.

Mengingat keluarga Pak Harun tidak dikarunai keturunan, maka saya seperti anaknya dan anak saya Amany dan Sri sering bermain di rumah beliau sehingga jadilah seperti cucunya. Barangkali inilah sisi kekeluargaan kami dengan keluarga Pak Harun.

Hubungan Sebagai Dosen

Dosen perempuan di IAIN Jakarta tahun 60-an sampai dengan 80-an dapat dibilang sangat langka. Hanya ada saya, Ibu Halimah Majid (alm), dan Ibu Zaharah Maskanah. Saya merasa agak heran sejak tahun 1971 ketika saya tinggalkan perpustakaan dan diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Fakultas Adab semua dosen hanya alumni Strata Pertama dari IAIN atau Lisence dari Mesir. Bukankah biasanya dosen minimal memiliki gelar Master of Arts atau Doktor? Saya juga merasa tidak enak mengapa saya mengajar di strata yang sama?

Barangkali itulah hal yang menarik perhatian Pak Harun yang ketika datang ke Ciputat menjadi dosen dan pengajar pertama yang bergelar Doktor. Pak Harun selama menjadi Rektor berpikir untuk membuka wahana untuk dosen-dosen agar bisa mengambil gelar yang lebih tinggi. Maka beliau membuka Program Pascasarjana. Saya belum punya perhatian terhadap hal itu, karena saya pikir yang bisa

melanjutkan studi haruslah orang yang menguasai disiplin ilmu agama.

Pak Harun marah dan menyuruh saya untuk belajar. Suatu pagi, Pak Harun memanggil saya dan menyuruh Pak Sadali Wakil Rektor untuk menjemput saya di rumah. Lantas, saya heran kenapa Pak Rektor memanggil saya. Setiba di kantor Rektor, terlihat Pak Harun sedang memegang Koran Republika kemudian melemparnya ke meja di depan saya sambil bertanya,” Apa ini?” Saya balik bertanya,” Kenapa Pak? Apa salah saya?” Koran Pelita memuat foto saya sebagai Wakil Rektor IIQ. Pak Harun menjawab dengan singkat,” Tinggalkan semua kegiatanmu di luar! Belajarlah dan minta izin kepada suamimu pergi ke Yogya atau keluar negeri! Sekarang teman-temanmu mulai belajar untuk mengambil gelar Doktor, nanti kamu ketinggalan.

Pak Harun begitu sayang, membuka mata saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Karena sudah ada Program Pascasarjana yang dirangkap pimpinannya oleh beliau pada masa awal. Saya bertanya kepada Pak Harun,” Saya belajar apa? Saya cuma dosen Bahasa dan Sastra Arab. Pak Harun menjawab,” Itu yang penting. Nabilah menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Teman-temanmu belum tentu seperti kamu. Itu yang pokok, selanjutnya kamu bisa memilih bidang yang sesuai dengan keinginanmu.”

Program PLPA Depag Membuka Mata

Tak lama setelah dimarahi Pak Harun, saya mendapat surat dari Depag bahwasanya akan diadakan Progran Pelatihan Penelitian Agama (PLPA). Pesertanya dari seluruh IAIN dan selama tiga bulan tinggal di Wisma Sejahtera. Saya bertanya dalam hati kenapa ditujukan kepada saya? Allah memberikan jalan agar saya belajar ilmu-ilmu agama. Saya mendapat dukungan dari keluarga. Suami saya ketika itu bertugas selama tiga bulan di Saudi sebagai koordinator haji (1984). Putri saya dua-duanya sedang belajar di Mesir. Hanya anak laki-laki saya Umar yang masih SMA dan Sabri yang masih SD

tinggal di rumah. Alhamdulillah saya bisa belajar ilmu agama dari tokoh-tokohnya. Perbandingan agama dari Prof. Mukti Ali, ilmu kalam dan filsafat dari Pak Harun, ilmu sosial dari Harsya Bachtiar, dan lain-lain. Pada minggu-minggu terakhir saya belajar kajian naskah klasik. Saya diperkenalkan pada koleksi naskah Arab yang merupakan warisan budaya bangsa yang tidak mendapat perhatian dari peneliti. Saya mulai tertarik dengan bidang ini yang disampaikan oleh ahli pernaskahan Ibu Prof. Dr. Achadiati Ikram (Dekan Fakultas Sastra UI waktu itu) dan Prof. Bararah Baried dari Universitas Gajah Mada dan Kepala Arsip Nasional Jakarta.

Mereka mendukung dan membimbing hingga saya menemukan naskah legendaris karya ulama nusantara Syekh Yusuf Attaj al- Makassari (1662-1694). Kajian naskah itulah yang saya jadikan sebagai penelitian untuk S-2 dan S-3. Namun, ada hal penting yaitu perubahan program studi saya dari UI ke Pascasarjana IAIN. Apa sebabnya? Sebabnya isi naskah manuskrip yang saya pilih itu membahas tentang ilmu tasawuf. Saya tak mempunyai latar belakang ilmu tasawuf. Kedua pembimbing saya menginginkan saya mengikuti kuliah tasawuf di pasca IAIN sebagai pendengar. Mereka membuat surat dengan tujuan itu. Tetapi Pak Harun menolak. Beliau melempar surat itu di mejanya dan berkata,” Sudahlah, tinggalkan program itu. Mulai besok ikut ke sini (IAIN) karena kamu tidak bisa belajar tasawuf sendiri. Tasawuf berdasarkan filsafat Islam dan filsafat Islam berdasarkan filsafat Yunani. Jadi lebih cocok untuk Nabilah. Biar mereka tetap membimbing setelah kamu belajar tasawuf.” Saya sempat menangis tidak mau pindah. Tetapi kedua pembimbing saya menasihati agar saya menerima usulan Pak Harun. Itu yang lebih baik. Menjadi Orang IAIN

Saya mengikuti kuliah di Program Pascasarjana IAIN Jakarta tahun 1985 (angkatan ke-5). Di sini saya katakan kalau tidak dimarahi Pak Harun, saya tidak berpikir untuk melanjutkan kuliah dan kalau tidak dipaksa pindah dari UI, saya tidak jadi mendalami semua ilmu

agama dari ahlinya. Begitulah sistem Pak Harun, memberi kami landasan ilmu agama yang kuat yang semuanya baru bagi saya. Belajar ilmu tafsir dan hadits dengan Dr. M. Quraish Syihab, fiqh dan ushul fiqh dengan Ibu Dr. Khuzaimah, ilmu kalam/tauhid dan tasawuf dengan Pak Harun, ilmu budaya dengan alm Prof Sultan Takdir Ali Sjahbana, filsafat (musuh saya waktu di S-1) belajar dengan Prof. M. Rasyidi, bahkan belajar ilmu alam dengan Prof. M.K. Tajudin yang ketika itu masih menjabat sebagai Rektor UI, sejarah dan arkeologi dengan Prof. Hasan Anbari, dan lain-lain.

Setelah selesai empat semester kuliah di Pascasarjana IAIN 1988, saya bekata kepada kawan-kawan, “Sekarang saya merasa betul-betul menjadi orang IAIN atau orang Al-Azhar”. Pandangan Prof. Harun sangat mulia, ingin memberikan landasan ilmu agama, sebab ada orang Tarbiyah dan orang Adab yang tidak begitu mendalami ilmu agama, termasuk saya. Setelah itu, Pak Harun mengkotak-kotakkan sesuai dengan bidang ilmu yang dipilih.

Mengingat di Pascasarjana IAIN belum ada kajian naskah maupun metode penelitian filologi, maka saya didukung oleh Pak Harun untuk ikut rombongan ke Leiden University- Belanda untuk mencari varian naskah Zubdat al-Asrar karya Syekh Yusuf al- Makassari karena hanya ada dua versi di Jakarta. Hal ini juga bertujuan agar saya dapat bimbingan tentang metodologi dari ahli pernaskahan Belanda (1989-1990).

Alhamdulillah, berkat dukungan dan arahan dari Pak Harun saya berhasil menjadi doktor perempuan pertama dari IAIN Jakarta (1992) dan yang pertama pula memilih bidang studi naskah. Dan sesuai amanat pembimbing, kajian filologi ini harus disosialisasikan di kalangan civitas IAIN, khususnya untuk kajian naskah berbahasa Arab. Kalau di UI, hanya ada penelitian naskah berbahasa Melayu dan bahasa Jawa-Sunda sama dengan di Universitas Gajah Mada.

Alhamdulillah, saya dapat menyiapkan kader, Doktor yang mengikuti jejak saya, Doktor Oman Fathurrahman yang dibimbing oleh Prof. Achadiati di UI pula. Ada beberapa tesis S-2 dan skripsi S-

1. Tetapi beberapa tahun belakangan ini tak pernah mendengar ada yang berhasil di bidang filologi. Kita perlu pemimpin akademik yang menghayati dan mendorong mahasiswa untuk memilih bidang dan judul yang menantang, bukan yang tradisional dan biasa-biasa saja.

BAGIAN II

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 89-97)