• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTELEKTUAL-MUMTAZ YANG KONSISTEN Fauzul Iman

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 63-69)

(Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Sebagai mahasiswa program Magister, saya termasuk yang mendapatkan anugerah-akademik tak terlupakan. Ketika saya menjalani perkuliahan Strata Dua (S-2) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (tahun 2002 berubah nomenklatur menjadi Universitas Islam Negeri [UIN]) pada 1992-1995 untuk Bidang Sejarah Pemikiran Islam, saya mengalami tempaan akademik langsung oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Pada Smester IV, Guru Besar Filsafat Islam IAIN Jakarta ini mengampu Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam. Bagi saya, dididik oleh intelektual-mumtaz yang namanya kesohor ini benar-benar menjadi kado yang langka. Banyak mutiara kesan sekaligus keteladanan yang bisa dipetik dari Maha Guru Filsafat Islam yang lahir di Pematang Siantar Sumatera Utara, 23 September 1919 ini.

Sebagai mahasiswa yang datang dari pinggiran Jakarta, tepatnya dari Serang Banten (saat itu masih Jawa Barat), kesempatan menimba ilmu langsung pada guru utama intelektual di lingkungan IAIN Jakarta ini menjadi sangat mahal nilainya. Kesempatan yang tak boleh disia- siakan sedikitpun. Kesempatan yang tidak banyak itu saya maksimalkan untuk menyerap keluasan pengetahuannya sekaligus keteladanan perilakunya, baik sebagai pejabat akademika, dosen maupun pembimbing. Kendati saya tidak mengenal beliau secara mendalam, setidaknya ada beberapa catatan keteladanan yang bisa dipetik dari penulis buku Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (kumpulan makalah tahun 1970-1994), ini.

Pertama, konsistensinya dalam menekuni bidang keilmuan. Beliau tipe intelektual-mumtaz yang tidak latah mengikuti berbagai arus perkembangan pemikiran keislaman. Beliau begitu fokus

mendalami dan mendetaili pernik-pernik tema filsafat Islam. Latar belakangnya yang pernah menimba pengetahuan di Universitas al- Azhar Kairo hingga memperoleh Ahliyah (1940) dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin (1942) menjadi garansi kemahirannya di bidang ini. Apalagi beliau juga menamatkan MA (1965) dan Ph.D. (1968) bidang Studi Islam di Universitas McGill Montreal Canada. Basis keilmuan di Timur dan Barat dikuasainya dengan baik. Beliau konsisten betul menebarkan ide-ide keislaman di bidang ini, sehingga penjelasannya begitu tuntas. Konsistensi inilah yang menghantarkannya menjadi Guru Besar bidang Filsafat Islam di IAIN Jakarta pada 1978.

Kedua, disiplin dan menomorsatukan mengajar. Beliau tipe intelektual-mumtaz yang sangat memperhatikan waktu. al-waqt ka al- saif (waktu laksana pedang), benar-benar menjadi pertimbanganya dalam menjalani rangkaian aktivitas akademiknya. Sepanjang yang saya pahami, beliau senantiasa tepat waktu dalam mengajar para mahasiswanya. Datang ke ruang perkuliahan tepat waktu; demikian juga pulangnya. Tidak ditambah, pun tidak dikurang. Tipe dan karakter pendidikan di Barat benar-benar diamalkan dalam kesehariannya. Tak heran, beliau senantiasa mementingkan pendidikan ketimbang selainnya. Pernah suatu ketika, beliau kedatangan tamu besar Munawir Sjazali. Alih-alih mementingkan tamunya, beliau justeru mendahulukan mengajar mahasiswanya yang dari unsur orang-orang biasa. Sayangnya, kebiasaan disiplin mengajar ini seringkali berkebalikan dengan para dosen muda kala itu.

Ketiga, mencintai mahasiswa yang kritis. Sebagai guru sejati, penulis disertasi The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views (1968) ini betul-betul memperhatikan perkembangan intelektual setiap mahasiswanya. Beliau sangat mencintai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Tipe mahasiswa seperti ini akan diperhatikan secara intensif dan bahkan ada yang sampai diangkat menjadi asistennya. Perhatian ini menjadi berkah tersendiri bagi mahasiswa tertentu dan akan menjadi pemacu

semangat bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mahasiswa mana yang tidak bahagia dan bangga mendapat perhatian yang begitu besar dan tulus dari intelektual yang dihormatinya.

Keempat, rendah hati dan bukan tipe intelektual-selebritis. Ketinggian dan keluasan pengetahuannya, nyatanya tidak membuat penulis Teologi Islam:Aliran-aliran Sejarah Analisan Perbandingan (1972), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1996), ini merasa dirinya di atas yang lain. Beliau tipe intelektual-mumtaz yang rendah hati. Ibarat padi, beliu tipe intelektual yang makin berisi makin merunduk. Beliau tak ingin tampak di keramaian orang. Itu sebabnya, kesan yang muncul dari lelaku beliau adalah kesederhanaan, kerendahhatian dan kebersahajaan, sehingga beliau bisa bergaul dengan siapapun dari lapisan manapun. Beliau mudah dijumpai dan welcome. Beliau juga bukan tipe intelektual selebritis, yang sering muncul di berbagai media untuk isu-isu karbitan, apalagi sekedar tampil untuk hal-hal yang bukan konsennya. Beliau juga bukan tipe intelektual yang nyaman bersemedi di “menara gading”. Beliau berbaur akrab dengan masyarakat akademik yang mengelilinginya. Ibarat kiai, beliau dekat dengan masyarakat dan santrinya, tanpa tersekat oleh kedalaman dan keluasan intelektualitasnya.

Kelima, tekun menjalankan ritual ibadah. Sebagai pemikir kelas atas di lingkup akademisi Islam, di tengah kesibukannya beliau tetap konsisten menjalankan ritual peribadahan sebagai ikatan kemuslimannya. Betul belaka, isu-isu miring dan nyinyir yang kerap dilontarkan banyak orang adalah kesekulerannya. Dikesankan oleh tudingan miring itu, sebagai sosok sekuler, beliau acap mengabaikan titah-titah Tuhannya, terutama terkait peribadahan. Sesuai pengetahuan saya, nyatanya beliau tidaklah demikian. Beliau paling dulu hadir di masjid dan menempati baris terdepan (al-shaff al-awwal) saat menunaikan shalat Jum’at. Kenyataan ini sesungguhnya justru menunjukkan dirinya sebagai filosof sekaligus sufi. Sosok yang mengedepankan akal di depan anak didiknya dan mendahulukan hati

di hadapan Tuhannya. Karakter yang luhur dan semestinya menjadi teladan bagi keberagamaan kita.

Keenam, mengajarkan mahasiswanya untuk berfikir rasional, logis dan obyektif. Latar belakangnya yang akademisi tulen dan aktivitasnya menekuni dunia filsafat secara intensif, menjadikannya sosok yang mengedepankan sisi-sisi rasionalitas ajaran, yang karenanya oleh banyak pengritiknya beliau kerapkali dimasukkan dalam gerbong Mu’tazilah zaman ini. Karena hal ini pulalah, beliau senantiasa mengajak mahasiswanya untuk berfikir rasional, logis dan obyektif. Beliau terbiasa membuka ruang lebar-lebar bagi siapapun yang tidak setuju dengan gagasan pembaharuannya, untuk melakukan kritik atau bantahan. Beliau tidak pernah marah dikritik keras atau dibantah lugas oleh mahasiswanya yang dilandasi argumen yang kokoh dan obyektif. Dorongan pada mahasiswa untuk selekas- lekasnya menyelesaikan studinya juga senantiasa disampaikannya. Tak jarang, bagi yang belum selesai, beliau senantiasa menanyai dan mencarinya, sekedar untuk mengingatkannya.

Sesungguhnya masih banyak kesan lain dari sosok penting bagi iklim akademik di lingkungan IAIN Jakarta (juga kampus Islam) khususnya dan dunia Islam Indonesia umumnya ini. Karya-karya, baik skripsi, tesis, disertasi, kajian buku, dll, telah banyak yang mengurai kiprahnya, terutama kiprah akademiknya. Bahkan buku-buku yang mengritiknya juga tak kalah banyaknya. Dua hal ini justru kian menunjukkan keluhurannya, sekaligus menjadi bukti sahih betapa pemikiran keislamannya mencuri perhatian (bahkan di satu pihak mengganggu) banyak kalangan. Bahkan ada yang berupaya membendung arus pemikirannya, karena dinilai memporak- porandakan keimanan. Ala kulli hal, “Ma kana rajul hakim fi qaumih qaththu illa baghau ‘alaih wa hasaduhu (Tak ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu saja ada orang-orang/kelompok yang mencaci-maki dan mendengkinya”, demikian kata bijak Ka’b al- Ahbar. Beliau termasuk yang mengalami sunnatullah ini. Tidak hanya

pada masa hidupnya, bahkan setelah kewafatannya di Jakarta pada 18 September 1998.

Secara fisik beliau telah meninggal dan jasadnya terkubur di dalam tanah, namun pemikiran-pemikiran brilian intelektual-mumtaz ini tidak ikut terkubur dan hancur begitu saja. Kita semua masih bisa belajar dari dokumentasi pemikirannya. Selain bertebaran di buku- buku yang telah disinggung di muka, ide-idenya juga bisa dinikmati melalui karya-karyanya yang lain, semisal Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah (1987), yang merupakan intisari bahasan disertasinya; Akal dan Wahyu dalam Islam (1982), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (1973), Filsafat Agama (1973) dan sebagainya. Kita semua mengambil jasa dari beliau. Wa Allah a’lam.

PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 63-69)