• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERPADU Jamali Sahrodi

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 109-121)

(Direktur Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Istilah sekularisasi untuk di Indonesia lebih lekat dengan Cak Nur, Pembaharuan dalam Islam lebih akrab dengan Harun Nasution.” (Imron Abdullah, 2002: 2).

Istilah “Pembaharuan” bagi Indonesia pada zaman orde baru sangat lekat dengan Prof. Dr. Harun Nasution selain Cak Nur (panggilan sapaan Nurcholish Madjid). Hal ini dimaklumi, mengingat di era 1980-an Dr. Harun Nasution kembali di Indonesia setelah mengembara sekian lama di luar negeri dalam pencarian ilmu. Negeri yang pertama dituju sebagai tempat menempa ilmu adalah negara Mesir, yang berlokasi di wilayah Timur Tengah. Pencarian dan pengembaraan di ladang kawah candradimuka keilmuan dilakukan oleh Harun Nasution muda adalah penguasaan keilmuan dalam lingkup bahasa Arab, sehingga negeri Mesir dijadikan tujuan kepergian guna menuntut ilmu. Universitas Al-Azhar dijadikan idaman penggalian ilmu keislaman. Harun muda sangat bersemangat mencari tahu tentang ilmu Ushuluddin, yang dikenal pula dengan sebutan ilmu tauhîd, ilmu aqâid, ilmu kalâm, dan teologi Islam. Ilmu

1Jamali Sahrodi adalah alumni Sekolah Pascasarjana (S-3) UIN Syarif

Hidayatullah Februari 2004. Ia menyelesaikan Program Pascasarjana (S-2) di IAIN Sumatera Utara, Medan pada akhir 1996 dan Program Sarjana (S-1) di IAIN Sunan Gunung Djati di Cirebon 1992. Penulis berterima kasih kepada (alm.) Prof. Dr. Harun Nasution yang telah mendidiknya melalui perkuliahan sejak penulis mengikuti kelas kuliahnya di Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara hingga Program Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah yang belakangan bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

filsafat dijadikan sebagai fondasi pengetahuan yang menjadikan putra Indonesia asal Natal Sumatera Utara ini mendalami pemikiran Islam secara komprehensif. Di Universitas Al-Azhar, pemuda bermarga Nasution ini sangat menggemari filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf. Masa ini lebih membutuhkan pemikiran Islam yang segar, bukan pemikiran radikal yang muncul belakangan. Digambarkan oleh Akh. Muzakki (2014:2) bahwa ladang subur munculnya Islam radikal di Asia Tenggara-khususnya di Indonesia sebagai bentuk atas support dari kelompok al-Qaeda.2 Kelompok gerakan Islam yang dipimpin

oleh keluarga saudagar Arab Saudi, yakni Usamah bin Laden. Keahlian di bidang agama—khususnya pemikiran Islam— menjadi trade mark kepakaran putra Batak Tapanuli Selatan. Kefasihan dalam memberikan elaborasi tiga materi yang tergabung dalam Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI) - Teologi Islam, Filsafat Islam, dan Tasawuf—menjadikan mantan penerjemah kedutaan besar Indonesia di Mesir ini dijuluki pembaharu Islam di Indonesia. Pemikiran umat Islam di Indonesia—pada periode 1970-an dan 1980-an—sedang mengalami stagnasi, atau sebut saja terlalu fiqh oriented sehingga mengesankan pemikiran Islam tidak lagi berkembang.3 Kondisi ini yang memacu Prof. Harun sebagai rektor

dan Prof. Mukti Ali sebagai Menteri Agama RI sangat antusias untuk memajukan perguruan tinggi Islam, saat itu baru IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang ada. Ternyata, semangat dua orang akademisi dan birokrat ini berpadu dalam semangat membangun Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi Islam yang modern dan berkeadaban. Kedua tokoh pembaharuan ini akhirnya menempati posisi masing-

2Akh. Muzakki. “The Roots, Strategies, and Popular Perception of

Islamic Radicalism in Indonesia”, dalam Journal of Indonesian Islam. Vol.08 No.01, June 2014.

3Pemikirannya dituangkan dalam tiga buku yang sangat populer di

Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, yaitu Teologi Islam yang diterbitkan oleh UI Press, Pembaharuan Islam dan Mistisisme dalam Islam diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta.

masing, yakni Prof. Mukti Ali menggawangi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedangkan Prof. Harun Nasution memimpin Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga akhir hayatnya. Pengabdian yang sempurna bagi keduanya dan telah melahirkan kader-kader yang memperbaharui lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Dapat dikatakan, para pengelola lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia sekarang ini baik IAIN, UIN, maupun STAIN dan STAIS merupakan murid-murid kedua guru besar itu.

Cikal bakal pemikiran yang dikembangkan oleh Prof. Harun Nasution sebenarnya telah berkembang kendatipun dalam pemikiran yang berserakan dalam pemikiran para tokoh Islam Indonesia pada abad 17-an dan seterusnya. Pemikiran Islam di Nusantara sebagaimana ditelusuri oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama- nya menunjukkan adanya kesinambungan antara pemikiran ulama di Nusantara dengan pemikiran ulama di daerah Hijaz (Mekkah).4

Pemikiran Ulama di Indonesia dari pemikiran yang moderat hingga yang berhaluan keras (tekstual). Saat ini tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Islam berpaham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (Aswaja) atau yang disebut Sunni, bukan Islam Syi’ah atau yang disebut Syî’i. Azra menegaskan “from a theological point of view, the present-day hardlinerMuslim groups, like Lasykar Jihad (LJ), Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), and its splintering group Jamaah Anshar at-Tauhid (JAT) and Hizb al- Tahrir, all in Indonesia; and the Jama’ah Islamiyyah (JI) in Malaysia,

4Azyumardi Azra telah melakukan penelitian tentang jaringan ulama di

Asia Tenggara ketika menyelesaikan disertasinya di Columbia University, kemudian disertasi itu diterbitkan di Amerika, Belanda, dan dalam versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada awal 1990- an. Lihat: Azyumardi Azra. The Origins of Islamic Reformism in Southeast

Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the 17th

and 18th Centuries. Crows Nest: AAAS & Allen-Unwin; Honolulu:

Singapore and Indonesia are also Sunni. None of these groups in Shi’i.5

Keteladanan dalam kedisiplinan merupakan karakter khas almarhum penerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Republik Indonesia 2015. Dalam setiap mengisi perkuliahan baik di Jakarta maupun ke daerah-daerah senantiasa tepat waktu (on time), lima menit sebelum acara perkuliahan dimulai beliau sudah hadir di depan kelas. Hal ini dilakukan oleh putra Batak bermarga Nasution ini hingga akhir hayatnya. Sikap tidak membedakan antara mahasiswa yang satu dengan yang lain dipraktekkan dalam kehidupan. Pemikiran rasional yang dijadikan landasan berpikir, bukan karena kesamaan etnis, asal-usul, atau kedekatan sebagai mahasiswa namun ketepatan dan kelurusan logika dan argumentasi yang dijadikan dasar pertimbangan setuju atau tidak setujunya suatu pandangan. Yang lebih penting lagi bagi Prof. Harun dalam pembelajaran adalah kejujuran ilmiah dan kecermatan dalam melakukan penelitian. Dikatakan bahwa para mahasiswa pascasarjana merupakan calon peneliti sehingga harus dibiasakan dan dibekali mengenai materi penelitian yang kuat. Selain demikian, penjaga gawang akademik kampus IAIN Jakarta ini menekankan pentingnya otoritas dalam pengutipan. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan mencoret kutipan dari referensi atau literatur yang ditulis oleh penulis yang tidak memiliki otoritas di bidangnya. Hasilnya kini dirasakan oleh bangsa Indonesia banyaknya para peneliti keagamaan yang tumbuh dari spirit dan pembaharuannya.6

5Azyumardi Azra. “The Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah in Southeast Asia:

The Literature of Malay-Indonesian ‘Ulama’ and Reforms”, dalam Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage. Vol.2 No.1 June 2013, 16.

6Para ahli penelitian keagamaan telah tumbuh di Indonesia, tampak dari

hasil penelitian mereka dalam Jurnal Lektur Keagamaan Kemenag Vo.12 No.2 Desember 2014. Notabene mereka para peneliti muda yang berusaha menggali tentang Islam dan para tokohnya di Nusantara. Untuk menyebutkan sebagian hasil penelitian mereka adalah “Muhammad Djamil Djambek: Ulama Pembaharu Minangkabau” oleh Novita Siswayanti; “Inskripsi pada

Sisi lain yang menarik dari Pembaharu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini adalah sikap kedermawanannya. Penulis masih pernah mengalami kebaikan budi menerima dana talangan beasiswa. Pada tahun akademik 1997/1998, penulis diterima sebagai mahasiswa program doktor penerima beasiswa dari Departemen Agama RI (kini menjadi Kementerian Agama RI). Ternyata penerimaan beasiswa dari Depag RI tidak lancar setiap bulan tepat waktu namun sering terlambat dan kebanyakan pembayarannya cenderung dirapel alias “jamak qadhâ”. Di saat keterlambatan pembayaran beasiswa terjadi, maka Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah ini menalangi semua mahasiswa yang memperoleh beasiswa dengan uang milik pribadinya. Subhânallâh…! Inilah sikap seorang disiplin dan dermawan yang senantiasa dikenang oleh para muridnya. Sejatinya, tidak hanya itu yang dilakukan seorang pemikir rasional ini melainkan ia mengangkat anak-anak dari orang tua tidak mampu dijadikan anak angkat dan diasuhnya hingga memperoleh derajat level pendidikan yang dapat diraihnya oleh mereka.

Pada saat penulis studi di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para staf karyawan program itu sebagian adalah anak asuhnya yang dididik di rumahnya. Siapa orangnya—terutama mahasiswa pascasarjana IAIN Jakarta—yang tidak kenal Azwar, Abbas, dan kawan-kawan? Mereka semua adalah anak-anak asuh dan staf Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sangat loyal terhadap sang Direktur. Saking taat dan hormat mereka terhadap pimpinannya, mereka akan berusaha bersembunyi di saat sang Direktur masuk dan melewati ruang kampus. Mereka bersembunyi untuk berusaha tidak “berseliweran” di saat beliau memasuki area kampus. Mereka menghindarinya bukan karena takut namun karena mereka segan dan merasa “ewuh pakewuh” bila beliau memasuki area kampus, sementara mereka sedang bersenda gurau.

Makam Kiai Hasan Maulani: Sosok Pejuang Islam dari Kuningan” oleh Syarifuddin; dan “Sejarah Masjid Agung Manonjaya” oleh Zainuddin.

Kharisma dan pengaruhnya sangat besar dan meluas di lingkungan kampus IAIN–yang kini menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengaruh luas itu bukan karena direkayasa atau dikondisikan melainkan akibat dari kharisma dan keajegan beliau dalam bersikap dan berperilaku.

Pemikiran Rasional

Pembaharuan yang pernah ada di Indonesia relatif homogen, namun berbeda jika menilik pembaharuan di negara yang beragam etnis semisal Australia. Karena umat Islam di Australia minoritas dan mereka berasal dari berbagai belahan dunia, semisal dari Eropa, Amerika Utara, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, dan dari negara jazirah Arab atau Timur Tengah. Pemikiran Islam kontemporer—menurut Abdullah Saeed, mujtahid progresif dari Australia—terbagi menjadi enam kelompok: [1] The legalist- traditionalist (hukum fiqh tradisional), yang titik tekannya adalah pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra modern. Tokoh trend ini adalah Dr. Yusuf Qardlawi. [2] The theological puritans (teologi Islam puritan), yang fokus pemikirannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam, puritan dan literalis, ditambah dengan kebiasaan mengklaim bid’ah kepada kelompok muslim di luar mereka. Tokohnya adalah Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin. [3] The political Islamists (politik Islam), yang cenderung pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam. Tokohnya adalah Abu al-A’la al-Maududi dan gerakan terkemuka terkait dengan Islam politik adalah Ikhwân al-Muslimîn di Mesir dan Jamaat-i-Islami Pakistan. [4] The Islamist Extremists (Islam garis keras), yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan baik muslim maupun non-muslim. Tokohnya adalah Usamah bin Laden. [5] The Secular Muslims (muslim sekuler), yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter). [6] The progressive

ijtihadist (Muslim progresif-ijtihadis) yaitu para pemikir muslim kontemporer yang mempunyai penguasaan khazanah Islam klasik yang cukup dan berupaya menafsir ulang pemahaman agama (melalui ijtihad) dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu modern (sains, social science, dan humanities) agar bisa menjawab kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Pada katagori yang terakhir inilah posisi muslim progresif berada.7

Bila dilihat dari pemilahan berdasar pemikiran Abdullah Saeed, pesisi pemikiran Prof. Harun Nasution dapat digolongkan pada kelompok keenam. Kendatipun menghendaki agama dan keshalehan sosial sebagai masalah pribadi namun pembaharu IAIN Jakarta ini mengusulkan adanya tafsir ulang terhadap ajaran agama dengan pemikiran rasional. Dia ingin meletakkan dasar pemikiran bahwa Islam terbagi menjadi dua ajaran, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan dasar. Sejalan dengan pemikiran kaum eksistensialis, Prof. Harun hendak meletakkan etika menjadi ilmu sosial. Menurut Hassan Hanafi (2004:29) eksistensialisme meletakkan empat postulat yang didasarkan pada etika eksistensialis, yaitu [1] Penghargaan terhadap manusia [2] Kebebasan dan kesadaran terhadap tanggung jawab [3] Bergerak mendesak etika [4] Niat baik (good will) dan konsistensi jiwa.8

Hassan Hanafi menegaskan makna “bergerak mendesak etika” dengan penjelasan yang sangat memadai. Manusia adalah bebas- merdeka, pemimpin, dan pelaku. Itulah sentralisasi jihad dan tindakan praksis yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Seolah-olah Eksistensialisme aksiologis adalah etika manifestasi dan mujahadah. Perhatian generasi Muslim adalah mendefinisikan poros gerakan dan metode ijtihad bagi kemaslahatan khusus maupun kemaslahatan

7Abdullah Saeed. Islamic Thought: An Introduction. London and New

York: Routledge, 2006, 142-150. Lihat juga: Fathiyaturrahmah. “Membumikan Pemikiran Islam Progresif”, dalam Jurnal al-‘Adâlah Vol.17 No.1 Mei 2014, 127-128.

umum, bagi diri maupun yang lain. Setiap kita akan berjalan namun jalannya berbeda-beda.9 Tidak diragukan lagi bahwa tindakan praksis

adalah tergantung pada niat, dan kemampuan (upaya keras) tergantung pada tendensi dan sasaran. Perhatian generasi kita adalah membatasi objek sasaran, puncak keinginan, dan tempat menghadap dan tujuannya.10

Pemikiran rasional dengan bersandar pada pijakan nalar paham Muktazilah menjadi karakteristik lain dari Prof. Harun Nasution. Mengingat, dasar pemikiran yang diacu olehnya adalah agama Islam itu logis (masuk akal). Al-Dîn liman ‘aqlalah, agama adalah bagi orang yang berakal. Rasionalitas menjadi tema sentral dalam pemikirannya dengan mengedepankan cara nalar Muktazilah yang berprinsip, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mau mengubahnya sendiri. Analisisnya, kemajuan suatu bangsa bukanlah hasil dari pemberian bangsa lain melainkan harus diusahakan sendiri oleh bangsa itu. Sampai kini pemikiran rasionalitas menjadi dasar pemikiran Islam liberal (liberal Islam), dan acuan bacaan mereka adalah buku-buku hasil karya kaum muktazili, seperti al-Ushûl al-Khamsah karya al-Qâdhi ‘Abd al- Jabbâr.

Bagi Harun Nasution—sebagian sejalan dengan pemikiran Hassan Hanafi—kebangkitan Islam adalah kebangkitan rasionalisme untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) khazanah klasik Islam, melakukan perlawanan wacana terhadap dominasi kebudayaan Barat, dan menganalisis kembali realitas dunia Islam.11 Hanya saja Harun

Nasution masih pada memperkenalkan pemikiran rasional belum sampai pada tawaran untuk mengcounter pemikiran Barat, justeru Harun Nasution mengajak kepada umat islam untuk tidak segan-segan

9Hassan Hanafi. Ibid.

10Hassan Hanafi. Ibid. Lihat juga: Al-Juwaniyyah, 187-199 “Nilai

Kemanusiaan dalam Seruan Rasul”

11Hassan Hanafi. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat.

mengambil tradisi dan budaya Barat yang rasional yang sejalan dengan ajaran dasar Islam.

Perhatiannya terhadap hasil pemikiran kaum muktazili, menandakan awal kegandrungan Harun muda kepada pembaharuan di dunia Islam. Disertasi yang disusunnya—saat kuliah di McGill University—mengangkat tema pemikiran teologi Muhammad ‘Abduh. Pemikiran rasional di dunia Islam didengungkan oleh Muhammad Abduh, dalam mendorong dunia Islam harus bangkit dari keterpurukan dan keterbelakangan dari dunia Barat. Mengingat Barat—saat itu—telah bangkit dan meninggalkan dunia Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Seruan inilah yang tampaknya merasuki pemikiran Harun Nasution yang ingin turut membangun Indonesia yang lebih rasional dan maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hasil dari pembaharuan yang dilakukannya, kini telah dirasakan bangsa Indonesia—khususnya—dunia Perguruan Tinggi Keagamaan Islam baik negeri maupun swasta. Kemajuan itu dapat dilihat dari struktur kurikulum yang tidak lagi fiqh oriented, namun lebih mengadopsi kemajuan zaman sehingga lebih fleksibel dan senantiasa dinamis. Para murid guru besar ini telah berperan di hampir seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam—UIN, IAIN, dan STAIN— bahkan di beberapa perguruan tinggi umum. Para muridnya di perguruan tinggi umum adalah mereka para dosen Pendidikan Agama Islam atau Bahasa Arab yang mengambil S-3 di IAIN Syarif Hidayatullah atau hasil kerjasama antara Pascasarjana UI dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pembaharuan dalam Pemikiran Islam

Perjalanan panjang pemikiran Prof. Harun dilalui setelah ia merantau untuk mencari ilmu dan mengamati fenomena kehidupan umat Islam baik di dalam maupun di luar negeri. Menurutnya, kemunduran umat Islam karena paham dan pemikiran mereka jumud dan taklid pada pemikiran dan paham ulama klasik tanpa melakukan

kritik dan reaktualisasi ajaran. Oleh karena itu, pembaharuan dalam pemikiran Islam harus dilakukan agar pemahaman umat Islam kontemporer senantiasa up to date, tidak tertinggal zaman (out of date).12 Pemikiran pembaharuan Harun Nasution mempengaruhi para

muridnya, setidaknya membuat pergumulan pemikiran di kalangan para mahasiswa di Jakarta. Tampak dalam catatan harian Ahmad Wahib dengan sebuah pertanyaan “Apakah semua kaum Muslimin masih dikungkung fiqh?” Pertanyaan itu dijawabnya dengan elaborasi yang singkat namun mengenai sasaran. Ada kaum muslimin yang tidak sadar bahwasanya fiqh Islam kini sudah ketinggalan zaman. Di antara mereka ini termasuk ulama-ulama yang belum tersentuh ilmu pengetahuan moderen.13 Ada lagi bagian dari kaum muslimin yang

sadar bahwa fiqh Islam kini sudah ketinggalan zaman, tapi mereka masih dalam kerangka fiqh yang ada. Pengakuan akan ketinggalan zaman tersebut timbul oleh opini global (formal) kaum intelektual dan bukan oleh materi opini atau fiqh itu sendiri. Di antara mereka ini termasuk ulama yang sudah merasakan dan menikmati ilmu pengetahuan moderen.14

Pada tahun 1970-an awal, Harun Nasution kembali ke Indonesia dan mulai menapakkan kakinya di IAIN Syarif Hidayatullah. Saat itu, mulai bergaung pemikiran pembaharuan di kalangan mahasiswa baik di Jakarta maupun di Yogyakarta. Nurcholish Madjid muda mulai menghembuskan penyegaran pemikiran Islam di Jakarta, sedangkan Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan kawan-kawan mendengungkan pembaharuan pemikiran Islam di Yogyakarta. Pemikiran inilah kemudian ditata secara rapih oleh Harun Nasution dalam dunia akademik melalui mata kuliah Pembaharuan dalam Dunia Islam atau Aliran Modern dalam Dunia Islam (Almodis). Tulisannya yang

12Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1990.

13Ahmad Wahib. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Ahmad Wahib.

Jakarta: LP3ES, 2003, 129.

mengantarkan pada logika berpikir lurus untuk terus melaju pada pembaharuan pemikiran Islam adalah:

1. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya; 2. Pembaharuan dalam Islam;

3. Mistisisme dalam Islam; 4. Teologi Islam; dan 5. Islam Rasional.

Tawaran yang disodorkan oleh putera keturunan Batak Muslim ini adalah pemikiran rasional Muhammad Abduh. Pemikiran rasional Muhammad Abduh termaktub dalam tulisan disertasinya di Departemen Islamic Studies di McGill University, Kanada. Jika menilik pada pemikirannya, maka pemetaan Abdullah Saeed memosisikan Harun Nasution pada kelompok enam, yakni sekumpulan pemikiran Islam progresif yang beranggapan akan perlunya penafsiran ulang (reinterpretasi) atas ajaran dasar Islam. Pemikiran Islam dari hasil interpretasi ulama klasik yang sudah tidak relevan maka perlu dilakukan reinterpretasi oleh pemikir atau ulama kontemporer agar dapat menjawab tantangan umat Islam. Solusi harus segera dicarikan agar umat Islam tidak dibingungkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat membantu mempermudah cara hidup mereka.

Perjuangan dan gerakan pembaharuan Prof. Harun Nasution telah dirasakan pada diri para muridnya. Kini gerakan pemikirannya sedang dikembangkan oleh para muridnya baik melalui gagasan maupun kebijakan-kebijakan pendidikan di Kementerian Agama Republik Indonesia. Diakui atau tidak, mereka yang kini berperan sebagai pengelola lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia adalah kebanyakan para muridnya baik bertemu langsung atau belajar melalui bacaan hasil pemikirannya. Selain itu, ia memperkenalkan Sejarah Peradaban Islam sebagai disiplin ilmu yang dinamis, tidak seperti gambaran pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Peradaban Islam sudah diakui oleh publik

memiliki peran di dunia, sebagaimana dinyatakan oleh Komaruddin Hidayat.15 Dinamika peradaban Islam sejalan dengan dinamika

budaya Islam yang hidup. Menurut hemat Ali Akbar Velayati, “…Islam berawal dari Mekkah. Pada waktu itu, tahap pertama dakwah dimulai dengan penjernihan peradaban dan budaya Islam. Tahap kedua dimulai setelah Nabi hijrah dan mendirikan negara Islam di Madinah”.16

Pada bagian akhir tulisan ini, penulis menyadari bahwa yang dituangkan dalam tulisan ini adalah bagian yang masih terekam dalam memori. Diyakini, masih banyak hal yang belum tertuang dalam tulisan ini hal-hal positif dari kesan yang dirasakan oleh penulis dari pergumulan dan persentuhan dengan Sang Maestro, pembaharu, sekaligus pendidik yang mulia dan konsisten. Penulis berterima kasih atas didikan dan kesabaran beliau dalam memberikan advis akademik. Semoga Allah mengampuni segala dosa, dan melapangkan tempatnya di alam kubur serta memasukkannya ke surga yang diridlai-Nya. [Mal’s]

15Ada kemiripan antara Iran dan Indonesia. Keduanya adalah

masyarakat muslim, tetapi nonarabic countries. Indonesia, sebagaimana Iran, bukan bangsa Arab, tetapi memeluk Islam. Ini membawa implikasi yang jauh ketika kita bicara peradaban. Lihat: Komaruddin Hidayat. “Sambutan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”, dalam Mulyadhi Kartanegara dkk. Et.al. Islam, Iran, Peradaban: Peran dan Kontribusi Intelektual Iran dalam Peradaban Islam. Yogyakarta: Rauyanfikr, 2012, 15.

16Ali Akbar Velayati. Ensiklopedia Islam dan Iran. Bandung: Mizan,

HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 109-121)