• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ridwan Lubis

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 177-193)

REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUS

M. Ridwan Lubis

(Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pendahuluan

Keluarga Besar UIN, IAIN dan STAIN patut ikut bergembira dengan penganugerahan Bintang Mahaputera Utama kepada Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution yang semasa hayatnya telah memberikan pelajaran berharga kepada hampir semua generasi muda yang berkiprah di lembaga pendidikan tinggi keislaman baik mereka yang menjadi unsur pimpinan, dosen, alumni maupun para mahasiswa. Mereka yang memperoleh kesempatan ikut menikmati kontribusi pemikiran dan gerakan Prof. Harun Nasution dapat dibagi dalam empat kategori (1) orang yang terus menerus mendampingi beliau baik dalam kegiatan keilmuan seperti yang langsung memperoleh bimbingan dalam penulisan tesis atau disertasi maupun dalam manajemen kepemimpinan (2) mereka yang pernah menjadi murid beliau akan tetapi tidak terlalu intens berhubungan karena pertemuan hanya terbatas pada acara perkuliahan (3) mereka yang tidak berkesempatan berguru langsung kepada beliau akan tetapi memperoleh wawasan pemikiran beliau melalui para murid yang beliau asuh sampai menyelesaikan pendidikan tertinggi (4) orang yang sekalipun telah menyelesaikan studi Pascasarjana dan telah kembali ke daerah asalnya namun terus menjalin komunikasi dengan beliau.

Tidak jarang, mereka yang berguru kepada beliau sudah dimuati pada mulanya dengan sikap a priori terhadap pemikirannya. Sehingga

1Makalah Narasumber Diskusi Menyambut Penganugerahan Bintang Mahaputera Utama kepada Prof. Dr. Harun Nasution, Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jum’at, 21 Agustus 2015

tidak terhindarkan terdapat mahasiswa Fakultas Pascasarjana yang mendaftar waktu itu terutama yang memiliki latar belakang keilmuan syariah, tidak sedikit yang ingin menguji seberapa kuat dasar argumentasi dari Prof. Harun Nasution dibanding dengan wawasan keilmuan yang sudah diperoleh di lembaga-lembaga pendidikan tradisional. Akan tetapi begitu perkuliahan bahkan dialog yang menjurus perdebatan di mulai maka sedikit demi sedikit format pemikiran yang dibawa mahasiswa dari lingkungan asalnya mulai luluh dan akhirnya muncul berbagai sikap simpati kepada beliau. Adapun dasar simpati kepada beliau disebabkan beberapa factor.

Pertama, keteguhan beliau dalam pendirian ditambah dengan kesabarannya dalam melayani setiap sanggahan dari mahasiswa yang diajarnya yang akhirnya menerima argument beliau. Dalam membangun semangat dialogis, beliau secara bebas memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengajukan pendapat. Beliau, mengimbanginya dengan mengajak mahasiswa berpikir secara radikal dalam arti mendasar yang terbebas dari berbagai komitmen organisasi,

kelompok bahkan mazhab. Kedua, sikap beliau yang sama sekali tidak

menunjukkan pemihakan terhadap setiap aliran maupun organisasi keagamaan termasuk juga terhadap gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam sehingga suara yang dikemukakan beliau

selalu berangkat dari pengembangan rasionalitas islami. Ketiga,

keteguhan beliau dalam memegang janji kepada para mahasiswanya sehingga tidak ada yang dikecewakan karena beliau selalu menepati tugas sebagai Dekan yaitu dengan jadwal tetap berada di kantor antara pukul 08.00 sampai pukul 14.00. Setiap hari jadwal tersebut beliau tepati kecuali ada tugas mengajar ke daerah atau rapat di Kementerian Agama.

Keempat, sekalipun beliau adalah orang yang sangat ketat memegang prinsip keilmuan akan tetapi juga pada waktu-waktu tertentu muncul rasa ibanya ketika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam penyelesaian disertasi baik karena kesulitan materi tulisan maupun karena kesulitan untuk berkomunikasi dengan dosen

pembimbingnya. Dengan tekun beliau meluangkan waktu mendengarkan keluhan dari para mahasiswanya sehingga para mahasiswa itu sendiri yang sering berubah pikiran yaitu merasa iba

kepada Prof. Harun Nasution. Kelima, Prof. Harun Nasution

menegaskan sikap demokratis ketika memandang semua orang. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap melebihkan perhatian kepada seseorang sebagai akibat dari ikatan kedaerahan karena dalam pandangan beliau sebutan Nasution adalah bagian dari namanya yang asli bukan marganya. Sehingga sekalipun seseorang memiliki latar belakang sebagai sesama orang Tapanuli tetapi beliau menganggap semua mahasiswanya memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama. Sikap beliau tersebut sering kurang dipahami oleh sementara pihak termasuk mereka yang memiliki ikatan hubungan emosional kedaerahan dengan beliau.

Pemikiran Prof. Harun Naution

1. Perkembangan Pemikiran Islam:

Penulis mulai berkenalan dengan beliau ketika penulis menjadi peserta Studi Purnasarjana Angkatan VI Dosen-Dosen IAIN se Indonesia di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1979-1980 yaitu lembaga pendidikan yang dipersiapkan sebagai embrio berdirinya Angkatan I (1982) Fakultas Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Angkatan I (1983) Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Beliau diserahi memegang dua mata kuliah yaitu Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam yang mencakup Trilogi Pemikiran yaitu Akidah, Falsafat dan Tasawuf. Mata kuliah kedua adalah Perkembangan Pemikiran Moderen Dalam Islam mencakup telaah kesejarahan mulai klasik (Abad 7 s.d. 13 Masehi), kemunduran Islam I (Abad 13 s.d. 15 Masehi), Kemunduran Islam II (Abad 15 s.d.

18 Masehi), dan fase Kebangkitan Islam (Abad 19 sampai sekarang).2 Dalam perkuliahan Pemikiran Islam dan Pemikiran Moderen dalam Islam beliau sangat intens mengingatkan mahasiwanya akan perlunya analisa kesejarahan perkembangan peradaban Islam yang dirujuk kepada hukum biologi yaitu pertumbuhan, perkembangan, penikmatan, kemunduran dan kehancuran. Pada pembicaraan analisasi kesejarahan tersebut, beliau sering mengutip siklus pertumbuhan sebuah imperium dengan merujuk kepada konsep Ibn Khaldun tentang sosiologi sejarah.

Pada mata kuliah yang pertama, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam (SPPDI) mengurai beberapa cabang pemikiran keislaman yang terhimpun dalam akidah, ibadat dan tasawuf. Sekalipun makna akidah itu adalah tauhid yaitu pengesaan Allah SWT dan itulah yang menjadi kata kunci ajaran Islam akan tetapi begitu memasuki fase interpretasi maka terjadi wacana pemikiran yang bermacam ragam yang kemudian disebut dengan mazhab. Beliau mengajak mahasiswa untuk melakukan penelusuran historitas dan sosial-politis sehingga terjadi keragaman pemikiran. Munculnya friksi dalam pemahaman akidah menurut beliau, tidak sepenuhnya berakar dari wacana keilmuan akan tetapi terjadinya kontestasi politik yang berawal ketika penunjukan khalifah sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau ingin menunjukkan kepada mahasiswa bahwa keragaman pemikiran sebagai suatu kenicayaan yang tidak dapat dihindari akibat dari adanya perbedaan pemahaman terhadap sejarah umat manusia demikian juga dengan lingkungan sosio-politis dan sosio-ekonomis umat Islam. Bagi masyarakat yang berdiam di bawah bayang-bayang kultur agraris-nomaden maka cara berpikir mereka cenderung dibentuk oleh tradisi tekstualis karena ingin mencari pemahaman yang lebih pasti dan aman. Dan atas dasar

2Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah

Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2014, Cetakan XIV, hal. 5.

itu, maka muncul kecenderungan bersikap fatalistik karena sedikitnya kemampuan manusia dalam melakukan rekayasa terhadap kondisi lingkungan. Akibatnya, maka tentulah mereka lebih cenderung

berpaham fatalistik yang kemudian disebut jabariyah. Sebaliknya,

bagi masyarakat urban yang banyak bergaul dengan berbagai suku bangsa maka mereka dibentuk oleh kecenderungan dengan sikap dinamis, kreatif dan inovatif. Oleh karena itu, pola pendekatan mereka terhadap persoalan akidah lebih banyak merujuk pada pendekatan kontekstual dengan melihat fakta kedudukan manusia sebagai pembuat sejarah. Pada tataran realitas maka setiap prestasi ditentukan oleh manusia itu sendiri oleh karena Allah telah membekali manusia

dengan dua potensi yaitu kemauan (masyi-ah) dan kemampuan

(istitha’ah). Apabila pemikiran teologi pola pertama lebih menekankan pada dimensi kemahakuasaan Tuhan karena manusia pada hakikatnya adalah laksana bulu yang tergantung di awang-awang

(ka risyatin mu’allaqatin fi al sama’) yang akan terbang ke mana akan

diterbangkan angin. Maka dalam pandangan yang kedua, Qadariyah,

lebih menekankan dimensi humanistik yang berbekal konep

sunnatullah dalam kehidupan umat manusia.

Selanjutnya, ketika ditanyakan tentang kedudukan aliran sunni

yang dipelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah terhadap konsep

usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar) menurut Prof. Harun Nasution

keberadaan aliran Sunni pada dasarnya lebih dekat kepada Jabariyah

dari pada Qadariyah. Karena pada akhirnya, aliran Sunni menurut

beliau juga berpendapat bahwa potensi manusia hanya ada secara

metaforis (majazi) sedang secara hakikat hanya Allah yang

menentukan. Argumen ini beliau lanjutkan dengan fakta historis keadaan dunia Islam yang mengalami kemunduran sejak fase kedua yaitu abad 13 s.d 15 yang menjadi penyebab utamanya adalah terjadinya pergeseran berpikir umat Islam dalam menangkap pengertian kemahakuasaan Allah yang menafikan potensi umat dalam menggerakkan kemauan dan kemampuannya dengan berdalih bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu.

Sampai di sini, beliau kelihatannya mengeritik cara pandang umat Islam ketika melihat perkembangan pemikiran dalam bidang akidah yang terkesan memiliki kecenderungan pemihakan umat Islam

terhadap Jabariyah dan menolak Qadariyah. Keteguhan umat Islam

berpegang terhadap aliran Jabariyah menurut beliau, menjadi

penyebab terjadinya kemandekan melanjutkan membangun peradaban di dunia Islam. Sekalipun sebelumnya umat Islam telah berhasil membangun peradaban dan kemampuan mereka melakukan

pengembangan dan perluasan Islam (futuhat) ke tiga benua yang

dikenal waktu itu sehingga membentuk peta hemispheric akan tetapi

karena terjadi kelambanan orientasi pemahaman teologi akhirnya melemahkan etos kerja dan akhirnya umat Islam menjadi bangsa terjajah. Sekalipun umat Islam masih terus melakukan pengembangan

melalui dakwah secara damai (penetration pacifique) akan tetapi yang

dihasilkan dari perkembangan kislaman pada masa kemudian bukan

lagi peradaban (tamaddun) akan tetapi hanya kebudayaan (tsaqafah).3

Dalam pemikiran teologi, Prof Harun Nasution melakukan penelusuran terhadap benang merah menghubungkan Islam dengan kemajuan peradaban. Terdapat perbedaan fenomena kesejarahan antara Islam dari agama-agama sebelumnya. Apabila umat dari agama-agama sebelumnya memperoleh kemajuan maka hal itu terjadi jauh setelah ditinggal oleh tokoh pembawa agama yang bersangkutan. Akan tetapi Islam mengalami kejayaan langsung bersambung setelah masa wafatnya Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan khulafa al rasyidin dan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Hal itu bisa terjadi karena kandungan ajaran Islam yang sangat menekankan

3Perhatian beliau yang demikian kuat terhadap aspek pemikiran dan pembaruan dalam Islam ini bisa dimengerti ketika menelaah pusat perhatian pengamatan beliau khususnya ketika beliau memilih judul disertasi Ph.D di McGill University Canada yang berjudul: The Place of Reason in Abduh’s

Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal

dalam Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat- Pendapat Teologinya). Diterbitkan UI-Press, 2006.

rasionalitas yaitu penggunaan akal pikiran. Dengan penggunaan rasionalitas maka umat Islam dapat menelusuri hakikat keberadaan manusia bahwa manusia adalah makhluk Allah dalam bentuknya yang

paripurna (ahsan taqwim).4 Adanya keparipurnaan didasarkan pada

penggunaan akal pikiran sehingga penerimaan terhadap ajaran Islam tidak berhenti sekedar sebagai kemestian doktrinal akan tetapi karena rasio telah dapat menangkap makna fungsional dari ajaran Islam. Hal inilah kemudian yang mendorong terjadinya pergumulan pemikiran

(intellectual exercise) yang menjadi pilar utama terjadinya

kecermelangan Islam (‘ashr al tanwir).

2. Pemikiran Moderen Dalam Islam

Ketika mendiskusikan mengenai pemikiran modern beliau dengan tegas mengingatkan mahasiswa bahwa inti dari konsep

gagasan itu adalah pemikiran modern dalamIslam. Hal ini menurut

beliau perlu diingatkan agar mahasiswa mengetahui bahwa sejarah Islam tidak boleh mengulangi keruwetan dari sejarah agama-agama pada masa lalu yang kurang memperhatikan pentingnya orisinalitas ajaran. Pemikiran modern dalam Islam adalah upaya memahami dengan sungguh-sungguh dengan melakukan pengkajian ulang terhadap penafsiran terdahulu terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu, pengertian pemikiran modern dalam Islam adalah studi terhadap berbagai corak pemikiran tentang Islam sebagai hasil pergumulan

intelektual yang disebut ijtihad. Sebagai dorongan dari berbagai ayat

Al Quran untuk menggunakan pikiran maka dalam sejarahnya terjadi

kompromi antara mutakallimin dengan filosof muslim. Mutakallimin

berpandangan bahwa wahyu berfungsi sebagai pemberi tahu (i’lam)

sedang akal berfungsi sebagai penjelasan (bayan) terhadap informasi

yang diberikan wahyu. Sebaliknya dalam pandangan filosof, fungsi

akal adalah memberi tahu (i’lam) sedang wahyu adalah memberikan

penjelasan atau konfirmasi (bayan) terhadap hasil dari akal itu.

Sekalipun dalam penjelasan yang berbeda akan tetapi antara wahyu dan akal saling mendukung untuk memperkuat keyakinan terhadap Islam.

Munculnya pemikiran modern dalam Islam adalah suatu kemestian kesejarahan guna mendukung terwujudnya cita-cita bahwa

Islam itu sesuai pada segala ruang dan waktu (al islam shalihun li kulli

zaman wa makan). Sebagai langkah awal dalam merumuskan pemikiran kemoderenan itu adalah selayaknya dibedakan antara agama sebagai budaya dan agama sebagai substansi. Agama sebagai budaya adalah merupakan hasil dari artikulasi agama terhadap keragaman dan lokalitas budaya sehingga tampillah Islam menjadi unik pada setiap wilayah kawasan. Akan tetapi betapapun bentuk eksistensi sebuah budaya, ia tetap menjadi sesuatu yang relatif kebenarannya karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebaliknya agama sebagai substansi tidak pernah berubah dan tidak akan berubah karena muatan ajarannya adalah bersifat kesemestaan. Oleh karena itu agama sebagai substansi bersifat absolut kebenarannya sedang sebagai budaya, agama adalah relatif kebenarannya. Menurut Prof. Harun Nasution, polemik gerakan pembaruan dengan tradisional adalah dalam memahami aspek universalitas Islam dan lokalitas Islam yang didasari sikap mereka dalam memahami wujud toleransi dan respon terhadap budaya lokal.

Universalitas Islam adalah suatu prinsip yang tidak bisa berubah sebagaimana yang termanifestasi dalam akidah dan ibadah. Namun pernik-pernik aktualisasi dari akidah dan ibadah memberi peluang terhadap sentuhan manusiawi. Dilihat dari segi antropologi, sesuatu ajaran akan bisa bertahan kuat dalam sebuah masyarakat manakala masyarakat memperoleh kesempatan melakukan interpretasi mereka terhadap ajaran agama itu sesuai dengan kondisi budaya mereka. Islam datang dalam kondisi ajaran yang steril dari budaya asalnya sehingga tidak bisa dihindari terjadinya persinggungan dengan budaya mayarakat lokal. Kalangan pembaru sulit bisa menerima kerangka berpikir yang melihat urgensi interaksi Islam dengan budaya lokal

karena dikhawatirkan Islam terjerumus kepada sinkretisme sehingga mengurangi kemurnian iman.

Selanjutnya, Prof Harun Nasution melancarkan kritik terhadap kelompok umat yang beraliran tradisional. Beliau mengatakan bahwa pola pemikiran kalangan ulama yang dinamis, kreatif dan inovatif pada masa lalu menunjukkan bahwa Islam itu terus bergerak laksana karet. Hal itu menunjukkan fleksibilitas Islam ketika bersinggungan dengan segala ruang dan waktu. Dalam pada itu, para ulama masa lalu telah merumuskan kaidah pemikiran berdasarkan keyakinan terhadap pesan-pesan kewahyuan yang kemudian dipadukan dengan logika sebagai cabang filsafat. Maka akhirnya lahirlah bidang studi keilmuan

yang memuat kaidah-kaidah fiqhiyyah yang disebut ushul fiqh. Dari

hasil penalaran yang bersifat logis dan filosofis inilah kemudian lahir

berbagai ragam corpus ilmu-ilmu keislaman terutama dalam

penjabaran yang disebut fiqh.

Akan tetapi pada masa kini, gerakan intellectual exercise itu terasa seperti cenderung padam sehingga tidak muncul lagi berbagai gagasan pemikiran aktualisasi pemikiran Islam terhadap berbagai perkembangan kehidupan kontemporer. Tradisi pemikiran sebagaimana yang dialaminya sewaktu studi di Tmur Tengah lebih banyak mengulang-ulang hafalan terhadap prestasi keulamaan pada masa lalu dan sedikit sekali melakukan pengayaan pemikiran guna mendorong tumbuhnya kreativitas dan inovasi pemikiran keislaman. Menurut Prof. Harun Nasution dalam berbagai kuliahnya hal itu terjadi karena umat Islam mengabaikan tiga karakter Islam yaitu (1) tidak ada agama selain Islam yang sangat menekankan persamaan derajat (2) Islam itu rasional dan simplicity, dan (3) Islam adalah

kemajuan.5

5Tiga karakter Islam ini pernah penulis diskusikan dengan beliau ketika penulis berkonsultasi kepada beliau sebagai pembimbing disertasi adanya pernyataan Sukarno yang dikutip Bernard Dahm dalam Sukarno, the Struggle for Indonesian Independence, Ithaca, London, Cornell University Press, 1969, translated Mary F. Somer Hiedues tentang tiga karakter Islam. Prof.

Sebagaimana disinggung di muka, ketika beliau berbicara tentang pemikiran modern dalam Islam, Prof Harun Nasution sering melakukan kilas balik sejarah. Apabila dibandingkan keadaan berpikir umat Islam pada zaman klasik Islam dengan masa kemunduran Islam I maka kelihatan nyata bedanya. Bahwa kemajuan peradaban itu mereka peroleh dengan melakukan rekonstruksi pola berpikir yang memadukan berbagai metode keilmuan guna melakukan pengayaan terhadap Islam. Umat Islam membuka diri terhadap berbagai informasi keilmuan dari manapun datangnya asalkan bisa membantu untuk melakukan pemahaman yang seluas-luasnya terhadap ajaran sebagaimana yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran dan Hadis. Dalam berbagai kuliahnya, beliau sering memulai dengan merancang pola berpikir tentang Islam yaitu

membagi Islam pada dua sumber yaitu sumber utama (mashadir al

tasyri’) yang tidak boleh berubah dan tidak akan berubah dan itulah Al Quran dan Hadis. Sumber kedua adalah pendukung komitmen terhadap sumber utama sebagai hasil dari eksplorasi yang dilakukan rasionalitas umat manusia yang tersimpul dalam sebuah terminologi

ijtihad. Apabila sumber utama adalah merupakan kebenaran yang absolut maka sumber yang berikutnya adalah sebagai pendukung yang kebenarannya bersifar relatif. Rasionalitas untuk menuju kepada modernisasi pemikiran Islam adalah bertujuan untuk memperkuat tiga

filosofi ajaran Islam yaitu keadilan (‘adalah), persamaan (musawah)

dan persaudaraan (muakhkhah). Tiga nilai filosofi inilah yang akan

dijadikan patokan dalam memahami berbagai perkembangan pranata sosial. Karena sekalipun secara akidah dan ibadah, Islam tidak boleh berubah akan tetapi dalam kaitan pranata sosial, maka formulasi keislaman dapat berubah sesuai dengan urgensi dan relevansinya karena pranata sosial sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.

Harun Nasution menyetujui adanya tiga karakter tersebut akan tetapi kenyataannya sudah mulai tergerus pada masa kini dari khazanah kehidupan umat Islam.

Merujuk kepada pandangannya tentang jawaban Islam terhadap perkembangan pranata sosial maka beliau berpandangan tidak ada alasan untuk memandang Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena yang dipentingkan Islam pada waktu tertentu adalah bahwa Islam dapat dilepaskan dari simbol dan kemudian lebih mengutamakan substansi. Sepanjang substansi ajaran Islam telah

terpenuhi dengan mengacu kepada tujuan syariat (maqashid al

syari’at) maka dengan sendirinya dipandang islami. Cara pandang beliau yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai perubahan sikap beliau setelah keterkaitannya dengan aliran politik keislaman yang popular sekitar tahun 1950-an. Bahkan tesis Master beliau juga membahas tentang aliran poltik keislaman itu.

Kritik Terhadap Prof. Harun Nasution

Selama pengembaraan pemikirannya, Prof Harun Nasution dituntut untuk memerankan dua fungsi yaitu akademisi dan manajer kelembagaan. Sebagai akademisi beliau mengemukakan berbagai gagasan pemikiran yang intinya adalah rasionalitas, pemilahan Islam antara cita dan fakta, Islam fungsional dan bukan simbolik. Beliau

berpandangan bahwa model pengajaran dalam upaya

memperkenalkan Islam terhadap para pelajar terlalu sempit sehingga menyuburkan cara berpikir dikhotimis antara Islam dengan keduniaan. Padahal pada masa kejayaan peradaban Islam, umat Islam berhasil

memadukan ayat tadwiniyah dengan takwiniyah. Sehingga menurut

beliau pola pemikiran dikhotomis yang demikian akan melahirkan Islam yang terus terkebelakang berhadapan dengan berbagai perkembangan pemikiran modern. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif terhadap Islam sehingga terbina rasa kebanggaan bagi kalangan pelajar dalam melakukan studi tentang Islam. Dalam kaitan itulah beliau menulis buku dua jilid dengan judul

Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Buku ini dijadikan sebagai buku pegangan bagi para dosen yang diserahi tugas mengajarkan konsep pemahaman Islam yang komprehensif.

Bagi kalangan pengajar yang selama ini telah memiliki patron bahwa Islam itu adalah akidah, syariah dan akhlak memandang cara pendekatan yang dilakukan Prof. Harun Nasution merupakan upaya pendangkalan terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi dengan komentar yang lain: bukankah beliau berasal dari lembaga pendidikan barat yang tidak islami? Ketika hal itu disampaikan maka beliau menjawab bahwa dua buku tersebut sebagai buku pegangan bagi dosen yang

mengajarkan mata kuliah baru yang disebut Pengantar Ilmu Agama.

Mata kuliah ini dimaksudkan sebagai peletakan dasar dalam rangka

membangun wawasan keislaman yang relatif komprehensif.6 Setelah

mereka berada pada tingkat lanjutan pendalaman terhadap berbagai aspek ilmu keislaman, demikian kata beliau, maka tentu saja mereka dipersilahkan untuk memilih bidang studi yang sesuai dengan minat mereka. Prof. Dr. H. M. Rasyidi, salah seorang yang melakukan kritik terhadap beliau, ketika beliau menyampaikan kuliah Filsafat Barat kepada para mahasiswanya menjelaskan alasan kenapa beliau melancarkan kritik terhadap Prof. Harun Nasution. Akan tetapi uniknya, sekalipun terjadi saling kritik yang seperti itu di antara keduanya namun sama sekali tidak mengurangi keakraban hubungan persahabatan di antara mereka berdua.

Kepribadian Prof. Harun Nasution

Penulis berhubungan secara intens dengan penulis yaitu dimulai dari tahun 1979 s.d. 1980 sewaktu mengikuti Studi Purnasarjana Angkatan VI Dosen-Dosen IAIN se Indonesia di IAIN Yogyakarta dan setelah itu 1982 s.d. 1987 di IAIN Syarif Hidayatullah ketika penulis terdaftar sebagai mahasiswa angkatan I Fakultas Pascasarjana.

6Buku tersebut diterbitkan terakhir pada tahun 2013 oleh Penerbit UI. Buku Jilid I memuat Pengertian Agama; Islam dalam pengertian yang sebenarnya; aspek ibadat: latihan spiritual dan ajaran moral; aspek sejarah dan kebudayaan; dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedang Buku II memuat: aspek hukum; teologi; falsafat; mistisisme; dan, apek pembaruan dalam Islam.

Kebetulan atas dorongan beliau yang amat kuat “memaksa” penulis untuk menulis disertasi yang berkaitan dengan tokoh di Indonesia. Ketika dikemukakan kepada beliau bahwa tokoh yang dipilih adalah Sukarno maka dengan serta merta beliau langsung menyetujuinya. Akhirnya sejak tahun pertama di Ciputat, penulis telah memfokuskan

diri untuk mempersiapkan penulisan disertasi dengan judul Pemikiran

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 177-193)