• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA M Qasim Mathar

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 193-197)

Dosen Fak. Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

Tahun 1988, 21 Agustus, ulang tahun saya ke-41, saya berangkat ke Jakarta untuk sekolah di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "Syarif Hidayatullah" Jakarta di Ciputat. Beberapa ratus ribu rupiah membekaliku untuk persiapan biaya kamar kos di sana. Sementara mencari kamar kos di sekitar kampus, saya menumpang dulu di salah satu kamar asrama mahasiswa Pascasarjana. Sebuah gambar Imam Khomaini (pemimpin Revolusi Iran yang manjatuhkan Shah Pahlevi, 1979) yang cukup besar terpampang di kamar itu. Rupanya pemilik kamar itu adalah pengagum Sang Imam.

Pada kuliah perdana program magister (S.2) yang saya tempuh, Prof. Dr. Harun Nasution, selanjutnya ditulis Pak Harun, sebagaimana para mahasiswanya dan orang-orang menyapa beliau), memberikan kuliah pengantar. Nama Pak Harun sudah sering saya dengar sejak saya masih di Makassar. Laki-laki yang juga sebagai Direktur Pascasarjana itu, kini duduk di depan kami, para mahasiswanya. Ketika bidang-bidang keilmuan yang lain di dalam negeri sudah banyak melahirkan master dan doktor, bidang keilmuan agama Islam belum seorang pun yang lahir. Pak Harunlah yang membuka pertama kali Program Pascasarjana bidang studi Islam di Indonesia.

Setelah selesai menjabat sebagai rektor IAIN Jakarta, Pak Harun membujuk Departemen Agama agar mau menyediakan anggaran untuk program tersebut dan akhirnya program tersebut dibuka pada tahun 1982. Sewaktu sebagai rektor, banyak mahasiswanya kelak menjadi tokoh cendekiawan. Cendekiawan seperti Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Atho Muzhar, Komaruddin Hidayat, dan lain-lain, mereka adalah mahasiswa program sarjana (S-1) saat Pak Harun sebagai rektor. Pada masa itulah Pak Harun mendorong yang muda-

muda itu pergi sekolah keluar negeri. Suatu hari, di kelas, Pak Harun bercerita bahwa saat dia sebagai rektor, seorang mahasiswanya menghadap dan memohon Pak Harun sudi memberi kata pengantar untuk satu buku terjemahan karya mahasiswa tersebut. Tanpa mengecewakan mahasiswa tersebut dan setelah membuka dan membaca sebentar karya terjemahan itu, Pak Harun berkata: "Saya ambil dan simpan dulu buku anda ini. Pergilah dulu sekolah ke luar negeri. Saya akan buatkan kata pengantar setelah kamu pulang dan berhasil dari luar negeri".

Tokoh ilmuan yang waktu itu sering dikritik sebagai sekuler, akan membuat heran bagi orang yang mengenal Pak Harun, khususnya jamaah masjid Fathullah, masjid kampus IAIN. Orang sekuler biasa diidentikkan dengan orang yang jauh dari agama, khususnya peribadatan. Setiap hari Jumat, ada satu tempat di teras kiri masjid tersebut, pada saf paling depan dan paling kanan pas dengan dinding pembatas ruang dalam masjid, tidak seorang pun akan duduk di situ. Itulah tempat Pak Harun, yang sekitar jam 11 lebih pasti sudah duduk di situ setelah salat sunat. Kedisiplinan Pak Harun dalam berjumat demikian, membuat kami dan orang lain menjadikannya sebagai jam. Ibu Huzaimah, dosen kami yang waktu itu tinggal di perumahan dosen dekat Pascasarjana, berkata bahwa, kalau mobil Pak Harun sudah lewat di depan rumahnya, itu pasti sudah jam 07.50. Jam 07.51, Pak Harun turun dari mobilnya, masuk ke kantornya. Tiga..., lima menit duduk dan memeriksa berkas di meja kerjanya dalam ruangan berukuran sekitar 2 x 3 meter lebih sedikit. Pas jam 08.00 pintu kelas kami terbuka dan Pak Harun masuk. Setelah memeriksa dan menandatangani daftar hadir, Pak Harun memulai perkuliahan. Kami, mahasiswanya sudah sejak tadi, sebelum jam 08.00 sudah duduk di dalam kelas dan memaraf daftar hadir. Dapatkah Pak Harun yang demikian dituduh sebagai orang sekuler?.

Kami mahasiswanya bukan hanya menghormatinya, tapi juga takut kepadanya. Tentu, karena wibawa besar yang ada pada Pak Harun. Kami takut terlambat masuk kelas. Suatu pagi, saya dan dua

teman, A. Karim Hafid (alm.) dan M. Ghufron (dosen IAIN Jakarta), terlambat. Perkuliahan Pak Harun sudah berlangsung beberapa menit. Kami di luar saling dorong siapa yang akan mengetuk pintu. Seraya berkelakar, saya bilang bahwa Pak Harun itu manusia rasional. Kalau kita menjelaskan dengan baik, tentu kita tidak akan diusir keluar. Tapi, karena ini masalah sungguh berat, sebaiknya pakai "jampi-jampi" sebelum masuk. Kata saya selanjutnya: "Saya orang Muhammadiyah, tidak banyak tahu doa jampi-jampi. Anda berdua orang NU, banyak doa jampinya..., he..., he... Karim Hafid langsung mendorong Ghofron ke depan pintu. Ghufron berdiri diam sebentar terpaku. Lalu, mulutnya komat-kamit membaca doa sedikit panjang. "Amin", dia mengakhiri doa. Kami di belakangnya ikut mengamini. Dia "bismillah" dulu, lalu mengetuk pintu, membukanya dan memberi salam. Mata kawan- kawan tertuju kepada kami. Di antaranya seperti mengejek, "dari mana kalian!" Kami merasa rugi jika tidak ikut kuliah Pak Harun. Karenanya, kami pantang terlambat. Ghufron maju ke dekat Pak Harun. Baru bicara sedikit mohon maaf, Pak Harun lalu menyuruh kami cepat ke kursi masing-masing. Selesai kuliah, kawan-kawan ramai mengatakan bahwa kami hebat tidak diusir keluar. Mereka tertawa lebar saat saya bilang bahwa Pak Harun kena jampi-jampinya Ghufron.

Ketika Daud Rasyid kembali dari sekolah di Mesir, dia termasuk pengeritik keras Pak Harun. Di tengah santernya kritikan itu, termasuk tuduhan berpikiran sekuler, Pak Harun mengangkat Daud Rasyid untuk mengajar di Pascasarjana IAIN Jakarta. Ditanya kenapa beliau mengangkat pengeritiknya yang lantang itu, Pak Harun menjawab enteng: "Dia doktor hadis dan dikenal baik oleh koleganya, termasuk yang mengajar di Pascasarjana. Juga, untuk membantu Pak Quraish Shihab yang selama ini mengajarkan hadis, selain tafsir sebagai keahliannya".

Rupanya Pak Harun tidak terganggu dengan pengeritiknya. Pak Harun melihat itu semua hanya sebagai pendapat-pendapat yang saling berbeda. Agaknya, tuduhan terhadap seseorang sebagai

berpikiran sekuler dan sesat, sudah tidak relevan, bahkan sudah usang. Hampir seabad yang silam, Ali Abdul Raziq juga dituduh sebagai sekuler karena berpendapat bahwa Al Quran tidak menunjuk satu sistem pemerintahan yang baku bagi kaum Muslimin untuk ditegakkan. Sistem kekhakifahan adalah upaya yang bersifat ijtihadi yang dilakukan kaum Muslimin dalam sejarah. Tegasnya, tidak ada dalil syarak (syar'i) yang mewajibkan kaum Muslimin menegakkan sistem kekhalifahan. Memang ternyata benar. Karena cendekiawan Muslim yang dituduh membawa pemikiran sekuler dan sesat, pemikiran mereka itu berdalil kepada Al Quran dan hadis Nabi SAW. Pada masa sekarang ini, setelah Pak Harun sudah tiada, semakin banyak kaum cerdik pandai Muslim setelah sekolah di Pascasarjana di banyak kota di Tanah Air, melahirkan pikiran-pikiran yang pada masa Pak Harun dituduh sebagai sekuler dan sesat. Karena semakin berpendidikan yang baik, semakin banyak orang tidak lagi dengan mudah menuduh seperti itu. Mereka semakin mengerti bahwa apa yang "sekuler" dan "sesat" itu, ternyata ada dalilnya dari Al Quran dan hadis Nabi SAW. Itu semua adalah berkat kerja keras Pak Harun dengan gerakan Pascasarjananya di Indonesia. (QM)

KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR.

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 193-197)