• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROF DR HARUN NASUTION DALAM KENANGAN Rusjdi Ali Muhammad

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 69-79)

(Direktur Pascasarjana UIN Ar Raniry, Banda Aceh) I

Tahun 1982, Kementerian Agama RI membuka Program baru dalam upaya meningkatkan mutu pengajar dalam lingkungan IAIN seluruh Indonesia. Itulah Program Pascasarjana (S-2) yang hanya dibuka di UIN (d/h IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Setahun kemudian, tahun 1983 dibuka lagi Program Pascasarjana kedua di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta. Begitulah, setelah melalui seleksi, saya terpilih mewakili IAIN Ar Raniry sebagai satu dari 20 peserta Angkatan Pertama Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Duapuluh orang mahasiswa angkatan pertama itulah murid Pascasarjana pertama dari seluruh Indonesia, yang dengan sepenuh hati dan jiwa diasuh oleh Pak Harun Nasution. Banyak yang menyebut Program Pascasarjana ini adalah salah satu terobosan paling penting yang dilakukan Departemen Agama dalam upaya memodernisasikan proses pendidikan tingginya, dan Prof. Dr. Harun Nasution pastilah salah satu motor utamanya. Izinkanlah saya menyebut nama dan identitas satu persatu dari duapuluh mahasiswa Pascasarjana Angkatan Pertama UIN Jakarta tersebut. Mungkin mereka boleh disebut sebagai orang-orang pertama yang dihasilkan dari buah pikiran Prof. Dr. Harun Nasution yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka adalah:

1. Prof. Dr. Ridwan Lubis (UIN Sumatera Utara Medan, sekarang bertugas di UIN Jakarta)

2. M. Yusuf Rahman, MA (pernah menjabat Rektor IAIN Pekan Baru, Riau)

3. Prof. Dr. Mansur Malik (alm. pernah menjabat Rektor IAIN Padang)

4. Dr. Mardhiah Daniel (satu-satunya perempuan dari IAIN Bukittinggi)

5. Prof Dr Wardini Ahmad (alm. pernah menjabat Dekan Fak. Tarbiyah UIN Palembang)

6. Anwar Masy’ary, MA (alm. IAIN Antasari, Banjarmasin) 7. Suparjo, MA (alm. UIN Jakarta)

8. A. Asnawi, MA (alm. UIN Jakarta) 9. Prof. Dr. Muardi Chatieb (UIN Jakarta)

10. K.H. A. Lathief Muchtar, MA (alm.UIN Bandung)

11. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (pernah menjabat Dekan Fak. Tarbiyah UIN Bandung)

12. Prof. Dr. Muslim Kadir (mewakili UIN Semarang, pernah menjabat Ketua STAIN Kediri)

13. Prof. Dr. Syeichul Hadi Permono (alm. pernah menjabat Direktur Pascasarjana UIN Surabaya)

14. Prof. Dr Imam Muchlas (UIN Surabaya)

15. Prof. Dr. A. Moe’in Salim (alm. pernah menjabat Rektor UIN Makasar)

16. Prof. Dr. Jalaluddin Rahman (UIN Makasar)

17. Dr. Muchtar Aziz (mewakili IAIN Lampung, tapi kemudian pindah ke UIN Jakarta)

18. Umar Asasuddin Sokah, MA (alm. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

19. Hadjam Dahlan, MA (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

20. Saya sendiri, Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH (Rektor IAIN Aceh 2001-2005)

II

Sekilas tampak dari 20 orang didikan pertama Pak Harun Nasution tersebut, 11 orang dapat mencapai jenjang Profesor dan lima di antaranya pernah memegang jabatan sebagai Rektor. Beberapa pernah menjabat Dekan dan Direktur Pascasarjana.Dapat juga ditambahkan, ada dua orang yang pernah menjadi anggota DPR Pusat,

yakni Dr. Muchtar Aziz dan Prof. Dr. Syeichul Hadi Permono dan satu orang pernah menjabat anggota DPRD tingkat Provinsi yaitu Prof. Dr. Jalaluddin Rahman dari Makasar, Sulawesi Selatan. Apakah catatan ini akan memuaskan Pak Harun jika beliau masih hidup? Saya tidak yakin, namun meskipun Pak Harun dinilai banyak orang penganut aliran Mu’tazilah yang meletakkan titik berat pada pertimbangan akal dan usaha manusia, pada akhirnya toh siapa pun perlu percaya bahwa setiap orang harus menjalani takdirnya sendiri. Saya misalnya, menjadi rektor UIN Ar Raniry tahun 2001, semata-mata karena harus menggantikan Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, MA yang tertembak di rumahnya. Tak ada satupun calon lain yang bersedia waktu itu, sehingga jadilah saya sebagai calon tunggal, sebagai pengecualian dari keharusan tiga orang calon pada waktu itu. Begitulah akhirnya takdir mengetukkan palunya sendiri.

Kembali pada hari pertama kuliah Pascasarjana di IAIN Jakarta. Pembukaan kuliahnya, seingat saya dimulai hari Senin tanggal 30 Agustus 1982. Itulah kali pertama saya bertemu Pak Harun sekaligus bertemu juga pada pembukaan kuliah itu Prof. Dr Karel Steenbrink dari Leiden University, Belanda. Tentang Pak Steenbrink, ada catatan khusus. Yakni bahwa ayah saya, Drs HM Ali Muhammad yang juga dosen IAIN Ar Raniry (pernah menjabat Dekan Fakultas Syari’ah), beberapa waktu sebelumnya mendapat tugas belajar di Leiden dan bahkan pernah tinggal mondok di rumah Pak Steenbrink. Tentu saja saya langsung memperkenalkan diri kepada Pak Steenbrink dan menyampaikan salam dari ayah saya. Sebagai catatan, tahun 2002 sebagai Rektor IAIN Aceh yang berkunjung ke Belanda giliran saya mondok selama 11 hari di rumah Prof. Dr. Steenbrink dan Ibu Prof. Dr. Paule di Utrecht. Dan sebenarnya, tahun 2007, anak saya Nadya Putry yang kuliah di Leipzig University, Jerman sudah siap-siap diterima oleh Pak Steenbrink untuk mondok lagi di rumahnya di Utrecht dalam rangka penelitian tesisnya; sehingga akan ada tiga generasi Ali Muhammad mondok di sana. Tapi kemudian Nadya mendapat beasiswa untuk penelitian di Aceh dan dia tentu saja

mondok di rumah ayahnya saja.Tapi tentang Pak Harun yang belum pernah saya lihat sebelumnya, saya hanya terkesima memandang orangnya yang tenang dan sederhana dan selalu berbicara datar namun penuh wibawa.

III

Begitulah perkenalan pertama saya dengan Pak Harun, tak ada yang luar biasa. Namun hari demi hari perkuliahan saya ikuti sepenuh hati dan sebenarnya juga, dengan sedikit rasa gentar dan ragu-ragu. Pertama, karena itulah kali pertama saya berpisah dengan orang tua dan keluarga dalam waktu yang agak lama, lebih-lebih saya baru beberapa waktu menikah dan meninggalkan isteri dengan bayi, Fadhlan yang belum setahun usianya. Sebelumnya sampai selesai kuliah dan diangkat sebagai dosen, saya terus saja berkutat di kampus Darussalam, Banda Aceh. Kedua, ternyata saya adalah peserta termuda (30 tahun) dari 20 mahasiswa Pascasarjana angkatan pertama itu dan tentu saja saya yang paling kurang pengalaman dari rekan- rekan lainnya. Mereka ada yang sepuluh bahkan dua puluhan tahun lebih tua dari saya. Namun demikian, nantinya hal ini justru menjadi keuntungan tersendiri bagi saya. Rekan-rekan yang sebagian sudah sepantaran ayah saya, justru lebih mudah memberi bimbingan, bahkan menegur saya jika perlu. KH. Lathief Muchtar, Moe’in Salim, Yusuf Rahman, Ahmad Tafsir misalnya adalah rekan-rekan seangkatan yang sering memberi saya motivasi, bagaikan memberi nasehat kepada mahasiswa atau anaknya sendiri.

Tapi dari semuanya, sosok Pak Harun lah yang benar-benar memberi saya inspirasi. Saya yang belum pernah keluar lama dari Banda Aceh, tiba-tiba harus kecemplung di Jakarta (meskipun saya memang lahir di Jakarta tahun 1952, namun dalam usia lima tahun dibawa pulang oleh orangtua ke Banda Aceh) dan harus menulis makalah-makalah mengenai hal-hal yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Sebagai alumni Fakultas Syariah dan waktu itu juga dalam proses penyelesaian skripsi pada Fakultas Hukum Universitas

Syiah Kuala, saya hanya membacaatau mendengarsekadarnya dari beberapa dosen tentang Asy’ariyah, Jabbariyah, Maturidiyah, Qadha dan Qadar dan semacamnya dalam mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Tapi tidak pernah serius mempelajari. Di Jakarta itu saya juga harus menulis makalah dan mempresentasikan tentang lahir, kegemilangan dan akhir kisah Kerajaan Turki Usmany, Kerajaan Shafawy di Iran, Kerajaan Mughal di India atau tentang Kerajaan-kerajaan Kecil (Pretty States) di Mediterrania dalam mata kuliah Sejarah Islam.

Kedua mata kuliah tersebut diasuh oleh Pak Harun Nasution dan hari-hari pertama saya merasa planga-plongo saja di ruangan kuliah. Tapi kuliah-kuliah menyejukkan dari Pak Harun memaksa saya dan teman-teman untuk menambah referensi di perpustakaan dan mencari tidak sebarang maraji’, tapi harus benar-benar terpercaya. Pak Harun misalnya, tanpa nada merendahkan, mengatakan jika mengutip Sejarah Islam, sebaiknya tidak mengutip bukunya HAMKA atau Ali Hasjmy. Awalnya saya terkejut juga. Bukankah buku-buku mereka sering dijadikan sumber waktu di Aceh dulu? Tapi kemudian saya paham. Mereka memang orang besar dalam bidangnya, bidang agama dan bidang dakwah. Tapi untuk bidang sejarah, anda harus mencari sumber utama dari orang-orang yang khusus menekuni bidangnya. Mengapa? Karena di era modern ini, kata Pak Harun, orang harus menjadi spesialis yang special dalam bidangnya. Tidak ada orang yang ahli dalam segala bidang.

IV

Akhir semester pertama, persis setelah ujian saya mendapat panggilan darurat dari Banda Aceh. Ibunda saya, Rohani Junaid terserang stroke dan tidak sadar di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin Banda Aceh. Sayapun memohon izin kepada Direktur Pascasarjana, Pak Harun Nasution sendiri untuk pulang ke Banda Aceh. Pak Harun juga segera memberi izin. Tapi ternyata derita ibunda saya berlarut- larut. Sampai lebih sebulan kuliah dimulai lagi, ibunda saya masih

dalam keadaan koma. Akhirnya keajaiban terjadi juga, ibunda saya tersadar kembali dan dapat melanjutkan hidupnya sampai beberapa tahun lagi. Barulah saya kembali ke Ciputat, setelah kira-kira sebulan absen dalam berbagai perkuliahan. Pak Harun tetap menerima saya seperti biasa dan sepenuhnya menerima alasan ketidak-hadiran saya. Kemudian baru saya tahu, jawaban ujian saya sebelumnyadalam dua mata kuliah utama yang diasuh Pak Harun rupanya sangat memuaskan beliau. Mungkin setelah itulah saya merasa mendapat perhatian tersendiri dari Pak Harun dan akhirnya sayapun terpilih bersama delapan mahasiswa Angkatan Pertama yang langsung memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke Program Doktor (S-3) tanpa harus menulis Tesis Magister lebih dulu. Kata Pak Harun: “Kalian tidak perlu menulis tesis lagi, harus langsung cepat-cepat menyelesaikan Program Doktor”. Dua belas rekan lainnya harus menulis tesis lebih dulu dan jika nilainya baik dapat juga melanjutkan ke Program Doktor. Faktanya memang hampir semua dapat melanjutkan jenjang Program Doktor, kecuali yang memang memilih untuk tidak melanjutkan karena berbagai alasan lain. Ada untungnya bagi mereka, punya Tesis yang dapat diterbitkan menjadi buku dan yang lebih penting mereka punya Ijazah S-2.

Bagi kami yang delapan orang, sebenarnya hal ini kadang- kadang agak bermasalah juga, setidaknya bagi saya. Sebab ketika mengisi borang, Curriculum Vitae dan formulir yang mengharuskan kami mengisi kolom jenjang pendidikan, selalu diminta mengisi Ijazah dan tahun penyelesaian S-2. Kami, atau khususnya saya, terpaksa harus menggabungkan kolom jenjang pendidikan S-2 dan S- 3 dengan tahun yang sama (saya lulus S-3 tahun 1989). Yang susah kalau diminta copy Ijazah S-2, kami delapan orang ini benar-benar tidak punya; karena dulu aturannya memang seperti itu. Aturan siapa? Aturan Pak Harun! Saya tidak tahu adakah ketentuan tertulis waktu itu? Bagi kami tidak penting aturan tertulis apa pun juga. Kami sepenuhnya percaya pada wibawa Pak Harun. Contoh lain adalah tentang nilai bobot setiap mata kuliah pada waktu itu yang sebesar 5

sks. Pernah ada yang bertanya mengapa 5 sks dan bagaimana dasar aturannya? Santai saja Pak Harun menjawab, karena mata kuliah di sini benar-benar diajarkan dan dipelajari dengan sangat serius. Jadi harus diberi nilai 5 sks, tidak cukup 2 atau 3 sks. Semua lalu diam, tidak ada yang membantah. Semua percaya ketentuan Pascasarjana di bawah Pak Harun. termasuk pengajar-pengajar dari luar seperti Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana (sastrawan/budayawan terkenal dan pendiri UNAS), Prof. Dr. Suwardi (UNJ d/h IKIP Jakarta), Prof. Dr. Ahmad Baiquny (Kepala Badan Atom Nasional, BATAN), Prof. Dr. Jujun S. Suriasumantri (UNJ d/h IKIP Jakarta), Prof. Dr. Parsudi Suparlan (UI Jakarta). Begitulah wibawa Prof. Dr. Harun Nasution yang luar biasa, lintas lembaga, lintas Perguruan Tinggi.

V

Beda dengan sekarang, beasiswa cukup mudah tersedia. Selain Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga biasa menyediakan beasiswa atau setidaknya bantuan penelitian dalam jumlah yang memadai. Selain itu lembaga-lembaga Nasional dan Internasional, jika jeli mencari dan punya jaringan juga berpeluang diakses para mahasiswa. Pada era tahun 80-an ketika kami di Pascasarjana UIN Jakarta, satu-satunya sumber beasiswa, ya itulah yang disediakan Departemen Agama RI, dua tahun beasiswa S-2 plus dua tahun untuk beasiswa S-3. Tak ada satu pun dari kami yang dapat menyelesaikan Program Doktor dalam tempo dua tahun. Jadi setelah dua tahun para mahasiswa harus “berijtihad” sendiri untuk mencari biaya hidup dan biaya penelitian ke mana-mana.

Kelihatannya Pemerintah Pusat waktu itu begitu iritnya untuk memberi beasiswa. Hanya diberi alokasi dua tahun untuk menyelesaikan Program Doktor, termasuk perkuliahan tiga semester dan satu semester untuk menulis disertasi! Bandingkan dengan aturan yang diterbitkan tahun 2015, bahwa Program Doktor hanya boleh diselesaikan selambat-lambatnya enam semester. Artinya tidak boleh kurang dari tiga tahun, padahal dulu tidak boleh lebih dari dua tahun

(ya, kalau lebih, resiko biaya harus ditanggung sendiri..!!). Akan tetapi proposal disertasi saya sudah diterima dan Promotor Utama saya ternyata adalah Prof. Harun Nasution sendiri, bersama Promotor dari Aceh, Prof. Dr. Muslim Ibrahim, MA.

Namun, setelah tahun ke empat di Jakarta dan beasiswa program Doktor terhenti, saya dan keluarga terpaksa pulang ke Banda Aceh, tahun 1986. Ketika itu sudah lahir tiga putra-putri saya, Fadhlan, Nadya dan Nonong Maysarah. Cukup berat beban hidup di Jakarta dengan ketiga anak-anak yang masih kecil. Terutama soal kesehatan, entah kenapa anak-anak saya waktu itu sering terganggu kesehatannya. Dan biasanya kalau satu sakit, yang lain juga ikut terkena. Saya ingat-ingat mungkin juga kontrakan saya di Kampung Utan agak kekurangan cahaya dan udara, berbentuk Kampung Deret, dan bagian persis di tengah.

Hampir dua tahun saya di Banda Aceh, kembali berkerja dan mengajar di IAIN Ar Raniry. Akibatnya penyelesaian disertasi saya menjadi terhambat. Entah mengapa, tiba-tiba kemudian, Gubernur Aceh waktu itu, Prof. Dr. Ibrahim Hasan (mantan Rektor Universitas SyiahKuala), mengambil inisiatif membentuk sebuah Yayasan yang menghimpun dana dari pengusaha-pengusaha besar Aceh di Aceh, Medan dan Jakarta, namanya Malem Putra, yang tujuan utamanya khusus membantu putra putri Aceh yang sedang menulis disertasi, namun beasiswanya terputus, persis seperti kasus yang saya alami. Kalau tak salah, sayalah penerima pertama bantuan dari Yasan Malem Putra tersebut. Malah saya pernah berpikir jangan-jangan, kasus saya ini justru jadi pemicu lahirnya Yayasan itu.

Singkat cerita saya kembali lagi ke Jakarta, dengan mengantongi Rp. 500.000,- bantuan awal Yayasan Malem Putra, hanya dengan membawa Bab Pendahuluan Disertasi. Saya sungguh malu menghadap Promotor Utama, Profesor Harun Nasution, tanpa draf disertasi yang memadai. Pak Harun yang menaruh perhatian besar, bahkan membimbing sendiri disertasi saya, tapi saya kok seperti menyia-nyiakan, belum juga menyelesaikan pekerjaan. Dua kali saya

melintas di depan rumah Pak Harun di Kampung Utan, tapi saya urungkan langkah untuk menghadap. Namun pada kali ketiga, saya beranikan diri dan siap untuk dimarahi habis-habisan. Saya datang setelah magrib, saat yang saya tahu sebenarnya Pak Harun tidak akan menerima tamu siapa pun juga. Beliau sangat disiplin berolah raga pada waktu itu, dan waktu setelah itu beliau selalu punya jadwal sendiri. Bukan menerima tamu, apalagi mahasiswa!

Apa yang terjadi? Setelah mengetuk pintu, Ibu Harun keluar dan saya pun memperkenalkan diri mahasiswa S-3 dari Aceh. Tak lama kemudian Pak Harun menemui saya, dan saya bukannya dimarahi, tapi tidak juga dipeluk-peluk seperti anak hilang yang baru bertemu. Setelah berbasa-basi sejenak, draf disertasi yang satu Bab itu langsung dibaca dan dikoreksi ketika itu juga, bahkan Pak Harun memuji-muji tulisan saya. Sama sekali tak disinggungnya kealpaan saya selama dua tahun kembali ke Aceh tanpa kabar berita.

Seperti sebuah bukit dipindahkan dari pundak saya. Saya yang siap dimarahi, tiba-tiba malah dinaikkan semangat dan motivasi. Langsung satu Bab disertasi saya itu dikembalikan dan Pak Harun meminta segera dikerjakan Bab-bab selanjutnya dan saya dibolehkan setiap saat untuk konsultasi ke rumah..!! Saya tidak tahu adakah teman lain yang mendapat keistimewaan seperti saya. Tapi saya memang benar-benar memanfaatkan keistimewaan ini, selalu konsultasi ke rumah Pak Harun saja, tak pernah ke kantor atau ke tempat lain. Apalagi waktu itu saya tinggal di Pasar Jumat, sehingga setelah magrib saya mudah saja naik angkot Pasar Jumat-Ciputat dan turun di Kampung Utan! Baru kemudian awal tahun 1989 saya diminta oleh Keuchik Aceh Drs. H. Muhsin Idham (murid ayah saya dulu waktu sekolah di Aceh) tinggal dengan nyaman di Meunasah Aceh yang baru siap dibangun berlantai dua di wilayah Pisangan.

VI

Semua rekan tahu dan mengalami betapa disiplinnya Pak Harun. Setiap pagi, kami yang tinggal di Asrama Pascasarjana yang letaknya

berhadapan dengan Kantor Direktur boleh menjadikan Pak Harun sebagai penunjuk waktu. Kalau mobil Pak Direktur yang disopiri Icang tiba, itu berarti jam 07.30 dan semua harus siap-siap karena kuliah dimulai tepat jam 08.00. Tidak ada seorangpun yang berani terlambat, walau satu menit. Padahal saya tidak ingat, pernahkah Pak Harun marah kalau ada aturannya yang dilanggar? Saya tidak ingat dan tidak pernah melihat. Tapi semua mahasiswa patuh, bahkan rasanya semua ingin meniru sifat-sifat beliau yang luar biasa.

Begitulah sang guru sejati. Menyampaikan ajaran yang benar- benar diyakininya dan dijalaninya sendiri. Ketika ia mengajarkan disiplin, maka seluruh amalan yang dilakukannya benar-benar seperti apa yang dikatakannya. Banyak saya dengar dari berbagai sumber, jadi riwayatnya mendekati mutawatir, bahkan jika ada rapat dengan Menteri sekalipun, bagi Pak Harun jika waktunya dengan janji lain sudah tiba, beliau tidak akan sungkan untuk meninggalkan forum. Dan sang Menteri pun mafhum adanya. Sebab jika Pak Harun keluar, pasti karena ada alasan yang kuat, bukan karena kurang menghormati. Justru karena terkenal bekerja disiplin seperti itu, orang akan merasa terhormat.

Ketika saya menjadi Rektor UIN Ar Raniry (2001-2005) dan Pascasarjana Ar Raniry sudah dibuka, Pak Harun juga kami minta untuk mengajar di Banda Aceh. Suatu waktu saya sendiri menjemputnya di Bandara Sultan Iskandar Muda. Beliau awalnya tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam mobil beliau menegur saya, mengapa harus buang-buang waktu menjemput saya, anda kan Rektor masih banyak urusan lainnya. Kira-kira seperti itu teguran beliau. Sayapun menjawab, ini hanyalah murid yang menjemput guru. Saya menilai begitulah kerendahan hati beliau. Sudah begitu besar jasanya kepada kita, beliau tetap merasa biasa saja. Saya kira di situlah beda “an honour” dengan “honorarium” meskipun kata dasarnya sama. Seorang guru dengan G besar, mengutamakan martabat dan kehormatan, jauh berbeda dengan yang satunya lagi. Dapatkah kita meneladani jejak langkah Sang Guru?

HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 69-79)