• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 167-175)

Amsal Bakhtiar

Ketika saya diminta menulis tentang sosok Prof. Dr. Harun Nasution oleh Prof Suwito, saya bertanya kepada diri saya, apakah yang akan saya tulis sama dengan apa yang ditulis oleh para mahasiswa Pak Harun (panggilan akrab beliau). Kalau sama untuk apa saya menulis lagi dan kalau berbeda apa kira-kira yang membedakan tulisan saya dengan yang lain. Sebab, mencari perbedaan dalam menulis sosok yang sama secara pengalaman dan sama menjadi mahasiswa beliau adalah suatu yang sulit. Pertanyaan ini menjadikan saya tidak kunjung menulis tentang apa yang diminta Prof. Suwito, sampai saya dapat “surat cinta” (maksudnya sms dari Pak Wito) untuk ketiga kalinya (seperti dapat surat cinta waktu kuliah dulu dari Pak Harun kalau tidak masuk tanpa pemberitahuan atau terlambat menulis disertasi), yang menyebutkan bahwa dead line tulisan sampai akhir Maret 2016. Pada jawaban surat Prof. Suwito yang terakhir saya katakan, “Saya akan menulis dalam tempo yang sesingkat- singkatnya.”Atas dasar itulah saya kebut tulisan ini, dan menjadi pembanding bagi tulisan-tulisan murid-murid Pak Harun, kendati saya sadar bahwa apa yang saya tulis ini adalah ungkapan pengalaman pribadi berinteraksi dengan beliau dan ditambah analisis saya atas pemikiran beliau.

Bagi mahasiswa yang masuk tahun 1970an dan 1980an, nama Prof. Harun Nasution tidak hanya dikenal sebagai Rektor pembaharu pemikiran dalam Islam, tetapi juga motivator, guru yang sejati, pemimpin, dan juga suri teladan bagi mahasiswa waktu itu. Pak Harun membuka cakrawala mahasiswa yang belajar dengan beliau dengan memberikan perspektif baru dalam memahami Islam. Buku beliau yang terkenal adalah “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.” Buku

ini berkontribusi besar membuka cakrawala mahasiswa, yang mayoritas berasal dari pesantren dan madrasah tradisional. Mereka belum kenal pemikiran rasional dan inklusif, apalagi pemikiran seperti teologi Muktazilah. Umumnya, para mahasiswa baru kaget dengan pemikiran Pak Harun, yang dianggap rasional dan liberal, yang belum pernah mereka dapatkan. Buku tersebut tidak hanya mengenalkan cara memahami Islam lebih komprehensif, tetapi juga mendorong mereka berpikir lebih terbuka dan rasional. Tidak heran kemudian, atas usaha dan jasa beliau, sebagian mahasiswa beliau muncul tokoh-tokoh terbaik, yang kemudian mengharumkan umat Islam dan bangsa, antara lain, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof Din Syamsuddin, dan lain-lain. Mereka inilah yang mendapat kuliah langsung dari Pak Harun dari awal sampai selesai.

Saya adalah salah seorang yang mendapatkan anugerah tersebut, yakni menikmati kuliah dari beliau, terutama waktu mengambil Program S2 dan S3. Tidak hanya itu, beliau juga pembimbing disertasi saya, yang seminggu sebelum beliau wafat masih sempat menandatangani surat perbaikan disertasi. Ketika saya mendengar beliau wafat saya sangat terkejut karena masih terngiang dalam percakapan saya terakhir dengan beliau, “Tolong ambilkan satu persatu lembaran perbaikan yang akan saya tanda tangani karena tangan saya sudah mulai lemah.” Kata terakhir itulah yang masih saya ingat sampai sekarang sebelum beliau berangkat mengajar ke IAIN Medan dan Makassar kemudian dilarikan ke RS Pertamina setelah pulang mengajar di Makassar.

Perjalanan intelektual dan spiritual beliau boleh dikatakan sempurna di waktu hidup dan wafat. Dengan penuh dedikasi yang sangat tulus beliau menghadap Yang Maha Sempurna. Sebagaimana sambutan Prof. Quraish Shihab di pemakaman, sangat sulit kita mencari sosok seperti Pak Harun, yang baik waktu hidup dan baik juga waktu wafat. “Hampir semua manusia ingin meniru beliau, tetapi tidak

semua berhasil” kata Pak Quraish. Yang banyak kita temukan adalah orang yang baik waktu hidup dan kurang baik waktu wafat atau kebalikannya. Namun, Pak Harun adalah sosok yang hampir sempurna waktu hidup dan waktu wafat.

***

Saya mengenal Pak Harun sejak menjadi mahasiswa baru Sarjana Muda tahun 1982. Ketika itu, Pak Harun menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di kalangan mahasiswa senior, beliau terkenal sebagai tokoh pembaharu sekaligus tokoh kontroversial. Ide-ide pembaharunya disampaikan ditulis dalam buku- bukunya dan disampaikan dalam kuliah bersama. Ide kontroversialnya dikritik oleh Prof. Rasjidi dan ulama yang anti terhadap pemikiran rasional Pak Harun, yang berasal dari aliran Muktazilah. Tidak heran kemudian, beliau di samping memilik banyak pengikut juga memiliki banyak pengkritik. Semuanya itu ditanggapi secara dingin oleh beliau. Beliau dapat diibaratkan sebagai pendekar intelektual yang “berdarah dingin.” Artinya, beliau tidak peduli dengan kritikan yang pedas dan juga tidak begitu sombong karena banyak pujian. Beliau tetap konsisten dan istiqamah dengan apa yang diyakininya benar dan baik untuk umat dan bangsa. Kalau sudah merasa yakin dengan apa yang dikerjakan, Pak Harun melaksanakannya dan tidak tergoda dengan jabatan yang menggiurkan, termasuk jabatan politik. Beliau sadar sekali bahwa dunianya adalah pendidikan dan dari pendidikan inilah bangsa dan umat akan maju.

Saya mengenal beliau lebih dekat ketika menjadi mahasiswa S2 di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri tahun 1991. Ketika itulah saya hampir setiap hari bertemu dengan Pak Harun karena mata kuliah pokok langsung beliau yang mengajar, seperti perkembangan pemikiran dalam Islam. Pak Harun ketika mengajar sangat totalitas, semua enersi dalam pikiran, jiwa, dan raganya

menyatu dalam mengajar. Dalam hal disiplin, tidak ada duanya, beliau selalu datang dan selesai mengajar tepat waktu dan mahasiswa yang terlambat hanya dilihat saja dan tanpa ditegur, lama kelamaan sang mahasiswa yang sering terlambat akan malu sendiri dan akhirnya tidak mau terlambat lagi. Ketika mengoreksi makalah mahasiswa, beliau sangat disiplin, setiap kata dan kalimat diperhatikan, serta kalau ada data yang tidak ada sumbernya akan dipertanyakan. Perhatian beliau kepada setiap mahasiswa juga luar biasa karena kalau ada mahasiswa yang tidak masuk sampai tiga kali tanpa surat keterangan, beliau akan menanyakan lewat surat, yang ditembuskan kepada pimpinan perguruan tinggi asal mahasiswa tersebut. Begitu juga kalau ada mahasiswa yang terlambat menulis tesis atau disertasi, beliau menanyakan persoalan yang dihadapi dan ditembuskan juga kepada pimpinan perguruan tinggi. Oleh para mahasiswa waktu itu disebut dapat “surat cinta” dari Pak Harun.

Ketika saya sudah selesai kuliah, baru merasakan benar manfaat dari bimbingan beliau yang begitu perhatian pada perkembangan mahasiswanya. Seandainya beliau mengajar tidak totalitas, tentu murid-murid beliau tidak seperti sekarang ini. Jadi, sosok beliau adalah anugerah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk memberi pencerahan di Ciputat, sehingga Ciputat yang selama ini sama sekali tidak terkenal menjadi terkenal di mana-mana, bahkan terkenal karena pemikir-pemikir yang mengharumkan nama bangsa di tingkat nasional mapun internasional.

Contoh seperti beliau yang sulit didapati sekarang, yang mengajar secara totalitas dan menjiwai apa yang diajarkan. Beliau tidak hanya sekedar mentransmisikan ilmu, tetapi yang lebih hebat lagi adalah mentrasnformasikan dan memberi nilai pada setiap ilmu yang diajarkan. Sebagai contoh, mata kuliah perkembangan pemikiran dalam Islam diajarkan tidak saja sebagai pengetahuan biasa dan sekedar untuk mendapat nilai yang bagus, tetapi beliau mendorong

mahasiswa agar berpikir secara kontekstual dan terbuka atas apa yang terjadi pada masa lalu. Karena itu, setiap mengajar, beliau tidak lupa menegaskan bahwa pemikiran dalam Islam dibentuk dalam lingkup sejarah tertentu dan perlu kita jadikan sebagai ‘ibrah (pelajaran) untuk masa kini.

Pergumulan dan pertemuan pemikiran dari berbagai peradaban inilah yang membuat Islam kaya dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang pemikiran dan intelektual. Tidak heran kemudian, pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, perkembangan ilmu-ilmu keislaman mencapai puncaknya. Kalau ingin seperti itu lagi, menurut Pak Harun, kita harus meniru semangat para pemikir Islam awal, yakni berpikir terbuka dan rasional kemudian melakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai lapangan ilmu.

Atas dasar itu, muncul berbagai bidang studi Islam, antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu kalam, sejarah, dan filsafat. Bahkan tidak hanya sekedar ilmu agama yang berkembang waktu itu, tetapi juga ilmu-ilmu kealaman, antara lain ilmu astronomi, ilmu optik, kedokteran, dan ilmu hisab. Jelas bahwa dalam sejarah Islam tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum karena keduanya adalah anugerah dari Allah yang harus dikembangkan secara bersamaan. Lagi pula menurut Pak Harun, ilmu-ilmu tersebutlah yang mengantarkan peradaban Islam menonjol dibandingkan dengan peradaban yang ada di kawasan Timur Tengah, Persia, Afrika dan bahkan Eropa. Islam kemudian diakui dunia sebagai salah satu satu peradaban yang menyumbang kemajuan dunia sampai zaman modern. Orang Barat waktu itu banyak belajar dari ilmuan dan sekolah Islam, terutama di Andalusia.

Karena itu, menurut Pak Harun, pendekatan sejarah merupakan syarat utama dalam memahami Islam secara komprehensif karena dengan sejarah kita dapat wawasan tentang perkembangan peradaban Islam lebih objektif. Begitu juga dengan sejarah kita dapat

membandingkan perkembangan peradaban bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu maju dibandingkan Islam. Di samping sejarah, kita harus mempelajari filsafat karena filsafat mendorong kita berpikir rasional dan mendalam. Rasional adalah pemikiran yang berdasarkan argumen sebab akibat dan dapat dijelaskan secara terbuka dan logis. Filsafat menekankan pada pemikiran yang mendalam sampai ke akar-akarnya karena dengan berpikir mendalam kita terbiasa memahami persoalan secara lebih utuh dan tidak sepihak. Warisan Pak Harun seperti ini membekas pada murid-muridnya, sehingga sebagian ada yang menekuni salah satu bidang yang memang dianjurkan oleh Pak Harun, seperti sejarah, pendidikan dan filsafat.

***

Karya Pak Harun dibandingkan dengan karya tokoh lain, mungkin tidak terlalu banyak. Bahkan lebih banyak karya muridnya, seperti Prof. Abuddin Nata, yang menulis lebih dari 50 buah buku. Beliau menulis kurang dari 10 buku dan yang terkenal itu antara lain adalah “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,” “Islam dan Mistisisme,” dan “Falsafat Agama.” Buku-buku yang beliau tulis tidak terlalu tebal, hanya berkisar sekitar 100 halaman. Namun, bukan banyak karya atau tebal tipisnya buku yang beliau tulis, tetapi dampak dari karya tersebut yang perlu diperhitungkan. Dampak yang sangat terlihat sekali adalah murid-murid beliau lebih produktif daripada beliau. Inilah yang menjadi salah satu bukti bahwa Pak Harun telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan intelektual di IAIN Jakarta. Dengan buku beliau yang tidak begitu tebal, seperti “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” telah berhasil membuka wawasan mahasiswa untuk mendekati Islam tidak hanya dari satu atau dua aspek saja. Pak Harun berhasil membuka pikiran mereka untuk melihat Islam secara komprehensif, yang selama ini hanya terbatas pada aspek fikih dan ibdah saja. Padahal, menurut beliau, kalau

diselami lebih dalam lagi, Islam memiliki aspek yang jauh lebih luas, yakni aspek sejarah, politik, tasawuf, ekonomi, ilmu-ilmu kealaman, dan lain-lain.

Legasi inilah yang sangat berharga dan tidak ternilai bagi dunia intelektual Islam di Indonesia. Pak Harun telah berhasil meletakkan batu bata pertama untuk pertumbuhan bangunan intelektual di Ciputat untuk menyaingi bangunan intelektual di Chicago. Kalau perspektif ini yang dinilai, maka karya Pak Harun yang paling monumental adalah “bangunan intelektual Ciputat” dan “tradisi Intelektual Islam di Indonesia.” Buktinya sekarang, para murid Pak Harun bertebaran di seluruh perguruan tinggi agama, yang tidak saja menjadi pimpinan perguruan tinggi, tetapi juga menjadi para penulis yang produktif dan intelektual yang disegani.

Saya adalah salah satu murid Pak Harun yang mendapatkan berkah beliau, baik secara “murid intelektual” maupun “murid ekonomi.” Murid intelektual, saya tertarik untuk mengembangkan buku “Falsafat Agama” Pak Harun yang tidak terlalu tebal, hanya sekitar 100 halaman. Ketika saya baca semua buku tersebut dan saya baca beberapa referensinya, ternyata dalam referensi utama, informasi tentang filsafat agama lebih kaya. Lagi pula perkembangan agama di masa kontemporer semakin komplek dan beragam dengan kejadian- kejadian bunuh diri massal di Canada dan Amerika Latin. Sekte-sekte keagamaan yang berdasarkan kulturalisme semakin marak, yang oleh John Naisbitt disebut sebagai kebangkitan agama baru. Atas dasar itulah saya terdorong untuk menulis buku yang lebih tebal lagi dan memperkaya tulisan saya dengan berbagai kejadian dan perkembangan yang mutaakhir. Maka pada akhir masa kuliah di S3, saya dapat merampungkan buku “Filsafat Agama” tahun 1998, yang jumlah halamannya 256. Artinya, saya menulis buku tersebut terinspirasi oleh buku Pak Harun dengan judul yang sama.

Sebagai “murid ekonomi,” Alhamdulillah buku saya itu sudah dicetak ulang sebanyak 5 kali dan setiap cetak tidak kurang dari 3000 eks. Artinya, murid ekonomi adalah royalti yang selalu mengalir ke dompet saya ketika buku saya dicetak ulang. Sekali lagi saya berterima kasih kepada Pak Harun yang telah menginspirasi saya menulis buku Filsafat Agama dan yang kemudian saya melanjutkan menulis buku “Filsafat Ilmu.”

Namun, sayangnya, sebagaimana keluhan Prof. Suwito dalam otobiografinya, “Mungkin Segalanya Mungkin” bahwa produktifitas menulisnya menurun setelah menjadi pejabat di lingkungan UIN Jakarta. Begitu juga produktifitas saya menurun setelah menjadi pejabat di lingkungan UIN Jakarta dan sekarang di Kementerian Agama Pusat. Namun, saya tetap bersyukur karena pengabdian saya di Kemenag terus berlanjut dengan tetap ingin mengembangkan tradisi intelektual di lingkungan yang lebih luas, yakni di 55 Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri dan 645 Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta.

Yang terbayang dalam pikiran saya sekarang adalah, seandainya Pak Harun hidup sekarang dan melihat perkembangan lembaga IAIN, yang dulunya hanya 14 buah, tentu beliau sangat kaget. Sebab, sekarang IAIN sudah berjumlah 26 buah, UIN 11 buah dan STAIN 18 buah. Di samping itu, terdapat juga Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang berbentuk institut, sekolah tinggi, dan fakultas agama Islam pada universitas. Tentu senyum Pak Harun yang selama menjadi ciri khas beliau, akan semakin melebar dan akan kelihatan gigi putihnya berjejer dengan rapi. Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu.

BAGIAN III

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 167-175)