• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 121-147)

Yusuf Rahman1

Pendahuluan

Selama ini, karya-karya Harun Nasution banyak memperkenalkan dan mempromosikan pemikiran rasional Mu’tazilah. Ia menunjukkan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang muslim reformis yang beraliran Mu’tazilah. Dalam bukunya

Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Nasution sempat menceritakan kenapa disertasinya yang ditulis di McGill University Kanada pada tahun 1968/1969 yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views” belum diterbitkan, sementara bagian pertama dari disertasinya sudah terbit dalam bentuk Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisis dan Perbandingan di tahun 1972. Nasution di “Pengantar” itu menjelaskan bahwa masyarakat Islam Indonesia pada saat itu belum bisa menerima kesimpulan penelitiannya yang

1Dosen Fakultas Ushuluddin dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketika menjadi mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN Jakarta (1986-1991), pernah mengikuti mata kuliah “Ilmu Kalam” yang diajarkan Prof. Harun Nasution (sebagai dosen narasumber) bersama dosen tetap mata kuliah Ibu Nurbaiti Dahlan. Artikel ini ditulis memenuhi undangan Panitia (terutama Prof. Suwito) pada tanggal 1 November 2015 kepada murid-murid Prof. Harun Nasution untuk menulis tentang Prof. Harun Nasution. Sebagai murid Prof. Nasution, walaupun tidak terlalu intens mengikuti pertemuan di kelas secara fisik, saya menerima undangan Panitia. Saya menulis artikel ini di saat saya melakukan riset tentang Kajian al-Qur’an di University of Melbourne Australia sejak tanggal 21 September – 29 November 2015, sehingga beberapa literatur penting berbahasa Indonesia tidak dapat saya akses. (Walaupun pada akhirnya artikel ini baru diterbitkan pada tahun 2016, setelah saya kembali ke Indonesia, tulisan ini tetap diterbitkan as it is, kecuali beberapa perbaikan kesalahan penulisan).

menyatakan bahwa “Muhammad Abduh … mempunyai pendapat- pendapat Mu’tazilah.”2 Baru pada tahun 1987, Nasution memutuskan untuk menerbitkan Muhammad Abduh oleh Universitas Indonesia Press, setelah masyarakat Muslim Indonesia “siap” menerima kesimpulan bahwa “pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan pemikiran teologi kaum Mu’tazilah.”3

Namun kini di Indonesia mulai ada yang “menggugat” kesimpulan Nasution, dan mengkritisi kembali apakah benar pandangan Abduh memiliki kesamaan dengan pandangan Mu’tazilah. Salah satu kajian yang kini sedang digadang-gadang adalah karya Eka Putra Wirman dengan judul Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution.4 Karya ini digadang-gadang karena mengkritik

pemikiran Harun Nasution yang Mu’tazilah, dan “mematahkan” kesimpulan bahwa Abduh adalah seorang Mu’tazilah. Dalam istilah Adian Husaini “temuan Dr. Eka Putra Wirman menyangkut Harun Nasution itu merupakan temuan penting, karena selama berpuluh tahun gagasan pembaruan studi Islam Harun Nasution didasarkan atas klaim keunggulan Mu’tazilah atas Ahlus Sunnah.” Husaini melanjutkan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa “[k]laim Harun Nasution itupun keliru, karena selama ratusan tahun umat Islam mencapai kejayaannya justru dengan berpijak atas teologi Ahlus

2Nasution, “Pengantar” dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), v.

3Nasution, Muhammad Abduh, 92.

4Diterbitkan oleh Nuansa Aulia Bandung tahun 2013. Untuk selanjutnya nama Eka Putra Wirman saya tulis dengan Wirman, nama akhir, sebagaimana kebiasaan dalam kajian akademik. Informasi ini saya dapatkan berdasarkan pada berita di internet. Di antaranya dari website www.hidayatullah.com yang memberitakan tentang diskusi buku ini di IAIN Imam Bonjol Padang pada tanggal 18-9-2013, dengan menghadirkan pembedah buku Prof. Dr. Duski Samad dan Dr. Adian Husaini. Disebutkan bahwa Dr. Wirman menyelesaikan program doktornya di Qarawiyin University Maroko pada tahun 2003. Informasi terakhir, sejak pertengahan tahun 2015, ia menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol Padang.

Sunnah.”5 Ini kemudian menjadi amunisi bagi Husaini agar ide untuk memajukan studi Islam bukan dengan mengikuti teologi Mu’tazilah apalagi metode Orientalis.

Sebelum buku ini terbit, Wirman sudah menerbitkan buku pada tahun 2011, untuk lingkup yang lebih terbatas, dengan judul

Kesaksian Hasyiah terhadap Teologi Muhammad Abduh yang menyimpulkan, sebagaimana dituliskan Husaini, bahwa

“Buku Hasyiah menjadi saksi bahwa Abduh adalah pengikut setia al-Asy’ari dan berusaha menjelaskan secara rasional-filosofis gagasan-gagasan teologis yang diungkapkan oleh al-Asy’ari. Pembacaan yang serius terhadap buku ini dengan mudah mementahkan pendapat beberapa penulis teologi di Indonesia bahwa Abduh adalah pengikut aliran Mu’tazilah, atau lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah, apalagi lebih Mu’tazilah dari Mu’tazilah.”6

Tulisan ini ingin merespon karya Wirman, namun sayangnya kedua buku tersebut tidak bisa saya akses ketika saya sedang melakukan penelitian tentang kajian al-Qur’an di University of Melbourne Australia sejak 21 September hingga 29 November 2015. Fasilitas jasa pinjaman antar universitas (inter-library loan) juga tidak berhasil untuk melacak dan menemukan karya ini di perpustakaan-

5Lihat Hidayatullah.com, “Setelah 40 tahun, Kekeliruan Prof Harun Nasution Diungkap di Padang,” Sabtu 21 September 2013 http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2013/09/21-

/6468/setelah-40-tahun-kekeliruan-prof-harun-nasution-diungkap-di- padang.html (diakses 4 November 2015)

6Buku tersebut diterbitkan Puslit Press IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2011. Lihat Adian Husaini, “Catatan Akhir Pekan ke-357: Temuan Penting Dr. Eka Putra tentang Harun Nasution,” Rabu, 27 Maret 2013 di http://www.hida-yatullah.com/kolom/catatan-

akhirpekan/read/2013/03/27/134/-temuan-penting-dr-eka-putra-tentang- harun-nasution.html (diakses 4 November 2015)

perpustakaan di Australia. Karyanya yang bisa saya akses adalah artikelnya yang berjudul “The Fallacies of Harun Nasution’s Thought of Theology,”7 yang diterbitkan di Journal of Indonesian Islam pada tahun 2013 yang bisa diakses secara on line. Walaupun pastinya tidak selengkap kedua buku tersebut, namun karena artikel ini diterbitkan setelah kedua bukunya tersebut, maka saya bisa mengasumsikan bahwa artikel ini memuat inti dari kedua buku di atas.

Wirman dan “Kesalahpahaman” Nasution tentang Abduh

Dalam karyanya ini, Wirman mengajukan beberapa kelemahan dan kesalahan Nasution dalam menelaah pemikiran kalam (teologi) Muhammad Abduh, terutama dalam ketidak akuratan data dan ketidak konsistenan Nasution dalam merujuk kepada sumber primer karya Abduh. Nasution menyatakan dalam karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah bahwa yang menjadi sumber primer dalam mengkaji pemikiran kalam Abduh adalah Risalah al-Tawhid, Hasyiyah ala Syarh al-Dawwani li al-Aqa’id al-Adudiyyah, dan Tafsir al-Manar.8 Namun Wirman mendapatkan bahwa ketika mengkaji

pemikiran kalam Abduh, Nasution telah salah memahami karena -- menggunakan istilah Wirman – Nasution tidak akurat dalam merujuk kepada data atau sumber yang ada. Wirman mencontohkan beberapa kasus di mana jika dibandingkan antara pemahaman Nasution dengan karya Abduh yang berjudul Hasyiyah, kesimpulan Nasution bertolak belakang. Jika Nasution menyatakan bahwa akal, menurut Abduh, bisa mengetahui Tuhan (M.T.), mengetahui adanya hidup di akhirat (M.H.A), mengetahui kebajikan dan kejahatan (M.B.J), mengetahui kewajiban terhadap Tuhan (M.W.T.T), mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat (M.W.B.J), serta membuat hukum-

7Eka Putra Wirman, “The Fallacies of Harun Nasution’s Thought of Theology,” Journal of Indonesian Islam 7, 2 (December 2013): 246-267.

hukum (M.H), maka sumber yang dijadikan rujukan oleh Wirman menyatakan sebaliknya.9

Salah satu contoh yang diajukan tentang kewajiban Mengetahui Tuhan (M.T). Dengan merujuk kepada Hasyiyah yang diterbitkan dalam buku al-Syaikh Muhammad Abduh baina al-Falasifah wa al- Kalamiyyin, yang disunting oleh Sulayman Dunya, Wirman berkesimpulan bahwa Abduh secara eksplisit menyatakan bahwa kewajiban untuk mengetahui Tuhan adalah berdasarkan wahyu “al- nazhar li tahshil ma‘rifat Allah ta‘ala qad tsabat wujubuh bi al- syar‘.” Pandangan ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ada perbedaan kesimpulan? Apakah Nasution “sengaja” salah memahami Abduh dan tidak merujuk kepada kitab Hasyiyah?.

Sebenarnya, kalau mau dibaca lebih jeli lagi, Nasution memang mengakui ada perbedaan pandangan antara Risalah al-Tauhid dengan

Hasyiyah. Di bagian akhir bukunya, Nasution memaparkan perbedaan antara kedua buku Abduh terkait dengan fungsi akal dan wahyu. Berbeda dengan Hasyiyah yang masih menekankan superioritas wahyu atas akal, di dalam Risalah al-Tauhid, Nasution mengutip pernyataan Abduh:

“Jika wahyu membawa sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, wajib bagi akal untuk meyakini bahwa yang dimaksud bukanlah arti harfiah; bagi akal kemudian terdapat pilihan antara memberi arti metaforis kepada ayat dan menyerahkan kepada Allah maksud dari ayat itu.”10

9Lihat Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 249 dst. 10Lihat Nasution, Muhammad Abduh, 93.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa memang antara kedua karya Abduh tersebut ada perbedaan, dan tampaknya Nasution lebih berpegang kepada pandangan Abduh yang di Risalah al-Tauhid.

Di dalam artikelnya, Wirman dengan cekatan menghitung berapa kali Nasution merujuk ke Hasyiyah dan Risalah al-Tauhid dan sampai pada kesimpulan bahwa Hasyiyah dirujuk Nasution sebanyak 28 kali, sementara Risalah al-Tauhid 144 kali. Namun ini juga yang kemudian menjadi kritikan kedua Wirman, yang ia sebut dengan ketidak konsistenan Nasution. Bagaimana mungkin Nasution lebih banyak merujuk kepada Risalah al-Tauhid yang menurut Wirman, mengutip pendapat Nasution, diperuntukkan “’only’ for high-school level kind of reading” (bacaan anak SMA),11 dari pada merujuk kepada

Hasyiyah. Seharusnya, dalam logika Wirman, jika Nasution sudah mengakui bahwa Risalah al-Tauhid adalah bacaan untuk anak SMA, maka ia lebih baik merujuk kepada Hasyiyah. Inilah yang disebutkan Wirman dengan “tidak konsisten,” karena Nasution lebih sering merujuk kepada Risalah al-Tauhid dari pada kepada Hasyiyah.

Demikianlah beberapa kritikan Wirman terhadap karya Nasution, yang pada intinya Nasution telah salah memahami Abduh: Abduh bukanlah seorang penganut Mu’tazilah, akan tetapi ia adalah seorang Sunni,12 ahlu sunnah wal jama’ah berdasarkan karya

Hasyiyah. Dalam menanggapi kritikan Wirman paling tidak ada dua hal yang ingin saya sampaikan, terutama terkait dengan kajian terhadap karya-karya tokoh. Namun sebelum itu, saya akan memaparkan beberapa kajian sarjana kontemporer tentang pemikiran Abduh, terutama dalam bidang politik dan teologi.

11Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 260. Bandingkan dengan Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, 5.

12Seakan-akan seorang Mu’tazilah bukanlah termasuk Sunni.(Catatan penulis artikel ini)

Muhammad Abduh dalam Kajian Sarjana Kontemporer: dari Abduh yang Sufi, Salafi, Mu’tazila, hingga Reformis

Kajian para sarjana tentang Muhammad Abduh, sejak dikaji Nasution hingga kini, tidak terhitung banyaknya, dan masih terus berkembang. Dalam karya-karya yang terbit sejak tahun 2000an, didapatkan bahwa kesimpulan para sarjana berbeda-beda berdasarkan pada sumber-sumber yang mereka jadikan rujukan.Paling tidak para sarjana telah membagi kehidupan karir Abduh ke dalam empat fase: 1) fase pendidikan, sejak masa kecil hingga ia selesai dari al-Azhar tahun 1877; 2) fase nasionalis, sejak ia bergabung dengan Jamal al- Din al-Afghani hingga Revolusi Urabi tahun 1882; 3) fase Salafiyya, yaitu masa pengasingannya di Paris bersama al-Afghani dan perpisahannya dari al-Afghani, hingga menetap di Beirut dan mengajar di Sulthaniyya. Bahan ajarnya di Sulthaniyya ini yang menjadi basis bagi karyanya yang terkenal Risalah al-Tauhid; 4) masa reformis, yaitu ketika ia menjadi Mufti Mesir dari 1899 hingga wafatnya 1905 dan banyak melakukan reformasi kurikulum al- Azhar.13

Pada setiap fase ini, Abduh memiliki karya-karya sehingga para sarjana menginterpretasikannya bermacam-macam dan berbeda-beda. Oleh karena itu Vincent C. Cornell di tahun 2013 melukiskan Muhammad Abduh sebagai “the Illustrated Man” dan “the most ambiguous in terms of understanding the full extent of his legacy in the century since his death…., he is arguably the most overinterpreted figure in modern Islamic thought.”14 Pada fase awal, misalnya, Abduh menulis karyanya yang pertama pada tahun 1874 dengan judul Risalah

13Lihat Vincent J. Cornell, “Muhammad ‘Abduh: A Sufi-Inspired Modernist?” dalam Tradition and Modernity: Christian and Muslim Perspectives, diedit David Marshall (Georgetown University Press, 2013), 105-114. Dalam hal ini lihat 106. Lihat juga penjelasan lebih lengkap tentang sejarah hidup Abduh dalam Mark Sedgwick, Muhammad Abduh (New York: Oneworld Publications, 2010).

al-Waridat fi Sirr al-Tajalliyyat, suatu karya yang dianggap Oliver Scharbrodt sebagai “the forgotten work”15 dari karya-karya Abduh. Disebabkan karya ini maka Scharbrodt menyebut Abduh sebagai seorang sufi. Lihat juga artikel Cornell yang menekankan kesufian seorang modernis Abduh dalam “Muhammad Abduh: a Sufi Modernist? Sebelum ini tidak banyak yang menekankan pemikiran sufistik Abduh, karena sebagaimana dikatakan Scharbrodt, karya Abduh yang berjudul Risalah al-Waridat ini dianggap oleh beberapa penulis biografi Abduh, seperti Rasyid Ridla dan Muhammad Imarah, sebagai bukan karya Abduh, akan tetapi karya al-Afghani.

Di antara yang menarik dari kajian para sarjana adalah kaitan Abduh dengan gerakan Salafi. Jika Aziz al-Azmeh melihat bahwa karya-karya Abduh, Afghani dan Rasyid Rida sebagai basis foundasional bagi gerakan Islamis revivalis yang telah mempengaruhi gerakan dan diskursus Islamis hingga saat ini,16 maka Frank Griffel di dalam “What Do We Mean By “Salafi”? Connecting Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contemporary Intellectual History,”17 mengklarifikasi beberapa definisi Salaf dan kaitannya dengan berbagai gerakan Salafi yang ada. Bagi Griffel, gerakan reformasi al-Afghani dan Abduh, dan juga yang lainnya, bisa disebut gerakan Salafi karena mereka meyakini bahwa pendidikan madrasah bertanggung jawab terhadap kemunduran kekuasaan dan peradaban Islam, dan membandingkannya dengan kejayaan Salaf. Akan tetapi pemahaman mereka tentang Salaf berbeda-beda. Grriffel menulis:

15Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muhammad ‘Abduh and His Risalat al-Waridat (Treatise on Mystical Inspirations),” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 70, 1 (2007): 89-115. Pernyataannya bisa dilihat di 94.

16Lihat Aziz Al-Azmeh, “Islamist Revivalisme and Western Ideologies,” History Workshop Journal 32 (1991): 44-52, here 46.

17Frank Griffel, “What Do We Mean By “Salafi”? Connecting Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contemporary Intellectual History,” Die Welt des Islams 55 (2015): 185-220.

“For ‘Abduh the salaf were … the major theologians of Islam up to al-Ghazali and Ibn Taymiyya. For others they were limited to the companions of the Prophet, who recorded hadith for him. Again others followed Ibn Taymiyya’s earlier reform project and his understanding of the salaf. For Ibn Taymiyya, salaf meant the collectors and early interpreters of hadith up to the generation of Ahmad b. Hanbal (d. 241/855).”

Jadi dalam hal ini gerakan Salafi Abduh bukanlah sebagaimana Salafi-nya kelompok atau mazhab Hanbalisme dan Wahabisme.

Kajian terakhir yang juga terbit beberapa tahun belakangan terkait dengan pemikiran Abduh adalah pemikiran teologi Abduh. Bahkan perdebatan yang diajukan adalah–hampir sama dengan yang dipertanyakan Wirman–apakah Abduh seorang Mu’tazili. Thomas Hildebrandt menulis disertasi di University of Bamberg Jerman, yang sebagiannya diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Waren Gamal Ad-Din al-Afgani und Muhammad ‘Abduh Neo-Mu‘tazilaten?.”18 Hildebrandt mensurvei dan mengkritisi kajian para sarjana yang menulis tentang pemikiran Abduh. Perdebatan ini terjadi karena rujukan dari para sarjana yang berbeda-beda, dan/atau bahkan rujukan yang sama namun melahirkan penafsiranyang berbeda-beda.

Menarik di sini untuk melihat rujukan yang digunakan Wirman dalam rangka mendukung “ke-Asy’ariyah-an” Abduh. Ia mengamini kesimpulan sarjana Barat, seperti Charles C. Adams dan lain-lain yang menegaskan bahwa teologi Abduh adalah Ahlussunnah dan As’ariyyah.19 Akan tetapi, ia tidak membandingkan dan merujuk

18Thomas Hildebrandt, “Waren Gamal Ad-Din al-Afgani und Muhammad ‘Abduh Neo-Mu‘tazilaten,” Die Welt des Islams 42, 2 (2002): 207-262.

19 Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 60, n. 27. Selain Adams, Wirman menyebutkan nama-nama lain, seperti M. Horten, Michael B dan MacDonald, akan tetapi tidak ada judul-judul dari karya-karya sarjana

kepada karya-karya sarjana Barat lainnya yang berkesimpulan bahwa Abduh lebih condong ke pandangan teologis Mu’tazilah, seperti R. Caspar, L. Gardet, Ignaz Goldziher, atau karya Richard C. Martin, Mark R. Woodward, dan Dwi S. Atmaja yang berjudul Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol.20

Oleh karena itu, ketika mengkaji karya-karya seorang tokoh maka perlu memperhatikan, pertama perkembangan pemikiran seorang tokoh, kedua konteks di mana karya itu ditulis dan pembaca yang sedang dituju oleh karya tersebut, dan ketiga penyunting atau editor dari karya-karya tokoh tersebut.

Konteks dan Audiens Karya-Karya Abduh

Sebagaimana pemikiran seseorang yang terus berkembang, maka perlu diperhatikan kapan dan dalam konteks apa suatu karya ditulis. Memang tidak bisa secara kategoris dipisahkan suatu karya dari konteks keseluruhan karya seorang tokoh tersebut, namun suatu karya yang ditulis dalam konteks dan untuk audiens tertentu, tentu akan mempengaruhi bahasa dan inti dari pembahasan karya tersebut. Karen Bauer misalnya, dalam konteks literatur tafsir, telah berusaha melakukan tipologisasi terhadap karya-karya tafsir. Dengan meneliti karya-karya tafsir ini, Bauer menulis

“The introductions of works of tafsir reveal that exegetes of the eleventh and twelfth centuries had a deep concern to present their work according to hierarchy of knowledge. They speak about the technical difficulty and

Barat tersebut di dalam Bibliografi. Satu-satunya karya sarjana “Barat” yang dia sebut di bibliografi, yaitu Majid Fakhri.

the length of their works, and often assert their own level of scholarship and that of their intended audience.”21

Ketika membaca muqaddimah yang ditulis Abduh dalam Risalah al-Tauhid dapat diketahui juga sejarah penulisan karya ini dan siapa audiensnya pertama kali. Sebagaimana yang dijelaskan Abduh, ketika mengajar ilmu tauhid di madrasah Sulthaniyyah, ia mendapatkan buku-buku yang terkait dengan tema ini banyak yang tidak cocok dengan tingkatan keilmuan siswa “ta‘lu ‘ala afhamihim” dan pembahasan-pembahasannya tidak sesuai dengan masa mereka “ullifat li-zaman ghayr zamanihim.” Oleh karena itu, Abduh kemudian mendiktekan pembahasan ini bagi mereka.22 Inilah kemudian yang disebut Nasution bahwa “kandungan” karya ini dari hasil ceramahnya di madrasah tersebut. Akan tetapi berbeda dengan pernyataan Wirman, Nasution tidak menyatakan bahwa buku ini hanya cocok untuk siswa sekolah. Yang menyatakan pendapat tersebut adalah J. Jomier, bukan Nasution sendiri. Di sini Nasution mengutip pendapat Jomier tentang status Risalah al-Tauhid.23

21Bauer, “‘I Have Seen the People’s Antipathy to this Knowledge’: The Muslim Exegete and His Audience, 5th/11th-7th/13th Centuries,” The Islamic Scholarly Tradition: Studies in History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook, ed. Asad Q. Ahmad, Behnam Sadeghi, and Michael Bonner (Leiden: Brill, 2011), 293-314. Penulisan miring dalam kutipan di atas oleh penulis artikel ini.

22Lihat, Abduh, Risalah al-Tauhid, disunting Rasyid Ridla (Kairo: Mathba‘ah Muhammad ‘Ali Shubaih wa Auladih bi al-Azhar dan dikeluarkan (ashdara) Dar al-Manar, 1956), cetakan ke 17, 2. Buku ini telah dicetak beberapa kali sejak disunting pertama kali oleh Ridla tahun 1908. Selain disunting oleh Ridla, buku ini juga disunting oleh beberapa sarjana lainnya, yang akan didiskusikan di bagian akhir dari artikel ini. Menarik untuk membaca kata-kata yang tertulis di halaman muka buku tersebut “kull nuskhah ghayr makhtumah bi-khatm al-manar tu‘add masruqah.”

23Lihat Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 5. Bandingkan dengan Wirman, “Fallacies of Harun Nasution’s Thought,” 269, dan juga 264.

Yang dikatakan Nasution adalah bahwa kandungan dari ceramah-ceramah inilah yang kemudian menjadi buku Risalah al- Tauhid. Berdasarkan bahan ceramah yang didiktekan Abduh kepada murid-muridnya, kemudian Abduh merevisi hasil dikte tersebut yang didapatkan dari muridnya yang bernama Hamudah Bik ‘Abdah,24 dengan menambahkan dan memperjelas beberapa pembahasan, yang kemudian diterbitkan dengan edisi yang dalam beberapa hal berbeda dengan sebelumnya, tentunya disesuaikan dengan audiens dan pembaca buku ini. Jika ceramah-ceramahnya disampaikan di Sulthaniyyah pada tahun 1888, maka buku Risalah al-Tauhid

diterbitkan pertama kali pada tahun 1897. Buku ini diterbitkan ketika Abduh masih hidup, walaupun ketika itu, seperti dikatakan Sedgwick, buku ini belum banyak menarik perhatian.25 Penerbitan karya ini pada saat Abduh masih hidup penting untuk ditekankan di sini.

Hal ini berbeda dengan Hasyiyah yang diterbitkan setelah Abduh meninggal dunia, dan disunting oleh Sulayman Dunya pada tahun 1958. Di samping itu, buku ini sebenarnya ditulis pada tahun 1876 dengan judul al-Ta‘liqat ‘ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqa’id al- ‘Adudiyya, dua tahun setelah ia menulis Risalah al-Waridat. Ada juga yang berpendapat bahwa karya ini bukan milik Abduh akan tetapi milik Afghani.26 Selain masih diperdebatkan apakah karya ini orisinal karya Abduh, kedua buku ini juga ditulis ketika Abduh masih kuliah di Al-Azhar dan masih berumur 25-27 tahun. Ini berarti, ditulis Abduh

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 121-147)