• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 147-167)

Achmad Syahid1

Pendahuluan

Masih terbayang jalannya perkuliahan dengan Prof. Harun Nasution pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (kini UIN Surabaya) pada tahun 1997-1998. Kuliah itu tidak seperti pada umumnya, ada mahasiswa presentasi dan lalu dilanjutkan dengan diskusi. Kuliah itu lebih banyak diisi dengan tanya jawab, antara kami mahasiswa Pascasarjana dengan Prof. Harun Nasution, dosen pemikiran Islam sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Jakarta yang merangkap sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Surabaya. Posisi terakhir dirangkap Prof. Harun demi dan atas nama penjaminan mutu, dengan maksud agar mutu perkuliahan pada Program Pascasarjana IAIN Surabaya dapat dijamin dan tidak berada di bawah mutu Program Pascasarjana IAIN Jakarta atau pada PT di belahan bumi manapun di dunia.

Dialog di seputar masalah pemikiran Islam yang di dalamnya termasuk teologi, filsafat, tasawuf, tafsir, dan pranata Islam. Dialog yang terjadi di seputar kegelisahan kami, tentang tercerai berainya umat Islam ke dalam berbagai varian aliran keislaman (firqah). Firqah dalam Islam, dalam taraf tertentu, tidak lagi berupa perbedaan pendapat (al-ikhtilaf) yang membawa rahmat, tetapi di banyak kasus justru telah berupa perpecahan yang cenderung membawa bencana kemanusiaan.

Itu adalah pengalaman pertama mengikuti kuliah Prof. Harun, dan tidak lagi memiliki kesempatan bertemu kembali ketika pada September 1999 saya menempuh program doktor pada Sekolah Pascasarjana IAIN Jakarta di Ciputat. Prof. Harun wafat pada 18

1Murid Prof. Dr. Harun Nasution, dosen UIN Syarif Hidayatullah

September 1998, setahun sebelum saya ke Jakarta. Kuliah di Ciputat ini merupakan amanah Prof. Thoha Hamim dan Prof. Achmad Zaenuri untuk terus menempuh studi: “IAIN Surabaya ini hanya jembatan saja buatmu, terus melangkah, lewati jembatan, dan jangan berhenti di jembatan ini”. Prof. Toha dan Prof. Zaenuri adalah Wakil Direktur Bidang Akademik dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan Program Pascasarjana, di mana Prof. Harun menjadi Direkturnya. Sementara Prof. M Roem Rowi menjabat Wakil Direktur Bidang Administrasi Umum.

Diskusi di Ciputat menawarkan suasana akademik dan kompetitif yang baik, membuat semua energi keilmuan dapat dipacu hingga batas maksimal. Suasana di kampus ini tidak saya temui sebelumnya. Bertemu dengan kawan-kawan latar belakang etnis, daerah, latar belakang institusi pendidikan, jenis kelamin membuat siapa saja yang datang ke Ciputat akan memiliki kematangan jati diri intelektual mereka. Ragam paham pemikiran dan paham keagamaan bertemu. Paham yang tadinya dianggap tidak terbantahkan, kini menjadi terasa nisbi. Perbedaan praktek keagamaan sama-sama mendapat tempat, tidak saling menegasikan. Begitu rileksnya, perbedaan shalat tarawih misalnya, menjadi bahan canda. Menemukan suasana keagamaan dan praktek keagamaan yang tidak menegangkan kali pertama saya lihat justru dari Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Jember dan berceramah di hadapan kyai dan umat pada 1994.

Pada periode saya studi di Ciputat tentu saja tidak bertemu lagi dengan Prof. Harun, namun bertemu jejak Prof. Harun pada para murid-muridnya. Mereka adalah Prof. Abdul Aziz Dahlan, Prof. M Yunan Yusuf, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Abdul Gani Abdullah, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Azyumardi Azra, Prof. A Thib Raya, Prof. Zainun Kamaluddin Fakih, Prof. Suwito, Prof. M Ridwan Lubis, dll. Pada fase ini intensitas saya juga bertemu dengan intelektual ternama, Prof. Komaruddin Hidayat dan Prof. Azyumardi Azra melebihi dari intensitas saya bertemu yang lain, dan tentu saja bertemu dengan

akademisi yang tak pernah lelah selama hidupnya, Prof. Suwito. Yang istimewa dari kuliah di Ciputat adalah, seakan menjadi wajib bagi kami mahasiswa Pascasarjana untuk mengikuti pengajian dua mingguan Klub Kajian Agama (KKA) di bilangan Pindok Indah atau di Hotel Kuningan, yang diasuh oleh Prof. Nurcholish Madjid. Di dalam pengajian itu di samping mengundang para pakar-akademisi atau intelektual, juga menampilkan murid-murid terbaik Prof. Harun, seperti Prof. R. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Rif’at Syauqi Nawawi, Prof Kautsar Azhari Noer, dll. Hemat saya, pada saat itulah pembelajaran tentang Islam dari berbagai aspeknya, dan diletakkan dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan yang dinamis dan hidup.Pada forum tersebut kajian Islam dalam bentuknya pada tingkat lanjut ditampilkan dan hasil-hasil riset keislaman dikontestasikan dalam sebuah diskusi yang bermutu dan bergizi tinggi. Bagi kami yang sedang menempuh studi pada jenjang Program Doktor di UIN Jakarta, diskusi KKA ini sebagai penyempurna. Kawan-kawan pemburu diskusi KKA, masih ingat benar, adalah Dr. Mastuki HS (Kemenag Pusat), Dr. Rumadi (UIN Jakarta; KPI), Dr. Syamsul Hadi (UIN Malang), Dr. Samsun Ni’am (IAIN Ponorogo), Prof. Mitfah Arifin (IAIN Jember), Dr. Syahrul A’dzam (UIN Jakarta), Dr. Halid al-Kaf (UIN Jakarta), dll. Masih segar dalam ingatan, antara tahun 1999-2005, kami dari Semanggi II Ciputat, naik bus kota rame-rame baik ke kompleks Pertokoan Pondok Indah maupun ke Hotel Grand Melia di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat.

Pertemuan intelektual dengan Prof. Harun di Surabaya, kemudian Kajian Cak Nur di Jakarta, peran Prof. Azyumardi, Prof. Komaruddin Hidayat, kawan-kawan di PPIM dan suasana Ciputat secara umum memperbesar minat perhatian saya yang semula hanya menekuni bidang pendidikan agama, kemudian bertambah dengan pemikiran – kalam, tasawuf, filsafat Islam, dan kemudian sejarah. Sejak saat itu dan hari-hari kemudian perhatian saya tidak lagi fokus pada pendidikan, bidang yang saya tekuni sejak menempuh Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Situbondo dan sarjana pada

IAIN Jember, tetapi masuk pada wilayah pemikiran Islam.Horizon semakin warna-warni, cakrawala semakin meluas, dan perspektif semakin bertambah.

Berhadapan dengan Prof Harun, Islam dikaji sebagai disiplin ilmu. Sebagai orang yang berangkat dari kampung di Banyuwangi, kemudian ke Situbondo dan lalu ke Jember, berada di Ciputat memang mengasikkan. Apalagi pada saat itu suasana kampus ini seakan berada dalam masa transisi yang hendak melakukan transformasi dirinya dari IAIN menjadi UIN Jakarta. Dalam transisi seperti ini melihat Islam dibaca sebagai disiplin ilmu seakan mengubah cara saya melihat agama Islam. Transformasi IAIN menjadi UIN Jakarta adalah perluasan (enlarging) dan pendalaman (deepening) bagaimana ilmu- ilmu keagamaan dikaji secara ilmiah, dan sekaligus penyandingan (benchmarking) studi ilmu-ilmu keagamaan dengan cara studi non ilmu keagamaan. Berada dalam suasana keilmuan yang meluas mengikuti transformasi kelembagaan yang berubah, membuat kami dan civitas akademika UIN Jakarta menjadi terbiasa diskusi tentang sebuah kasus dan melakukan kajian tentangnya dalam lintas disiplin ilmu. Jika Hidayat (2016: ix) menulis “salah satu ciri dan tuntutan ilmu agama yaitu menelusuri dan menghubungkan ke masa lalu agar mata rantai ajaran agama yang diterima tidak terputus dan terjaga autentisitasnya dari sumber aslinya yang berada di masa lalu”, maka - dengan dibukanya ilmu-ilmu non agama seperti humaniora, sosial, sains, terapan, dan formal di UIN Jakarta – pendapat dan pandangan yang merupakan hasil kajian ilmu keagamaan tidak diterima begitu saja sebelum dikontestasikan dengan pendapat dan atau pandangan lain sebagai ciri berfikir ilmiah.

Meski karakter studi ilmu keagamaan berbeda dengan cara berfikir sains, namun karakter studi keislaman di UIN Jakarta tidak lagi monoton. Studi agama tidak lagi melulu bersifat normatif, deduktif, konservatif, namun telah diadopsi pula pendekatan sains yang bersifat induktif, empiris, dan bahkan eksperimentatif. Hidayat (2016: ix) masih dipertahankan studi agama dengan pendekatan

konservatif di UIN Jakarta, dalam makna “menjaga tradisi yang ada jangan sampai berubah, terutama yang berkaitan dengan praktik ritual dan narasi serta dalil-dalil keagamaan”, bersanding dengan doktrin falsifikasi dalam sains. Doktrin falsifikasi dalam sains oleh Popper (1934) begitu populer. Dalam kajian sains ilmiah sudah lazim sebuah penelitian yang menguji pendapat, pengertian, teori, hukum,dll., tidak bisa dilakukan secara berulang. Untuk menghindari masalah konseptual dan filosofis, satu pengertian, teori dan dimensi yang digunakan sebagai instrumen pengukuran dalam penelitian untuk menguji adanya pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, tentu ada yang terbukti dan tidak terbukti. Teori yang terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teruji kebenarannya. Demikian juga dimensi dan item dalam dimensi pada teori tersebut. Teori yang gugur karena tidak terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teori tersebut terbukti tidak memiliki dukungan dalam bentuk data. Gugur berarti terbukti salah, tidak lagi handal (reliable) dan sahih (valid) untuk dijadikan landasan teoritik, berikut dimensi dan item-item dalam dimensi tersebut.

Di hadapan konsep falsifiabilitas Popper, penggunaan instrumen yang sama secara berulang itu bermasalah secara folosofis dan konseptual. Doktrin dasar Popper (1934) adalah “dalam setiap teori, harus mengidap di dalam dirinya terbuka untuk dapat difalsifikasi, untuk disalahkan.” Jika teori terbukti salah, dalam hal ini tidak terbukti dalam sebuah penelitian ilmiah, maka teori tersebut gugur. Jika hanya salah satu butir dalam dimensi atau salah satu dimensi dalam instrumen teori yang gugur, maka—menurut Popper—butir dan dimensi tersebut tidak lagi sahih dan kredibel untuk dipergunakan dalam penelitian selanjutnya. Jika keseluruhan dimensi teori tersebut tidak terbukti, maka gugur teori tersebut. Memang ada falsifikasi ad hoc yang berbeda dengan falsifikasi absolut, yang berpendapat bahwa jika hanya butir atau dimensi tidak terbukti dalam penelitian, maka hanya butir dan dimensi itu saja yang harus direvisi, sehingga teorinya tetap bertahan. Falsifikasi sophistikit berpendapat sebaliknya, butir

instrumen dalam dimensi, apalagi dimensi dalam teori, adalah mewakili keseluruhan konstruksi teori tersebut. Jika satu butir, sekali- lagi, atau dimensi teori gugur, terfalsifikasi keseluruhan teori tersebut.

Kembali kepada warna kajian ilmu-ilmu keagamaan, warna pengaruh Prof. Harun tampak dalam hal membuka mata intelektual mahasiswanya dalam memahami secara ilmiah atas kekayaan warisan intelektual Islam yang kaya di berbagai macam disiplin ilmu keislaman. Mahasiswa memiliki alternatif pemahaman keislaman yang tidak lagi doktriner dan tetapi juga tidak mudah terjebak pada sikap eksklusif memilih salah satu madzhab pemikiran yang ada. Prof. Harun kembali dari studi di luar negeri pada 1969, termasuk generasi pertama dosen perguruan tinggi agama studi ke Barat. Bagi sementara pihak yang studi lanjut di berbagai perguruan tinggi luar negeri, khususnya Barat, seperti Prof. Atho Mudzhar, Prof Komar, Prof. Din Syamsuddin, Prof. Azra, Prof. Bahtiar, dan mereka generasi yang lebih muda di Ciputat, kuliah-kuliah Prof. Harun di Ciputat seakan berperan memberi bekal keyakinan, pemahaman,dan persiapan mental yang cukup akan ajaran Islam, sehingga mereka tidak kaget pada saat mereka bersentuhan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda, bahkan memperoleh ilmu dari guru besar bidang ilmu keislaman namun beragama bukan Muslim. Dari proses ini, lahirlah kemudian para ahli keislaman dengan hasil-hasil kajian keislaman yang lebih bervariasi dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu lain, sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, politik, filsafat, dll. Dilihat dari cara berfikir, buku bacaan serta bagaimana mereka mengajar, pada umumnya, mereka tidak lagi membahas isi materinya, tetapi lebih pada metodologinya (Mudzhar, 2016: 16). Sumber yang dijadikan rujukan menjadi penting dalam sebuah diskusi bermutu, sebab pada titik itulah otoritatif tidaknya sebuah pernyataan dalam tulisan tergantung pada bukti dokumen yang menjadi rujukannya. Dengan belajar seperti ini, membuat mahasiswa tidak lagi menghafalkan bagaimana isinya, tetapi berbicara tentang dari mana sumber dan bagaimana membangun argumen berdasarkan sumber itu

sehingga isi buku itu disusun untuk tujuan yang mencerahkan pembacanya.

Generasi Baru

Prof Azyumardi Azra (dalam Fathurrahman, 2007) senantiasa menyebut bahwa transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta merupakan gagasan Prof. Harun. Meskipun ungkapan ini sebenarnya keluar lebih merupakan tanda hormat dan kesantunan Prof. Azra kepada Prof. Harun, namun jauh sebelum transformasi kelembagaan terjadi pada 2002, disebut bahwa Prof. Harun telah menyiapkan lahirnya generasi baru dosen pada universitas ini. Dosen generasi baru itu tidak lagi melulu melanjutkan studi di berbagai universitas terbaik di Timur Tengah, tetapi ke berbagai perguruan tinggi terbaik di Australia, Kanada, Amerika, Eropa, dll. Dosen generasi baru itu umumnya lulusan pesantren, atau lahir dari kalangan santri, orang tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll., dari keluarga sederhana, yang tidak terbersit dalam benak mereka akan menempuh studi di luar negeri. Peta mahasiswa IAIN Jakarta pada saat Prof. Harun memimpin dan mewarnai UIN Jakarta dalam konteks pemikiran dan pandangan keilmuan, juga merupakan putera-puteri aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll. Pada 2013, sekitar 10 tahun setelah melakukan transformasi menjadi UIN Jakarta, peta mahasiswa UIN Jakarta sudah bergeser, kebanyakan berasal dari kelas menengah Muslim perkotaan. Mereka yang mengaku bahwa orang tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll., semakin mengecil (Syahid, dkk., 2013).

Ini adalah peta baru mahasiswa UIN Jakarta, dan itu juga segmen yang harus dihadapi oleh dosen UIN Jakarta dalam hal mereka menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan. Tentang kaum menengah Muslim perkotaan, Hasan (2016: 185-215) menulis bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama. Mereka menghendaki agama yang disajikan dengan dialogis, rasional, eksplanatif, argumen yang multi perspektif, inklusif, dll. Klinken

(2016: 36, 40) menulis bahwa konservatisme agama yang menjangkiti kaum kelas menengah di kota-kota tingkat menengah, justru tidak terjadi pada kaum petani yang mulai tersingkir lantaran lahan pertaniannya mulai tergerus oleh industrialisasi seperti Cilegon dan tidak juga pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta. Ciputat yang berkembang menjadi sub urban penyangga kota besar Jakarta, tempat di mana UIN Jakarta berada, menyaksikan kebangkitan iman takwa dan menggejalanya sufisme perkotaan pada kaum yang disebut terakhir ini. Kelas menengah ini datang dari berbagai kalangan, umur, latar pendidikan, profesi, keilmuan, dll., mengalami gairah keislaman. Mereka sadar politik, menerima domokrasi, perhatian pada isu-isu sosial kemanusiaan pada level nasional dan internasional, meskipun mereka menikmati demokrasi, jaringan patronase, dan ketrampilan politik mereka untuk kepentingan mereka sendiri, bukan keuntungan kaum elit ataupun kelas miskin di bawah.

Lahirnya dosen ahli Islam dengan generasi baru, yang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka memiliki pemahaman yang otoritatif dan baik tentang Islam, dan kini pemahaman keislaman mereka itu sudah diperluas karena dilengkapi dengan keahlian pada bidang ilmu yang lain. Pada dosen generasi baru ini Prof. Harun memberi contoh bukan hanya melalui kuliah dan ceramah ilmiah, yang menurut Prof. Atho’ Mudzhar (2016: 6) “sangat disiplin dalam waktu, berpandangan luas, menyukai pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa”, tetapi juga melalui berbagai karyanya. Kita bias melihat sikap kritis dan rasional juga tampak ketika kita membaca karya-karya Prof. Harun.

Karya menarik yang berjudul Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan yang diterbitkan pada 1972. Sejatinya karya ini merupakan kompilasi dari makalah-makalah yang disajikan di berbagai tempat termasuk juga kuliah-kuliah tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam.Tema aliran modern dalam Islam, yang kemudian bagi orang perguruan tinggi agama Islam akrab ditelinga dengan nama “AMDI”. Buku ini mengupas pemikiran dan

gerakan pembaruan dalam Islam di tiga Negara Islam, yang muncul pada periode dalam Islam. Pembaruan di Mesir mengupas sejarah pendudukan Napoleon dan kemudian memicu pembaharuan di Mesir, tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, kemudian mengupas para murid dan pengikut Muhammad Abduh. Pembahasan tentang pembaharuan di Turki dibahas sejak sejarah Sultan Mahmud II, rezim Tanzimat, peran Usmani Muda, juga Turki Muda, tiga aliran pembaharun di Turki dalam menempatkan isu Islam, Nasionalisme, dan peran Mustafa Kemal Attaturk. Sementara pembaharuan Islam di India-Pakistan mengupas pola Gerakan Mujahidin, figur Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah dan lahirnya negara Pakistan, Abul Kalam Azad, dan pergulatan nasionalisme di India.

Karya Prof. Harun lain yang juga mencerahkan berjudul Filsafat Agama yang terbit pada 1973. Pada buku ini Prof. Harun mengupas posisi epistemologi dan wahyu, epistemologi ketuhanan, argumen- argumen rasional adanya Tuhan, pemaparan tentang ruh, serta diskusi klasik tentang kejahatan dan bagaimana kemutlakan Tuhan dijelaskan. Bagi dosen dan penulis buku, sikap kritis dan rasional yang ditunjukkannya mendorong mahasiswa dan pembaca berfikir dengan nalar kritis juga dan sekaligus memberi stimulasi kepada mereka untuk belajar lebih lanjut. Obsesi keilmuan mahasiswa dan para pembaca juga terlahir dari sana.

Pada tahun yang sama, 1973, Prof. Harun menerbitkan karya

Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan ceramah Prof. Harun di IKIP Jakarta (kini UNJ). Meskipun demikian, Prof. Atho’ (2016), memberi kesaksian bahwa Prof. Harun pernah memberi kuliah dengan judul yang sama di UIN Jakarta. Bagian pertama buku ini membahas tentang filsafat Islam, sementara bagian kedua mengupas mistisisme Islam atau dikenal dengan tasawuf. Dalam bagian filsafat Islam diuraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga

falsafat Yunani yang sebagai dampaknya kemudian memicu lahirnya para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al- Ghazali, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibn Rusyd, dll. Sementara pada bagian mistisisme Islam Prof. Harun menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai bagian dari upaya seorang hamba (salik) secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan.

Satu tahun kemudian terbit karya Prof. Harun yang berjudul

Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang terbit pada 1974. Buku ini merupakan buku pertama bagaimana studi terhadap Islam ditulis dalam sebuah buku dan kemudian mengilhami terbitnya sebuah mata kuliah dengan judul Dirasah Islamiyah, yang diajarkan secara massif di seluruh perguruan tinggi agama Islam. Mata kuliah Dirasah Islamiyah I hingga III yang di dalamnya tidak lagi berbicara tentang Islam secara ideologis, tetapi memaparkan Islam dari segi doktrin dan peradaban yang ditimbulkannya, sekaligus pranata yang lahir karenanya. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia pada periode 1993-1997. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, saat itu adalah Prof. M Atho Mudzhar (1994- 1996). Menteri Agama RI, H Munawir Sjadzali (19 Maret 1983-21 Maret 1993) dan juga Tarmizi Taher (17 Maret 1993-16 Maret 1998), juga mendukungnya. Bahkan mantan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali (11 September 1971-28 Maret 1973) mendukung upaya Harun, meski kelompok kritis terhadap Prof. Harun menyebut pemikiran ini sebagai “virus”.

Demikian juga karya Prof. Harun yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan yang terbit pada 1977. Pada buku ini diuraikan tentang aliran dan golongan-golongan teologi, baik yang masih hidup dan memperoleh penganut hingga kini tetapi juga yang pernah ada dalam sejarah Islam. Seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahlal-Sunnah wa al- Jama’ah. Setelah sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran dari masing-masing aliran (firqah) itu diuraikan, lalu Prof. Harun

memberikan analisa perbandingan dari aliran-aliran tersebut, sehingga pembaca dapat mengenali mana di antara aliran tersebut yang bersifat liberal, dan mana saja aliran yang bersifat tradisional.

Demikian juga karyanya Akal dan Wahyu dalam Islam yang terbit pada 1980 juga merupakan isu besar klasik yang senantiasa menarik dikupas. Sejak filosof Muslim pertama, al-Kindi, masalah ini telah dibahas untuk dilihat tekanannya dan dicari di mana letak titiktemu atau perbedaan antar keduanya. Karya Prof. Harun yang berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah yang terbit pada 1987 menjadi penting untuk melihat bagaimana posisi Abduh dalam pemikirannya sebagai seorang pemikir yang lebih cenderung kepada ilmu pengetahuan. Buku ini, sebagaimana semua pihak tahu, sejatinya merupakan edisi bahasa Indonesia disertasi Ph.D. Prof. Harun di McGill University, Montreal, Kanada, yang berjudul

The Place of Reason in Abduh’s Theology: It’s Impact on his Theological System and Views, pada Maret 1968. Seperti tampak pada judulnya, pada buku ini pertama-tama mengulas biografi Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Pemikiran teologis Muhammad Abduh dikupas dalam buku ini untuk dikuak dan kemudian dibandingkan dengan pemikiran Mu’tazilah. Prof. Harun dalam buku ini menyimpulkan, bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam hal penggunaan kekuatan akal pikiran, Muhammad Abduh dipandang melebihi pemikiran rasional Mu’tazilah. Kesimpulan ini yang dikemudian dibantah oleh Dr. Eka Putra Wirman dalam “Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution”. Dr. Eka Putra Wirman kini menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (2015-2019).

Buku Islam Rasional yang terbit pada 1995 juga tidak kalah mencerdaskan. Saiful Mujani menulis bahwa pada buku ini merekam hampir seluruh pemikiran Prof. Harun sejak 1970 hingga 1994. Prof. Harun melihat sudah mendesak tuntutan modernisasi umat Islam,

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 147-167)