• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH Iskandar Usman

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 79-89)

Nama Harun Nasution mulai saya dengar ketika saya menjadi mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry pada tahun 1974 melalui buku-buku yang dia tulis yang sangat mudah diperoleh di perpustakaan IAIN, dan yang paling banyak dibaca oleh mahasiswa IAIN waktu itu adalah bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari

Berbagai Aspeknya.

Era tahun tujuh puluhan, IAIN, malah semua lembaga pendidikan agama pada setiap jenjangnya dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bukan hanya di Aceh mungkin juga di seluruh Indonesia. Para siswi madrasah dan mahasiswi Pendidikan Tinggi Agama sering diejek sebagai tentara payung karena memakai kerudung atau sekarang lebih populer dengan istilah jilbab atau hijab. Dan karenanya sebagian siswi dan mahasiswi, di luar sekolah atau di luar kampus ada yang tidak memakai kerudung tetapi memakai pakaian yang tidak menutup aurat seperti pakaian kebanyakan perempuan muda lain pada waktu itu termasuk di Aceh.2 Lulusan lembaga pendidikan agama sulit mendapatkan lapangan pekerjaan, jangankan di perusahaan-perusahaan, di lembaga-lembaga

1Iskandar Usman, mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (sekarang Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1986-1992 S-2 dan S-3); Guru Besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

2Seperti di daerah lain di Indonesia, di Aceh juga waktu itu perempuan muda pada umumnya tidak mengenakan kerudung. Al-hamdulillah sejak pertengahan tahun delapan puluhan busana muslimah mulai membudaya di Aceh dan sekarang semua perempuan muslimah sudah berbusana muslimah malah banyak non muslimah dan pendatang yang berkunjung ke Aceh memakai hijab meski hanya selama berada di Aceh seperti pramugari pesawat terbang dan turis asing. Busana muslimah tampaknya sekarang sudah mulai disenangi oleh para perempuan di daerah-daerah lain.

pemerintahan pun mereka dianak-tirikan. Lulusan lembaga pendidikan agama dianggap kurang mampu, malah predikat yang bernada miring pun sering disematkan kepada mereka. Mereka dianggap ekstrem kanan, kurang nasionalis, tidak bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, berwawasan sempit, ingin memberlakukan Piagam Jakarta, dan sejumlah anggapan minor lainnya.

Begitu rendahnya pandangan sebagian masyarakat terhadap lulusan pendidikan agama sampai ada orang yang dengan ringan menyatakan “sarjana pukul bedug” kepada sarjana IAIN. Alumni Fakultas Ekonomi ada yang tidak mau memakai gelar “Drs.” kuatir dianggap alumni IAIN, meskipun waktu itu gelar resmi alumni Fakultas Ekonomi adalah “Drs” belum menggunakan gelar Sarjana Ekonomi (SE) seperti sekarang ini. Meskipun mungkin tujuannya baik, yaitu agar lembaga pendidikan agama melakukan terobosan- terobosan untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan meningkatkan kualitas lulusan agar siap ketika memasuki lapangan kerja dan berkiprah di dalam masyarakat serta lebih sesuai dengan harapan masyarakat, namun kritikan yang disampaikan Mintareja3 kepada lulusan IAIN yang ditulis dalam bukunya4 menjadi bahan yang sering dikutip masyarakat untuk mengejek lulusan IAIN. Dalam bukunya itu Mintareja mengumpamakan sarjana IAIN seperti kain pembungkus nasi. Dikatakan begitu karena untuk dijadikan saputangan kebesaran sedangkan dipakai untuk alas meja kekecilan, jadi serba tanggung; makanya cocok dijadikan untuk pembungkus nasi.

Al-hamdulillah, pada tahun 1969 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendapatkan anugerah dari Allah SWT dengan hadirnya seorang cendekiawan pejuang, ilmuwan pembaharu pemikiran Islam,

3Mintareja pernah menjabat Menteri Sosial dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.

4Penulis tidak bisa menemukan lagi buku yang ditulis Mintareja dan tidak ingat judulnya.

dan guru yang istiqamah. Dalam buku 70 Tahun Harun Nasution, ia menceriterakan bahwa ketika pulang ke Indonesia, Universitas Indonesia (UI) dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sama-sama memintanya untuk mengabdi sebagai dosen di lembaga pandidikan tersebut, namun ia memilih mengabdi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan alasan karena IAIN Jakarta menyediakan rumah untuknya5. Walaupun ia memilih mengabdi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena pertimbangan mendapatkan rumah, namun kecenderungannya memilih mengabdi pada IAIN tersebut pasti atas kehendak dan izin Sang Maha Pencipta, Pengatur alam semesta. Mungkin saja pilihannya itu setelah dia melakukan shalat

istikharah, memohon petunjuk Allah Yang Maha Mengetahui

segalanya, meskipun dia tidak menyebutkannya. Terbukti, begitu dia mulai bekerja di IAIN sejak Januari 1969, dia sudah siap dengan konsep, karena sejak masih di luar negeri, dia sudah mendengar kondisi IAIN. Bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit. Buku-buku karangan Muhammad Abduh tak boleh diajarkan di sini. Dia tahu keadaan itu karena mendengar langsung dari beberapa orang IAIN yang studi di Mesir. Dari mereka dia tahu bahwa pemikiran di IAIN masih tradisional. Spesialisasinya ke fiqih.6

Menulis tentang Harun Nasution sebenarnya tidak bisa lepas dengan pembahasan tentang pembaharuan pemikiran Islam dan pembaharuan pendidikan di IAIN untuk membuka wawasan sivitas akademika dan memutuskan belenggu ketertutupan pemikiran agar sivitas akademika bersama alumni dapat berperan besar dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Namun dalam tulisan ini penulis tidak lagi mengulas masalah itu karena kerja besar Harun Nasution itu telah sangat diketahui umum dan telah menunjukkan hasil yang luar biasa serta telah ditulis secara khusus dalam sebuah

5Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 TahunHarun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), 39.

buku yang berjudul “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution”.

Dalam tulisan ini penulis membahas keteladanan Harun Nasution dalam soal disiplin dan keistiqamahannya dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Harun Nasution adalah orang yang sangat disiplin. Tiga tahun saya mengikuti kuliah dengannya pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu dua tahun (empat semester) pada Strata Dua (S-2) dan satu tahun (dua semester) pada Strata Tiga (S-3), saya dapati dia selalu disiplin dalam memberi kuliah, masuk dan keluar kuliah tepat waktu, dia juga sangat disiplin dalam menyampaikan materi kuliah, bahan kuliah dipersiapkan dengan baik, sehingga setiap diskusi selalu diarahkan dengan baik dan bahan-bahan kuliah disampaikan dengan tahapan yang tepat. Kalau ada diskusi yang membahas masalah yang belum waktunya dibahas, misalnya dalam mata kuliah filsafat Islam dia cepat mengingatkan agar itu jangan dibahas dulu karena kami belum sampai pada masalah tersebut, katanya kami akan kesulitan kalau tidak menempuh tahapan- tahapan pembahasan secara sistematis, karena ini mata kuliah filsafat. Tidak hanya itu malah dia selalu mengingatkan agar dalam diskusi terutama dalam mata kuliah filsafat agar selalu menggunakan istilah- istilah yang baku, seperti istilah daf’ah wahidah bilā zamān.7

Begitu teguhnya Harun Nasution menerapkan disiplin, sampai dalam keadaan kurang sehat pun dia tetap berusaha masuk kuliah, dan al-hamdulillah selama kami mengikuti kuliah dengannya tidak pernah dia mengalami sakit yang menyebabkan tidak bisa masuk kuliah. Selama masih sanggup, meskipun kurang sehat, dia tetap datang ke

7Istilah ini diperkenalkan oleh al-Farabi dalam filsafat emanasinya utuk menjelaskan bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu. Istilah ini digunakan agar tidak dipahami bahwa antara al- wujûd al-awwal dan al-wujûd al-tsānῐ dan seterusnya terjadi secara berangsur-angsur atau bertahap. Lihat: Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IV, 1985), 27-29.

kampus dan memberi kuliah. Kalau dia kurang sehat, dia datang ke kampus dan memberi kuliah selalu memakai jas. Jadi kalau dia datang ke kampus dan memberi kuliah dengan memakai jas, kami langsung tahu bahwa itu berarti dia dalam keadaan kurang sehat, karena begitulah kebiasaan dia. Dan kami selalu berdoa agar Allah cepat memberikan kesembuhan baginya, kami selalu berdoa agar Allah memberikan dia kesehatan dan dipanjangkan umurnya. Dia banyak menyampaikan kuliah pada jam pertama, mungkin karena rumahnya yang berdekatan dengan kampus, dan juga mungkin karena dosen- dosen lain tidak bisa hadir tepat waktu kalau menyampaikan kuliah jam pertama. Jadi kuliah jam pertama dia isi sendiri, karena memang dia selaku Direktur Program Pascasarjana waktu itu, dapat mengatur jadwal kuliah sesuai dengan keinginan dan permintaan masing-masing dosen. Apalagi waktu itu yang mengajar pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah banyak dosen-dosen dari luar IAIN, seperti Takdir Alisyahbana, Deliah Noer, M.K. Tajudin, Nurcholish Madjid, Parsudi Suparlan, Amran Halim, Yayah Bahriah Luminta Intan, Toeti Herati Nurhadi, dll. Apabila ada acara penting lainnya yang beradu dengan jadwal kuliah, dia berusaha mengganti kuliah pada waktu lain, biasanya diisi pada malam atau sore hari. Rumahnya di Kampung Utan memang sangat dekat dengan Kompleks Program Pascasarjana Kampus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harun Nasution selalu masuk kantor lebih awal, sebelum pukul 08.00 WIB dia sudah tiba di kantor, kecuali kalau dia pergi ke luar daerah. Dia selalu ke kantor dengan mobil Hartop tua miliknya dan dengan sopir pribadinya sendiri. Kalau dia menghadiri acara lain di Jakarta, pagi-pagi tetap masuk kantor lebih dahulu, dan kalau menghadiri acara lain, seperti menghadiri rapat di Departemen (sekarang Kementerian) Agama, dan seminar-seminar, dia membawa mobil sedan tua miliknya dan tetap dengan sopir pribadinya, tidak menggunakan mobil dan sopir kantor. Waktu kami kuliah di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Harun Nasution sedang menjabat sebagai Ketua Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) dosen

IAIN. Jadi dia sering ke Departemen Agama memimpin rapat TPAK. Begitu pensiun dan berakhirnya masa jabatan Rektor yang dia pegang, dia mengembalikan semua fasilitas kantor yang digunakan, dia mengembalikan mobil dinas Rektor dan rumah dinas dosen yang ditempatinya.

Setiap awal tahun akademi, dia disiplin mengadakan acara pembukaan kuliah, yang harus diikuti oleh semua mahasiswa S-2 dan S-3 baik mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Memang semua mahasiswa senang dan pasti berusaha untuk mengikuti acara pembukaan kuliah tersebut. Pada acara pembukaan kuliah yang dilakukan secara sederhana, dia menyampaikan pengarahan yang sangat berguna mengenai visi, misi, tujuan, dan sasaran dari program S-2 dan S-3 serta gagasan dan harapannya. Dia berharap agar alumni Program Pascasarjana terutama para Doktor bisa menjadi kaum intelektual sebagai pemikir dan peneliti yang banyak memberikan manfaat kepada umat.

Dalam masalah ibadah pun Harun melakukannya dengan penuh disiplin. Untuk shalat Jumat, dia sudah hadir ke Mesjid kampus IAIN pada pukul 11.00 WIB dan dia lah jamaah Jumat yang pertama masuk Mesjid sehingga dia selalu bisa menempati tempat yang sama, di saf pertama di sebelah kiri. Kami banyak yang punya keinginan untuk mengganggunya dengan menempati tempat duduknya tersebut tapi tidak pernah terjadi karena dua alasan, yaitu karena segan dan hormat kepadanya, dan karena susah bisa mendahuluinya tiba di Mesjid. Kata kawan dia juga selalu shalat subuh berjamaah di rumahnya, mungkin karena susah ke Mesjid di waktu subuh karena agak jauh dengan rumahnya. Setelah subuh dia disiplin olahraga jalan pagi, dan karena tidak ada kawan yang bisa diajak jalan pagi secara disiplin seperti dirinya, dia jalan pagi dengan anjing peliharaannya. Dengan demikian dia akan aman dari gangguan orang-orang yang bermaksud jahat padanya. Akan tetapi sayangnya, adanya anjing peliharaan tersebut menimbulkan pandangan yang kurang baik di kalangan sebagian orang. Padahal anjing tersebut sangat diperlukannya dalam

melaksanakan olahraga jalan pagi setelah subuh secara disiplin agar tidak terlambat masuk kantor. Anjing itu selalu ditempatkan/diikat di tempat yang khusus, tidak pernah lepas dan tidak berkeliaran di pekarangan atau dalam rumah, kami pernah melihatnya secara langsung pada waktu buka puasa bersama di rumahnya.

Harun Nasution selalu disiplin mengundang mahasiswa S-2 Program Pascasarjana menjelang akhir studi (akhir semester empat) ke rumahnya untuk suatu acara yang sangat berkesan bagi kami. Acara itu dilakukan pada akhir program S-2, karena belum tentu semua mahasiswa S-2 bisa langsung melanjutkan studi ke jenjang S-3. Kebetulan akhir semester empat angkatan kami, angkatan ke lima (1986-1988) masuk dalam bulan Ramadhan. Kami semua diundang buka puasa bersama dan shalat Tarawih berjamaah di rumahnya. Selesai shalat Tarawih, dia memberi kami petuah dan pesan terakhir yang sangat berguna dalam menempuh hidup ini terutama sebagai calon ilmuwan. Selesai menyampaikan petuah dan pesan-pesan, kami sama-sama berangkat ke Blok M untuk photo bersama sebagai kenang-kenangan dengannya. Sungguh sesuatu yang sangat mengharukan, kami betul-betul merasakan dia sebagai guru dan orang tua kami.

Meskipun kurang sesuai dengan konteks penulis merasa perlu menjelaskan di sini bahwa Harun Nasution adalah orang yang sangat peduli dengan persoalan dan permasalahan yang dihadapi para mahasiswa. Ketika dia menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana, banyak sekali kemudahan dan fasilitas yang didapati para mahasiswa dalam mengikuti kuliah. Makalah yang dibuat para mahasiswa untuk seminar tentang topik-topik yang ditetapkan dalam silabus pada masing-masing mata kuliah, semuanya diperbanyak oleh Program Pascasarjana, mahasiswa hanya mengetik di kertas sheet yang disediakan Program Pascasarjana selanjutnya diperbanyak dengan stensilan oleh Program Pascasarjana. Para mahasiswa tidak pernah dikenakan pungutan apa pun, kecuali para mahasiswa yang mengikuti studi dengan biaya sendiri, kepada mereka hanya dikenakan

pungutan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP). Bimbingan tesis dan disertasi, serta ujian komprehensif dan promosi Doktor semuanya gratis, tidak dibebankan kepada para mahasiswa, termasuk biaya untuk minum promotor dan para tamu undangan serta biaya peliputan oleh wartawan dari dua surat kabar ketika dilaksanakan promosi Doktor. Dia selalu mengajarkan pola hidup sederhana kepada para mahasiswa, mahasiswa dilarang mengadakan acara makan- makan dalam syukuran promosi Doktor, karena dia kuatir akan membudaya, dan bisa memberatkan mahasiswa, apalagi mahasiswa yang kurang mampu.

Demi sebuah idealisme yang ingin dicapai, Harun Nasution melaksanakan semua konsepnya dengan sangat istiqamah, dia istiqamah melakukan pembaharuan di IAIN dengan merobah kurikulum IAIN dengan kurikulum yang mendukung visi tersebut, dia selalu siap menyampaikan pemikiran pembaharuan Islam dalam seminar-seminar dan dia bersedia terbang ke daerah-daerah untuk memberi kuliah di beberapa Program Pascasarjana di nusantara seperti di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,8 dan Program Pascasarjana IAIN Sultan Alauddin Makasar sampai akhir hayatnya.9

8Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry yang dibuka pada tahun 1989 malah dipimpin langsung oleh Harun Nasution sebagai Direktur.

9Harun Nasution berpulang ke rahmatullah pada tahun 1998 di Rumah Sakit Pusat (RSP) Pertamina Jakarta. Ketika berangkat ke Makasar, sebenarnya dia dalam keadaan kurang sehat, namun dia tetap istiqamah berangkat untuk menyampaikan kuliah, dan dia tetap menyampaikan kuliah sesuai jadwal sampai selesai. Menurut Jalaluddin A. Rahman (sekretaris Program Pascasarjana IAIN Makasar waktu itu), Harun Nasution datang ke Makasar Rabu pagi. Ketika Nasution menyampaikan kuliah Rabu malam, kata Jalaluddin lampu listrik sempat padam sampai tiga kali, tapi waktu itu Jalaluddin tidak punya firasat apa-apa. Mengetahui Nasution kurang sehat, Jalaluddin menawarkan untuk mengantar Nasution pulang ke Jakarta, tapi Nasution menolaknya dan menyatakan dia bisa dan masih sanggup pulang sendiri ke Jakarta. Dalam pesawat terbang dia merasa semakin lemah dan setibanya di Cengkareng, dari Bandara Soekarno-Hatta dia langsung dibawa

Dia tidak takut berbeda pendapat dan sama sekali tidak gentar dalam menyampaikan semua konsepnya tentang pembaharuan pemikiran Islam, meskipun pada awalnya banyak sekali yang menentangnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan S-3 di IAIN Syarif Hiayatullah Jakarta, saya kembali ke Banda Aceh dan Rektor IAIN Ar-Raniry menunjuk saya menjadi sekretaris pada Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saya dapati Harun Nasution sangat disiplin datang memberi kuliah di Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Jadwal kehadirannya selalu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkannya di awal. Suatu hal yang sangat mengagumkan dia bisa memenej waktu dengan baik sekali, disiplin memberi kuliah dimana-mana, disiplin melaksanakan tugas- tugas sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Jakarta, serta disiplin dalam melaksanakan bimbingan-bimbingan tesis dan disertasi10 mahasiswa. Bimbingan tesis dan disertasi mahasiswa tidak ada yang tertunda, padahal semua tesis dan disertasi dibacanya dan mendapat bimbingan yang maksimal. Dalam pesawat terbang pun dia menggunakan waktu untuk membaca tesis atau disertasi mahasiswa. Dalam pesawat dia selalu memesan seat (tempat duduk) sebelah jendela agar bisa membaca dengan nyaman. Kebetulan saya selaku mahasiswanya yang bertugas di Program Pascasarjana IAIN Ar- Raniry sering mengurus tiket pesawat terbang dan mengambil seat untuknya ketika dia pulang ke Jakarta selesai memberi kuliah di Program Pascasarjana IAIN Banda Aceh.

ke RSP Pertamina dan di sana lah dia menghembuskan nafas terakhir memenuhi panggilan Allah kembali ke hadirat-Nya sebagai al-nafs al- muthma’innah, setelah mengabdi sebagai khalifaţ Allah dan `ibād al- Rahmān. Allahumma ighfir lahu wa irhamhu wa ‘āfihi wa u`fu `anhu wa akrim nuzûlahu wa wassi` madkhalahu wa ighsilhu bi al-mā’i wa al-tsalji wa al-bard wa naqqihi min al-khathāyā. Ᾱmῐn.

10Laporan penelitian akhir studi mahasiswa jenjang S-2, di Indonesia disebut tesis, sedangkan untuk jenjang S-3 disebut dengan disertasi.

Harun Nasution juga sangat menginginkan agar para magister dan doktor didikannya juga istiqamah menjadi peneliti dan pemikir yang siap meneruskan pembaharuan pemikiran Islam melalui lembaga pendidikan tinggi terutama melalui IAIN. Dia marah ketika tahu saya diperbantukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Aceh meskipun sifatnya sementara. Ketika saya berkunjung ke ruang kerjanya di Program Pascasarjana IAIN Jakarta dalam rangka silaturrahim murid kepada guru, kami banyak bercerita tentang perkembangan IAIN dan perkembangan pembaharuan pemikiran Islam. Dia juga bertanya tentang perkembangan IAIN Ar- Raniry dan Program Pascasarjana. Dalam pembicaraan tersebut, terucap oleh saya bahwa salah seorang dosen di Aceh lulusan S-3 Program Pascasarjana IAIN Jakarta dan menjadi asistennya di Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry sudah diangkat menjadi staf ahli Gubernur Propinsi Aceh, dia sangat kecewa dan langsung marah. Dia mengatakan kalau di Aceh, banyak doktor yang lebih senang bekerja sambilan di luar IAIN Ar-Raniry, tutup saja itu Program Pascasarjana, dan untuk apa dosen IAIN Ar-Raniry mengikuti studi S- 2 dan S-3. Itulah sekelumit kenangan seorang murid kepada gurunya, semoga penulis juga mampu meneladaninya. Ᾱmῐn.

PROF. DR. HARUN NASUTION

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 79-89)