• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEGUH DENGAN RASIONALITAS DAMAI DALAM SPIRITUALITAS

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 99-109)

Yunasril Ali

Senarai Perkenalan Awal

Nama Prof. Dr. Harun Nasution sudah saya kenal ketika masih kuliah di Program Sarjana Muda dan Sarjana Lengkap IAIN. Hanya saja dalam melihat Pak Harun sebagai figur ilmuan persepsi saya banyak yang keliru, ini terutama karena informasi yang sampai kepada saya banyak yang bernada negatif. Pak Harun digambarkan sebagai agen orientalis, atau setidaknya pikiran-pikiran Pak Harun senada dengan pemikiran para orientalis. Demikian pula, Pak Harun digambarkan sebagai pemikir yang sengaja ditanamkan untuk mendangkalkan ajaran Islam di Indonesia.

Persepsi demikian serta-merta buyar ketika saya berhadapan langsung dengan sosok Harun Nasution dalam perkuliahan yang beliau berikan dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam, Pembaharuan dalam Islam, dan Sejarah Umum Islam. Kelihatannya, Pak Harun tidak sejahat yang digambarkan, beliau adalah sosok ilmuan murni yang melihat Islam secara jernih, terlepas dari bendera- bendera golongan tertentu. Ketika mendiskusikan aliran Mu`tazilah, ia tampil dengan argumen-argumen yang dipegang oleh Mu`tazilah, demikian pula ketika membicarakan Asy`ariyah, Maturidiyah, al- Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Hallaj, Ibn `Arabi, Muhammad `Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lainnya, beliau mengutip argumen- argumen mereka secara jujur, tanpa menutup-nutupi. Dengan demikian, kita bisa berpikir ulang bahwa mempelajari suatu pemikiran bukan untuk menegakkan atau menghujat pemikiran itu, tetapi bagaimana kita bisa memahami argumen-argumen yang dikemakukan oleh para pemikirnya secara runut dan mendalam, sehingga kita bisa mendapatkan wawasan berpikir yang lebih luas dan elegan.

Dalam diskusi-diskusi selama belajar di Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Jakarta Pak Harun masuk ke ruang diskusi tepat waktu dan mengakhiri diskusi dalam waktu yang tepat pula. Selama diskusi berlangsung beliau sangat serius memperhatikan jalannya diskusi, sehingga segala permasalahan yang muncul dapat diselesaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab ilmiah. Selesai diskusi, makalah yang sebelumnya diberikan ke beliau dikembalikan kepada penulis, dan di bagian belakang sudah ada catatan dari beliau, apakah makalah itu sudah bagus dari sisi materi, metode, ataupun bahasa. Dengan demikian, kita akan bisa memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam diskusi-diskusi berikutnya.

Kedisiplinan Pak Harun lebih saya rasakan ketika menulis disertasi, di mana dalam penulisan disertasi saya beliau bertindak sebagai promotor (Dr. Johan Hendrik Meuleman bertindak sebagai co- promotor). Dalam penulisan disertasi, beliau membimbing penulisan dengan penuh disiplin dan sangat “telaten,” saya rasa tak satu huruf pun yang terlewatkan ketika beliau memeriksa hasil draft-draft disertasi. Ini terlihat dari coretan-coretan beliau dengan menggunakan pensil, pada kalimat, kata, titik, maupun koma. Apa yang saya rasakan ini dialami pula oleh teman-teman yang lain, yang menulis disertasi di bawah bimbingan beliau. Untuk itu, saya sempat bermenung betapa disiplinnya Pak Harun dan betapa banyak waktunya yang tersita demi kejujuran ilmiah.

Sisi lain pengalaman bersama Pak Harun adalah bahwa beliau sangat memperhatikan mahasiswanya. Ketika draft disertasi saya sudah hampir rampung beliau periksa, saya lama tidak datang menemuinya, ini terutama karena kesibukan di luar kampus bersama teman-teman dalam merampungkan penulisan Ensiklopedi Islam (terbitan Ikhtiar Baru van Hove), ternyata ketika beliau berkunjung ke IAIN Padang (menurut dugaan beliau saya bertugas di IAIN Padang), beliau menanyakan saya kepada Rektor, tetapi dijawab oleh Rektor bahwa saya bukan bertugas di IAIN Padang, tetapi di IAIN Jambi. Peristiwa ini beliau sampaikan kepada saya ketika saya

menyerahkankan draft akhir disertasi kepada beliau. Beliau meminta kepada saya, cepat-cepatlah selesai, hentikan sementara penulisan ensiklopedi! Tugas pokok selesaikan dulu baru yang sampingan. Karena, peraturan akademik dan administrasi bisa-bisa berubah seketika, kalau penyelesaian kuliah terlambat, nanti bisa-bisa digilas oleh peraturan yang baru.

Perhatian beliau kelihatan pula ketika kami masih aktif kuliah. Ketika itu living cost kami yang diberikan oleh Depatemen Agama sering terlambat, sementara kami sangat membutuhkanya untuk memenuhi hajat akademik dan kebutuhan keluarga yang ikut ke Jakarta. Maka Pak Harun dengan rela menarik tabungannya untuk menalangi living cost yang terlambat itu. Dan ini berkali-kali terjadi. Kami sangat merasakan betapa perhatian Pak Harun kepada murid- muridnya ketika mereka menghadapi permasalahan.

Yang menarik pula adalah ketika lebaran datang. Sehabis shalat `Id kami para mahasiswa yang umumnya sudah berkeluarga datang berkunjung bersama isteri dan anak-anak ke rumah Pak Harun, dan beliau kelihatan gembira sekali dikerumuni oleh keluarga para mahasiswanya. Sementara itu di rumah beliau telah disediakan makanan ringan untuk kami anak-anak beliau dan cucunya. Kami gembira bisa ngobrol lepas dengan beliau dalam suasana lebaran.

Teguh dengan Rasionalitas

Tidak diragukan lagi, Prof. Dr. Harun Nasution adalah tokoh rasional yang teguh mempertahankan rasionalitas ajaran Islam. Baginya, Islam adalah agama yang rasional dan menjunjung tinggi rasionalitas. Tidak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal. Semua kandungan ajaran Islam adalah rasional. Jika ada wahyu Tuhan dalam wujud al-Quran yang bertentangan denga akal, maka pertentangan itu dapat diselesaikan dengan memberikan interpretasi atau ta’wil, dengan meninggalkan arti harfiahnya dan mengambil arti metaforis. Yang bertentangan ialah penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks tersebut.

Dalam pandangan Harun Nasution, wahyu dan akal adalah dua media untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang dibawa wahyu bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar mungkin salah. Sekalipun demikian, wahyu al-Quran sangat menghargai akal. Penghargaan itu terbukti dalam sejarah bahwa falsafat dan ilmu pengetahuan berkembang pesat dalam Islam tidak lepas dari dorongan yang diberikan al-Quran. Tradisi penggunaan akal secara maksimal untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan inilah kelihatannya yang terus dikembangkan oleh Pak Harun. Ini terlihat dari tulisan- tulisannya, baik berupa buku maupun makalah-makalah yang banyak memberikan motivasi kepada berpikir rasional.

Pak Harun terlihat sangat konsisten dengan rasionalitas itu dan selalu menularkannya kepada murid-muridnya. Dalam usianya yang telah sepuh Pak Harun kelihatan lelah juga dalam rutinitas kesehariannya sebagai Dekan Fakultas Pascasarjana waktu itu, tetapi ketika dalam diskusi-diskusi di kelas semangat rasionalitasnya terlihat bangkit kembali, dan beliau kelihatan gairah, sehingga memupus kecapeannya akibat rutinitas keseharian.

Dalam diskusi-diskusi saya bersama Pak Harun selama di bawah bimbingan beliau dalam penulisan disertasi kelihatannya beliau selalu menginginkan argumen-argumen rasional dalam analisis tulisan, sehingga memperlihatkan bahwa suatu gagasan bukan hanya permainan kata-kata, tetapi benar-benar didukung oleh alasan yang berlapis-lapis, sehingga membentuk suatu alur pemikiran yang sistematis. Cara berpikir yang demikian tentu akan menumbuhkan keberanian dalam berpendapat dan teguh dengan pendapat itu. Jika ada pendapat lain yang berbeda, dan dengan alasan-alasannya pula, maka pendapat kedua ini harus dihormati pula. Karena, bagi Pak Harun, perbedaan pendapat itu—sebagai ia lansir dari hadis Nabi saw.—adalah rahmat.

Rasionalisme ternyata menghasilkan tradisi saling menghormati pendapat. Inilah yang terjadi antara Pak Harun dan Pak Rasyidi. Pak

Harun tetap berjalan dengan Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya meskipun mendapat kritik tajam dari Pak Rasyidi dengan Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution-nya. Dan sampai sekarang buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya masih tetap terbit di UI-Press dan dipakai oleh kalangan mahasiswa, meskipun telah 18 tahun ditinggalkan oleh penulisnya. Sementara Pak Rasyidi sendiri, kendati melontarkan kritik yang demikian tajam terhadap Pak Harun masih tetap bersedia membantu Pak Harun untuk memberi kuliah di Pascasarjana IAIN Jakarta, sampai beliau benar-benar telah merasa uzur.

Hasil diskusi rasional yang sangat saya rasakan manfaatnya dan telah mengubah pandangan saya 180 derajat adalah diskusi tentang Ibn `Arabî. Ceritanya, selesai kuliah S1 pada 1982, lalu pada 1983 saya menulis satu buku berjudul Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid`ah, dan Khurafat. Dalam buku itu saya memandang bahwa Waḥdat al-Wujûd itu identik dengan Panteisme yang berpandangan bahwa Tuhan imanen dalam alam, semua serba Tuhan, Tuhan ada di mana-mana, Tuhan ada di langit, di udara, di laut, di gunung; karena itu Tuhan adalah alam, alam adalah Tuhan. Pandangan seperti ini saya amini dari karya Ibn Taymîyah, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il. Ketika membicarakan makalah tentang Waḥdat al-Wujûd Ibn `Arabi, kalau tidak salah waktu itu yang kebagian giliran adalah Pak Zainun Kamal. Setelah perdebatan panjang, Pak Harun memberikan penjelasannya bahwa Waḥdat al-Wujûd itu tidak identik dengan Panteisme. Panteisme menafikan transendensi Tuhan, sementara dalam Waḥdat al-Wujûd Tuhan itu imanen dan sekaligus transenden. Alam bukan Tuhan dan Tuhan bukan alam. Alam hanyalah wadah tajallî (penampakan diri) Tuhan, bukan Tuhan. Tuhan mempunyai dua aspek, aspek lahiriahnya, yang disebut al-khalq (makhluk), dan inilah aspek yang kelihatan, di mana Tuhan imamen di dalamnya. Aspek lain adalah aspek yang tak kelihatan, itulah transendensi Tuhan, yang disebut al-Ḥaqq (Yang Mahabenar).

Pak Harun mengibaratkan Tuhan dan tajallî-Nya pada alam seperti Pak Hatta (Mantan Wakil Presiden RI pertama) dengan mobilnya. Jika mobil Pak Hatta ada di parkiran kantor itu menjadi tanda bahwa Pak Hatta ada di kantor. Pak Hatta bukan mobilnya, tetapi dengan adanya mobil beliau di parkiran kantor itu menjadi isyarat bahwa Pak Hatta ada di kantor.

Dari apa yang dijelaskan Pak Harun mendadak-sontak mengubah pikiran saya bahwa Waḥdat al-Wujûd itu bukan Panteisme. Padahal sebelumnya saya telah menuding Ibn `Arabi sebagai orang sesat dan menyesatkan. Saya bertobat dari tuduhan yang bukan-bukan seperti itu!

Bertolak dari itu, saya mencoba untuk mendalami puncak dari Waḥdat al-Wujûd, yaitu al-Insân al-Kâmil dan menjadikannya sebagai judul disertasi, dan disertasi itu telah dipertahankan dalam sidang promosi pada 1986. Disertasi tersebut telah diterbitkan oleh Penerbit Paramadina pada 1987. Setelah terbit Prof. Said Aqil Siraj mengatakan kepada saya bahwa disertasi itu telah merontokkan argument saya dalam buku yang pertama saya tulis, Membersihkan Tasawuf dari Syrik, Bid`ah, dan Khurafat. Saya katakan kepada beliau, buku pertama itu adalah qaul qadim saya dan disertasi itu qaul jadîd.

Komentar yang sama juga datang dari Kang Jalal (sapaan untuk Jalaluddin Rakhmat). Beliau menganggap bahwa buku pertama sebagai buku orang yang baru kenal tasawuf dan melakukan serangan terhadap sebagian ajarannya, sementara buku kedua, ketika Anda telah benar-benar masuk ke dunia sufi. Saya katakan kepada beliau bahwa saya belajar tasawuf pertama dari Ibn Taymîyah dan kedua dari Harun Nasution.

Kelihatannya rasionalitas Pak Harun yang kokoh itu dapat merasuk ke dalam pikiran para muridnya. Dari itu, pandangan- pandangan rasional seperti itu sekarang telah menyebar ke mana- mana, dikembangkan oleh para murid Pak Harun yang tersebar ke seantero Nusantara.

Sufisme: Dari al-Ghazâlî, Ibn Taymîyah, ke Pak Harun

Meskipun Pak Harun populer dengan rasionalitasnya dan tetap bertahan di garis itu sampai akhir hayatnya, itu tidak membuat ia puas sampai di situ. Rasionalisme kelihatannya tidak mengantarkan orang kepada kebahagian dan kedamaian hidup. Segala sesuatu semakin dipikirkan akan semakin membuat permasalahan semakin panjang, karena setiap selesai suatu persoalan, masih ada lagi yang kurang dan membuatnya menjadi permasalahan baru; sementara rambut kepala semakin rontok karena otak selalu panas oleh permasalahan- permasalah yang tak terselesaikan itu.

Dalam suasana seperti itulah orang-orang seumpama al-Ghazâlî, Ibn Taymîyah, dan Pak Harun mengambil jarak dari rasionalitas untuk masuk ke dunia yang lebih nyaman, dunia sufisme. Cerita al-Ghazâlî, meskipun dramanya berbeda dengan Ibn Taymîyah, dan Pak Harun, saya menganggap memiliki substansi yang hampir mirip. Ketika sampai pada puncak rasionalitas ternyata bukan di situ kedamaian, maka mereka berjalan terus dan menemukannya pada spiritualitas.

Al-Ghazâlî memulai ceritanya dari serangan skeptisisme yang menimpa dirinya ketika sedang berada di puncak rasionalitas dan memegang pimpinan tertinggi Perguruan Nizamiyah di Baghdad. Dia ceritakan dalam al-Munqidz min al-Dhalâl betapa ia berhasrat besar untuk mengetahui segala sesuatu secara meyakinkan, termasuk kepercayaan agama, sehingga keyakinan itu tidak akan goyah sedikitpun, sebagaimana keyakinannya bahwa angka sepuluh lebih besar dari angka tiga, tidak akan menggoyahkannya lagi kendati orang mengatakan sebaliknya.

Untuk itu, ia memulai pencarian keyakinan pertama dengan mempercayai alat indra, karena alat indra adalah yang paling gampang dipercayai, karena ia beradaptasi langsung dengan obyeknya. Tetapi, dalam pencarian ini ia kecewa, karena alat indra ternyata tidak bisa sepenuhnya dipercayai, mata menyaksikan bayangan rumah di waktu pagi memanjang di arah barat tetapi setelah sore memanjang ke arah timur, tongkat yang lurus jika dimasukkan ke air kelihatan bengkok,

gula yang manis bisa berubah jadi pahit ketika kita sakit. Bagaimana kita akan mempercayai alat indra yang tidak stabil itu, bagaimana kita akan menjadikannya sebagai alat penimbang kebenaran kalau ia selalu mendustai kita?

Maka al-Ghazâlî memindahkan pilihan kepada akal. Akal lebih bisa dipercaya karena dia dapat menalar secara benar apa yang tidak bisa dideteksi oleh alat indra dan akal mampu merumuskan kebenaran abstrak. Akan tetapi, kebenaran yang didapatkan oleh akal pun mulai diragui oleh al-Ghazâlî ketika merenungkan betapa banyak aliran dalam filsafat yang berbeda satu sama lain. Kalaulah akal itu dapat mencapai kebenaran sejati pastilah tidak akan timbul aliran-aliran itu. Karena diserang oleh skeptisisme yang sangat berat, al-Ghazâlî sampai-sampai tidak bisa berbicara. Akhirnya, ia memutuskan meninggalkan Baghdad, mengembara selama sepuluh tahun, mencari kebenaran sejati. Ia menemukannya pada tasawuf. Baginya, hatilah yang dapat dihandalkan untuk dapat meraih kebenaran sejati, namun harus dengan melibatkan kehendak Ilahi. Tugas kita adalah menyucikan hati dan Allah-lah yang akan memasukkan kebenaran ke dalam hati yang telah bening itu. Al-Ghazâlî merasa nyaman dan damai dalam sufisme, sehingga ia mengakhiri hidupnya pada 505/1111.

Mirip dengan al-Ghazâlî adalah Ibn Taymîyah yang menjalani sebagian besar hidupnya dari penjara ke penjara, karena ketidaksenangan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Di dalam penjara inilah dia menulis sebagian besar karyanya, seumpama Majmû’ Fatâwâ, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il, dan lain-lain. Dan di dalam penjara ini pula berakhirnya hidup ulama besar yang memiliki daya kritis luar biasa ini pada 728/1328.

Daya kritis Ibn Taymîyah yang saya anggap sebagai inti rasionalitasnya merupakan brilian yang sangat bernilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah hidupnya, ia melakukan kritik terhadap siapa saja, tidak peduli berapa tinggi kedudukan seseorang, kalau ia melihat ada sesuatu yang keliru,

dengan keberanian yang tiada taranya, ia mengkritiknya. Ia pernah mengkritik Ibn Sina, al-Ghazâlî, Ibn `Arabî, bahkan para sahabat besar seperti Umar ibn Khattab, `Ali ibn Abi Thalib, dan lain-lain tidak lepas dari kritikannya. Ia mengkritik tasawuf, filsafat, paham Syi`ah, paham Qadariyah, mengkritik paham-paham Ittiḥâd, Ḥulûl, Waḥdat al- Wujûd. Akan tetapi, pada hari-hari terakhir dalam penjara, ketika semua alat tulis telah disita dari sampingnya, satu-satunya yang alpa dari mata juru sita adalah sebuah Mushaf al-Quran. Dua puluh hari terakhir dari hidup Ibn Taymîyah di penjara adalah saat-saat yang sangat kritis dan sangat membahagiakan. Ia menghabiskan hari- harinya dalam salat dan diselingi dengan membaca al-Quran. Di saat- saat itulah perhatiannya habis tersedot kepada Yang Mutlak, sehingga tak tersisa lagi ruang untuk yang selain Tuhan. Pada saat itulah ia mengalami fana dalam ketuhanan, yang ia rasakan hanyalah kehadiran Tuhan. Pada saat itulah ucapan yang pernah ia kafirkan “Ana al- Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) terucap dari lidahnya, dan dalam keadaan itulah ia mengakhiri hayatnya.

Ibn Taymîyah beralih dari pengetahuan agama yang bersifat empiris dan rasional masuk ke pengalaman agama dan dia menemukan puncak pengalaman agama pada fana dalam ketuhanan.

Beralih ke Pak Harun. Dalam peta keilmuan Islam Nusantara Pak Harun termasuk salah satu pemrakarsa dalam berpikir rasional, dan beliau sangat teguh memegang prinsip bahwa Islam adalah agama yang rasional. Akan tetapi, dalam menegakkan rasionalitas itu beliau menyempatkan diri datang ke Suryalaya untuk mengikuti amal spiritual Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di bawah bimbingan Mursyid-nya, Abah Anom. Ketika ditanya, mengapa Pak Harun harus ke Suryalaya, bukankah ilmu beliau sudah mapan dan merupakan gudang ilmu-ilmu rasional Islam. Beliau hanya menjawab, “Mencari kedamaian.” Beliau mengatakan bahwa kedamaian itu ada dalam amal-amal spiritual, di mana di dalammnya orang langsung menimba pengalaman agama.

Ilmu agama saja ternyata tidak cukup untuk membawa kepada kebahagiaan. Ilmu agama baru menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan. Kebahagiaan baru didapatkan ketika dibarengi dengan pengalaman beragama yang didapatkan melalui praktik langsung. Kita menyaksikan betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan agama, tetapi mereka tidak mendapat hidayah dari Tuhan. Snouck Hurgronje adalah salah satu figur orang yang memiliki pengetahuan agama (terutama bidang Hukum Islam) yang cukup mapan, tetapi kosong dari hidayah.

Pak Harun berbeda dengan figur Hurgronje, beliau memiliki pengetahuan keislaman yang cukup luas, belajar Islam di tanah air, di Timur Tengah, dan di Barat, tetapi beliau mencemplungkan diri ke dalam Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Untuk apa? “Mencari kedamaian!” Jawab beliau singkat.

Akhirnya saya berkesimpulan, ketika orang telah mencapai puncak rasionalitasnya, itu bermakna satu fakultas kejiwaannya telah terisi, tetapi masih ada bagian lain yang kosong, yaitu fakultas spiritualnya. Maka al-Ghazâlî, Ibn Taymîyah, dan Pak Harun telah mengisi kekosongan itu dengan amal spiritual keagamaan melalui pintu tasawuf. Wa Allâh A’lam!.

KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION:

Dalam dokumen Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d (Halaman 99-109)