i
PROPORSI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomea batatas L.) SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI PADA
PEMBUATAN FLAKES
SKRIPSI
CITRA WARDANI 13 22 060 080
PROGRAM STUDI D-IV AGOINDUSTRI
JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP
2017
ii
PROPORSI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomea batatas L.) SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI PADA
PEMBUATAN FLAKES
CITRA WARDANI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan Pada
Program Studi Agoindustri
PROGRAM STUDI AGOINDUSTRI SARJANA TERAPAN JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP 2017
iii iii
iv iv
v PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER
INFORMASI DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA
Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Proporsi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) sebagai Bahan Substitusi pada Pembuatan Flakes”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Saya melimpahkan hak cipta dari tugas akhir saya kepada Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
Pangkep, Juni 2017
Citra Wardani 13 22 060 080
vi CITRA WARDANI. 13 22 060 080. Proporsi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) sebagai Bahan Substitusi pada Pembuatan Flakes. Dibimbing oleh SITTI NURMIAH dan ILHAM AHMAD.
RINGKASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu flakes yang dihasilkan dari proporsi tepung ubi jalar ungu yang berbeda pada setiap perlakuan, dan untuk mengetahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap flakes yang dihasilkan. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu (1) pembuatan tepung ubi jalar ungu, (2) pembuatan flakes, (3) analisis mutu flakes yang terdiri dari analisis kadar air, kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar serat kasar, dan uji organoleptik yang dilakukan oleh 25 orang panelis tak terlatih.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu komposisi tepung ubi jalar ungu sebagai bahan substitusi tepung terigu yang dilakukan dengan 3 kali ulangan. Pengolahan data dilakukan di program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 dengan metode Anova dan untuk melihat taraf perlakuan yang berbeda dilakukan uji lanjut dengan metode Tukey.
Pembuatan tepung ubi jalar ungu diawali dengan sortasi, trimming, pencucian, pengukusan, penggilingan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan.
Sedangkan pembuatan flakes diawali dengan mixing yaitu tepung ubi jalar ungu dan tepung terigu, serta gula dan garam, pengadonan dengan ditambahkan air, pencetakan, dan pembentukan serpihan.
Pembuatan flakes dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dibedakan menjadi tiga komposisi formula tepung ubi jalar ungu dan tepung terigu, yaitu (1) 30% : 70%, (2) 40% : 60%, dan (3) 50% : 50%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kadar air flakes berkisar antara 3,6%-5,46%, kadar karbohidrat flakes berkisar antara 85,49%-86,47%, kadar protein berkisar antara 4,42%-7,13%, kadar serat kasar berkisar antara 0,26%-1,08%.
Hasil uji organoleptik menunjukkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap warna berasal dari formulasi 40% : 60% dan terendah pada formulasi 30% : 70%.
Penilaian terhadap aroma dengan nilai tertinggi berasal dari formulasi 40% : 60%
dan terendah pada formulasi 50% : 50%. Penilaian masyarakat terhadap rasa dengan nilai tertinggi yaitu pada formulasi 30% : 70% dan terendah pada formulasi 50% : 50%. Sedangkan penilaian panelis terhadap tekstur memiliki nilai tertinggi pada formulasi 30% : 70% dan terendah pada 40% : 60%.
Kata Kunci: flakes, subtitusi, tepung, terigu, ubi jalar ungu.
vii CITRA WARDANI. 13 22 060 080. The Proportion of Purple Sweet Potato Flour (Ipomea batatas L.) as Raw Material Replacement for Flakes. Supervisor:
SITTI NURMIAH and ILHAM AHMAD.
SUMMARY
The study aimed to investigate the quality of flakes from the different proportion of purple sweet potato flour (Ipomea batatas L.), and to identify the level of public’s preference for flakes. The study consisted of several stages; (1) the preparation of purple sweet potato flour, (2) making flakes, (3) flakes quality analysis consisted of water content, carbohydrate, protein, and fiber content.
sensory tests were performed by 25 untrained panelists.
One factor completely randomized design was applied with triplicates.
Statistical analysis was perfomed using Statistical Product and Service Solution (SPSS) version 16.0. A Anova was performed for significantly different (P=0.05) and Tukey test was applied for further test.
Preparation of flakes with purple sweet potato flour was divided into three different compositions of purpple sweet potato flour and wheat flour; (1) 30% : 70%, (2) 40% : 60%, and (3) 50% : 50%. The result showed that water content of flakes ranged from 3,6% to 5,46%, carbohydrate ranged between 85,49% and 86,47%, protein content ranged from 4,42% to 7,13%, crude fiber ranged from 0,26% to 1,08%.
The result of sensory test showed the highnest level of public’s preference for color was obtained from the formulation of 40% : 60% and the lowest formulation was 30% : 70%. The highest public preference level for aroma was attained from the formulation of 40% : 60% and the lowest on the formulation of 50% : 50%. The highest public preference level for taste was recorded in 30% : 70% formulation and the lowest formulation was 50% : 50% . furthermore, the highest level of the panellist assesment on texture was 30% : 70% formulation and the lowest was 40% : 60% formulation.
Keywords: flakes, flour, purple sweet potato, replacement, wheat
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Proporsi Penggunaan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) sebagai Bahan Subtitusi pada Pembuatan Flakes”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW.
Skripsi disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Agoindustri di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Balak Karaeng dan Ibunda Suharti serta segenap keluarga yang telah memberikan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Sitti Nurmiah, M.Si selaku Dosen Pembimbing I.
2. Bapak Ilham Ahmad, ST, MT selaku Dosen Pembimbing II.
3. Ibu Zulfitriany Dwiyanti Mustaka, SP. MP selaku Ketua Program Studi Agoindustri.
4. Ibu Ir. Nurlaeli Fattah, M.Si selaku ketua jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
5. Bapak Dr. Ir. Darmawan, MP, selaku direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
6. Bapak Sulkifli, S.Pi, M.Si selaku Pembantu Direktur Bidang Kemahasiswaan beserta Ibu Wahyuni, SE, Ibu Wahida, SE, Bapak Irawan, S.Pi, M.Si, Bapak Ahmad Daud, S.TP, M.Si selaku staff Bidang Kemahasiswaan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
7. Bapak Ir. Imran Muchtar, M.Si selaku Penasehat Akademik.
8. Dosen beserta Staf Akademik Program Studi Agoindustri Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
9. Teknisi Workshop Pengolahan Ibu Warnida, S.Pi, Husniati, A.Md. Pi, Nur Achmad Saputra, S.Pi.
ix 10. Sahabat tercinta Deka Nanda, Riswan, Surahman, Wahyu Idul Fitrah, Ayu Dewi Jaya, Sukmawi, Siti Fatimah Paride, Nursiah, kanda Paramita A.Md.
Pi.
11. Rekan-rekan penelitian Ulfa Triani Saleh, Hasni, Citra Darwis, Muhammad Aslan Jamil, Andi Egi Isman, Eghi Anugah, Rio Sudarta, Sinar, Masita, Muh.
Welis serta seluruh rekan-rekan yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Prodi Agoindustri angkatan XXVI atas kebersamaan, kerjasama, dan dukungan selama penulis melaksanakan pendidikan di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna maka dari itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan kedepannya. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat kepada masyarakat secara umum dan kepada penulis secara khusus.
Pangkep, Juni 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan ... 3
1.4. Manfaat ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) ... 4
2.2. Tepung Ubi Jalar Ungu ... 9
2.3. Tepung Terigu ... 14
2.4. Flakes ... 16
2.5. Bahan Tambahan Pembuatan Flakes ... 19
III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat ... 21
3.2. Alat dan Bahan ... 21
3.3. Prosedur Kerja ... 21
3.4. Rancangan Penelitian... 23
3.5. Parameter Pengamatan... 24
3.6. Pengolahan Data ... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) .. 27
4.2. Pembuatan Flakes Ubi Jalar Ungu ... 27
4.3. Analisis Kimia ... 28
4.4. Uji Organoleptik ... 34
V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 40
5.2. Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
LAMPIRAN ... 45
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Jalar per 100 g ... 5 Tabel 2. Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar Ungu Per 100 g Bahan ... 10 Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Tepung Terigu ... 15 Tabel 4. Syarat Mutu Flakes (SNI 01-4270-1996) ... 18
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Kimia Monosakarida ……… 6
Gambar 2. Struktur Kimia Disakarida ………. 6
Gambar 3. Struktur Kimia Pati ………. 7
Gambar 4. Struktur Kimia Antosianin ……… 8
Gambar 5. Tepung Ubi Jalar Ungu ……….. 9
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu ……. 22
Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Flakes ……… 23
Gambar 8. Grafik Kadar Air Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu ……… 28
Gambar 9. Grafik Kadar Karbohidrat Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu ……….. 30
Gambar 10. Grafik Kadar Protein Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu ………. 32
Gambar 11. Grafik Kadar Serat Kasar Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu ………. 33
Gambar 12. Grafik Hasil Uji Organoleptik Terhadap Warna Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu………. 36
Gambar 13. Grafik Hasil Uji Organoleptik Terhadap Aroma Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu………. 37
Gambar 14. Grafik Hasil Uji Organoleptik Terhadap Rasa Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu………. 38
Gambar 15. Grafik Hasil Uji Organoleptik Terhadap Tekstur Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu………. 39
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu ... 46
Lampiran 2. Pembuatan Flakes ... 47
Lampiran 3. Hasil Analisis Proksimat Flakes dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu ... 48
Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Air ... 49
Lampiran 5. Hasil Uji Tukey Kadar Air ... 49
Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Karbohidrat ... 50
Lampiran 7. Hasil Uji Tukey Kadar Karbohidrat ... 50
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Protein ... 51
Lampiran 9. Hasil Uji Tukey Kadar Protein ... 51
Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam Kadar Serat Kasar ... 52
Lampiran 11. Hasil Uji Tukey Kadar Serat Kasar ... 52
Lampiran 12. Hasil Uji Organoleptik Terhadap Warna Flakes ... 53
Lampiran 13. Hasil Uji Organoleptik Terhadap Aroma Flakes... 54
Lampiran 14. Hasil Uji Organoleptik Terhadap Rasa Flakes ... 55
Lampiran 15. Hasil Uji Organoleptik Terhadap Tekstur Flakes ... 56
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam salah satunya dalam bidang agraris. UU No. 18 tahun 2008, mengimplikasikan mengenai kebijakan pangan yang mengarah pada sumber daya lokal dan kearifan lokal, sehingga salah satu upaya untuk menekan kebutuhan impor terigu di Indonesia yang terbesar kedua dunia setelah Mesir yaitu meningkatkan potensi komoditas lokal berupa umbi-umbian dan leguminosa. Menurut United State Department of Agriculture (USDA), impor gandum di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 6,7 juta ton dan meningkat hingga 7,1 juta ton pada tahun 2012.
Umbi-umbian lokal telah dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat sejak dahulu dan terbukti sedikit memicu terjadinya penyakit degeneratif di masa lalu.
Menurut FAO (2012) Indonesia merupakan penghasil umbi-umbian terbesar keempat dunia. Salah satu komoditas umbi-umbian lokal dari berbagai jenis umbi- umbian di Indonesia yang berpotensi untuk di kembangkan yaitu ubi jalar.
Ubi jalar merupakan tanaman yang mudah tumbuh di daerah tropis yang mengandung zat pati, gula dan serat seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin. Ubi jalar juga memiliki beberapa varian warna diantaranya ubi jalar putih, kuning, merah, dan ungu. Ubi jalar ungu berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960- an ubi jalar telah menyebar di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001).
Dari tahun ke tahun baik luas areal, hasil produksi, dan produktivitas ubi jalar ungu terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007, luas areal panen mencapai 177.000 ha, dengan jumlah produksi mencapai 1.887.000 ton. Pada tahun 2008 produksi ubi jalar ungu menurun menjadi 1.882.000 ton, dan kembali meningkat di tahun 2009 yaitu mencapai 2.058.000 ton (Kementan, 2011).
Sebagian besar penggunaan ubi jalar (89%) di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan dengan tingkat konsumsi 6,6 kg/tahun (Ginting et al.,2005).
Komponen yang dimiliki oleh ubi jalar ungu berupa bioaktif seperti fenol, flavonoid, dan pigmen antosianin. Pigmen antosianin pada ubi jalar ungu berkisar antara 51,50 mg/100 g sampai dengan 174,70 mg/100 (Steed and Truong, 2008).
Jumlah senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan pada ubi jalar ungu lebih tinggi
2 dibandingkan ubi yang memiliki daging berwarna kuning maupun putih (Jati, 2014).
Ubi jalar ungu mengandung serat pangan alami tinggi, prebiotik, kadar glycemic index rendah, dan oligosakarida. Kandungan yang terdapat pada ubi jalar ungu tiap 100 g seperti kalsium 30,00 gr, protein 1,8 g, karbohidrat 27,9 g lemak 0,7 g, vitamin A 7.700 SI, zat besi 0,7 g, vitamin C 22 g (Winarti, 2010).
Ubi jalar memiliki kandungan karbohidrat 75-90% berat kering (Richana, 2012).
Ubi jalar yang telah diolah menjadi tepung mempunyai kadar abu dan kadar serat yang lebih tinggi, serta kandungan karbohidrat dan kalori yang hampir setara dengan tepung terigu. Hal ini mendukung pemanfaatan tepung ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat yang dapat disubstitusikan pada produk terigu dan turunannya yang bernilai tambah bagi kesehatan (Zuraida dan Supriyati, 2008).
Ubi jalar ungu yang telah diolah menjadi tepung dapat dimanfaatkan menjadi produk siap saji misalnya dalam bentuk flakes. Di zaman modern seperti sekarang ini, masyarakat lebih menggemari sarapan siap saji/RTE (Ready-to-eat) yang praktis dan bergizi. Flakes merupakan makanan siap saji yang berbentuk lembaran tipis, berwarna kuning kecokelatan serta biasanya dikonsumsi dengan penambahan susu sebagai menu sarapan. Produk ini dapat diolah dengan teknologi sederhana, waktu yang singkat dan cepat dalam penyajian (Hildayanti, 2012).
Sereal sarapan khususnya flakes pada umumnya terdiri atas karbohidrat. Hal inilah yang menjadi landasan bagi penulis untuk mengangkat penelitian tentang
“Proporsi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) sebagai Bahan Substitusi pada Pembuatan Flakes”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses pengolahan flakes dengan substitusi tepung ubi jalar ungu?
2. Bagaimana mutu flakes yang dihasilkan dengan proporsi tepung ubi jalar ungu yang berbeda pada setiap perlakuan?
3 3. Bagaimana tingkat kesukaan masyarakat terhadap flakes dengan proporsi
tepung ubi jalar ungu yang berbeda pada setiap perlakuan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses pengolahan flakes dengan substitusi tepung ubi jalar ungu.
2. Mengatahui mutu flakes yang dihasilkan dari proporsi tepung ubi jalar ungu yang berbeda pada setiap perlakuan.
3. Mengetahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap flakes yang dihasilkan dari proporsi tepung ubi jalar ungu yang berbeda pada setiap perlakuan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil pembuatan flakes dari tepung ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memanfaatkan ubi jalar ungu sebagai tepung yang dapat diaplikasikan pada pembuatan flakes.
2. Menambah pengetahuan dan membuka wawasan bagi para pembaca tentang pemafaatan tepung ubi jalar ungu pada pembuatan flakes.
3. Memberikan masukan dan informasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan tepung ubi jalar ungu sebagai bahan baku pembuatan flakes.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.)
Ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di Indonesia selain berwarna putih, kuning dan merah. Ubi jalar ungu memiliki warna yang cukup pekat pada daging dan ubinya sehingga banyak menarik perhatian. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman ubi jalar dapat diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, devisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotylodomae, ordo Convolvulales, famili Convolvulaceae, genus Ipomea, spesies Ipomea batatas.
Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang sangat baik. Kandungan beta karotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar kuning. Selain vitamin C, betakaroten, dan vitamin A komponen yang terpenting adalah kandungan antosianin (Widjanarko, 2008).
Kandungan antosianin yang tinggi pada ubi jalar ungu dan stabilitas yang tinggi dibanding antosianin dari sumber lain, membuat tanaman ini sebagai pilihan yang sehat dan sebagai alternatif pewarna alami. Beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat menggunakan ubi jalar ungu sebagai bahan baku penghasil antosianin (Kumalaningsih, 2008).
2.1.1. Kandungan Gizi Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.)
Ubi jalar ungu kaya akan serat, mineral, vitamin, dan antioksidan, seperti asam phenlic, antosianin, tocopherol dan betakaroten. Di samping adanya antioksidan, karoten dan senyawa fenol juga menyebabkan ubi jalar mempunyai berbagai warna (krem, kuning, orange, ungu). Ubi jalar ungu mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, seperti vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi. Sumber energi yang terkandung dalam ubi jalar ungu yaitu dalam bentuk gula dan karbohidrat. Selain itu, ubi jalar ungu memiliki kandungan zat warna yang disebut antosianin. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu berkisar antara 14,68-210 mg/100 g bahan baku. Komposisi kimia ubi jalar secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
5 Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Jalar per 100 g
Kompoisi Kimia Nilai Satuan
Lemak 0,7 g
Karbohidrat 27,9 g
Protein 1,8 g
Kalori 123 Kalori
β-Karoten 30,2 g
Antosianin 110,15 mg
Air 68,5 g
Serat Kasar 1,2 g
Kadar Gula 0,4 g
Sumber: Balitkabi, 2011
2.1.2. Karbohidrat
Karbohidrat adalah molekul yang sangat penting bagi makhluk hidup.
Karbohidrat terdapat pada semua jenis sel sebagai komponen membran sel, dinding sel, membran organel, dan sumber energi bagi sel. Tumbuhan membentuk karbohidrat melalui fotosintesis dengan bantuan sinar matahari, sedangkan hewan dapat mensintesis karbohidrat dari lemak dan protein (Anonim, 2015).
Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah penghasil energi di dalam tubuh. Tiap 1 g karbohidrat yang dikonsumsi akan menghasilkan energi sebesar 4 kkal dan energi hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini kemudian akan digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti bernafas, kontraksi jantung dan oto serta juga untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik seperti berolahraga atau bekerja (Irawan, 2007).
Karbohidrat dibedakan menjadi karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida dan disakarida.
monosakarida merupakan jenis karbohidrat sederhana yang terdiri dari 1 gugus cincin, contohnya glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Sedangkan disakarida merupakan jenis karbohidrat yang terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan fruktosa serta laktosa yang terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan galaktosa. Contoh dari disakarida adalah maltosa dan sukrosa.
6 Gambar 1. Sturktur Kimia Monosakarida (Sumber: edubio.info, 2015)
Gambar 2. Struktur Kimia Disakarida (Sumber: edubio.info, 2015)
Karbohidrat kompleks merupakan karbohidrat yang terbentuk oleh hampir lebih dari 20.000 unit molekul monosakarida terutama glukosa. Karbohidrat kompleks juga disebut polisakarida dan dalam ilmu gizi, jenis karbohidrat kompleks yang menjadi sumber utama bahan makanan yang umum dikonsumsi oleh manusia adalah pati (starch).
Karbohidrat kompleks terdiri dari selulosa dan pati/amilum. Selulosa merupakan polisakarida yang banyak dijumpai dalam dinding sel pelindung sperti batang, dahan, daun dari tumbuh-tumbuhan (Budiman, 2009). Sedangkan pati/amilum merupakan simpanan energi di dalam sel-sel tumbuhan ini berbentuk butiran-butiran kecil mikroskopik dengan berdiameter berkisar antara 5-50 nm.
7 2.1.3. Pati
Pati terdapat dalam umbi-umbian, seperti ubi jalar ungu sebagai cadangan makanan pada tumbuhan. Pati secara alami terdapat di dalam senyawa-senyawa organik di alam yang tersebar luar seperti di dalam biji-bijian, akar, batang yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan perkecambahan. Ketika tanaman menghasilkan molekul-molekul pati, tanaman akan menyimpannya di dalam lapisan-lapisan di sekitar pusat hilum membentuk suatu ganula yang kompak.
Pati merupakan polimer kondensasi dari suatu glukosa yang tersusun dari unit-unit anhidroglukosa. Unit-unit glukosa terikat satu dengan lainnya melalui CI Oksigen yang dikenal sebagai ikatan glikosida (Subagio, 2006). Pati merupakan campuran dari amilosa dan amilopektin yang tersusun di dalam granula pati.
Amilosa merupakan polimer linier yang mengandung 500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan α-(1,4) sedangkan amilopektin selain mengandung ikatan α- (14) juga mengandung ikatan α-(1,6) sebagai titik percabangannya.
Gambar 3. Struktur Kimia Pati (Sumber: kimiadasar.com, 2015)
Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan secara luas juga dipergunakan dalam industri seperti kertas, lem, tekstil, lumpur pemboran, permen, glukosa, dekstrosa, sirup fruktosa, dan lain-lain. Dalam perdagangan dikenal dua macam pati, yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati
8 yang telah dimodifikasi. Pati yang belum dimodifikasi atau pati biasa adalah semua jenis pati yang dihasilkan dari pabrik pengolahan dasar misalnya tepung tapioka (Honestin, 2009).
Kandungan pati yang terdapat di dalam ubi jalar ungu berkisar antara 88,1- 99,8% dan kandungan amilosa sekitar 8,5-37,4%. Ukuran kedalaman granula di antara 2,1-30,7 μm dan ukuran titik tengahnya dimulai dari 9,2-11,3 μm.
2.1.3. Antosianin
Antosianin merupakan zat pewarna alami yang tergolong ke dalam benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatic benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta, dan kuning. Pigmen ini larut dalam air yang terdapat pada bunga, buah dan daun tumbuhan (Santoso dan Estiasih, 2014).
Gambar 4. Struktur Kimia Antosianin (Sumber: devimarzel.blogspot.com, 2012) Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar lain. Pigmennya lebih stabil bila dibanding dengan antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, blueberries, dan jagung merah. Total kandungan antosianin ubi jalar ungu adalah 519 mg/100 gr berat basah (Kumalaningsih, 2006). Kandungan antosianin yang tinggi di dalam umbi akarnya yaitu antosianidin utamanya berupa sianidin dan peonidin (Jiao et al., 2012).
9 Konsentrasi antosianin inilah yang menyebabkan beberapa jenis ubi ungu mempunyai gradasi warna yang berbeda (Hardoko et al., 2010). Ubi jalar ungu yang berbeda kultivar memiliki kandungan antosianin yang berbeda pula.
Antosianin memberikan efek kesehatan yang sangat baik yaitu sebagai antioksidan dan antikanker karena defisiensi elektron pada struktur kimianya sehingga bersifat reaktif menangkal radikal bebas (Jiao et al., 2012).
2.2. Tepung Ubi Jalar Ungu
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu upaya pengawetan ubi jalar. Selain itu, proses pengolahan ini juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari pengolahan ubi jalar menjadi tepung diantaranya kemudahan dalam pengangkutan dan penyimpanan, dapat diperkaya dengan zat gizi (fortifikasi), serta dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan (Aini, 2004).
Pemberdayaan tepung ubi jalar sebagai bahan substitusi terigu untuk bahan baku industri pengolahan pangan dapat meningkatkan peran komoditas ubi jalar dalam peninmgkatan perekonomian Indonesia. Selain memperpanjang umur simpan, pembuatan ubi jalar ungu menjadi tepung dapat mempermudahn penggunaan serta meningkatkan nilai guna dan nilai jual dari ubi jalar ungu.
Gambar 5. Tepung Ubi Jalar Ungu (Sumber: septiyuliana.blog.upi.edu, 2015)
10 Proses pembuatan tepung ubi jalar diawali dengan proses pencucian dan pengupasan. Kemudian umbi diiris tipi-tipis, diparut atau dibuat pasta, baru kemudian dikeringkan dan ditepungkan (Aini, 2004). Pengecilan ukuran bahan dapat meningkatkan laju pengeringan, pemanasan, dan pendinginan, serta menyeragamkan ukuran bahan sehingga memudahkan proses penganannya (Fellows, 2000). Pengolahan yang kurang tepat akan membuat warna ungu menjadi kusam, hal ini terjadi karena reaksi secara enzimatis. Hal tersebut dapat dicegah dengan mengukus ubi jalar ungu sebelum dikeringkan sehingga enzim fenolase menjadi rusak sehingga pencoklatan dapat dihambat (Richana, 2012).
Pada umumnya, enzim bereaksi optimum pada suhu 30-40 ºC, sedangkan pada suhu 45ºC enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60 ºC enzim mengalami dekomposisi.
Tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian memiliki umur simpan terpanjang yaitu selama 136 hari pada perlakuan pemanasan selama 45 menit dan 60 menit, sedangkan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian tanpa perlakuan pemanasan memiliki umur simpan lebih rendah yaitu 91 hari (Arianingrum, 2014). Kandungan gizi pada tepung ubi jalar ungu berbeda-beda tergantung pada varietas ubi jalar serta lingkungannya. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu per 100 gr disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi tepung ubi jalar ungu per 100 g bahan
Komposisi Kimia Nilai (%)
Kadar air 7,28
Kadar abu 5,31
Kadar protein 2,79
Lemak 0,81
Karbohidrat 83,81
Serat 4,72
Sumber: Susilawati dan Medikasari, 2008
Menurut Murtiningsih dan Suyanti (2011), ubi jalar ungu yang dijadikan tepung lebih mudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri. Tepung ubi jalar ungu merupakan produk setengah jadi dari ubi jalar yang dapat digunakan sebagai
11 bahan baku pada industri makanan dan memiliki daya simpan yang lebih lama.
Secara konvensional, pembuatan tepung ubi jalar ungu dimulai dari sawut atau chip kering yang dibuat dengan proses penggilingan dan pengayakan (Richana, 2012).
Adapun proses pembuatan tepung ubi jalar ungu adalah sebagai berikut.
a. Sortasi
Sortasi merupakan bagian kegiatan pascapanen yang dilakukan dengan tujuan memisahkan hasil (pasca) panen yang baik dan jelek. Sortasi merupakan proses pengklasifikasian bahan berdasarkan sifat fisiknya. Sortasi juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memisahkan produk berdasarkan tingkat keutuhan atau kerusakan produk, baik karena cacat mekanis ataupun cacat karena bekas serangan hama atau penyakit. Pada kegiatan sortasi, penentuan mutu hasil panen biasanya didasarkan pada kebersihan produk, ukuran, bobot, warna, bentuk, kematangan, kesegaran, ada atau tidak adanya serangan atau kerusakan oleh penyakit, adanya kerusakan oleh serangga, dan luka oleh faktor mekania (Hoesin, 2015).
b. Trimming (Pengupasan)
Ubi jalar ungu merupakan produk pangan yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu memiliki kandungan antosianin yang cukup tinggi, namun kekurangannya adalah adanya getah yang menyebabkan reaksi pencoklatan. Oleh karena itu, pengupasan ubi jalar ungu harus dilakukan secara cepat lalu direndam menggunakan air bersih. Tujuan dilakukan pengupasan adalah untuk memperoleh daging buah yang baik dan membersihkan kotoran atau bagian yang membusuk yang tidak dapat diolah, antara lain bagian yang memar (umumnya pahit) dan bagian yang rusak karena hama dan penyakit.
Hal yang mempengaruhi mutu tepung ubi jalar ungu yaitu pada proses pengupasan yaitu dapat terjadi oksidasi pada ubi jalar ungu apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan perendaman setelah proses pengupasan sehingga tidak memberikan pengaruh warna coklat pada ubi jalar ungu dan pada tepung yang dihasilkan.
12 c. Pencucian
Ubi jalar ungu yang telah dikupas biasanya masih terdapat kotoran pada beberapa bagian daging buah, sehingga perlu dilakukan pencucian menggunakan air bersih, sehingga hasil akhir yang dihasilkan berupa tepung ubi jalar ungu dengan mutu yang baik.
d. Pengukusan
Masalah dalam pengolahan tepung ubi jalar ungu yaitu adanya getah yang menyebabkan proses pencokelatan. Menurut Utami (1982), getah umbi banyak mengandung senyawa-senyawa o-difenol yang berupa senyawa asam klorogenat, asam isoklorogenat, asam kafeat dan turunannya. Oksidasi senyawa-senyawa fenol tersebut menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna cokelat.
Perendaman menggunakan air tidak sepenuhnya mencegah oksidasi pada ubi jalar ungu, selain itu perendaman dalam waktu yang lama akan menyebabkan kadar antosianin pada ubi jalar ungu berkurang. Antosianin merupakan kelompok pigmen yang dapat larut di dalam air dan berperan memberi warna ungu, merah atau biru pada buah-buahan dan sayuran (Plata et al. 2003 dalam Bouvell- Benjamin, 2007). Oleh karena itu, dilakukan penanganan lanjutan yaitu dengan mengukus ubi jalar ungu untuk menonaktifkan enzim secara keseluruhan, selain itu juga untuk memperbaiki warna pada ubi jalar ungu.
Pengukusan bertujuan untuk menonaktifkan enzim penyebab terjadinya peristiwa pencokelatan, selain itu juga untuk memperbaiki warna pada ubi jalar ungu. Pengukusan dilakukan karena perendaman pada air tidak sepenuhnya menonaktifkan enzim penyebab terjadinya peristiwa pencokelatan, hal ini disebabkan perendaman hanya dilakukan dalam waktu yang singkat. Perendaman dalam waktu yang lama akan menyebabkan kadar antosianin berkurang.
Antosianin merupakan kelompok pigmen yang dapat larut di dalam air dan berperan memberi warna ungu, merah atau biru pada buah-buahan dan sayuran (Plata et al. 2003 dalam Bouvell-Benjamin 2007).
e. Penggilingan/Pembentukan Pasta
Penggilingan dilakukan menggunakan mesin grinder yang bertujuan untuk memperkecil ukuran ubi jalar ungu dan memperluas permukaan ubi jalar ungu
13 pada saat pengeringan dalam oven, sehingga ubi jalar ungu dapat kering dan kadar air dapat menurun karena panas akan merata di dalam ubi jalar ungu.
f. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering (artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan buatan mempunyai banyak keuntungan karena aliran udara dan suhu dapat diatur, sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan mudah diawasi (Winarno, 2000).
Prinsip pengeringan adalah penguapan air yang terjadi dari bahan atau material ke udara karena adanya perbedaan antara kandungan air udara dan kandungan air bahan atau material yang dikeringkan. Tujuannya adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis dapat terhambat. Kadar air awal yang tinggi memerlukan panas yang tinggi pula untuk mengeringkan suatu bahan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengeringkan bahan tersebut. Peran suhu dalam proses pengeringan sangat penting, karena apabila suhu rendah, maka pengeringan akan membutuhkan waktu yang lama serta dapat menurunkan mutu bahan yang dikeringkan.
g. Penepungan
Proses penepungan merupakan suatu proses pengecilan ukuran (size reduction) bahan padat secara mekanis tanpa diikuti dengan perubahan sifat kimia dari bahan yang ditepungkan. Pasta ubi jalar ungu yang telah kering dilakukan proses penepungan dengan menggunakan mesin penepung. Mesin penepung ini memperkecil ukuran bahan dengan tekanan dan gesekan antara dua piringan dimanaa piringan yang satu berputar dan yang lainnya tetap pada posisi (Syakirah, 2014).
h. Pengayakan
Pengayakan merupakan suatu metode pemisahan berbagai campuran partikel padatan yang mempunyai berbagai ukuran bahan dengan menggunakan ayakan. Proses pengayakan juga digunakan sebagai alat pembersih, pemisah kontaminan yang ukurannya berbeda dengan bahan baku. Pengayakan
14 memudahkan kita untuk mendapatkan serbuk dengan ukuran yang diinginkan (Anggraeni et al., 2014).
2.3. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar aneka produk makanan yang berasal dari biji gandum. Kata terigu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Portugis, yaitu trigo yang berarti gandum. Selain banyak mengandung protein, tepung terigu juga mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air (Emil, 2011).
Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan dari hasil penggilingan biji gandum. Keistimewaan tepung terigu jika dibandingkan dengan serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada adonan sehingga tidak mudah hancur pada proses pemasakan. Gluten merupaka protein tidak larut dalam air yang terdapat pada tepung terigu (Muchtadi et al., 2013).
Jenis tepung terigu dibedakan atas kandungan protein yang dimiliki oleh tepung terigu dan kandungan protein pada terigu menentukan gluten. Kualitas protein serta gluten menentukan kualitas jenis gandum. Protein sangat terkait dengan gluten, dimana gluten sendiri adalah suatu zat yang ada pada tepung terigu. Zat ini bersifat elastis dan kenyal. Semakin tinggi kadar proteinnya, semakin banyak gluten yang ada pada tepung tersebut, demikian pula sebaliknya.
Semakin tinggi kualitas proteinnya, semakin bagus kualitas glutennya.
Menurut Emil, (2011) berdasarkan kadar proteinnya, terigu diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Tepung terigu berprotein tinggi (bread flour), memiliki kadar protein tinggi 11%-13%, sangat baik sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, donat, dan roti yang membutuhkan kekenyalan tinggi.
2. Tepung terigu berprotein sedang atau serbaguna (all purpose flour), memiliki kadar protein sedang, 8%-10%, cocok sebagai bahan pembuat cake.
3. Tepung terigu berprotein rendah (pastry flour), memiliki kadar protein sekitar 6%-8%, sesuai untuk membuat kue renyah, seperti biskuit, kulit gorengan, atau keripik dan lain-lain.
Selain dipengaruhi oleh kadar protein, kualitas terigu juga dipengaruhi oleh kadar air (moisture) yang terkandung dalam tepung terigu. Kadar air memiliki
15 pengaruh sangat besar terhadap kualitas tepung. Bila kadar air pada tepung terigu tinggi maka tepung akan mudah rusak, yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur, serta berbau apek. Bila kadar air tinggi maka kualitas tepung terigu rendah dan harga jual pun rendah (Emil, 2011).
Kualitas terigu juga dipengaruhi oleh kadar abu yang ada pada tepung terigu. Kadar abu ini sangat mempengaruhi produk akhir. Kadar abu (ash content) yang tinggi dapat memutuskan serat gluten. Kadar abu yang tinggi dapat menunjukkan tepung terigu memiliki kualitas yang rendah. Beberapa jenis produk sangat memperhatikan jumlah kandungan abu karena mempengaruhi warna tepung, tetapi ada beberapa jenis produk yang tidak terlalu memperhatikan kadar abunya (Emil, 2011).
Kualitas tepung terigu juga dipengaruhi oleh water absorption, yaitu kemampuan tepung terigu menyerap sejumlah air secara maksimal dalam adonan.
Kemampuan daya serap air berkurang bila kadar proteinnya rendah. Semakin tinggi proteinnya, daya serap air semakin besar, semakin rendah kadar proteinnya, daya serap air semakin rendah (Emil, 2011).
Menurut Emil, 2011 komposisi kimiawi tepung terigu terdiri dari kadar air sebanyak 12%, kadar protein sebanyak 8-13%, kadar abu sebanyak 1,3%, kadar pati sebanyak 60-68%, kadar serat sebanyak 2-2,5%, dan kadar lemak sebanyak 1,5-2%. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3751-2000), syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Tepung Terigu
Jenis Uji Satuan Persyaratan
Keadaan
- Bentuk - Serbuk
- Bau dan Rasa - Normal
- Warna - Putih, khas terigu
Air %b/b Maks 14,5%
Abu %b/b Maks 0,6%
Protein %b/b Maks 7,0%
Besi mg/kg Min. 50
Seng (Zn) mg/kg Min. 30
Vitamin B1 mg/kg Min. 2,5
Vitamin B2 mg/kg Min. 4
Asam Folat mg/kg Min. 2
Sumber: SNI 01-3751-2000
16 2.4. Flakes
Flakes adalah salah satu sereal yang dapat dikategorikan sebagai ready-to- eat product, dimana produk ini dapat dimakan secara langsung tanpa diseduh maupun dicampur dengan bahan lain (Syamsir, 2008). Flakes pada umumnya terbuat dari bahan baku berupa jagung, oat, maupun serealia lainnya.
Serpihan (flakes) pada umumnya dibuat dari bahan tepung biji-bijian atau sereal diolah menjadi bentuk serpihan, setrip (shredded), ekstrukdat (extruded), dan siap santap (saji) untuk sarapan pagi (cereal breakfast). Flakes merupakan salah satu bentuk dari produk sereal dalam bentuk serpihan. Flakes merupakan produk pangan yang menggunakan bahan pangan serealia seperti beras, gandum, atau jagung dan umbi-umbian seperti kentang, ubi kayu, ubi jalar, dan lain-lain (Marsetio, 2006).
Flakes merupakan bentuk pertama dari produk sereal siap santap. Secara tradisional, pembuatan produk flake dilakukan dengan mengukus biji serealia yang sudah dihancurkan (kurang lebih sepertiga dari ukuran awal biji) pada kondisi bertekanan selama dua jam atau lebih lalu dipipihkan di antara dua rol baja. Setelah itu dikeringkan dan dipanggang pada suhu tinggi (Tribelhorn, 1991).
Proses pembuatan flakes juga dapat dilakukan dengan menggunakan dua buah roller drum dryer dengan jarak 0,25 mm dan 3 mm yang disertai dengan pisau untuk mengikis lapisan tipis atau serpihan (flakes) (Lawesss, 1990).
Flakes dibuat dengan menggunakan flaking roll hingga membentuk lapisan tipis atau serpihan dengan kadar air 3% dan total padatan 97%. Prinsip dasar pembuatan flakes adalah pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Pati yang telah keringmemiliki kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah yang cukup besar. Setelah air diserap oleh pati, maka bahan tersebut dapat langsung dikonsumsi (Guy, 2001)
Menurut Tribelhorn (1991), produk sarapan sereal dapat dikelompokkan berdasarkan sifat fisik alami dari produk. Sereal sarapan yang ada di pasaran dikategorikan menjadi lima jenis, yaitu:
1. Sereal tradisional yang memerlukan pemasakan, adalah sereal yang dijual di pasaran dalam bentuk bahan mentah yang telah diproses. Biasanya dalam bentuk sereal yang biasa dikonsumsi panas.
17 2. Sereal panas instan tradisional, yaitu sereal yang dijual dalam bentuk biji-bijian atau serbuk yang telah dimasak dan hanya memerlukan air mendidih dalam persiapannya.
3. Sereal siap santap, yaitu produk yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis atau bentuk diantaranya flaked, puffed, dan shredded.
4. Ready-to-eat cereal mixes, yaitu produk sereal yang telah diolah bersama biji- bijian atau kacang-kacangan, serta buah kering.
5. Bermacam produk sereal sarapan yang tidak dapat dikategorikan dengan keempat jenis di atas karena proses khusus dan atau kegunaan akhirnya.
Contoh dari jenis ini adalah cereal nuggets dan makanan bayi.
Ciri khas dari produk breakfast adalah kadar air rendah dan tekstur renyah.
Berdasarkan teknik pengolahannya, breakfast cereal dijumpai dalam bentuk serpihan (flake), hancuran atau parutan (shredded), mengembang (puffed), panggangan (baked) dan extrudat (extruded). Proses pemasakan merupakan tahapan proses yang harus dilakukan dalam proses pembuatan breakfast cereal.
Proses pemasakan membentuk sifat fisik yang diperlukan untuk membentuk tekstur produk yang diinginkan (Syamsir, 2008).
Flakes termasuk pangan ekstruksi. Ekstruksi bahan pangan adalah proses dimana bahan tersebut dipaksa mengalir di bawah satu atau lebih kondisi seperti pencampuran (mixing), pemanasan dan pemotongan (shear) melalui suatu cetakan (die) yang dirancang untuk membentuk suatu hasil ekstruksi yang bervariasi.
Pemasakan dengan ekstruksi dipakai untuk menggantikan metode konvensional.
Sereal siap santap (corn flake/breakfast cereal) secara tradisional menggunakan biji jagung dalam jumlah besar dimana ukuran biji menentukan ukuran flakes yang dihasilkan. Biji jagung dimasak bertekanan selama 3 jam, dikeringkan hingga kadar air 21%, didiamkan selama 2 jam untuk meyakinkan terjadinya distribusi air yang seragam, dipipihkan, dipanggang dan disemprot dengan larutan vitamin. Total waktu proses mencapai 5 jam (Muchtadi, 2008).
Secara umum pembuatan flakes sangat sederhana. Bahan baku akan mengalami proses-proses sebagai berikut:
1. Pati tergelatinasi dan tidak tertutup kemungkinan terjadi hidrolisa;
18 2. Partikel akan mengalami reaksi pencoklatan yang disebabkan oleh interaksi
antara protein dan gula;
3. Proses enzimatik akan berhenti yang mengakibatkan hasil akhir yang stabil;
4. Karamelisasi dari gula yang muncul sebagai efek dari tingginya suhu oven pemanggang;
5. Lempengan akan menjadi lebih renyah karena kandungan air dalam bahan semakin rendah (Matz, 2005). Mutu kualitas flakes sebagai sereal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat Mutu Flakes (SNI 01-4270-1996)
Kriteria Uji Satuan Spesifikasi
1. Keadaan
- Bau - Normal
- Rasa - Normal
- Warna - Normal
2. Air %b/b Maks 3
3. Abu %b/b Maks 4
4. Protein (N x 6,25) %b/b Min 5
5. Lemak %b/b Min 7
6. Karbohidrat %b/b Maks 60,7
7. Serat Kasar %b/b Maks 0,7
8. Bahan Tambahan Makanan - Bahan Pemanis Buatan
(Sakarin dan Siklamat) - Tidak Boleh Ada
- Pewarna - Sesuai SNI 01-0222-1995
9. Cemaran Logam
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Maks 30
- Seng (Zn) mg/kg Maks 40
- Timah (Sn) mg/kg Maks 40
- Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
10. Cemaran Arsen mg/kg Maks 1,0
11. Cemaran Mikrobia
- Angka Lempeng Total koloni/g Maks 5x105
- Coliform APM/g Maks 102
- Coliform APM/g Maks <3
- Salmonella / 25 g - Negatif
- Staphylococus aureus / g - Negatif
- Kapang - Maks 102
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2000
19 2.5. Bahan Tambahan Pembuatan Flakes
2.5.1. Garam
Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%) serta senyawa lainnya, seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, dan Calsium Chlorida. Sumber garam yang didapat di alam berasal dari air laut, air danau asin, deposit dalam tanah, tambang garam, sumber air dalam tanah (Burhanuddin, 2001). Komponen-komponen tersebut mempunyai peranan penting bagi tubuh manusia, sehingga diperlukan konsumsi garam dengan ukuran yang tepat untuk menunjang kesehatan manuasia. Konsumsi garam per orang per hari diperkirakan sekitar 5 -15 g atau 3 kg per tahun per orang (Winarno, 1995).
Fungsi garam dalam pembuatan flakes adalah penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lainnya. Syarat garam yang baik untuk digunakan dalam bahan pangan adalah harus larut dalam air, bebas dari gumpalan-gumpalan dan bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
2.5.2. Gula Pasir
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Fungsi gula pasir dalam pembuatan flakes adalah sebagai penambah rasa manis.gula pasir terbuat dari tebu yang mengalami proses kristalisasi. Warnanya ada yang putih dan kecokelatan (raw sugar) (Dewi, 2012).
Penambahan gula pada bahan makanan berfungsi untuk memperbaiki cita rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan tujuan menghambat bakteri.
Gula dalam industri pangan biasanya menggunakan sukrosa, yaitu gula yang diperoleh bit atau gula tebu (Hidayat, 2005).
Menurut (Sugiyono, 2002) gula termasuk ke dalam golongan senyawa yang disebut karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama yang terdiri dari tiga golongan, yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Monosakarida adalah contoh gula sederhana yang merupakan turunan disakarida. Apabila sukrosa dihidrolisis akan menghasilakan dua molekul gula sederhana satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Gula dalam bentuk glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa dan laktosa adalah suatu bahan
20 yang umum digunakan sebagai pemanis. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, dan aren. Meskipun demikian terdapat sumber gula minor lainnya seperti kelapa. Proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstraksi diikuti dengan permurnian melalui destilasi (penyulingan). Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Gula terbagi atas 3 jenis yaitu;
gula merah, gula bit dan gula tebu atau biasa juga disebut gula pasir (Ayodya, 2009).
2.5.3. Air
Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan flakes karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa flakes tersebut. penggunaan air dalam pengolahan harus memenuhi persyaratan air yang baik, sama halnya dengan persyaratan air untuk diminum, yaitu tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan mempunyai pH netral (Sutrisno, 2002).
Suprapti (2005) menjelaskan bahwa air yang dipergunakan dalam proses pengolahan makanan serta minuman, baik yang digunakan secara langsung (ditambahkan ke dalam produk), maupun tidak langsung (digunakan dalam proses pencucian dan perendaman), harus memenuhi persyaratan sebagai air minum.
Persyaratan air sebagai air minum antara lain:
a. Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau b. Bersih dan jernih
c. Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya d. Derajat kesadahan nol
21
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Juli 2017 di Workshop Pengolahan dan Laboratorium Kimia dan Nutrisi Jurusan Budidaya Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah pisau, food processor, oven cabinet dryer (mesin pengering), mesin penepung, ayakan (80 mesh), baskom, panci kukusan (diameter 50 cm), timbangan digital, grinder, kompor, spatula, alat pencetak lempengan flakes, sendok, gelas ukur, dan loyang.
Bahan yang digunakan adalah ubi jalar ungu yang berasal dari pasar Mattirowale, Kabupaten Barru, tepung terigu kompas protein sedang, garam, gula, dan air. Adapun bahan kimia yang digunakan adalah larutan luff schoorl, larutan kalium iodida 20%, asam sulfat 4 N, larutan indikator kanji 1%, larutan natrium tio sulfat 0,1 N, H2SO4 pekat, H2O2, NaOH, H3BO3 4%, HCL 0,2 N, indikator bromcresol green, indikator metil merah, dan ethanol.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu
Pembuatan tepung ubi jalar ungu dilakukan untuk memanfaatkan ubi jalar ungu sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan flakes. Tepung ubi jalar ungu dibuat dengan cara ubi jalar ungu terlebih dahulu disortasi untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang menempel. Setelah itu, dikupas kemudian direndam dengan air bersih untuk mencegah terjadinya reaksi browning, lalu dicuci hingga bersih. Setelah dicuci bersih, ubi jalar ungu dikukus dengan suhu 60 ºC selama 15 menit yang bertujuan untuk menonaktifkan enzim penyebab reaksi browning secara keseluruhan, juga agar dihasilkan warna ungu yang lebih bagus. Setelah dikukus, ubi jalar ungu didinginkan lalu dibentuk pasta menggunakan grinder. Kemudian dimasukkan ke dalam tray dan dikeringkan menggunakan oven pengering pada suhu 60-70 ºC selama 6-7 jam. Setelah kering, ubi jalar ungu dihaluskan menggunakan mesin penepung lalu diayak
22 menggunakan ayakan 80 mesh. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar ungu dapat dilihat pada Gambar 6, di bawah ini.
3.3.2. Proses Pembuatan Flakes
Proses pembuatan flakes dimulai dengan pencampuran pertama yaitu tepung terigu, tepung ubi jalar ungu, gula sebanyak 20%, dan garam sebanyak 2%.
Pencampuran kedua ditambahkan dengan air hingga adonan menjadi sedikit kalis.
Setelah itu, pencetakan adonan menggunakan alat pemipih yang telah dipanaskan dengan suhu hingga membentuk lempengan kering tipis berbentuk bulat.
Sortasi
Trimming
Pencucian
Pengukusan (T=60 ºC), t=15’
Penggilingan
Pengeringan (T=60-70 ºC) t= 6-7 Jam
Penepungan
Pengayakan (80 mesh)
Tepung Ubi Jalar
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu Ubi Jalar Ungu
23 Lempengan tersebut kemudian dihancurkan hingga membentuk serpihan kecil dengan diameter ±0,5 cm. Diagram alir pembuatan flakes tepung ubi jalar ungu dapata dilihat pada Gambar 7.
3.4. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan tingkat perbandingan tepung ubi jalar ungu dengan tepung terigu yang dilakukan 3 kali ulangan dengan faktorial sebagai berikut:
A1B1 = Tepung Ubi Jalar Ungu : Tepung Terigu (30 : 70) A2B2 = Tepung Ubi Jalar Ungu : Tepung Terigu (40 : 60) A3B3 = Tepung Ubi Jalar Ungu : Tepung Terigu (50 : 50)
Mixing
(Gula 20%, Garam 2%)
Pencetakan
Pembentukan Serpihan (diameter 0,5 cm)
Flakes
Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Flakes Pengadonan
Tepung Ubi Jalar Ungu dan Tepung
Terigu
24 3.5. Parameter Pengamatan
Adapun parameter pengamatan yang digunakan adalah kadar air, karbohidrat, protein, dan serat kasar, serta uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur.
3.5.1. Analisis Kadar Air (Metode Gravimetri)
Adapun langkah-langkah uji kadar air metode gravimetri yaitu, sampel dihaluskan lalu cawang porselin (A) ditimbang, dicatat dan timbangan dinolkan.
Sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam cawan porselin (A) ± 2 gram kemudian ditimbang (B). Cawan yang telah diisi dengan sampel dikeringkan ke dalam oven vacuum dengan suhu suhu 100ºC, sampai berat konstan. Cawan porseling didinginkan di dalam desikator dengan menggunakan penjepit selama 30 menit, kemudian ditimbang (C).
Perhitungan:
Kadar Air =
Dimana:
A = Berat Cawan
B = Berat Cawan + Contoh Awal C = Berat Cawan + Contoh Kering
3.5.2. Analisis Karbohidrat (Metode Luff Schoorl)
Adapun langkah-langkah pengujian karbohidrat metode Luff Schoorl yaitu, sebanyak 5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 100 ml kemudian ditambahkan aquades sampai 100 ml. Setelah itu dicampur hingga rata, lalu sebanyak 5 ml dipipet ke dalam gelas beaker 250 ml dan ditambahkan 25 ml reagen luff schoorl menggunakan pipet volumetrik. Kemudiandipanaskan di atas waterbath yang sudah mendidih selama 10 menit, jika reagen berwarna merah contoh haus diencerkan. Kemudian didinginkan dengan cepat di bawah air kran dan ditambahkan 15 ml Kl 20% dan 25 ml lartan H2SO4 4 N. L. Setelah itu dititrasi dengan larutan Na2S2O3 5H2O 0,1 N sampai warna kuning muda. Lalu, ditambahkan indikator amilum 1% sebanyak 2 ml dan titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Dilakukan pengerjaan blanko.
25 Perhitungan:
% Kadar Karbohidrat = Dimana:
A = Volume (ml) tio (contoh-blangko) B = Faktor normalitas, N tio yang digunakan C = Angka konversi dalam tabel
F = Faktor pengenceran
3.5.3. Analisis Protein (Metode Kjehdahl)
Adapun langkah-langkah pengujian protein metode Kjehdahl yang pertama adalah tahap destruksi. Sampel yang telah dirajang-rajang kecil dimasukkan ke dalam labu kjehdahl. Lalu, ditambahkan 2 buah tablet katalis atau 3,5 g katalis mixture. Setelah itu, ditambahkan 15 ml H2SO4 dan 3 ml H2O2 lalu didiamkan selama 10 menit, kemudian didestruksi pada suhu 415ºC lalu didinginkan. Kedua adalah tahap destilasi. Hasil destruksi ditambahkan 50-75 ml aquadest. Setelah itu ditambahkan 50-75 ml NaOH, kemudian dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang berisi 25 ml H3BO3 4% yang telah ditambahkan indikator metil merah dfan bromcresol green. Kemudian didestilas i sampai volume destilat mencapai 150 ml. Tahap ketiga yaitu tahap titrasi. Sampel dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai berubah warna dari hijau menjadi abu-abu netral. Diilakukan pengerjaan blanko.
Perhitungan:
Kadar Protein = ( – )
Dimana:
VA = Mililiter HCl Titrasi Contoh VB = Mililiter HCl Titrasi Blanko N = Konsentrasi HCl yang Digunakan 14,007 = Berat Atom Nitrogen;
6,25 = Faktor Konversi Protein W = Berat Contoh
3.5.4. Analisis Kadar Serat Kasar
Adapun langkah-langkah analisis kadar serat kasar yaitu sebanyak 2-4 g sampel ditimbang. Lemak dihilangkan dengan cara ekstraksi soxlet atau dengan cara diaduk, lalu sampel dituang ke dalam pelarut organik. Setelah itu, sampel
26 dikeringkan dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25%, dan didihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya, ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan didihkan lagi selama 30 menit. Larutan disaring dalam keadaan panas dengan menggunakan corong buncher yang berisi kertas saring tak berabu yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Secara brturut-turut, endapan yang terdapat pada kertas dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas, dan etanol 96%. Kertas saring beserta isinya diangkat, lalu dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya, dikeringkan pada suhu 105 ºC dan dinginkan lalu timbang. Setelah itu sampel diabukan dalam tanur pada suhu 650 ºC selama 5 jam kemudian didinginkan dan ditimbang kembali.
Perhitungan:
%Serat Kasar = Dimana:
A = Cawan + Contoh + Kertas Saring B = Cawan + Abu
C = Kertas Saring 3.6. Pengolahan Data
Dari hasil penelitian diperoleh nilai kadar air, karbohidrat, protein, dan serat kasar. Data tersebut dianalisis menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 dengan metode general linear model dan untuk melihat taraf perlakuan yang berbeda dilakukan uji lanjut dengan metode Tukey.