• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia

2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Almasdi (1996) dalam Ardana, et al (2012:5), sumber daya manusia (SDM) merupakan kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu digali, dibina serta dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia.

SDM adalah kemampuan potensial yang dimiliki oleh manusia yang terdiri dari kemampuan berpikir, berkomunikasi, bertindak dan bermoral untuk melaksanakan suatu kegiatan baik bersifat teknis maupun manajerial.

Kemampuan yang dimiliki tersebut akan mempengaruhi sikap manusia dalam mencapai tujuan hidup baik individual maupun bersama. SDM adalah semua potensi yang dimiliki oleh manusia yang dapat disumbangkan atau diberikan kepada masyarakat untuk menghasilkan barang atau jasa. Manajemen sumber daya manusia (MSDM) adalah bagian dari manajemen organisasi yang memusatkan perhatian kepada unsur manusia.

Berdasarkan pengertian SDM tersebut dapat disimpulkan pengertian MSDM adalah proses pemanfaatan SDM secara efektif dan efisien melalui kegiatan perencanaan, penggerakan, dan pengendalian semua nilai yang menjadi kekuatan manusia untuk mencapai tujuan. Menurut Barry Cushway (1994:6) dalam Ardana, et al (2012:5), MSDM didefinisikan sebagai rangkaian strategi, proses dan aktivitas yang didesain untuk menunjang tujuan perusahaan dengan cara mengintegrasikan kebutuhan perusahaan dan individu.

Dari pengertian MSDM yang dikemukakan dapat diambil beberapa paradigma seperti berikut:

• Manusia memerlukan organisasi dan sebaliknya organisasi memerlukan manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan.

(2)

• Potensi psikologis seorang karyawan dalam melaksanakannya bersifat abstrak, sehingga penting bagi pimpinan dalam menggali, membina dan menyalurkan potensi yang dimiliki karyawan dalam rangka meningkatkan produktivitas.

• Memperlakukan karyawan secara manusiawi untuk mendorong partisipasi dalam mencapai tujuan perusahaan.

Perlakuan secara manusiawi berarti karyawan harus dihormati, dihargai dan diperlakukan sesuai hak-hak asasi manusia (HAM) sehingga akan berkembang perasaan ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab demi perusahaan.

2.1.1.2 Peran Sumber Daya Manusia

Tidak disangsikan lagi SDM memiliki peranan yang sangat menentukan hidup dan matinya perusahaan. Apabila SDM dalam perusahaan bermoral baik, disiplin, loyalitas dan produktif maka perusahaan akan dapat hidup dan berkembang dengan baik, sebaliknya apabila SDM bersifat statis, bermoral rendah, senang melakukan kecurangan yang merugikan perusahaan, maka akan dapat membawa kehancuran bagi perusahaan tersebut.

Menurut Ardana, et al. (2012:7) peranan SDM dapat dibedakan menjadi tiga, yakni sebagai berikut :

1. SDM pengemban misi perusahaan. Semua perusahaan memiliki visi dan misi, sasaran dan tujuan. Visi dan misi tidak akan tercapai tanpa diemban oleh SDM. Masalahnya terletak pada kemampuan SDM untuk mengemban misi tersebut dengan baik.

2. SDM sebagai pimpinan/manajer perusahaan.

Pimpinan/manajer dalam perusahaan terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu manajer puncak, manajer menengah dan manajer tingkat bawah. Peranan pimpinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan perusahaan, karena pimpinan yang menentukan dan memegang kunci dalam setiap pengambilan keputusan.

3. SDM sebagai pekerja. Peranan pekerja sangat penting bagi perusahaan sehingga semua unsur yang ada didalamnya

(3)

tidak akan berfungsi tanpa manusia. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin besar peranan dan tanggung jawabnya. Peranan dalam perusahaan akan optimal apabila memiliki kemampuan dan diberikan kesempatan.

2.1.1.3 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia

Departemen MSDM dibentuk dengan tujuan menyediakan suatu satuan tenaga kerja yang efektif bagi organisasi atau perusahaan. Adapun tujuan departemen MSDM menurut Ardana, et al. (2012:22) sebagai berikut:

1. Tujuan Sosial Kemasyarakatan, adalah dimaksudkan agar perusahaan bertanggung jawab secara sosial terhadap kebutuhan dan tantangan dari masyarakat. Perusahaan diharapkan dapat membantu kualitas kehidupan masyarakat dan membantu memecahkan masalah sosial.

2. Tujuan Organisasional, adalah sasaran target formal yang dibuat untuk membantu perusahaan mencapai tujuannya.

3. Tujuan Fungsional adalah tujuan untuk mempertahankan kontribusi departemen SDM pada situasi dan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

4. Tujuan Pribadi atau Individu, adalah tujuan setiap anggota yang terlibat dalam perusahaan atau organisasi yang ingin dicapai melalui kegiatan yang dilaksanakannya, jika tujuan pribadi dan tujuan perusahaan tidak cocok atau tidak harmonis maka karyawan kemungkinan merasa tidak puas dalam bekerja.

2.1.2 Budaya Organisasi

2.1.2.1 Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Schein (2009:46) budaya adalah pola tacit assumptions bersama yang dipelajari oleh kelompok dalam memecahkan masalah yang adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap sah, dan karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk melihat, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah tersebut.

(4)

Sedangkan menurut Kreitner dan Kinicki (2007) budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar bersama, yang sudah diterima begitu saja yang dipegang suatu kelompok yang menentukan bagaimana kelompok tersebut mempersiapkan, berpikir dan bereaksi terhadap berbagai lingkungan.

Menurut Robbins (2006:289) budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain dan merupakan karakteristik utama organisasi tersebut.

2.1.2.2 Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006:294) budaya organisasi mempunyai fungsi :

• Budaya mampu mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas; artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lainnya.

• Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi

• Budaya organisasi mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.

• Budaya organisasi dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial

Akhirnya, budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

2.1.2.3 Dimensi Budaya Organisasi

Menurut riset yang dilakukan Robbins (2003:525) dalam Wibowo (2013:37-38) mengemukakan bahwa ada tujuh dimensi budaya sebuah organisasi, dimensi ini digambarkan sebagai berikut :

1. Innovation and risk taking (Inovasi dan mengambil resiko).

Tingkat di mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dalam mengambil resiko.

2. Attention to detail (Perhatian kepada detail). Tingkat di mana para karyawan diharapkan untuk menampilkan ketepatan analisis, dan perhatian terhadap detail.

(5)

3. Outcome Orientation (Orientasi hasil). Tingkat di mana para manajer memusatkan perhatian pada hasil-hasil bukannya pada teknik-teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

4. People Orientation (Orientasi manusia). Tingkat di mana keputusan-keputusan manajemen memperhitungkan pengaruh hasil-hasil terhadap manusia dalam organisasi.

5. Team Orientation (Orientasi tim). Tingkat di mana kegiatan- kegiatan kerja disusun sekitar tim bukan individu-individu.

6. Agressiveness (Agresivitas). Tingkat di mana orang bersifat agresif bukannya ramah dan bekerja sama.

7. Stability (Stabilitas). Tingkat di mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan usaha mempertahankan status quo bukan pertumbuhan.

2.1.2.5 Budaya Organisasi sebagai Variabel Bebas

Salah satu tantangan bekerja dalam sebuah organisasi atau perusahaan adalah perbedaan budaya yang beragam. Indonesia memiliki budaya yang diversity atau beragam, sehingga terkadang budaya merupakan penghalang dalam kehidupan internal organisasi. Schein dalam Fikri (2008) memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi, asumsi dasar ini digunakan sebagai alat untuk menilai budaya

organisasi, karena asumsi dipercayai oleh anggota sebagai kenyataan karena memengaruhi anggota sebagai kenyataan, karena memengaruhi apa yang mereka pahami, pikirkan dan rasakan. Beberapa asumsi dasar tersebut meliputi: (1) terkait dengan lingkungan, (2) hakikat kegiatan manusia, (3) hakikat realitas dan kebenaran, (4) hakikat waktu, (5) hakikat sifat manusia, (6) hakikat hubungan antar manusia, (7) homogeneity vs diversity. Budaya berperan dalam membawa identitas bagi anggota organisasi dan mempermudah timbulnya komitmen pada anggota organisasi serta dapat meningkatkan sistem sosial dalam suatu perusahaan. Menurut Belias dan Koustelios (2014) Kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang paling sering diteliti dalam budaya organisasi, perilaku dan fenomena kerja lainnya, mulai dari desain pekerjaan pengawasan (Spector, 1997

(6)

dalam Belias dan Koustelios 2014). Secara umum, kepuasan kerja merangkum penebangan karyawan tentang pekerjaannya. Penelitian ini telah mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah fenomena multidimensi, dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, seperti individu nilai-nilai, prinsip, kepribadian dan harapan dan sifat pekerjaan itu, kesempatan yang diberikan dll (Davies et al., 2006 dalam Belias dan Koustelios 2014) dasar untuk penyelidikan dan penilaian kepuasan kerja dibentuk oleh teori Motivasi-Anak dari Herzberg et al. (1959), yang menurut perasaan karyawan terhadap pekerjaan mereka dipengaruhi oleh dua faktor, motivator dan masalah kebersihan. Secara khusus, motivator mampu menciptakan kepuasan melalui pemenuhan kebutuhan individu untuk makna dan pertumbuhan pribadi. Dengan demikian budaya organisasi mempengaruhi motivasi kerja dan kepuasan kerja, sehingga dijadikan variabel bebas.

2.1.3 Komitmen Organisasi

2.1.3.1 Pengertian Komitmen Organisasi

Berikut merupakan pengertian komitmen organisasi:

Menurut Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan – tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi.

Swailes dalam Boles et al. (2007) memaparkan bahwa komitmen organisasi mencerminkan perasaan positif terhadap organisasi dan nilainya.

Pada dasarnya, mengukur komitmen organisasi adalah penilaian kesesuaian antara nilai-nilai sendiri individu dan keyakinan dan organisasi.

Menurut Mowday (1982) dalam Sopiah (2008:155) komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi.

Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi.

(7)

2.1.3.2 Dimensi Komitmen Organisasi

Menurut Greenberg (2005 : 182), komitmen organisasi terdiri dari beberapa komponen, yaitu:

1) Affective commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau perusahaan disebabkan karena dia setuju dengan tujuan-tujuan organisasi tersebut dan ingin melakukannya.

2) Continuance commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain.

3) Normative commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan.

2.1.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Menurut David dalam Sopiah (2008;165) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

1. Faktor personal

Misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian.

2. Karakteristik pekerjaan

Misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran dan tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3. Karakteristik struktur

Misalnya besar atau kecilnya organisasi, bentuk organisasi (sentralisasi/ desentralisasi) dan kehadiran serikat pekerja.

4. Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan dalam organisasi.

(8)

2.1.3.4 Indikator Komitmen Organisasi

Menurut Mowday dalam Sopiah (2008 : 165), indikator komitmen organisasi dibagi manjadi 3 yaitu:

1. Penerimaan karyawan terhadap tujuan organisasi 2. Keinginan karyawan untuk bekerja keras

3. Hasrat karyawan untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi

2.1.3.5 Komitmen Organisasi sebagai Variabel Bebas

Menurut Barnard (1938) komitmen organisasi adalah, dalam pengertian umum, lampiran psikologis karyawan terhadap organisasi. Dapat dibandingkan dengan sikap yang berhubungan dengan pekerjaan lain, seperti kepuasan kerja (perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka) dan identifikasi organisasi (sejauh mana pengalaman 'rasa kesatuan'karyawan dengan organisasi mereka). Menurut Suma dan Lesha (2013) kepuasan kerja merupakan salah satu konstruk atau variabel sikap yang telah terbukti berhubungan dengan komitmen organisasi (Steers, 1977), tetapi pengobatan sebagai sebuah konstruk independen harus ditekankan.

Sejumlah faktor membedakan kepuasan kerja dari komitmen organisasi.

Mowday et al (1979: 226) dalam Suma dan Lesha (2013) berpendapat bahwa organisasi adalah "lebih global, yang mencerminkan respon afektif umum untuk organisasi secara keseluruhan" sementara kepuasan kerja mencerminkan respon seseorang baik untuk pekerjaan seseorang atau aspek- aspek tertentu dari pekerjaan seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahadyan dan Kartika (2008) Komitmen organisasional merupakan perpaduan antara sikap dan perilaku. Sedangkan motivasi adalah sesuatu yang memulai gerakan, sesuatu yang membuat orang bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu (Armstrong, 1994 dalam Sri Trisnaningsih, 2001).

Robbins (1996) mengatakan bahwa motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dan situasinya, sehingga manusia mempunyai inovasi berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan adanya komitmen organisasional pada seseorang, akan menimbulkan motivasi untuk bekerja sebaik- baiknya pada suatu organisasi sebagai upaya mewujudkan tujuan bersama, sebagai konsekuensi bahwa komitmen tersebut dapat terwujud atau tercapai. Dengan

(9)

demikian komitmen organisasi dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan motivasi kerja, sehingga komitmen organisasi dapat dijadikan variabel bebas.

2.1.4 Motivasi Kerja

2.1.4.1 Pengertian Motivasi Kerja

Motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau tidak pada hakekatnya ada secara internal dan eksternal yang dapat positif atau negatif mengarahkannya (Ardian 2012:193).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2008:210), motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan.

Menurut Ardian et al. (2012:193) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Menurut McCormick dalam Mangkunegara (2010:94) mengemukakan bahwa motivasi kerja sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

Sedangkan menurut Robbins dalam buku Vietzhal dan Sagala (2008:838), motivasi adalah kesediaan untuk mengerahkan upaya tingkat tinggi menuju target organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan dan upaya untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah faktor pendorong dalam mencapai target dan prestasi suatu pekerjaan.

2.1.4.2 Teori Motivasi Kerja a. Teori Hierarki Kebutuhan

Menurut Robbins dan Coulter (2012:459) teori hierarki kebutuhan ini dicetuskan oleh Abraham Maslow, ia menghipotesiskan bahwa di dalam diri manusia ada lima jenjang kebutuhan berikut :

1. Fisiologis: antara lain rasa lapar, haus, perlindungan, seks dan kebutuhan jasmani lainnya

2. Keamanan: antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional

(10)

3. Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima-baik, dan persahabatan.

4. Penghargaan: Mencakup rasa hormat internal seperti harga diri, otonomi dan prestasi, dan faktor hormat eksternal misalnya status, pengakuan, dan perhatian.

5. Aktualisasi-diri: dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu, mencakup pertumbuhan, dan pemenuhan diri.

b. Teori Kebutuhan McClelland

Menurut Robbins dan Coulter (2012:460) teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan kawan- kawannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan: prestasi, kekuasaan, dan afiliasi. Kebutuhan ini ditetapkan sebagaoi berikut:

• Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, berusaha keras untuk sukses.

• Kebutuhan akan kekuasan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu tidak akan berprilaku demikian.

• Kebutuhan akan afiliasi: Hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah dan akrab.

David McClelland menekankan bahwa teori jenjang kebutuhan sudah ada dalam diri seseorang sejak ia lahir, maka David McClelland dalam teorinya menekankan bahwa kebutuhan seseorang itu terbentuk melalui proses belajar dan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. McClelland percaya bahwa lingkungan berperan sekali terhadap setiap macam kebutuhan, lebih lanjut ia mengukapkan bahwa aktivitas belajar dan latihan di masa dini yang lalu memberi dampak serta memodifikasi kebutuhan yang ada dalam diri seseorang.

c. Teori X dan Y

Menurut Stephen dan Marry (2010:110) Douglas McGregor mengajukan dua pandangan yang berbeda tentang manusia. Asumsi negatif dengan tanda label X dan positif dengan tanda label Y. Setelah melakukan penyelidikan tentang perjanjian seorang manajer dan

(11)

karyawan, McGregor merumuskan asumsi-asumsi dan perilaku manusia dalam organisasi sebagai berikut:

Teori X (negatif) merumuskan asumsi seperti:

• Karyawan sebernarnya tidak suka bekerja dan jika ada kesempatan dia akan menghindari atau bermalas-malasan dalam bekerja.

• Karena karyawan tidak menyukai bekerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.

• Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bilamana dimungkinkan.

• Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukan sedikit ambisi.

Sebaliknya teori Y (positif) memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut:

• Karyawan dapat memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang wajar, lumrah dan alamiah layaknya tempat bermain atau beristirahat, dalam artian berdiskusi atau sekedar teman bicara.

• Manusia akan melatih tujuan pribadi dan pengontrolan diri sendiri jika mereka melakukan komitmen yang sangat objektif.

• Kemampuan untuk melakukan keputusan yang cerdas dan inovatif adalah tersebar secara meluas di berbagai kalangan tidak hanya melulu dari kalangan top management atau dewan direksi.

Pada umumnya kita bisa mengatakan bahwa pemberian motivasi positif akan memberikan peningkatan semangat, mengurangi keluhan dan secara umum, mengurangi kesulitan. Tetapi peningkatan semangat (moral) saja tidak cukup. Bagaimana pengaruh motivasi berdampak positif pada produktivitas? Apakah karyawan akan bekerja lebih baik apabila digunakan motivasi dengan cara negatif atau menakut-nakuti dengan sanksi hukuman? Dari berbagai penelitian

(12)

menunjukkan bahwa penggunaan 'ancaman' atau motivasi negatif, seringkali menghasilkan yang lebih banyak, berupa peningkatan produktivitas, dalam jangka pendek. Dengan demikian, hasilnya akan segera tampak dalam jangka waktu pendek. Tetapi penggunaan motivasi positif akan berhasil dalam jangka panjang. Karyawan, dengan semangat yang lebih baik, akan meningkat produktivitasnya dalam jangka panjang. Jadi, penggunaan motivasi negatif akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan semangat dalam jangka pendek dan motivasi positif akan meningkatkan semangat dan produktivitas dalam jangka panjang.

2.1.4.3 Motivasi Kerja Intrinsik Dan Ektrinsik

Menurut George and Jones (2005:177-179), perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik.

Perilaku dengan motivasi intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasa datang dari penunjukan perilaku itu sendiri.

Perilaku dengan motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman. Perilaku tersebut ditujukan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya

Ada hubungan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dengan nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik. Karyawan yang memiliki nilai kerja intrinsik ingin menentang pencapaian, kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan mereka dan perusahaan, dan kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya ditempat kerja.

Karyawan dengan nilai kerja ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya menghasilkan uang, mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu bebas dari pekerjaan untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberikan alasan bahwa karyawan dengan nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik ditempat kerja dan mereka yang memiliki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik.

(13)

2.1.4.4 Dimensi Motivasi Kerja

Dimensi motivasi kerja menurut Robbins dan Coulter (2012) adalah sebagai berikut :

1. Kebutuhan Fisiologis : Kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, perlindungan, seks dan kebutuhan jasmani lainnya.

2. Kebutuhan Rasa Aman : Kebutuhan akan keamanan dan perlindungan dari ancaman bahaya fisik dan emosional.

3. Kebutuhan Sosial : Kebutuhan seseorang rasa memiliki, penerimaan, dan jalinan pertemanan

4. Kebutuhan Penghargaan : Kebutuhan seseorang akan mencakup rasa hormat internal, seperti penghargaan diri sendiri, otonomi dan prestasi dan rasa hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri : Kebutuhan seseorang

akan menjadi apa yang dia mampu, seperti pertumbuhan, pengahargaan terhadap suatu potensi dan pemenuhan diri

2.1.5.4 Motivasi Kerja sebagai Variabel Intervening

Motivasi mempunyai kekuatan kecenderungan seseorang/individu untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang mengarah kepada sasaran dalam pekerjaan sebagai kepuasan, tetapi lebih lanjut merupakan perasaan senang atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan. Motivasi sebagai suatu reaksi yang diawali dengan adanya kebutuhan yang menumbuhkan keinginan atau upaya mencapai tujuan yang selanjutnya menimbulkan ketegangan yaitu keinginan yang belum terpenuhi, yang kemudian menyebabkan timbulnya tindakan yang mengarah kepada tujuan dan akhirnya akan memuaskan keinginan. Motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong

kepuasan seseorang (Sutrisno,2010:109) dalam Rinawati dan Ingsih (2013).

Bartol dan Martin (1998) dalam Manzoor (2012) menjelaskan motivasi

(14)

sebagai kekuatan yang memperkuat perilaku, memberikan rute ke kepuasan, dan memicu kecenderungan untuk melanjutkan serta memicu kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian motivasi kerja pada penelitian ini dijadikan variabel intervening, atau variabel perantara.

2.1.5 Kepuasan Kerja

2.1.5.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (2006:178), kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.

Menurut Sierma & Saragih (2010:145), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaan dan situasi kerja yang mereka hadapi.

Menurut Prof. Dr. Sudarwan Darwin (2010:218) kepuasan kerja merupakan kombinasi aspek ekonomis, psikologis, sosiologis, kultural, aktualisasi diri, penghargaan dan suasana lingkungan dalam pekerjaan individu.

Handoko (1992) dalam Sutrisno (2013:75) mengemukakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi para karyawan memandang pekerjaan mereka.

Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert, Paul D. Umbach (2007) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah orientasi afektif secara keseluruhan pada bagian dari individu terhadap peran kerja mereka yang berlangsung saat ini.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian seseorang atau cerminan perasaan seseorang terhadap hasil dari pekerjaan yang dilakukannya, apakah hasil tersebut memuaskan atau tidak.

2.1.5.2 Teori Kepuasan Kerja

Menurut Rivai (2008:375-376), bahwa terdapat tiga teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal, antara lain:

1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy theory)

(15)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif.

Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori Keadilan (Equity theory)

Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah / gaji, keuntungan sampingan, symbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan.

3. Teori dua faktor (Two factor theory)

(16)

Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu.

Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies.

Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan dan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan.

Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas.

Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun puas.

2.1.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktor- faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada kepuasan karyawan bergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Menurut Sutrisno (2013:80) faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1) Faktor psikologis. Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan.

2) Faktor sosial. Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antarkaryawan maupun karyawan dengan atasan.

3) Faktor fisik. Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu

(17)

istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.

4) Faktor finansial. Merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.

2.1.5.4 Dampak Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbin dan Judge (2008:83), dampak dari ketidakpuasan karyawan di tempat kerjanya dituangkan dalam suatu kerangka teoritis pada gambar “the exit, voice, loyalty, neglect framework”. Kerangka kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi, yaitu : Konstruktif/Destruktif dan Aktif/Pasif.

Dampak dari ketidakpuasan tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1) Keluar (Exit)

Pelaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru serta mengundurkan diri.

2) Aspirasi (Voice)

Secara aktif dan konstruktif berusaha untuk memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat pekerja.

3) Kesetiaan (Loyalty)

Secara pasif tetapi optimis menunggu kondisi untuk membaik, termasuk membela organisasi dalam menghadapi kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang tepat”

4) Pengabaian (Neglect)

Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk absensi dan keterlambatan yang tinggi, berkurangnya usaha, dan tingkat

kesalahan semakin meningkat.

(18)

Sumber : Robbin dan Judge, 2008

2.1.5.5 Dimensi Kepuasan Kerja

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Menurut Ivancevich, et al (2011:77) mengatakan ada empat faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan:

1. Pembayaran (Pay)

Jumlah pembayaran yang diterima dan keadilan yang diterima dari pembayaran tersebut.

2. Pekerjaan Itu Sendiri (Work it self)

Banyaknya tugas-tugas kerja yang dianggap menarik dan menyediakan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab.

3. Kesempatan Promosi (Promotion opportunities) Ketersediaan kesempatan untuk kemajuan karir.

4. Pengawasan (Supervision)

ACTIVE

PASSIVE

CONSTRUCTIVE DESTRUCTIVE

EXIT VOICE

NEGLECT LOYALTY

Gambar 2.1 exit, voice, loyalty, neglect

(19)

Kompetensi teknis dan kemampuan interpersonal dari atasan langsung seseorang.

5. Rekan Kerja (Co-Workers)

Banyaknya rekan kerja yang bersahabat, kompeten dan mendukung.

6. Kondisi kerja (Working Condition)

Tingkat dari lingkungan fisik pekerjaan yang nyaman dan mendukung produktivitas.

7. Keamanan Kerja (Job Security)

Keyakinan bahwa posisi seseorang relatif aman dan kelanjutan pekerjaan dengan organisasi sebagai harapan yang masuk akal.

2.1.5.6 Indikator Kepuasan Kerja

Celluci dan De Vries (1978) dalam Fuad Mas’ud (2004) merumuskan indikator-indikator kepuasan kerja dalam lima indikator sebagai berikut:

1. Kepuasan dengan gaji 2. Kepuasan dengan promosi 3. Kepuasan dengan rekan kerja 4. Kepuasan dengan atasan

5. Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri

Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert, Paul D. Umbach (2007), menggunakan dua dimensi dari kepuasan kerja dalam penelitiannya. Dia mengemukakan dimensi kepuasan kerja dapat dibagi dalam dimensi instrisik (mengacu pada pekerjaan itu sendiri) dan dimensi ekstrinsik (mewakili aspek pekerjaan eksternal untuk tugas itu sendiri). Dua dimensi itu didefinisikan sebagai berikut:

1) Dimensi Instrinsik

• Sejauh mana pekerjaan itu menarik

• Hasil pekerjaan yang jelas 2) Dimensi Ekstrinsik

• Karir

• Keuangan

(20)

• Kenyamanan

• Hubungan dengan rekan kerja

• Kecukupan sumber daya

2.1.5.7 Kepuasan Kerja sebagai Variabel Terikat

Menurut Suma dan Lesha (2013) kepuasan kerja merupakan salah satu konstruk atau variabel sikap yang telah terbukti berhubungan dengan komitmen organisasi (Steers, 1977), tetapi pengobatan sebagai sebuah konstruk dependen harus ditekankan. Aswathappa (2003) dalam Saleem et al, (2010) menjelaskan dalam penelitiannya, Kepuasan kerja dapat ditentukan dengan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik. Tingkat kepuasan kerja berbeda ketika gaji atau imbalan berbeda, sehingga biasanya kepuasan kerja dapat dijadikan variabel dependen dari variabel motivasi kerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tjajuk (2013) mengatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh secara signifikan dan positif terhadap kepuasan kerja.

Dengan demikian kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, budaya organisasi dan komitmen organisasi, sehingga kepuasan kerja dapat dijadikan varibael terikat.

2.2 Penelitian Terdahulu

Nama Jurnal Jurnal Penelitian Peneliti Hasil Penelitian International

Journal of Business and Management Invention, vol 2, issue 9, September 2013

The Influence of Motivation And Organizational Culture On Work Satisfaction And Organizational Commitment (Study On National Society

Empowerment

Program In

Southeast Sulawesi Province)

Pahri Yamsul, Surachman, Ubud Salim and Armanu

Budaya Kerja dan Motivasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi

(21)

International Journal of Human Resource Studies, vol 2, no 2, 2012

The impact of Organizational Commitment on Jov Satisfaction: A Study of Employees at Nigerian Universities

Bola Adekola, Ph.D

Komitmen Organisasi

memiliki hubungan yang signifikan terhadap Kepuasan Kerja

Pelagia Research Library

Relationship Between Job Satisfaction and Organizational Culture in Staffs and Expert of Physical Education

Offices of

Mazandaran Province

Shaghayegh Kiani

M, Somayen

Emadi, Hajar Cheraghian, Fatima Rohsani, Fatemeh Behzadi

Budaya Kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap Kepuasan Kerja

European Specific Journal,Vol 9, No 17, June 2013

Job Satisfaction and Organizational Commitment: The Case Of Shkodra Municipality

Saimir Suma, Phd candidate. Jonida

Lesha, Phd

candidate

Komitmen Organisasi

memiliki hubungan yang signifikan terhadap Kepuasan Kerja

(22)

2.3 Kerangka Pemikiran

BUDAYA ORGANISASI (X1) :

Inovasi dan pengambilan resiko

Perhatian pada detail

Orientasi Hasil

Orientasi orang

Orientasi tim

Keagresifan

Stabilitas

KOMITMEN ORGANISASI (X2) :

Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan Rasa Aman

Kebutuhan Sosial

Kebutuhan Penghargaan

Kebutuhan Aktualisasi Diri

MOTIVASI KERJA(Y) :

Aktualisasi diri

Penghargaan

Kebutuhan social

Kebutuhan rasa aman

Kebutuhan fisik

KEPUASAN KERJA (Z):

Pembayaran

Pekerjaan Itu Sendiri

Kesempatan Promosi

Pengawasan

Rekan Kerja

Kondisi Kerja

Keamanan

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

(23)

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang peneliti rancang berdasarkan dari tujuan penelitan, hipotesis yang di uji dalam penelitian ini adalah :

Untuk T-1:

Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja Untuk T-2:

Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Motivasi Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Motivasi Kerja Untuk T-3:

Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-4:

Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Ha: Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-5:

Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Ha : Ada pengaruh signifikan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Untuk T-6

Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja

Ha : Ada pengaruh signifikan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja

Untuk T-7

Ho: Tidak ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja

Ha : Ada pengaruh signifikan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja melalui Motivasi Kerja

(24)

Gambar

Gambar 2.1 exit, voice, loyalty, neglect
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

- Untuk mengetahui sensitifitas bakteri terhadap antibiotik rifampicin, maka dilakukan uji hambatan menggunakan rifampisin 5, 10, 50, dan 100 mg/L, dengan cara merendam

Peralatan dan bahan yang digunakan pada saat persiapan alat tangkap di atas kapal yaitu alat penguras atau membuang air dari dasar lambung kapal ke laut yang terbuat dari

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Banyak yang tak paham alasan Dita, mahasiswa berusia 23 tahun, mau mempertaruhkan hidup ‘hanya’ untuk membela hak-hak orang lain, terutama buruh, dengan turun ke jalan dan

Untuk itu, dalam tugas akhir ini diusulkan mengenai peramalan jumlah impor beras menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving Average with Exogeneous Input