• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Fasilitas dan Aktivitas PPI Meulaboh 5.1.1 Pengelolaan fasilitas-fasilitas PPI Meulaboh

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh sesuai dengan fungsi dan perannya adalah untuk melayani masyarakat nelayan dalam peningkatan aktivitas perikanan tangkap. PPI sebagai areal aktivitas nelayan, didukung berbagai fasilitas untuk kegiatan perikanan tangkap. Tingkat pengelolaan optimal sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas agar aktivitas di PPI aktif setiap hari.

Fasilitas yang terdapat di PPI Meulaboh terdiri atas fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang.

Tabel 11 Fasilitas-fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Tahun 2010

No Fasilitas Ukuran Kondisi Pokok

1 Dermaga 800 m2 A

2 Kedalaman Kolam pelabuhan 1 m B

3 Kolam pelabuhan 1.000 x 30 m A

4 Jalan 250 m B

5 Lahan pelabuhan 1 ha B

6 Drainase 400 m A

6 Fender 6 buah A

7 Bollard 6 buah A

Fungsional

8 Tempat pelalengan ikan(TPI) 360 m2 A

9 Pasar ikan 120 m2 A

10 Perkantoran 128 m2 C

11 Sumber air dan tangki air 2 unit A

12 Pabrik es 80 m2 A

13 Gudang es 25 m2 A

14 Cold storage 15 x 5 m C

15 Tempat parkir 300 m2 B

Penunjang

13 Balai pertemuan nelayan 20 x 10 m C

14 Tempat ibadah 10 x 8 m C

15 Toko sarana penangkapan 5 unit A

16 Warung /kios 5 x 8 m C

Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat, 2010; diolah kembali

(2)

Keterangan:

A: berfungsi dengan baik

B: berfungsi dalam keadaan rusak

C: dalam keadaan baik tapi belum berfungsi D: dalam keadaan rusak dan belum berfungsi

Infrastruktur perikanan yang erat kaitannya dengan pengembangan perikanan laut adalah Pelabuhan Perikanan (PP) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). PPI merupakan infrastruktur yang dibangun pemerintah dengan orientasi pelayanan kepada para pengguna pelabuhan guna memperlancar setiap kegiatan perikanan skala kecil dengan harapan kesejahteraan nelayan dapat terwujud (Muninggar, 2008).

Fasilitas pokok yang terdapat di PPI Meulaboh terdiri atas dermaga, kolam pelabuhan, jalan kompleks PPI, fender (pencegah benturan kapal), drainese, bollard dan lahan pelabuhan. Fasilitas fungsional terdiri atas tempat pelelangan ikan (TPI), pasar ikan, perkantoran, sumber air, pabrik es, gudang es, tempat parkir dan cold storage. Fasilitas penunjang yang terdapat di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh meliputi semua fasilitas yang menunjang aktivitas atau secara tidak lansung dapat meningkatkan peranan pelabuhan atau para pengguna mendapatkan kenyamanan dalam melakukan aktivitas di pelabuhan dan memberi kemudahan bagi pelaku dunia usaha (nelayan, pedagang, pengolah), seperti balai pertemuan nelayan, tempat ibadah, kios dan toko sarana penangkapan. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh dapat dilihat pada Tabel 11.

1) Fasilitas pokok a. Dermaga

Dermaga yang terdapat di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh memiliki panjang 800 m2 berfungsi dengan baik dan kondisi fisiknya cukup baik (Gambar 7). Kondisi seperti ini sangat diperlukan bagi aktivitas pendaratan hasil tangkapan termasuk beberapa aktivitas lain seperti persiapan perbekalan melaut. Namun nelayan sering terlambat melakukan pembongkaran hasil tangkapan karena aktivitas tambat dan pengisian perbekalan melaut masih dilakukan pada satu dermaga yang sama sehingga terlihat setiap pagi dari 05.30-08.00 WIB terlihat

(3)

banyak kapal antrian yang melakukan pendaratan. Berdasarkan pengamatan di lapangan fasilitas pokok ini sangat diperlukan nelayan dan harus dilebarkan lagi serta dipisahkan antara dermaga bagi kapal bongkar hasil tangkapan dengan kapal yang melakukan persiapan perbekalan melaut dan aktivitas tambat, agar tidak terjadi antrian dan mengganggu alur pelayaran keluar masuknya kapal.

Gambar 7 Dermaga PPI Meulaboh, tahun 2010 b. Kolam Pelabuhan

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh mempunyai luas kolam pelabuhan 1000x30 meter dan kolam pelabuhan ini memanfaatkan muara sungai Krueng Cangkoi yang berbatasan dengan Desa Padang Sirahet (Gambar 8).

Memanfaatkan Muara Sungai Krueng Cangkoi yang dijadikan sebagai alur pelayaran menimbulkan kendala bagi kapal-kapal ukuran besar karena adanya pendangkalan akibat banyaknya sedimen yang terbawa oleh arus dari laut.

Masalah yang muncul setiap tahun di PPI Meulaboh adalah terjadinya pendangkalan. Kedalaman kolam pelabuhan saat ini minus 1(-1) meter, seharusnya kedalaman kolam pelabuhan untuk PPI sekurang-kurangnya 2 meter.

Kondisi seperti ini menyebabkan kapal-kapal ukuran 10 GT ke atas yang akan melakukan aktivitas bongkar muat maupun persiapan perbekalan melaut sering kandas dan mengalami kebocoran sehingga merugikan nelayan. Kondisi kolam pelabuhan seperti ini menjadikan nelayan tidak ada pilihan lain kecuali menggunakannya walaupun dalam kondisi dangkal.

(4)

Masalah lain yang terjadi di PPI Meulaboh, bahwa setiap kapal yang melakukan aktivitas bongkar muat harus melewati jembatan yang melintang di atas badan sungai (kolam pelabuhan). Jembatan tersebut digunakan oleh masyarakat setempat sebagai penghubung dua kelurahan yaitu Padang Seurahet dan Ujung Baroh. Ketinggian jembatan tidak bisa dilalui oleh kapal ukuran 10 GT ke atas yang lewat di bawahnya. Setiap kapal harus melewati bawah jembatan untuk mencapai ke dermaga PPI Meulaboh. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap nelayan diketahui bahwa kondisi seperti ini mengakibatkan kapal-kapal melakukan bongkar muat hasil tangkapan dan persiapan perbekalan melaut tidak di dermaga, melainkan nelayan memilih melakukan bongkar muat di sisi badan sungai (sepanjang kolam pelabuhan) dan untuk itu nelayan harus menambah cost atau biaya lagi karena harus membayar buruh (kuli) untuk mengangkut hasil tangkapan ke tempat pelelangan ikan (TPI).

Gambar 8 Kolam Pelabuhan PPI Meulaboh, tahun 2010 c. Jalan di komplek PPI

Prasarana jalan di komplek Pangkalan Pendaratan Meulaboh masih tidak ada perubahan dari tahun ke tahun (Gambar 9), artinya kondisi fisik jalan berfungsi dalam keadaan rusak dan belum beraspal. Tahun 2005, jalan komplek PPI Meulaboh telah dibantu oleh BRR Aceh-Nias, namun ada sedikit perubahan anggaran biaya dari konsep kebijakan awal sehingga jalan ini tidak diaspal sampai sekarang. Kondisi jalan seperti ini sangat menyulitkan aksesibilitas ke PPI bagi pengusaha transportasi dalam mengangkut hasil tangkapan dan membawa kebutuhan nelayan sehari-hari.

(5)

Gambar 9 Kondisi jalan di komplek PPI Meulaboh, tahun 2010 d. Drainase

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh memiliki drainase atau saluran pembuangan yang mengelilingi tempat pelalengan ikan (TPI) dan panjangnya 300 meter. Drainase tersebut (Gambar 10) berfungsi dengan baik untuk pembuangan limbah dari hasil aktivitas di PPI seperti pembersihan lantai TPI dan pencucian hasil tangkapan, namun kondisinya terlihat masih banyak sampah yang dapat menyumbat drainase. PPI Meulaboh hanya memiliki dua petugas (buruh) untuk mengontrol saluran parit (drainase) dan membersihkannya setiap hari setelah aktivitas nelayan selesai.

Gambar 10 Drainase di PPI Meulaboh, tahun 2010

(6)

e. Fender

Fasilitas pokok lain sangat diperlukan bagi aktivitas pendaratan hasil tangkapan adalah fender yang berfungsi dalam kondisi baik (Gambar 11). PPI Meulaboh memiliki 6 buah fender yang berfungsi untuk melindungi kapal dari benturan saat merapat ke dermaga, sehingga sisi badan kapal tidak benturan keras dengan dinding dermaga.

Gambar 11 Fender di PPI Meulaboh, tahun 2010 f. Bollard

Dermaga PPI Meulaboh memiliki 6 buah bollard yang dibuat pada tahun 2006 dengan anggaran APBD Kabupaten Aceh Barat terbuat dari besi dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sangat optimal serta cukup sesuai dengan ukuran panjang dermaga (Gambar 12). Adanya bollard di PPI dapat mempermudah kapal bertambat dengan lancar untuk aktivitas bongkar hasil tangkapan. Berdasarkan wawancara, bollard di PPI Meulaboh tidak terawat dan masih kurang jumlahnya serta ukuran jarak per bollard tidak terukur sehingga setiap kapal yang parkir untuk melakukan aktivitas bongkar muat di PPI mengalami kesulitan.

(7)

Gambar 12 Bollard di PPI Meulaboh, tahun 2010

2) Fasilitas fungsional

a. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Fungsi fasilitas fungsional adalah untuk meningkatkan nilai guna fasilitas pokok pelabuhan perikanan yang telah dibangun dengan memberikan pelayanan dan fasilitas yang diperlukan. Fasilitas fungsional yang ada di PPI Meulaboh terdiri atas tempat pelelangan ikan (TPI) dan kondisinya berfungsi baik. Luas TPI adalah 360 m2 dan tanpa ada pembagian tempat-tempat lain seperti kantor TPI, ruang lelang, ruang lapak dan ruang timbang. Fungsi dasar TPI merupakan gedung tempat terjadinya transaksi jual beli hasil tangkapan, penyortiran, penimbangan serta pengepakan ikan yang akan dipasarkan (Gambar 13).

Kegiatan pelelangan di PPI Meulaboh, baik sebelum maupun sesudah tsunami, tidak berjalan. Tempat pelelangan ikan (TPI) hanya dijadikan sebagai tempat penimbangan ikan. Hal ini terjadi karena umumnya hasil tangkapan sudah ada pemiliknya, yaitu pemberi modal atau Toke Bangku. Kondisi ini harus diatasi oleh PEMDA secara cepat untuk mengaktifkan kembali tempat pelelangan ikan di PPI Meulaboh sebagaimana fungsinya. Gedung TPI di PPI Meulaboh mempunyai tingkat kualitas kebersihan masih rendah, terlihat masih banyak dipenuhi oleh sampah dari hasil aktivitas pemasaran yang berlangsung seperti botol/kaleng minuman, plastik bekas, bungkus rokok dan sisa-sisa makanan, padahal petugas kebersihan PPI sudah menyiapkan tempat sampah.

(8)

Gambar 13 Penjualan ikan di Tempat Pelelangan Ikan Meulaboh, tahun 2010 b. Pasar Ikan

Pasar ikan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh yang luasnya 120 m2 masih dalam proses pembangunan Tahun 2010. Lokasinya berada di sebelah utara dermaga, dengan anggaran APBD (Gambar 14). Selama ini nelayan menggunakan pasar ikan yang dikelola oleh swasta tersebut bukan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, posisi pasar baru ini kurang strategis karena berada di lokasi paling ujung areal komplek PPI dan dekat Muara Sungai Krueng Cangkoi yang digunakan nelayan sebagai alur pelayaran kapal. Setiap konsumen/pembeli ikan harus melewati jalan utama komplek PPI untuk sampai ke pasar ikan karena tidak ada jalan alternatif sehingga menimbulkan kemacetan setiap hari di areal PPI Meulaboh.

Gambar 14 Pasar ikan yang sedang dalam taraf pembangunan di PPI Meulaboh, tahun 2010

(9)

c. Perkantoran

Fasilitas fungsional perkantoran seluas 128 m2 di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh (Gambar 15) dibangun kembali pada tahun 2005 dengan bantuan dari BRR (badan rehabilitasi dan rekontruksi) Aceh-Nias dan sampai saat ini berada dalam kondisi baik tapi belum berfungsi. Berdasarkan wawancara di lapangan, diperoleh informasi bahwa Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Aceh Barat tidak pernah menggunakan dan tidak ada aktivitas di kantor setiap hari.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa pihak dinas kelautan dan perikanan tidak tahu dengan kondisi para nelayan dan perkembangan aktivitas-aktivitas di PPI Meulaboh. Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Barat harus mengambil sikap tegas kepada setiap instansi terkait karena tidak sesuai lagi dengan keputusan Bupati Aceh Barat No 205 tahun 2005 tentang uraian tugas dan fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat, yang salah satu tugasnya adalah pemeliharaan dan perawatan terhadap sarana dan prasarana aset dinas.

Gambar 15 Kantor PPI Meulaboh, tahun 2010 d. Sumber air

Fasilitas fungsional lain di PPI Meulaboh adalah sumber air yang diperlukan untuk semua aktivitas PPI Meulaboh. Sumber air bersih berasal dari sumur bor yang kondisiya baik. Air tersebut ditampung dalam tangki dengan kapasitas 2.000 liter air/hari. Air bersih di PPI diperlukan untuk perbekalan melaut kapal perikanan, pencucian TPI, membersihkan dermaga. Namun demikian masih diperlukan satu/dua lagi sumber air bersih agar kebutuhannya terpenuhi dengan

(10)

baik sehingga nelayan atau petugas kebersihan bisa melakukan aktivitasnya dengan lancar tanpa harus membuat jadwal tertentu seperti yang terjadi saat ini.

e. Pabrik Es

Fasilitas fungsional lain di PPI Meulaboh adalah pabrik es dan gudang es yang kondisinya berfungsi baik sebagai sarana penyediaan es untuk memenuhi kebutuhan nelayan setiap hari. Es diperlukan agar mutu hasil tangkapan tetap terjaga dengan baik. Pabrik es balok di PPI Meulaboh berukuran 80m2, beroperasi dengan kapasitas produksi 10 ton/hari sehingga keperluan es oleh nelayan bisa terpenuhi dengan baik. Fasilitas ini cukup penting sebagai bahan perbekalan yang digunakan nelayan untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan. Es diangkut dengan becak /becak motor langsung menuju armada-armada penangkapan yang akan beroperasi di laut.

Pabrik es yang ada di areal komplek PPI Meulaboh hanya satu, yang kadang-kadang rusak sehingga tidak bisa berproduksi. Apabila pabrik es tidak berproduksi maka para nelayan harus memesan di pabrik es lain yang jauh dari PPI Meulaboh sehingga harus mengeluarkan biaya lagi. Hal ini berakibat bertambahnya biaya operasional dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh bahan perbekalan es.

f. Cold storage

Cold storage merupakan sarana yang dibangun dengan tujuan menjaga mutu hasil tangkapan. Cold storage ini salah satu fasilitas yang dimiliki oleh PPI Meulaboh. Kondisinya baik walaupun belum berfungsi, karena belum ada investor/ pengusaha yang mau investasi dalam bidang perikanan dan mahalnya biasa operasional.

g. Areal Parkir

Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh memiliki areal parkir seluas 600 m2 berfungsi walaupun kondisinya rusak. Tempat parkir diperlukan untuk memperlancar aktivitas keluar masuk kendaraan, yang melakukan aktivitas pendistribusian hasil tangkapan, pemasokan bahan-bahan keperluan operasional di PPI (Gambar 16). Areal parkir mampu menampung 70-80 kendaraan. Diperlukan

(11)

penataan yang baik di areal parkir seperti tempat pemberhentian kendaraan sesuai dengan keperluannya agar tidak menimbulkan kesemrautan dan terhambatnya keluar masuknya kendaraan. Lahan parkir di PPI Meulaboh hanya untuk kendaraan roda 2 saja dan berada disamping musholla (tempat ibadah) atau didepan kantor PPI.

Gambar 16 Areal parkir di PPI Meulaboh, tahun 2010 3) Fasilitas penunjang

a. Balai pertemuan nelayan (BPN)

Balai pertemuan nelayan di PPI Meulaboh (Gambar 17) merupakan fasilitas penunjang yang dibangun untuk membahas atau membicarakan tentang permasalahan-permasalahan serta rencana kegiatan yang akan diadakan nelayan seperti syukuran (kanduri laot), konfik antar nelayan dan kegiatan lain di PPI Meulaboh. Balai pertemuan nelayan ini hancur total setelah gempa dan tsunami tahun 2004 dan baru dibangun kembali pada tahun 2005 melalui dana APBD Kabupaten Aceh Barat. Balai pertemuan nelayan ini berada di sebelah kiri pintu gerbang PPI atau berada di belakang muhalla yang berjarak sekitar 15 meter, dengan luas 200 m2. Balai pertemuan nelayan dalam kondisi baik walaupun belum berfungsi sampai sekarang. Nelayan lebih suka menggunakan warung kopi atau balai-balai warung untuk musyawarah dan membicarakan hal-hal kegiatan nelayan, karena kondisi ruangan BPN berada di lantai dua gedung dan tidak ber AC atau kipas angin, sehingga para nelayan tidak menggunakannya untuk rapat.

(12)

Gambar 17 Balai pertemuan nelayan di PPI Meulaboh, tahun 2010 b. Tempat Ibadah

Tempat ibadah atau musholla dimanfaatkan sebagai sarana ibadah oleh pelaku kegiatan di PPI Meulaboh (Gambar 18). Musholla ini memiliki luas 80 m2, terletak dekat jalan utama komplek PPI didepan tempat parkir. Musholla ini dikelola oleh pihak PPI Meulaboh dan kondisinnya sekarang dalam keadaan baik tetapi tidak berfungsi. Nelayan tidak melakukan kegiatan di musholla komplek PPI Meulaboh kerena tidak ada lagi saluran air bersih ke musholla dan sangat terganggu dengan suara bising motor keluar masuk ke areal PPI. Nelayan maupun penduduk di sekitar PPI lebih memilih melakukan kegiatan di mesjid kelurahan Padang Sirahet yang tidak jauh dari lokasi PPI Meulaboh.

Gambar 18 Musholla di PPI Meulaboh, tahun 2010

(13)

c. Toko sarana penangkapan

Toko sarana penangkapan merupakan salah satu toko penting bagi para nelayan yang menyediakan berbagai kebutuhan peralatan penangkapan nelayan seperti alat pancing, bahan jaring, tali dan umpan buatan. Gedung toko sarana penangkapan ini berada di samping gedung tempat pelelangan ikan dan dideretan jalan menuju ke komplek PPI yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dan swasta (perseorangan) (Gambar 19). Toko sarana penangkapan ini kondisinya baik, disewa oleh pengusaha atau masyarakat setempat per tahun kepada DKP. Para nelayan umumnya lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di toko ini dibandingkan dengan toko-toko yang ada di luar areal PPI karena lebih dekat dan lebih murah harganya.

Gambar 19 Toko sarana penangkapan di komplek PPI Meulaboh d. Warung/kios

Kios bahan perbekalan di PPI Meulaboh menyediakan berbagai kebutuhan melaut nelayan (Gambar 20). Setiap kios 5x8 meter dan dalam kondisi baik tetapi belum berfungsi. Kios dikelola secara perseorangan dan ada juga oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Kios yang tersebar di sekitar komplek PPI Meulaboh adalah milik perseorangan yang menyediakan kebutuhan nelayan melaut. Para nelayan lebih memilih membeli kebutuhannya di sini karena dari segi harga lebih murah dan lokasinya dekat dengan PPI Meulaboh. Kios-kios milik PEMDA tidak aktif karena harga sewanya mahal dan ukuran kios tidak

(14)

sesuai dengan harga sewa, sehingga tidak ada pengusaha yang mau menggunakan kios tersebut, nelayan lebih memilih kios lain yang ada di areal PPI Meulaboh.

Gambar 20 Kios-kios di areal komplek PPI Meulaboh, tahun 2010 5.1.2 Pengelolaan aktivitas PPI Meulaboh

1) Pendaratan ikan

Sistem pendaratan hasil tangkapan di PPI Meulaboh terdiri dari beberapa tahapan sejak hasil tangkapan dikeluarkan dari palkah kapal sampai hasil tangkapan didistribusikan ke pasar. Persiapan yang biasa dilakukan oleh para ABK untuk keperluan pendaratan harus dipenuhi atau wajib dipersiapkan guna kelancaran proses penurunan hasil tangkapan. Dalam proses pembongkaran dan pendaratan hasil tangkapan, nelayan di PPI Meulaboh sering menggunakan basket dan box fiber. Pemindahan hasil tangkapan dari dermaga ke TPI, para nelayan menggunakan jasa pengangkut (buruh angkut) dengan upah sesuai kesepakatan awal antara nelayan dengan buruh. Kondisi seperti ini sudah dilakukan turun temurun oleh nelayan sebelum gempa dan tsunami aceh pada tahun 2004.

Proses pendaratan ikan biasanya berlangsung dari pukul 06.00-10.00 WIB, meliputi proses pembongkaran, penyortiran dan pengangkutan hasil tangkapan ke TPI. Ikan-ikan yang didaratkan adalah hasil tangkapan dari kapal lokal Kabupaten Aceh Barat atau dari kapal kabupaten lain. Setelah kapal merapat di dermaga, para nelayan membongkar langsung hasil tangkapannya dengan cara mengeluarkan ikan dari palkah dan melakukan penyortiran. Setelah dilakukan penyortiran berdasarkan ukuran (besar/kecil), jenis dan mutunya (bagus/rusak), ikan langsung dimasukkan kedalam basket yang kapasitasnya sekitar 30 kg ikan, setelah itu ikan

(15)

dicuci dan diangkut ke TPI. Hasil tangkapan yang telah diturunkan dari palkah kapal ke dermaga, dimasukkan ke dalam basket, tanpa menggunakan alat bantu karena jarak dari dermaga ke TPI hanya 10 meter. Nelayan biasanya menggunakan jasa buruh angkut selama proses pembongkaran dan pendaratan hasil tangkapan. Alat bongkar yang digunakan adalah sekop (untuk memindahkan hasil tangkapan ke basket). Sistem pendaratan ikan di PPI Meulaboh dapat dilihat pada Gambar 21.

Pembongkaran dan pendaratan ikan dari palkah

Penyortian ikan di dermaga

Penempatan ikan dalam basket

Pencucian ikan/hasil tangkapan

Pengangkutan basket ke TPI Kapal bertambat di dermaga

Gambar 21 Diagram sistem Pendaratan ikan di PPI Meulaboh 2) Sistem pemasaran ikan

Pelelangan merupakan awal dari proses pemasaran hasil tangkapan di pelabuhan perikanan. Proses pelelangan ikan tidak berjalan di tempat pelelangan PPI Meulaboh, karena hasil tangkapan yang didaratkan di PPI sudah ada pemiliknya yaitu “toke bangku” yang memberikan modal nelayan melaut. TPI hanya melakukan penimbangan sebelum hasil tangkapan dipasarkan. Berdasarkan data dari DKP (dinas kelautan dan perikanan) Kabupaten Aceh Barat, jumlah total ikan yang didaratkan pada tahun 2009 adalah 8.108,8 ton.

(16)

Gambar 22 Ikan yang diletakkan secara berderet pada pemasaran di TPI PPI Meulaboh

Tujuan pemasaran hasil tangkapan dari PPI Meulaboh dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu pemasaran lokal, regional (antar kabupaten) dan antar propinsi. Daerah tujuan pasar lokal meliputi Kabupaten Aceh Barat, sedangkan antar kabupaten meliputi, Kabupaten Nagan raya, Calang, Aceh Barat Daya dan Banda Aceh. Pemasaran antar provinsi meliputi Sumut yaitu kota Binjai dan Medan.

Ikan yang dipasarkan dari PPI Meulaboh meliputi ikan segar dan ikan olahan. Ikan segar dipasarkan ke wilayah Aceh Barat dan sekitarnya, dilakukan oleh pedagang yang membeli hasil tangkapan dari “Toke Bangku” di PPI Meulaboh. Pengangkutannya menggunakan sepeda, sepeda motor dan becak untuk menjangkau ke desa-desa dan sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan menuju wilayah antar kabupaten dan antar provinsi, pengusaha dan “Toke Penampung” biasanya menggunakan mobil L300 (pick up) dan truck. Sebelum proses pemasaran ini dilakukan, pengusaha melakukan pengepakan ikan dalam box fiber. Ikan olahan di PPI Meulaboh didominasi oleh ikan asin, dipasarkan ke wilayah Meulaboh dan sekitarnya, tetapi ada juga dibeli oleh “Toke Penampung”

untuk dipasarkan ke luar Aceh (Kota Langkat, Binjai dan Medan).

Proses alur pemasaran di PPI Meulaboh berawal dari “Toke Boat” /nelayan pemilik yang turun melakukan aktivitas melaut untuk mendapatkan ikan. “Toke Bangku” merupakan pihak pemodal bagi nelayan yang akan melaut namun hasil tangkapannya harus dijual ke “Toke Bangku”. Setelah “Toke Bangku”

(17)

menimbang total hasil tangkapan dan menetapkan harga jual, maka hasil tangkapan ini baru beralih ke pihak pengolah hasil tangkapan, konsumen dan

“Toke Penampung”. Hasil tangkapan dari pihak pengolah ikan beralih lagi ke pedagang pengecer ikan olahan dan dijual ke konsumen. Hasil tangkapan yang berada di “Toke Penampung” akan beralih kepada “Muge” (pengecer), terakhir ke konsumen lokal (wilayah Kabupaten Aceh Barat) dan konsumen di luar Meulaboh seperti konsumen di wilayah Aceh dan antar provinsi seperti Binjai, Medan).

Proses pelelangan ikan tidak aktif di PPI Meulaboh, karena semua hasil tangkapan yang didaratkan di dermaga sudah ada pemiliknya, yaitu pemilik modal/”toke bangku”. Tidak hanya di PPI Meulaboh saja pelelangan ikan tidak aktif, tapi hampir di seluruh wilayah pelabuhan perikanan di Indonesia. Hal ini dimungkinkan nelayan masih minim modalnya (diacu dalam Wiyono, 2006).

Diantara pelabuhan perikanan di Indonesia yang tidak menjalankan proses pelelangan adalah PPI Jayanti Kabupaten Cianjur, hasil tangkapan tidak melalui mekanisme pelelangan melainkan langsung diberikan kepada bakul sebagai pemilik modal (Ahdiat, 2010); PPP Labuhan Lombok, hasil tangkapan yang didaratkan tidak mengalami pelelangan karena telah dimiliki oleh dua perusahaan ikan yang berada di sekitar wilayah tersebut yaitu UD Baura dan UD Versace (Gigentika, 2010); PPI Paotere Kota Makassar, kegiatan pelelangan hasil tangkapan tidak berjalan karena kemampuan beli bakul yang rendah sehingga nelayan langsung menjual ikan pedagang dan konsumen. Sistem pemasaran seperti ini terjadi hampir seluruh PPI di Indonesia dan khususnya di PPI Meulaboh, semua hasil tangkapan nelayan mempunyai nilai tawar yang rendah sehingga sulit bagi nelayan untuk mendapatkan harga jual yang layak, maka keuntungan nelayanpun menjadi rendah dan rugi karena modal setiap nelayan diberikan oleh “toke bangku” yang meliputi penyediaan bahan bakar solar,es dan kebutuhan primer nelayan. “Toke bangku” adalah pihak yang cukup penting dalam jalannya perekonomian perikanan karena “toke bangku” yang menentukan harga dan segmentasi pasar (Abdullah et.al, 2006).

Menurut Lubis (2005), pelabuhan perikanan seharusnya berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun bagi pedagang. Pelelangan ikan merupakan kegiatan awal

(18)

pemasaran untuk mendapatkan harga yang layak, khususnya bagi nelayan, maka sistem pemasaran dari tempat pelelangan ikan ke konsumen harus diorganisir secara baik dan teratur. Alur distribusi /pemasaran hasil tangkapan di PPI Meulaboh dapat dilihat pada Gambar 23.

Toke Bangku

Konsumen Muge (Pengecer)

Ikan Olahan Pengolah Hasil

Perikanan

Konsumen

Antar Provinsi Antar Kabupaten

Konsumen Luar Meulaboh

Toke Penampung (distributor)

Muge (Pengecer)

Konsumen lokal TPI

(Penimbangan ) Toke Boat/Nelayan

Gambar 23 Sistem pemasaran di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh 3) Perbekalan melaut

Pelayanan kebutuhan melaut bagi nelayan di PPI Meulaboh meliputi penyediaan BBM, es dan air bersih. Keperluan perbekalan sebagian besar disediakan oleh pemilik kapal atau pemberi modal, namun dalam istilah di Aceh atau di PPI Meulaboh pemberi modal ini disebut “Toke Bangku”. Penyediaan perbekalan atau pemberi modal melaut kepada setiap nelayan dilakukan melalui tahapan persetujuan antara nelayan dengan “Toke Bangku”. Kebutuhan perbekalan melaut dapat dibeli di warung-warung terdekat di sekitar PPI Meulaboh.

Panglima laot (2005) menyebutkan bahwa awal dari kegiatan melaut adalah adanya modal kerja melaut, meliputi biaya hidup nelayan selama melaut, biaya pembelian es sebagai pengawet hasil tangkapan, dan bahan bakar minyak (BBM) sebagai bahan dasar pengoperasian boat atau kapal melaut. Modal melaut dipinjamkan oleh “Toke Bangku” kepada nelayan untuk modal awal melaut, seperti biaya hidup (living cost) nelayan selama melaut, penyediaan es sebagai

(19)

pengawet hasil tangkapan agar tetap segar serta terjaga kualitas dan penyediaan bahan bakar minyak (BBM) sebagai bahan dasar pengoperasian boat/kapal, namun nelayan harus menjual hasil tangkapan kepada “Toke Bangku” sehingga sampai saat ini proses pelelangan di PPI Meulaboh tidak aktif. Keuntungan yang diperoleh “Toke Bangku” adalah 5% dari total keuntungan hasil tangkapan dan ditambah pemotongan dari biaya modal awal melaut. Pemotongan biaya belanja melaut akan digulirkan kembali dalam siklus sebagai modal melaut.

Perhitungan keuntungan untuk “Toke Boat” dan antar nelayan dari hasil melaut dilakukan berdasarkan sistem bagi hasil. Hasil yang dibagi adalah sisa hasil 95% setelah dipotong biaya belanja melaut, yang dibagikan kepada “Toke Boat” dan nelayan, yang didasarkan pada klasifikasi atau jenis boat/kapal, jumlah personal yang terlibat, waktu melaut dan jenis hasil tangkapan. Skema perhitungan modal kerja melaut dilihat pada Gambar 24.

B. Hasil penjualan

Pemodal/

Toke Bangku A.Modal kerja melaut

(Es,BBM, perbekalan lain)

H. Nelayan (50 % x D) G. Toke Boat (50% x D)

D. [(95% x B) - A]

Toke Bangku

E. Modal kerja selanjutnya (E=A)

F. Laba (5% x B) C. [(5% x B) + A]

Gambar 24 Skema Perhitungan modal kerja melaut di PPI Meulaboh

(20)

a. Penyediaan BBM

Kebutuhan solar sehari-hari bagi nelayan diperoleh di SPBU dengan jarak 1,5 km dari PPI Meulaboh. Nelayan harus mengeluarkan biaya lagi untuk becak yang mengangkut solar. Masalah lain dari dampak tidak adanya SPBU di lokasi PPI Meulaboh yaitu nelayan sering tidak boleh membeli solar dengan menggunakan jerigen karena ukuran jerigen sampai 90 liter. Kondisi seperti ini dihadapi oleh nelayan setiap hari sehingga mempersulit aktivitas nelayan melaut.

Hasil wawancara dengan para nelayan PPI Meulaboh menyebutkan bahwa kebutuhan solar untuk kapal yang melakukan aktivitas melaut one day fishing adalah 40-60 liter dengan harga Rp 4800,00/liter, sedangkan untuk kebutuhan solar bagi kapal yang melaut selama 1 minggu adalah 600 liter.

b. Penyediaan es

Pabrik es yang menyediakan kebutuhan es di PPI Meulaboh dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Pabrik es yang berukuran 4 x 20 meter berlokasi di dalam kompleks PPI, dengan kapasitas produksi 15 ton per hari. Penyediaan es di PPI Meulaboh masih mencukupi untuk aktivitas perbekalan melaut, apabila dibandingkan sebelum tsunami dimana para nelayan susah mendapatkan es. Pada saat itu nelayan harus melalukan pemesanan es di wilayah lain dengan harga yang selalu berubah sesuai cost transportasi yang dikeluarkan oleh pihak pabrik. Nelayan membutuhkan es untuk aktivitas melaut dalam satu hari mencapai 9 ton, dan harga es per balok Rp. 15.000,00. Es ini juga dibutuhkan oleh pedagang pengecer untuk menjaga mutu ikan sebelum dijual ke konsumen dan oleh penduduk setempat untuk kebutuhan pasar umum setiap hari yang tidak jauh dari PPI Meulaboh. Adanya pabrik es di PPI Meulaboh membuat nelayan menjadi lebih mudah dalam pembekalan aktivitas melaut.

c. Penyediaan air bersih

Pelayanan kebutuhan air bersih di PPI Meulaboh diperoleh dari sumur yang ada di kompleks PPI yang dibangun tahun 2006. Sebelum tsunami, air bersih yang digunakan nelayan berasal dari sumur rumah nelayan yang berdekatan dengan PPI Meulaboh. Air bersih ini digunakan para nelayan untuk perbekalan melaut dan tidak dikenakan biaya pemakaiannya. Air bersih di PPI Meulaboh yang

(21)

ditampung ditempat penampungan air dengan kapasitas 1.500-2.000 liter digunakan untuk membersihkan lantai TPI setelah aktivitas penimbangan atau pengepakan hasil tangkapan, pencucian hasil tangkapan sebelum ditimbang, bahkan untuk MCK dan box fiber (Gambar 25). Semua aktivitas yang dilakukan oleh pengelola PPI merupakan salah satu bentuk pelayanan di PPI Meulaboh dalam melayani kebutuhan setiap nelayan sehingga dapat memperlancar aktivitas perikanan di PPI.

Gambar 25 Tempat penampungan air bersih di PPI Meulaboh 4) Tahapan penanganan hasil tangkapan

Perlakuan penanganan ikan yang masih buruk atau tanpa menggunakan es, sehingga ikan basah akan mengalami laju degradasi mutu yang sangat cepat disebabkan oleh tingginya tingkat kontaminasi akibat penerapan sanitasi dan higienis yang masih rendah. Hal ini akan menyebabkan ikan tersebut tidak akan bertahan lama untuk layak dikonsumsi sebagai bahan pangan bermutu tinggi.

Penanganan ikan di PPI Meulaboh belum dilakukan dengan cermat. Hal ini terlihat pada saat nelayan menangani hasil tangkapan dalam palka kapal dan yang sudah didaratkan di dermaga, dimana tidak semua jenis ikan yang ada di dalam keranjang/box diberikan es, kurang peduli tentang penanganan ikan yang semestinya sehinggga penurunan mutu ikan lebih cepat.

Menurut Pane (2008), untuk memperlambat penurunan mutu ikan, dapat dilakukan penanganan berupa pencucian ikan dengan air bersih dan pengesan atau pendinginan, juga penggunaan basket yang higienis, sehingga cara penanganan

(22)

hasil tangkapan yang siap dipasarkan sebagian besar telah menggunakan wadah dan ditaburi es curah.

Hasil tangkapan yang didaratkan mengalami berbagai macam perlakuan mulai dari pembokaran ikan sampai distribusi ikan ke tempat tujuan. Kesegaran ikan sudah mulai turun ketika hasil tangkapan itu pertama kali ditangkap, kemudian disimpan di dalam palkah kapal dengan waktu yang lama dan alat-alat yang digunakan dalam membongkar hasil tangkapan kurang higienis. Penanganan hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Meulaboh dibagi dalam empat proses yaitu penanganan ikan saat pembongkaran, penyortiran dan pencucian, pengangkutan dari dermaga ke tempat penimbangan dan penanganan dari tempat penimbangan ke pedagang dan konsumen.

a. Penanganan pembongkaran hasil tangkapan

Penyimpanan di dalam palka kapal dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan kerusakan fisik hasil tangkapan yang diindikasikan oleh adanya lendir yang menempel pada tubuh hasil tangkapan, tubuh ikan terkoyak, mata terlihat cekung, bau amis dan insang terlihat cokelat. Penanganan ikan yang sering dilakukan oleh para nelayan pada saat pembongkaran di dermaga hanya menggunakan alat bantu keranjang plastik untuk menyerok ikan dari palka, padahal ini dapat menyebabkan kerusakan tubuh ikan dan mudah terkontaminasi dengan bakteri pembusuk yang menempel pada keranjang sehingga dapat menurunkan mutu ikan.

b. Penanganan saat penyortiran dan pencucian

Kegiatan menyortir atau memisahkan hasil tangkapan berdasarkan ukuran dan jenis harus dilakukan secara cepat. Pengeluaran ikan dari palka diusahakan tidak terkena sinar matahari langsung dalam waktu yang lama, agar mutu hasil tangkapan tidak menurun. Penyortiran ikan oleh para nelayan di PPI Meulaboh, tidak menggunakan sarung tangan ketika memegang hasil tangkapan dan menggunakan air pelabuhan saat pencucian hasil tangkapan. Perlakuan ini merupakan kebiasaan nelayan dan salah bentuk perlakuan atau penanganan yang tidak semestinya. Hasil tangkapan akan lebih cepat busuk karena bersentuhan dan pencucian dengan air kotor yang dapat menyebabkan bakteri yang terdapat di

(23)

tangan dan air akan menyebar ke tubuh hasil tangkapan dengan lebih cepat.

Menurut (Anonymous 2005) syarat fisik air yang berkualitas adalah jernih atau tidak tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhu normal (20- 260 C) dan tidak mengandung zat padatan.

c. Penanganan pengangkutan dari dermaga ke tempat penimbangan

Hasil tangkapan yang di dalam palka diangkut ke tempat penimbangan tanpa diberi tambahan es dan tidak tertutup. Pengangkutan seperti itu akan memicu cepatnya penurunan mutu hasil tangkapan, ditambah lagi pengaruh sinar matahari langsung yang mengenai hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang telah didaratkan itu diterima oleh “toke bangku” dan tanpa diberi tambahan es juga atau dengan meletakkan ke dalam wadah yang bersih dan tertutup supaya terhindar dari sinar matahari sehingga mutu hasil tangkapan tetap terjaga dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

d. Penanganan hasil tangkapan dari tempat penimbangan ke pedagang dan konsumen

Guna meningkatkan kualitas/ mutu ikan dan mempunyai nilai jual tinggi diperlukan penanganan ikan yang baik yaitu dimulai dari awal penanganan hasil tangkapan di kapal sampai ke konsumen, sehingga mutu ikan tetap stabil dan dikonsumsi oleh setiap konsumen masih dalam kualitas terbaik. Hasil tangkapan yang dijual oleh pedagang pengecer atau “muge” setiap hari tidak diletakkan ditempat atau wadah yang bersih supaya terhindari dari bakteri, tetapi hanya diletakkan di lantai atau dialasi dengan plastik secukupnya/terpal yang kotor, bau dan dipenuhi dengan campuran darah. Selama proses pemasaran hasil tangkapan digelar, pedagang jarang sekali menambahkan es dan hanya disiram sesekali dengan air. Mengabaikan cara penanganan ikan yang baik berakibat sangat sulitnya hasil tangkapan ini bisa bermutu.

(24)

Gambar 26 Penanganan hasil tangkapan setelah penimbangan di PPI Meulaboh 5.2 Kebijakan Terkait PPI Meulaboh

Kebijakan pemerintah dalam Permen. 16/MEN/2006 dikatakan, pengelola pelabuhan perikanan bertanggung jawab atas pemeliharaan fasilitas yang berada di pelabuhan perikanan dan dipimpin oleh seorang kepala pelabuhan. Berdasarkan qanun Pemerintahan Aceh No 16 Tahun 2002 dijelaskan, pemberian izin usaha perikanan berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan jasa lingkungan kelautan ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten. Oleh karena itu, pengelolaan PPI Meulaboh dan kebijakan tentang usaha perikanan sesuai dengan peraturan atau qanun Kabupaten Aceh Barat dikoordinir oleh bidang kelautan DKP Kabupaten Aceh Barat.

5.2.1 Pengelolaan PPI Meulaboh

Semua aktivitas pengelolaan di PPI Meulaboh dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat ditetapkan berdasarkan qanun nomor 2 tahun 2004 dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan visi dan misi, telah ditetapkan struktur organisasinya melalui Keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 205 Tahun 2005 tentang uraian tugas pokok dan fungsinya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut (Gambar 27) (Qanun,2004):

(25)

Bagian Tata Usaha

Sub Bagian Umum dan Perlengkapan

Sub Bagian Kepegawaian

Bidang Kelautan

Seksi Produksi dan Sarana

Seksi Pengamanan dan

Perlindungan

Bidang Perikanan Darat

Seksi Teknik Produksi dan

Sarana Seksi Bina

Usaha Bidang Program

dan Penyuluhan

Seksi Penyusunan Program dan

Pelaporan Seksi Penyuluhan

UPTD Kepala Dinas

Gambar 27 Struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat

Pengelolaan PPI Meulaboh dikoordinir oleh bidang kelautan dibawah Seksi Teknik Produksi dan Sarana berdasarkan qanun Kabupaten Aceh Barat nomor 2 tahun 2004. Adapun tugas pokok Bidang Kelautan Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai berikut (Qanun, 2004):

1) Menyusun rencana kerja bidang kelautan; 

2) Menyiapkan bahan penyusunan rencana kebijakan umum yang meliputi teknik produksi sarana serta pengamanan perlindungan sumberdaya manusia;

3) Mengkoordinasikan kegiatan kerjasama dengan instansi pemerintah, lembaga swasta yang berhubungan dengan bidang kelautan;

4) Pemeliharaan dan perawatan terhadap sarana dan prasarana asset dinas;

5) Merekomendasikan perizinan bidang kelautan;

6) Pengawasan potensi sumberdaya laut terhadap penjarahan pihak lain;

(26)

7) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait baik internal maupun eksternal;

8) Memberi saran dan pendapat kepada pimpinan

9) Menyiapkan dan menyampaikan laporan tahunan dinas 10) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan.

Seksi Teknik Produksi dan Sarana mempunyai tugas pokok merencanakan, melaksanakan, dan mengkoordinasikan serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas-tugas Seksi Teknik Produksi dan Sarana sesuai dengan keputusan Bupati Aceh Barat No 205 tahun 2005. Adapun tugas pokoknya adalah sebagai berikut:

1) Penyusunan rencana kegiatan dan program Kerja Seksi Teknik Produksi dan Sarana;

2) Mengkoordinasikan dengan instansi terkait dalam penyelenggaraan teknik produksi dan penyediaan sarana serta perlindungan produksi terhadap penjarahan dan pengrusakan dari pihak luar;

3) Menyiapkan sarana dan prasarana perikanan untuk menunjang pengelolaan tempat pendaratan ikan dan pusat pendaratan ikan;

4) Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program teknik produksi dan sarana kelautan;

5) Memberi sarana dan pendapat kepada pimpinan;

6) Menyiapkan dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas;

7) Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh DKP Aceh Barat.

Qanun Pemerintahan Aceh Nomor 16 Pasal 24 Tahun 2002 tentang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dijelaskan bahwa setiap orang, kelompok dan pemilik badan hukum yang kelalaiannya melanggar ketentuan qanun ini diancam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan Undang- udang. Namun berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Aceh Barat tentang pengelolaan PPI Meulaboh Nomor 205 Tahun 2005, belum ada sanksi-sanksi bagi pelanggaran hukum, baik untuk para nelayan dan pihak pemerintah itu sendiri (dinas kelautan dan perikanan). Pemerintah kabupaten harus cepat mengatasi masalah pengelolaan PPI, oleh karena itu sampai saat ini di PPI Meulaboh tidak ada petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat setiap hari yang melayani nelayan, mengontrol fasilitas dan aktivitas di PPI Meulaboh.

(27)

Pemerintah daerah tidak tahu perkembangan dan pemanfaaatan optimal fasilitas yang ada dan proses-proses aktivitas nelayan. Terbukti di lapangan bahwa ada fasilitas yang rusak tetapi dipaksakan beroperasi, sebaliknya ada juga fasilitas yang telah dibangun dengan biaya yang tidak sedikit tetapi belum difungsikan atau dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

5.2.2 Kebijakan usaha perikanan

Perda Kabupaten Aceh Barat No 2 tahun 2002 tentang Pajak Hasil Usaha Perikanan. Pada bab III dasar pengenaan dan tarif pajak pada pasal 4 disebutkan bahwa harga pasar atau harga standar nilai jual yang berlaku di tempat transaksi.

Besarnya tarif pajak yang dikenakan diatur dalam pasal 5 yang menyebutkan tarif pajak ditetapkan 5% dari nilai jual. Pemungutan pajak dilakukan terhadap objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika objeknya itu mencapai jumlah paling kurang 25 kg ikan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa retribusi pajak hasil usaha perikanan tidak berjalan, karena PPI Meulaboh tidak aktif perkantorannya (DKP) dan tidak ada petugas DKP di PPI, melainkan hanya ada buruh kebersihan yang digaji oleh DKP, sebagaimana disebutkan dalam keputusan Bupati Aceh Barat No 205 tahun 2005 tentang pengelolaan PPI Meulaboh diselenggarakan oleh DKP untuk melayani semua aktivitas nelayan.

  Pemerintahan Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai lembaga adat laut yang kuat dan diakui oleh dunia internasional sebagai lembaga adat yang mengurusi setiap permasalahan nelayan, oleh karena itu dalam kegiatan pengelolaan PPI Meulaboh perlu pengkajian ulang terhadap peraturan yang ada dan perlu musyawarah antara pihak pemerintah daerah (dinas kelautan dan perikanan) dan lembaga adat (panglima laot) untuk sama-sama memikirkan dan menyusun peraturan yang sesuai untuk pengelolaan PPI.

Sejarah mencerminkan bahwa aktivitas lembaga panglima laot yang telah dibentuk secara turun temurun sejak abad ke-14 di masa Sultan Iskandar Muda tahun 1972, di kalangan masyarakat nelayan terdapat lembaga adat istiadat dengan ketentuan hukum negara yang jelas selama dalam pelaksanaannya sehingga tidak melanggar hukum-hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pihak manapun tidak dapat mengganggu gugat keberadaan hukum adat khususnya hukum adat laot. Lembaga Adat ada berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

(28)

juncto Pasal 18 UUD 1945 berkaitan dengan adat. Pasal 131 ayat 2 sub b Indische regeling (IS) tentang golongan bumi putra dan timur asing berlaku hukum adat.

Pasal 104 ayat 1 UUDS 1950 menyebutkan,”segala keputusan pengadilan harus berisi alasan- alasannya, dan aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu.

Keputusan Perdana Menteri Nomor 1 /Missi tanggal 26 Mei 1959 tentang Aceh diberikan hak untuk menentukan bentuk dan isi pelaksanaan kehidupan adat, namun keistimewaan Aceh tidak boleh keluar dari kerangka politik dan sistem hukum dalam Negara. UU Nomor 1 Tahun 1973 dan Nomor 20 Tahun 1961 tentang kedudukan dan peranan hukum adat, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh. UU Nomor 18 tahun 2001 tentang kehidupan adat di Indonesia.

PERDA Nomor 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan Adat Istiadat dan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Berdasarkan Qanun Pemerintahan Aceh No 16 Pasal 8 Tahun 2002 tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dikatakan, setiap orang atau badan hukum yang melakukan usahanya dengan memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan diwilayah Pemerintahan Aceh dikenakan retribusi dan/atau pungutan, oleh karena itu dalam pengelolaan PPI Meulaboh, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Barat mengeluarkan Perda/Qanun No 4 tahun 2010 tentang Retribusi Kepelabuhanan di Lingkungan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Adanya Qanun tentang PPI ini diharapkan selain dapat tercipta dan meningkatkan usaha masyarakat di bidang perikanan dan kelautan serta dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Qanun pasal 5 dijelaskan bahwa Retribusi Kepelabuhanan di Lingkungan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha, dan pada pasal 6 dijelaskan cara mengukur tingkat penggunaan jasa, diukur berdasarkan volume, luas bangunan dan luas lahan yang dimanfaatkan di kawasan PPI. Besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha Pelayanan di kawasan PPI dapat dilihat sebagai berikut:

1) Jasa Usaha Pemakaian Fasilitas Kekayaan Daerah:

ƒ Kios nelayan Rp 4.000.000,00/Unit/Tahun

ƒ Los ikan asin Rp 600.000,00/Tong/Tahun

(29)

ƒ Gudang PPI Rp 3.000.000,00/Unit/Tahun

ƒ Kios Pemasaran Rp 5.000.000,00/Unit/Tahun 2) Jasa Usaha Pelayanan Perparkiran

ƒ Kendaraan Roda 2 Rp 1.000,00/unit

ƒ Kendaraan Roda 3 (becak) Rp 2.000,00/unit

ƒ Kendaraan Roda 4 Rp 2.000,00/unit

ƒ Kendaraan Roda 6 Rp 3.000,00/unit

ƒ Sandar/Bongkar muat nelayan > 5GT Rp 3.500,00/unit/Max 4 jam

ƒ Sandar/Bongkar muat nelayan < 5GT Rp 2.500,00/unit/Max 4 jam 3) Jasa Usaha Pelayanan Sarana Tempat mandi, Cuci dan Kakus

ƒ Pemanfaatan MCK Rp 1.000,00/karcis 4) Jasa Usaha Pelayanan Air Bersih

ƒ Sumber air di kompleks PPI Rp 1000,00/jirigen (35 liter).

Pemasukan daerah dari retribusi pajak hasil usaha perikanan yang dijelaskan dalam Qanun No 4 tahun 2010 di PPI Meulaboh tidak berjalan, disebabkan oleh DKP Aceh Barat kurang peduli terhadap kondisi aktivitas di PPI. Hal tersebut diidentifikasikan dengan tidak adanya petugas DKP dan aktivitas pelayanan nelayan di kantor PPI Meulaboh. Oleh sebab itu diperlukan peran pemerintah daerah untuk mengaktifkan semua pelayanan nelayan dalam pendukung pengelolaan PPI. Pemerintah daerah memperoleh retribusi ini hanya berdasarkan tender-tender dari sebagian fasilitas yang ada di PPI Meulaboh kepada personal atau lembaga. Hasil tender menjadi pemasukan daerah. Pelaksanaan tender dimulai dari pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan atau ketentuan bagi lembaga atau perusahaan atau personal yang akan mengikuti tender, baik berupa dana awal, batas waktu pendaftaran dan lain-lain. Pelaksanaan tender dilakukan sesuai dengan pengumuman yang telah dikeluarkan oleh pemda. Lembaga atau perusahaan atau personal yang telah melakukan pengajuan ke pihak panitia, wajib membayar 50%

di awal pada saat penawaran. Uang sebanyak 50% ini dijadikan jaminan sebagai salah satu bentuk keikutsertaan dalam tender ini. Jika telah membayar 50% dan tidak menang dalam tender maka uang tersebut akan dikembalikan lagi. Bagi pihak yang melakukan penawaran paling tinggi maka pihak tersebut yang akan

(30)

menjadi pemilik tender dan sisa 50% akan dibayar setelah diketahui pemenang dari tender tersebut. Peraturan pemerintah provinsi atau kabupaten yang terkait dengan kebijakan pengelolaan PPI dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Kebijakan terkait dengan pengelolaan PPI

No Peraturan Pemerintah/qanun daerah Program Kegiatan 1 Peraturan Menteri No 16/MEN/2006 Pengelola pelabuhan perikanan

bertanggung jawab atas

pemeliharaan fasilitas yang berada di pelabuhan perikanan dan dipimpin oleh seorang kepala pelabuhan

2 Qanun Pemerintahan Aceh No 16 Pasal 24 tahun 2002

Setiap orang, kelompok dan pemilik badan hukum yang kelalaiannya melanggar ketentuan qanun ini diacam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan Undang-undang

3 Keputusan Bupati Aceh Barat No 205 tahun 2005

Pengelolaan PPI Meulaboh diselenggarakan oleh DKP Aceh Barat untuk melayani semua aktivitas nelayan

4 Qanun Kabupaten Aceh No 2 tahun 2004 Pengelolaan PPI Meulaboh

dikoordinir oleh bidang kelautan di bawah seksi Produksi dan Sarana 5 Qanun Pemerintahan Aceh No 16 Pasal 8

tahun 2002

Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usahanya dengan memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan diwilayah Pemerintahan Aceh dikenakan retribusi dan/atau pungutan

6 Qanun Kabupaten Aceh Barat No 4 Pasal 5 tahun 2010

Retribusi Kepelabuhanan di lingkungan PPI digolongkan sebagai retribusi jasa usaha 7 Qanun Kabupaten Aceh Barat No 4 Pasal

6 tahun 2010

Mengukur tingkat penggunaan jasa berdasarkan volume, luas bangunan dan lahan yang dimanfaatkan di kawasan PPI

Sumber: hasil olahan data

Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota telah dijelaskan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bidang perikanan. Tugas dan Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dibedakan menjadi 6 subbidang yaitu subbidang kelautan, umum, perikanan tangkap, pengawasan dan

(31)

pengendalian, pengelolaan dan pemasaran, serta penyuluhan pendidikan. Secara umum butir-butir kewenangan ini telah dibuat peraturan norma dan kebijakannya oleh pemerintah pusat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, namun pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum secara terinci diatur pelaksananya.

Hasil analisis dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan untuk mengatur kegiatan di PPI, belum menunjukkan hal yang positif (Tabel 13). Kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan dan qanun yang dibuat oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten, belum dapat mengakomodir semuanya wewenang yang dibuat pemerintah pusat kepada daerah di bidang perikanan. Kebijakan peraturan daerah atau qanun yang dibuat oleh kabupaten/kota, lebih terkait dengan pemasukan daerah yaitu seperti qanun retribusi jasa usaha perikanan di PPI.

Tabel 13 Pendekatan kerangka hukum (legal framework) pada PPI Meulaboh

No Kriteria Penilaian

1 Sruktur hukum Peraturan kebijakan yang ada di Perda/qanun, belum semuanya bisa diterjemahkan atau diaplikasikan di lapangan. Berbagai macam faktor kendala penghambat untuk penerapan kebijakan yaitu kebijakan yang ada masih bersifat umum, tenaga kerja tidak sesuai keahliannya, keterbatasan sumberdaya manusia 2 Mandat hukum Mandat hukum sangat jelas diberikan kepada lembaga

pemerintah (DKP) dan lembaga adat (Panglima Laot), namun dalam implementasi di lapangan sering tidak jalan, dua lembaga ini ada kepentingan pribadi masing- masing dan mengklaim semua tugasnya, sehingga kepentingan pribadi lebih tinggi dalam melaksanakan kebijakan yang ada.

3 Penegakan hukum Penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Pemerintahan Aceh dalam penerapan-penerapan peraturan yang ada masih sangat rendah, peraturan atau kebijakan yang ada belum ditegakkan oleh PEMDA kepada seluruh kegiatan dan aktivitas di PPI, karena ada berbagai kepentingan sehingga penegakan hukum tidak pernah aktif.

Sumber: hasil olahan data

Tabel 13 memperlihatkan bahwa hasil analisis pendekatan kerangka hukum (legal framework) terhadap kebijakan atau peraturan perundangan-undangan untuk mengatur kegiatan pengelolaan PPI Meulaboh, belum menunjukkan hal

(32)

yang positif. Berdasarkan penilaian melalui struktur hukum, ada berbagai macam kendala penghambat penerapan kebijakan yaitu: 1) kebijakan yang ada masih bersifat umum, belum ada kebijakan peraturan yang spesifik, seperti peraturan tentang surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang harus dibuat oleh setiap pemilik kapal, penanganan antrian kapal untuk bongkar muat di dermaga dan aturan sistem pelelangan ikan. 2) Persyaratan tenaga kerja yang sesuai dengan keahliannya. Semua karyawan/staf yang mengelola PPI Meulaboh bukan dari kedisiplinan ilmu, sehingga tidak berjalannya pengelolaan yang baik. 3) Ketersediaan sumberdaya manusia. Sumberdaya yang ada di PPI Meulaboh masih terbatas dari sisi jumlah, tetapi lima tahun pasca tsunami 2004 sudah ada sumberdaya manusia yang handal dan mempunyai kualitas terutama bidang perikanan. Pada umumnya masih ada unsur politik di pemerintah daerah dalam perekrutan tenaga kerja sehingga masih belum menerapkan ilmu sesuai keahliannya dalam pengelolaan PPI.

Selanjutnya penilaian berdasarkan mandat hukum, peraturan pemerintah daerah sangat jelas memberikan mandat kepada DKP Kabupaten dan lembaga adat (Panglima Laot) sebagai pengontrol DKP untuk mengelola PPI. Namun dalam operasionalnya ada kepentingan pribadi dan mengklaim semua kegiatan di PPI tugas DKP. Seperti DKP, mengklaim punya hak penuh untuk menentukan harga sewaan lahan ke setiap pedagang ikan dan pihak swasta/kelompok tanpa musyawarah dengan Panglima Laot dan menyuruh Panglima Laot untuk mengontrol kegiatan aktivitas nelayan di PPI. Sebaliknya Panglima Laot yang dipilih dari “pawang laot” hasil musyawarah nelayan mengklaim semua aktivitas di PPI adalah tugas panglima laot. Hal ini menunjukkan masih kurangnya komunikasi dan kepedulian pemda dalam mengsosialisasikan tugas DKP dan Panglima Laot. Oleh sebab itu dibutuhkan keberlanjutan komunikasi antara kedua pihak. Penilaian dari penegakan hukum masih sangat rendah. Peraturan Pemerintah Provinsi (Qanun) No 16 tahun 2002 tentang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan menjelaskan, setiap orang/kelompok dan pemilik badan hukum yang kelalaiannya melanggar ketentuan akan diancam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, tetapi pemerintah kabupaten

(33)

belum melaksanakan peraturan ini, karena ada kepentingan pribadi sehingga nelayan selalu dirugikan.

Berdasarkan peraturan Bupati Aceh Barat No 205 Tahun 2005 dan Qanun No 2 Tahun 2004 bahwa pengelolaan PPI dikoordinir oleh Seksi Teknik Produksi dan Sarana yang salah satu tugasnya adalah menyiapkan sarana dan prasarana perikanan untuk menunjang pengelolaan tempat pendaratan ikan dan pusat pendaratan ikan. Hal tersebut menjadi dasar hukum bagi DKP Aceh Barat untuk membuat qanun tentang peraturan pengelolaan aktivitas yang spesifik di PPI Meulaboh, seperti qanun tentang surat izin penangkapan ikan bagi setiap kapal, antrian kapal di dermaga dan sistem lelang di tempat pelelangan ikan (TPI).

Peraturan sangat diperlukan di PPI Meulaboh, supaya semua aktivitas berjalan sesuai dengan peraturan dan memberikan dampak positif berupa keuntungan untuk pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan nelayan menjadi lebih baik.

5.3 Implementasi Program Pengelolaan

Saxena (1992) menyatakan bahwa teknik ISM ( interpretative structural modeling) bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh, atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematika dan iteratif. ISM adalah proses yang mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya, menjadi model sistem yang tampak (visible) serta didefinisikan secara jelas dan bermanfaat untuk beragam tujuan. Teknik ISM menganalisis elemen-elemen sistem, dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki (Marimin, 2004).

Teknik model ISM digunakan untuk melihat formulasi model kebijakan yang cocok untuk diimplementasikan, agar pengelolaan optimal di PPI Meulaboh dapat diaplikasikan dengan baik. Program pengelolaan merupakan suatu sistem yang kompleks, untuk itu harus dilakukan melalui perencanaan sistematis dan terintegrasi dari seluruh komponen sistem.

(34)

5.3.1 Sektor masyarakat yang terpengaruh dalam pengelolaan optimal PPI Meulaboh

Output ISM ( interpretative structural modeling) dihasilkan dari sektor masyarakat yang terpengaruh melalui diagram struktural, dapat dilihat pada Gambar 28. Pengelola PPI dan Panglima Laot dalam pengelolaan optimal PPI Meulaboh merupakan elemen kunci, yang akan mempengaruhi atau menggerakkan subelemen-subelemen dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh lainnya untuk keberhasilan program pengelolaan optimal PPI.

Penyusunan/pembuatan suatu program pengelolaan yang optimal akan memberikan dampak bagus pada nelayan atau pihak lain, sehingga terlihat semua pihak yang terlibat dalam aktivitas di PPI menjadi lebih teratur sesuai dengan manajemennya dan dapat menggerakkan tumbuhnya industri-industri perikanan dan akhirnya mensejahterakan pedagang, buruh, jasa transportasi dan lain-lain.

9. Buruh

angkut 11. Masyarakat 10. Konsumen

Sekitar PPI

7. Pedagang Pengecer

6. Pedagang Pengumpul

4. Industri Perikanan 5. Pemilik Boat

2. Nelayan

1. Pengelola PPI

3. Panglima Laot 8. Pengusaha

jasa transportasi Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Level 5

Level 6

Gambar 28 Diagram struktural dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh pada program pengelolaan optimal PPI

Matriks driver power-dependence untuk subelemen masyarakat yang terpengaruh seperti terlihat pada Gambar 29. Subelemen terdistribusi kedalam tiga sektor yaitu sektor II, III dan sektor IV. Subelemen pengelola PPI, panglima laot

(35)

dan nelay ketergantu yang kua industri pe sekitar PP ini merup tinggi terh menjadi p berhasilny dimana su tetapi day Pendapat pengelolaa

yan berada ungan yang at untuk ke erikanan, p PI dan konsu

akan subele hadap prog penghambat ya pengelola ubelemen y

ya dorong responden an PPI Meu

di sektor g rendah te eberhasilan edagang pe umen berad emen yang gram. Kura t sehingga m

aan optimal yang berada

yang keci terhadap e ulaboh dapa

IV, yang m erhadap pro

program.

engumpul, p da pada sek

labil yang angnya perh

membutuhk l PPI. Masy a di sektor

il terhadap lemen sekt at dilihat di L

mana sube ogram, nam

Kemudian pedagang p ktor III, dim

berarti mem hatian pada kan perhatia

yarakat seki II memiliki p keberhasi or masyara Lampiran 2

lemen sekt mun memili subelemen engecer, bu mana subelem

miliki keter a sublemen an serius un itar PPI ber i ketergantu ilan progra akat yang te 2.

tor ini mem iki daya do n pemilik uruh, masya men pada s rgantungan n tersebut ntuk mendu rada di sekt ungan yang am pengelo

erpengaruh miliki

orong boat, arakat sektor yang dapat ukung tor II, g kuat olaan.

pada

0

Driver Power

Gamba

Keteranga 1. Pengelo 2. Nelayan 3. Panglim 4. Industri 5. Pemilik

ar 29 Matr terpe

an:

ola PPI n ma Laot

i Perikanan k Boat

1 2

riks driver p engaruh pa

(1)

2 3

SEKTOR I

(2) (3)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

4 5

Depen

power-depe ada program

d

endence dar m pengelola

6 7

dence

(4) (5)

8 9

(6)

(7) (8) (9,10) (11)

10 11

ri elemen m aan optimal

masyarakat PPI

yang

(36)

6. Pedagang Pengumpul 7. Pedagang Pengecer

8. Pengusaha jasa transportasi 9. Buruh angkut

10. Konsumen

11. Masyarakat sekitar PP

Hasil analisis penelitian dari matriks driver power-dependence terhadap elemen masyarakat yang terpengaruh pada program pengelolaan optimal PPI ada tiga subelemen kunci (sektor IV) yaitu pengelola PPI, panglima laot dan nelayan yang berpengaruh untuk keberhasilan program pengelolaan PPI Meulaboh. Hasil matriks ini juga menunjukkan ada tujuh subelemen di sektor III yaitu 1) industri perikanan. Berdasarkan Danial (2010), indutri perikanan di pelabuhan perikanan memerlukan kebijakan dari pemerintah terhadap pengelolaan dan jaminan penyediaan bahan baku untuk industri perikanan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga setiap industri perikanan yang ada di pelabuhan perikanan dapat beraktivitas dengan lancar dan mengurangi pengangguran; 2) Pemilik kapal, setiap pemilik kapal harus selalu berkomunikasi dengan pihak pengelola PPI sehingga setiap kapal yang mau melaut sudah di cek kondisi kapalnya dan terjamin keselamatan nelayan; 3) Pedagang pengumpul; 4) Pengecer; 5) Buruh, menurut Matupang (2010), upah yang diterima oleh buruh dari hasil tangkapan ikan berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan dan harus sudah sesuai dengan standar upah minimum. Hal tersebut diindikasikan bahwa upah buruh di pelabuhan perikanan sudah sesuai dengan standar karena jasa buruh sangat diperlukan untuk kelancaran aktivitas setiap hari di pelabuhan; 6) konsumen, berdasarkan Triyana (2010), diketahui bahwa konsumen lebih mengutamakan kesegaran ikan dari pada ukuran dan harga. Hal ini merupakan informasi yang harus harus diperhatikan oleh pelaku perikanan tangkap untuk mewujudkan kepuasan konsumen dan 7) masyarakat sekitar PPI yang harus diperhatikan serius oleh pemerintah kabupaten dalam menjalankan pengelolaan optimal di PPI Meulaboh. Subelemen di sektor III bersifat tidak stabil dan diprediksi bisa berdampak kurang baik terhadap aktivitas pengelolaan dan subelemen yang lain jika tidak diperhatikan.

(37)

5.3.2 Kebutuhan utama terlaksananya pengelolaan optimal PPI Meulaboh Diagram struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat dilihat pada Gambar 30. Ketersediaan sumberdaya manusia, komitmen provinsi, dukungan pemerintah kabupaten tentang pengelolaan PPI, dukungan dari kecamatan merupakan subelemen kunci dari program kebutuhan untuk terlaksananya program pengelolaan PPI.

Kebutuhan tersebut diikuti dengan kebutuhan lain yang ada di level atasnya yang kemudian diharapkan dapat terdorong oleh subelemen-subelemen yang berada dibawahnya seperti dukungan dari kecamatan, ketersediaan fasilitas lengkap di PPI, ketersediaan data base dan informasi di PPI, dukungan teknologi di PPI dan penegak hukum. Kebutuhan yang berada pada level atas secara struktur adalah tokoh masyarakat dan partisipasi masyarakat atau nelayan.

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Level 5

Level 6

13. Tokoh masyarakat

12.

Penegakan hukum

9.

Dukungan teknologi

di PPI

7. Ketersediaan fasilitas lengkap di PPI

4. Dukungan dari Kecamatan

10.

Kebijakan Pengelolaan

2. Komitmen Provinsi 5. Koordinator antar

sektor

3. Dukungan Pemerintah Kab ttg qanun Pengelola PPI

6. Ketersediaan anggaran di PPI 11.

Penyuluh Perikanan

8. Ketersedian data base dan informasi

1. Ketersediaan SDM Level 7

Gambar 30 Diagram struktural dari elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pengelolaan optimal PPI

(38)

terlak sumb peng subel namu progr antar tekno pene seriu diaba respo dapa

Matriks d ksananya p berdaya ma gelolaan PP

lemen pada un mempun

ram. Kemu r sektor, ke ologi, keb

gakan huku us karena su aikan maka onden terha at dilihat di L

driver pow rogram sep anusia, duk I, komitme a sektor ini

nyai daya udian duku etersedian f ijakan pen um berada p ubelemenny a akan mem adap elemen

Lampiran 4

wer-depende perti terlihat kungan pem

n pemerint memiliki k dorongnya ungan keca fasilitas len ngelolaan pada sektor ya memiliki mberikan da

n kebutuha 4.

ence untuk t pada Gam merintah k

ah provinsi ketergantung

kuat untu amatan, ket ngkap, data PPI, peny r III. Subele ketergantu ampak yang n dari prog

k subeleme mbar 31. Su

abupaten t i berada pa gan yang re uk keberhas tersediaan a base dan yuluhan pe emen ini me ungan yang g kuat terha gram penge

en kebutuh ubelemen ke entang qan ada sektor I

endah terha silan dan k

anggaran, informasi, engelolaan embutuhkan

tinggi, jika adap sistem elolaan PPI

han untuk etersediaan nun/ perda IV, dimana adap sistem kesuksesan koordinasi dukungan PPI dan n perhatian a salah satu m. Pendapat Meulaboh

(

0 1

Driver  power

G

Kete 1. K 2. K 3. D

Gambar 31

rangan : Ketersediaa Keberpihak Dukungan d

Matriks dr terlaksanan

an sumberda kan pemerin

dari pemerin

(1)

2 3

SEKTOR

4

river power nya program

aya manusia ntah provins

ntah Kabup

(2

0 4 8 9 10 1 1 1 1

4 5 6

D

RI

4

) (3)

r-dependenc m pengelola

a (SDM) si (komitme paten tentan

2

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3

7 8

Dependence

ce dari elem an optimal

n)

g qanun pen

(4)

9 10 11

(5,6)

(7,

men kebutu PPI

ngelolaan P

8 (9

12 13 1

uhan untuk

PPI

8) 9,12)

(10) (11)

(13) 14(14)

(39)

4. Dukungan dari Kecamatan 5. Koordinasi antar sektor 6. Ketersediaan anggaran di PPI

7. Ketersediaan fasilitas yang lengkap di PPI 8. Ketersediaan data base dan informasi 9. Dukungan teknologi di PPI

10. Kebijakan pengelolaan PPI 11. Penyuluhan pengelolaan PPI 12. Penegakan hukum

13. Tokoh masyarakat

14. Partisipasi masyarakat/ nelayan sekitar PPI

Hasil analisis dari matriks driver power-dependence terhadap elemen kebutuhan untuk terlaksananya program pengelolaan optimal PPI ada dua subelemen kunci (sektor IV) yaitu ketersedian SDM dan keberpihakan pemerintah provinsi (komitmen) untuk menggerakkan keberhasilan program pengelolaan PPI.

Matriks ini juga menunjukkan ada sepuluh subelemen di sektor III yaitu 1) dukungan kecamatan; 2) ketersediaan anggaran di PPI; 3) koordinasi antar sektor, berdasarkan Kusyanto (2006) dikatakan bahwa untuk meningkatkan pelayanan dan kemampuan pengelola pelabuhan perikanan harus bekerjasama dengan pihak pemerintah (Dinas kelautan dan perikanan, Dinas perhubungan laut, Syahbandar, Polisi) dengan pihak lembaga adat (Panglima laot). Hal tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak terkait agar aktivitas yang direncanakan dapat berjalan dengan baik dan memberikan fungsi pelayanan yang optimal sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap jasa pelabuhan itu sendiri dimasa mendatang;

4) Ketersedian fasilitas lengkap di PPI, sebagai tempat berlabuh dan bertambat kapal untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan, yaitu fasilitas pokok, fungsional dan penunjang sehingga kegiatan aktivitas di pelabuhan berlajan dengan lancar; 5) data base dan informasi; 6) dukungan teknologi di PPI, menurut Danial (2010), ketersediaan informasi dan dukungan teknologi yang ada sangat diperlukan dalam pengelolaan optimal pelabuhan perikanan, salah satunya pengembangan pemasaran hasil tangkapan yang lebih luas baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Menghasilkan informasi yang akurat dibutuhkan kerjasama dengan pihak terkait, pihak swasta dan pemerintah sehingga setiap hari hasil tangkapan yang didaratkan atau semua kegiatan di pelabuhan perikanan bisa

Gambar

Tabel 11 Fasilitas-fasilitas di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Tahun 2010
Gambar 8 Kolam Pelabuhan PPI Meulaboh, tahun 2010  c.  Jalan di komplek PPI
Gambar 9 Kondisi jalan di komplek PPI Meulaboh, tahun 2010  d.  Drainase
Gambar 11 Fender di PPI Meulaboh, tahun 2010  f.  Bollard
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan BOK untuk Balai Kesehatan Masyarakat yang merupakan UPT kabupaten/kota untuk meningkatkan jangkauan pelayanan promotif dan preventif di luar gedung

Analisis Dampak Kafein Terhadap Hasil Perhitungan Heart rate Lari 100 M dan Illinoise Agility Kafein mempunyai efek ergogenik yang dapat meningkatkan peforma, terutama

Petani garam merupakan seseorang yang menjalankan dan bertanggungjawab pada usahatani dengan komoditi garam mulai dari pengolahan air laut hingga proses panen hasil

disampaikan oleh Arifin (2005) bahwa surplus beras nasional hanya terjadi pada bulan Februari-Mei sedangkan delapan bulan lainnya harus dipenuhi oleh beras impor, mengingat

Maka dilakukan penelitian terhadap daerah rawan kecelakaan lalu lintas untuk menghasilkan status daerah rawan kecelakaan yang berasal dari rekaman data kecelakaan lalu

Oleh karena itu, peran serta dosen LPTK pada tahapan awal prakarsa PTK ini adalah menjadi sounding board (pemantul gagasan) bagi guru SM yang merasa tengah

Heritabilitas tinggi pada panjang akar, menunjukkan bahwa keragaman panjang akar antar galur disebabkan oleh faktor genetik sehingga seleksi ketenggangan Al dapat

Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalampelaksanaannya